Tuesday, August 18, 2015

Orang Kebanyakan Tak Masuk Hitungan*

 Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Pada pengujung 1994, Maradona, Stoichkov, Bebeto, Francescoli, Laudrup, Zamorano, Hugo Sanchez dan beberapa pemain sepakbola lainnya, memulai sebuah organisasi serikat pemain sepakbola internasional.

Para bintang pertunjukan itu sama sekali tak dilibatkan dari struktur kekuasaan ketika keputusan-keputusan dibuat. Mereka tidak memiliki hak untuk berteriak “huu..” kepada manajemen sepakbola lokal, tidak juga menikmati kemewahan yang sering terdengar dari tahta agung FIFA ketika kue global tengah jadi rayahan.

Siapakah para pemain? Monyet di sirkus? Ya, mereka bisa jadi berpakaian sutera, tapi bukankah monyet tetaplah monyet? Mereka tidak pernah dimintai pendapat ketika tiba saatnya diputuskan tentang kapan, di mana, dan bagaimana mereka bermain. Birokrasi sepakbola internasional mengubah aturan semau mereka, sementara para pemain tak punya suara. Mereka bahkan tak bisa mencari tahu berapa uang yang dihasilkan oleh kaki-kaki mereka sendiri, atau ke mana larinya uang itu.

Setelah bertahun-tahun mogok dan unjukrasa oleh sarikat pemain lokal, pemain kini mendapatkan kontrak yang lebih baik, tapi para bakul bola terus saja memperlakukan mereka tak ubahnya mesin yang bisa dibeli, dijual, dan dipinjamkan: “Maradona adalah sebuah investasi,” kata Presiden Napoli.

Kini klub-klub Eropa, demikian juga beberapa klub di Amerika Latin, memiliki staf psikolog, seperti di pabrik-pabrik. Para direktur tidak membayar mereka untuk menolong jiwa-jiwa merana (para buruh), tapi untuk jadi pelumas mesin dan menaikkan output. Apa output (yang didapat dari seorang) atlet sepakbola? Ya seperti output seorang buruh, meskipun tidak seperti buruh yang digaji tangannya, mereka digaji kakinya. Faktanya bahwa pemain profesional menawarkan tenaga buruh mereka ke pabrik pertunjukan untuk ditukar dengan gaji. Harga tergantung penampilan. Dan semakin mereka memperoleh harga tinggi semakin mereka diharapkan untuk berproduksi lebih. Dilatih untuk menang atau menang, diperas keringatnya sampai kering, mereka diperlakukan lebih buruk dibanding kuda pacuan. Kuda pacuan? Paul Cascoigne suka membandingkan dirinya dengan ayam pedaging: gerak dikekang, diatur ketat, tindak-tanduk disetel agar melakukan hal yang berulang-ulang.

Para bintang bisa memperoleh gaji tertinggi sementara kemegahan mereka dengan cepat menguap. Klub memang menggaji mereka jauh lebih tinggi dibanding 20 atau 30 tahun lalu, dan kini mereka bisa menjual nama atau wajah mereka untuk iklan. Namun kejayaan para pesepakbola idola tak setimpal dengan dongeng-dongeng yang dibayangkan orang-orang. Majalah Forbes menerbitkan daftar 40 atlet dengan bayaran tertinggi di dunia pada 1994. Di antara mereka, hanya ada satu pemain sepakbola, Roberto Baggio dari Italia, dan ia ada di urutan yang nyaris buncit.

Lalu bagaimana dengan ribuan di antara ribuan pemain yang bukan bintang? Pemain yang tidak masuk dalam jajaran kerajaan ketenaran, yang terjebak mutar-muter di situ-situ saja? Dari setiap sepuluh pemain sepakbola profesional di Argentina, hanya tiga di antaranya yang bisa hidup layak. Gaji mereka tidak tinggi, terutama mengingat pendeknya karir sepakbola mereka: peradaban industrial yang kanibalistik memakan mereka mentah-mentah.

*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 


No comments:

Post a Comment