Thursday, December 8, 2022

Kepalsuan-Kepalsuan Piala Dunia

Oleh Darmanto Simaepa


Kota-Kota Palsu

Lusail adalah kota palsu, tempat stadion plastik didirikan dalam semalam. Champs-Élysées, Place Vendome, Bukit Hollywood, bahkan Venesia tiruan di bangun untuk mengubah neraka dunia menjadi sepetak surga.

Pendingin udara raksasa diimpor untuk membuat gedung-gedung megah di tengah gurun layak huni. Pohon-pohon imitasi ditanam di setiap sudut untuk memberi naungan bagi para pejalan kaki.

Waduk-waduk kecil dirancang untuk memberi rasa sejuk dan memperdengarkan suara gemericik air di tengah padang pasir. Taman-taman dan akuarium buatan dibangun memberi kesan bahwa negara tanpa keragaman hayati toh peduli alam liar.

Landskap Doha penuh dengan menara-menara kaca satu warna mencakar langit yang tak pernah gelap. Di sekelilingnya jalur-jalur aspal segar bersanding dengan juluran pipa-pipa gas, berlomba-lomba membelah gurun dan melintasi cakrawala.


Turnamen Palsu

Sepp Blatter sudah mengaku: Piala Dunia di Qatar adalah sebuah kesalahan besar. Qatar dipilih, pertama-tama bukan karena pertimbangan sepakbola. Sarkozy dan teman-teman elitnya punya kepentingan. Platini ingin tetap jadi Presiden UEFA. Kepala-kepala federasi sepakbola dari Selatan butuh dukungan finansial. Dan Sepp Blater baru saja mengirim Bin Hamam, yang orang Qatar itu, ke penjara.

Qatar sedang lagi banyak uang. Mereka bisa mempertemukan kepentingan-kepentingan itu dan mencari jalan keluar menyenangkan.

Maka kita mendapatkan turnamen palsu. Orang-orang yang memeras keringat dan membantung tulang untuk menyiapkan pesta tak bisa masuk gelanggang perayaan. Mereka bahkan hanya menikmati tulang sementara daging dan jeroannya milik orang dari jauh yang punya uang untuk bisa membelinya.

Kita juga mendapatkan pesta besar dunia yang dibayang-bayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Para pemabuk cemas tak bisa menjangkau harga minuman. Para penyuka sesama takut di penjara kalau ketahuan sedang bersenang-senang.

Tapi kepalsuan di turnamen ini tidaklah buruk semua. Kita senang melihat suporter laki-laki Maroko yang tertutup rapat oleh thobe dan shimag bersanding dengan pendukung Kroasia setengah telanjang yang kepanasan.

Kita menyaksikan orang-orang Arab bisa rukun, untuk sementara. Orang-orang Arab yang  biasanya berseteru dan saling meludahi itu tampak mesra mendukung ketika Maroko, Tunisia dan bahkan Iran.

Kita juga melihat, pada akhirnya, di Qatar, sepakbola memberi Lionel Messi penghormatan yang layak. Ia mungkin tidak juara, tapi setiap orang di stadion dan di depan layar tahu bahwa setiap pertandingan yang dimainkannya bisa jadi adalah perjamuan terakhir salah satu nabi sepakbola.  


Sepakbola Palsu

Tidak ada tempat yang lebih baik untuk memulai pembahasan mengenai hal-hal palsu selain tim Spanyol. Pertama-tama, Luis Enrique tidak hanya menempatkan Gavi sebagai striker palsu. Lebih jauh, ia bahkan punya bek tengah palsu. Andai saja, dia masih punya Xabi Alonso, ia mungkin punya kiper palsu.

Hasilnya juga palsu. Euforia kemenangan 6-2 atas Kostarika menyemaikan harapan palsu. Pemain-pemainya bicara tentang final dan kemungkinan bertemu secara dini dengan Brasil. Apa lacur, bunga yang buruk akan layu bahkan sebelum musim gugur.

Dan lihatlah akibatnya jika tim-tim lain mengikuti kepalsuan Spanyol dan angka-angka statistik yang menipu.

Jerman menguasai angka penguasaan bola sangat tinggi, tetapi mencetak gol terlalu sedikit. Nuer masih salah satu libero terbaik. Joshua Kimmich tak pernah salah umpan. Namun di manakah Gerard Mueller, Rummeneige dan Jurgen Klinsman? Angka-angka mengelabui impotensi sepakbola yang mereka mainkan. Bahkan kini mereka tak lagi memproduksi tukang sundul macam Miroslav Klose atau Oliver Bierhoff.

Kepulangan dini beruntun memaksa publik jerman mempertanyakan (lagi) arah masa depan sepakbola mereka. Mereka menyadari betapa beresikonya menjadi orang lain dan akibatnya jika memaksa setiap pemain seperti Musiala, dan mengharapkan Musiala menjadi imitasi Iniesta.

Jepang, yang dianggap pembunuh raksasa, pada dasarnya sama. Mereka menempatkan Maeda sebagai penyerang palsu. Dia memang punya kaki yang cepat dan lincah bergerak di sela-sela pemain belakang lawan. Tetapi bahkan melawan tim tua Kroasia, dia tidak banyak punya peluang.

Kejutan melawan tim yang dianggap kekuatan besar sepakbola juga pada dasarnya harapan palsu. Kemenangan di babak awal penyisihan grup tidak menjadikan satu negara jadi juara Dunia. Sebaliknya Piala Dunia dimenangkan oleh tim-tim yang mengalami kesulitan di awal-awal, maju selangkah dengan segenap kesadaran, dan secara mental berkembang menuju final.

Jika tim-tim yang suka palsu-palsu cepat pulang, tidak ada jaminan tim-tim sepakbola yang  memainkan pemain betulan di posisi sejati juga bertahan. Apalagi jika pemain itu adalah…… Romelu Lukaku.

Tim tidak perlu punya striker haus gol untuk jadi juara. Prancis sudah membuktikannya dua kali. Penyerang memenangkan pertandingan, namun pertahanan memenangkan kejuaraan, begitu kebenaran sejati sepakbola mengajarkan. Maroko, Kroasia, lalu Inggris dan Belanda bukan hanya tidak pernah kalah tetapi juga berada di antara tim yang paling sedikit kebobolan.

Terutama di turnamen padat yang penuh emosi dan bayang-bayang adu penalti yang menegangkan, hasil-hasil pertandingan tidak banyak ditentukan strategi canggih dan jadi-jadian. Determinasi, kekuatan mental, dan ketabahan menghadapi penderitaan jauh lebih menentukan di babak knock-out dari pada formasi dan penguasaan.

Anda boleh berargumen Spanyol memenangkan Piala Eropa dan Dunia berturutan dekade yang lalu dengan yang palsu-palsu. Namun jangan lupa, mereka punya, dan, selalu memainkan Fernando Torres atau David Villa di semua pertandingan di turnamen itu. Dan tentu saja Anda tidak akan bilang Sergio Ramos, Carles Puyol atau Gerard Pique sebagai Rodrigo gadungan.


Dunia Yang Palsu

Tentu saja Qatar punya selera humor yang buruk. Negara ini tak punya air tawar dan pepohonan, namun gencar berkampanye tentang membangun kota berkelanjutan dengan mendinginkan jalan-jalan dengan AC raksasa. Ini juga negara yang menggunakan energi listrik paling besar untuk menerangi kota-kotanya yang mendapat cahaya matahari paling banyak di dunia.

Mau humor yang lebih buruk lagi: ini adalah negara dengan Yayasan paling besar di dunia. Yayasan itu menganjurkan hak asasi, kesetaraan pendidikan, dan kesetaraan. Namun para Pendiri, Pembina dan Pengurus Yayasan itu bajunya dicucikan, makanan dan minumannya dibuatkan, dan anak-anaknya di asuh oleh pembantu di rumah yang jumlahnya lebih banyak dari pengurus Posyandu.

Dan bicara tentang tentang pelayanan, ada jutaaan orang yang bekerja siang-malam dengan upah rendah untuk menyulap padang gurun menjadi kuil bersepuh emas. Di antara stadion yang megah dan berkilau itu, jutaaan liter keringat menguap ke udara, dan jutaan tangan-tangan menahan derita. Seperti halnya pembangunan piramida mesir, darah dan bangkai manusia tanpa nama dan pusara terkubur di fondasi stadion-stadion raksasa.

Namun, sepalsu-palsunya Qatar tidaklah sepalsu pengkritiknya. Pertama-tama, butuh keajaiban dan sejarah untuk mengubah teluk kecil di antara gurun tandus dan laut tempat bajak laut Sudan buang berak untuk menjadi kota perdagangan penting abad-21.

Secara historis, Qatar adalah tempat bajak laut dan kemudian, perdagangan mutiara. Sebelum menjadi negara mandiri, suku-suku Arab pengembara dari Bahrain, Oman, hingga Saudi saling berebut pengaruh dan kuasa. Seperti sejarah di tempat lain, jika orang Arab berkelahi, orang Inggris-lah yang akan menjadi pemenangnya.

Qatar modern, dengan minyak, teknologi, restoran, museum, koleksi seni, dan belakangan sepakbola adalah, sedikit banyaknya, hasil campur tangan pemerintah Inggris dan antek-anteknya. Interaksi dengan dunia barat membentuk imajinasi modernitas modern Qatar.

Champs-Élysées atau Rimini palsu; kebun raya buatan, seni instalasi jadi-jadian, wacana keberlanjutan yang dibikin, atau sloga Doha sebagai kota ramah lingkungan tidak meyakinkan, yang di ejek-ejek penulis Inggris itu adalah imitasi dari capaian dan ide-ide yang datang dari Paris atau London.

Sindrom pasca-kolonial Qatar itu diterima dengan baik dan orang-orang di Eropa. Bankir, pedagang properti, investor, pekerja tambang pindah ke Qatar, hidup dengan nyaman di rumah-rumah berpendingin.

Barcelona suka uang dari Qatar. Paris Saint Germain hidup dari uang Qatar. Tiap klub punya jadwal ritiro musim dingin di Doha.

 Tapi itu tidak pernah cukup.....Bagi orang-orang kulit putih di Eropa, punya tiruan Menara Eifel yang harganya lebih mahal dari harga menara asli tidak membuat orang Qatar setara.

Mereka harus membuat jarak dan garis batas. Seperti mental para pendahulunya, mereka menginginkan dan menikmati uang minyak, tapi tidak menginginkan kotoran yang dihasilkannya. Lebih dari itu, mereka bahkan harus mengkuliahi Qatar dengan isu hak asasi manusia.  Mereka tidak hanya menjual ide tentang modernisasi dan globalisasi sepakbola, tapi memaksa orang bagaimana seharusnya modernisasi itu dilakukan.

Itu mengingatkan kita pada anekdot ini: dulu, orang-orang barat itu datang ke Hawai (atau bisa juga Jawa), bertemu dengan orang-orang setengah telanjang. Ketelanjangan itu mereka anggap sebagai tanda keterbelakangan dan pikiran purba. Lalu sekarang ketika orang-orang yang dulu itu bertelanjang sekarang memakai pakaian yang rapat, mereka datang lagi dan bilang, pakaian rapat itu sebagai tanda anti-kemodernan dan anti kebebasan. Yang modern dan maju, itu adalah, berpakaian terbuka di tempat umum....

Kuliah tentang hak asasi manusia itu menunjukkan betapa palsunya dunia jika hanya ada satu pihak yang punya satu satu kuasa, satu ide dan satu cara untuk menjalankan dunia. Sama halnya dengan betapa palsunya orang-orang yang menginginkan sepakbola menarik dengan satu bahasa yang sama, yakni bagaimana menguasai dan mendominasi bola.  

17 comments: