Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan
Satu masa
rusak-rusakan. Serangan teroris merata-tanahkan Menara Kembar New York.
Presiden Bush menghujani Afganistan dengan rudal dan memberantas Taliban,
kelompok yang disusui oleh bapaknya dan Reagan. Perang melawan terorisme
memberikan restu pada teror militer. Tank-tank Israel meluluh-lantakkan Gaza
dan Tepi Barat, sehingga rakyat Palestina bisa terus menebus dosa Holocaust
yang tidak mereka lakukan.
Spiderman nangkring di puncak box-office. Sumber informasi
terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal
waktu saja. Yang tersungkur justru Argentina, negara model itu, dan mata
uangnya, pemerintahannya, juga semua hal yang berkait dengannya. Di Venezuela, sebuah kudeta menggulingkan Presiden Chavez. Khalayak menaikkan kembali yang
termakzulkan, namun televisi Venezuela, sang kampiun kebebasan informasi, gagal
menyiarkan fakta tak menyenangkan ini.
Remuk karena aksi
tipu-tipunya sendiri adalah perusahaan raksasa Enron, penyumbang paling pemurah
bagi kampanye Bush dan sebagian besar senator Amerika Serikat. Dan seperti
domino, saham para gergasi yang disembah-sembah ini segera bertumbangan setelahnya: WorldCom,
Xerox, Vivendi, Merck—semua karena kesalahan kecil akuntasi beberapa miliar
dolar. Rekanan-rekanan FIFA yang terbesar, ISL dan Kirch, juga musti
mengetatkan ikat pinggang. Namun berbagai kebangkrutan memalukan itu gagal
mencegah Joseph Blatter dinobatkan, dengan sebuah tanah longsor, di atas tahta
sepakbola dunia. Carilah orang yang lebih buruk, maka kamu akan tampak baik:
Blatter yang tak tergoyahkan itu membuat Havelange terlihat seperti ibu-ibu
pengajian.
Bertie Felstead
tersungkur juga, mangkat. Felstead, orang tertua di Inggris, adalah
satu-satunya orang yang masih hidup dari pertandingan sepakbola luar biasa
antara tentara Inggris dan tentara Jerman di Hari Natal, di tanah tak bertuan.
Di bawah pengaruh jampi-jampi sebutir bola yang datang entah dari mana, medan
perang untuk sementara berubah jadi lapangan pertandingan, sampai teriakan para
komandan mengingatkan para tentara itu bahwa mereka diwajibkan saling membenci.
@@@
Tigapuluh dua tim
bertandang ke Jepang dan Korea untuk melangsungkan Piala Dunia ketujuhbelas di
stadion baru yang gemerlap di duapuluh kota. Piala Dunia pertama di milenium
baru adalah Piala Dunia pertama yang dimainkan di Asia. Anak-anak Pakistan
menjahit bola canggih untuk Adidas yang mulai bergulir di malam pembukaan di
stadion di Seoul: sebuah aula dari karet, dibebat dengan kain rajut yang
berlapis busa, di dalamnya kulit polimer putih dihiasi simbol api. Sebuah bola menarik
keberuntungan dari rumput.
Di sana ada dua
piala dunia sepakbola. Yang satu diikuti oleh para atlet dengan darah dan
daging. Yang lain, yang diselenggarakan bersamaan, menampilkan para robot. Para
pemain mesin, yang diprogram oleh para insinyur perangkat lunak, mengikuti
RoboCup 2002 di Fukuoka, pelabuhan Jepang di seberang lepas pantai Korea. Apa
yang para saudagar, teknokrat, birokrat, dan para ideologi industri sepakbola
impikan? Satu impian mereka yang terus berulang, sampai lebih seperti kenyataan,
adalah membuat para pemain menirukan robot.
Tanda duka dari
sebuah titimangsa: abad keduapuluh satu mengkuduskan keseragaman atas nama
ketepatgunaan dan mengorbankan kebebasan di depan altar kesuksesan. “Kamu
menang bukan karena kamu bagus, tapi kamu bagus karena kamu menang,” tulis
Cornelius Castoriadis beberapa tahun lalu. Dia tidak merujuk pada sepakbola,
namun bisa jadi begitu. Membuang waktu adalah terlarang, demikian juga dengan kekalahan.
Dikebiri jadi sejenis pekerjaan, ditundukkan oleh hukum rugi-laba, sepakbola tidak
akan dimainkan lebih lama lagi. Seperti semua hal, sepakbola profesional
terlihat dijalankan oleh Yang Maha Kuasa—bahkan jika itu tak benar-benar
ada—SMK (Serikat Musuh Keindahan).
Kepatuhan,
kecepatan, kekuatan, dan tak satu pun segala keindahan itu bisa kembali: inilah
jamur yang tumbuh pada globalisasi yang mengguyur permainan tersebut. Sepakbola
jadi produksi massal, dan ia jadi lebih dingin dari peti es dan tak punya
perasaan seperti gilingan daging. Itulah sepakbola untuk para robot. Barang
membosankan itu konon berarti kemajuan, namun sejarawan Arnold Toynbee telah
cukup melihat hal tersebut saat ia menulis, “Peradaban yang runtuh selalu saja
ditandai oleh tendensi menuju standarisasi dan penyeragaman.”
@@@
Kembali ke Piala
Dunia darah dan daging. Pada pertandingan pembukaan, lebih dari seperempat
manusia menyaksikan kejutan pertama di televisi. Prancis, juara pada
penyelenggaraan sebelumnya, dihajar Senegal, salah satu negara bekas jajahannya
dan tampil untuk pertama kalinya di Piala Dunia. Bertentangan dengan semua ramalan, Prancis
tersingkir di putaran pertama tanpa menceploskan satu gol pun. Argentina,
favorit besar lainnya, juga terjungkal di bursa awal. Dan kemudian Italia dan
Spanyol yang dikirim pulang setelah babak belur di tangan wasit. Semua tim
perkasa itu tewas di hadapan dua saudara kembar: pentingnya kemenangan dan
ngerinya kekalahan. Bintang-bintang terbesar sepakbola dunia datang ke Piala
Dunia dengan kewalahan menanggung beban berat ketenaran dan tanggungjawab, dan
kepayahan akibat kerja habis-habisan yang dituntut oleh klub-klub tempat mereka
bermain.
Dengan tanpa
memiliki sejarah Piala Dunia, tanpa bintang, tanpa jaminan untuk menang atau
rasa was-was kalah, Senegal bermain dengan keikhlasan dan jadi ilham bagi
segenap kejuaraan. Cina, Ekuador, dan Slovenia juga bermain dengan semangat
menyala, namun tersingkir di putaran pertama. Senegal sampai ke perempat final
tanpa terkalahkan, namun mereka tak bisa melaju. Meski demikian, gerak-tari
mereka yang abadi membawa pulang kebenaran sederhana yang cenderung bertolak
belakang dengan para ilmuwan sepakbola: sepakbola adalah permainan, dan siapa
yang benar-benar memainkannya akan merasa bahagia dan membuat kita juga
bahagia. Gol yang paling saya suka di sepanjang turnamen adalah gol yang
diciptakan Senegal, melalui umpan tumit Thiaw, lalu dituntaskan tembakan jitu Camara. Pemain Senegal lainnya, Diouf, selalu
menggiring bola rata-rata delapan kali tiap pertandingan, di sebuah kejuaraan
yang mana memanjakan mata tampaknya dilarang.
Kejutan lain
adalah Turki. Tak seorang pun mempercainya. Mereka absen dari Piala Dunia
selama setengah abad. Di pertandingan pertamanya, melawan Brazil, kubu Turki secara
semena-mena dicurangi wasit. Semangat dan kualitas permainan mereka membuat
para pengamat yang meremehkan mereka bungkam.
Selebihnya
hampir-hampir adalah sebentuk rasa jemu yang berkepanjangan. Untungnya, di
pertandingan final Brazil mengingat bahwa mereka adalah Brazil. Tim yang
akhirnya berangkat dan bermain layaknya Brazil, keluar dari kerangkeng
kesemenjanaan yang oleh pelatih mereka, Scolari, dipakai untuk mengurung
mereka. Lalu, empat serangkai R mereka, yakni Rivaldo, Ronaldo, Ronaldinho
Gaucho, dan Roberto Carlos, moncer. Dan Brazil, pada akhirnya, kembali
berpesta.
@@@
Dan mereka adalah
kampiun. Persis sebelum final, seratus tujuhpuluh juta rakyat Brazil tertusuk
lencana para serdadu Jerman, dan Jerman menyerah 2-0. Itu adalah kemenangan
ketujuh dalam tujuh pertandingan. Kedua negara telah menjadi finalis
berkali-kali, namun tak sekali pun mereka sebelumnya saling berhadapan di Piala
Dunia. Turki merebut tempat ketiga, sementara Korea Selatan keempat. Jika
diterjemahkan dalam bahasa marketing, Nike merebut tempat pertama dan keempat,
sementara Adidas berada di tempat kedua dan ketiga.
Ronaldo dari
Brazil, yang pulih dari cedera panjang, memimpin daftar pencetak gol terbanyak,
diikuti oleh kompatriotnya Rivaldo dengan lima gol, kemudian Tomason dari
Denmark dan Vieri dari Italia dengan empat gol. Sukur dari Turki mencetak gol
tercepat di sejarah Piala Dunia, sebelas menit setelah pertandingan dimulai.
Untuk pertama
kalinya, seorang penjaga gawang, Oliver Khan dari Jerman, terpilih sebagai
pemain terbaik di turnamen. Karena kengerian yang diruapkannya, para pemain
lawan berpikir bahwa ia adalah anak dari Khan yang lain, Jengis. Tapi tentu
saja bukan.
*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
Persis sebelum final, seratus tujuhpuluh juta rakyat Brazil tertusuk lencana para serdadu Jerman.
ReplyDeletehttps://www.bolavita.info/live-score-indonesia-vs-thailand/