Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan
Catatan:
Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadow pada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan -- mahfud ikhwan --
Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadow pada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan -- mahfud ikhwan --
Di panggung yang mulia,
sebuah serangan menggila.
Di sebuah kuil
yang dipersembahkan bagi pemujaan atas sepakbola dan penghormatan atas aturan,
di mana Coca-Cola menghidangkan kebahagiaan, MasterCard menjamin kemakmuran,
dan Hyundai menawarkan kecepatan, menit-menit terakhir dari pertandingan
terakhir di Piala Dunia dimainkan.
Itu juga
pertandingan terakhir dari yang terbaik, yang paling dipuja, pemain paling
dicintai, yang saat ini berencana mengucapkan selamat tinggal kepada sepakbola.
Mata seluruh dunia tertuju kepadanya. Dan tiba-tiba, sang raja pesta malihrupa
menjadi banteng terluka dan menghantam seorang lawan, menjatuhkannya dengan tandukan tepat ke dada, dan kemudian melangkah pergi.
Ia dikeluarkan
oleh wasit dan dilempar ke cemoohan penonton yang seharusnya memberinya tepuk
tangan, pergi tidak lewat gerbang utama tapi lorong menuju kamar ganti.
Saat pergi, ia
melewati piala emas yang akan dianugerahkan kepada tim juara. Ia bahkan tak
meliriknya.
Saat Piala Dunia
kali ini dimulai, para pengamat bilang bahwa Zinedine Zidane sudah menua.
Mariano Pernia, si Argentina yang bermain untuk tim Spanyol, bilang: “Angin itu
telah renta, dan ia tetap bertiup.”
Dan Prancis
mengalahkan Spanyol, dan di pertandingan ini dan di pertandingan-pertandingan
berikutnya, Zidane adalah yang paling muda dari semua.
Bagaimana pun, di
pengujung Piala Dunia, setelah yang terjadi telah terjadi, sangat mudah memaki
si penjahat dalam sebuah film silat. Namun hal itu, dan terus akan begitu,
sulit untuk dimengerti. Apa itu benar? Jangan-jangan itu cuma mimpi buruk saja?
Bisa-bisanya dia meninggalkan para pemujanya saat mereka begitu membutuhkannya?
Horacio Elizondo,
sang wasit, sudah benar mengacunginya kartu merah. Tapi kenapa Zidane melakukan
apa yang telah dilakukannya?
Tampaknya pemain bertahan Italia Marco Materazzi melontarkan beberapa makian
rasis yang biasanya dipekikkan oleh orang-orang gila dari tribun.
Zidane, seorang
muslim, anak dari imigran Aljazair, tahu bagaimana mempertahankan dirinya sejak
kanak-kanak, saat ia mendapat serangan serupa di wilayah kumuh Marseille. Ia
kenal mereka dengan baik namun mereka mengganggunya seperti yang sudah-sudah.
Dan musuh-musuhnya tahu bahwa provokasi itu manjur. Lebih dari sekali ia hilang
kendali karena perilaku buruk yang serupa, dan Materazzi tidak dikenal—kalau
boleh dikata—karena tindakannya yang budiman.
Piala Dunia kali
ini ditandai dengan slogan-slogan melawan wabah rasisme, yang dianjurkan oleh
tim-tim yang berlaga pada saat dimulainya pertandingan. Dan Zidane adalah salah
satu dari pemain yang membuat hal itu jadi mungkin.
Rasisme adalah isu
panas. Pada malam sebelum Piala Dunia dimulai, politisi ekstrem kanan Prancis
Jean-Marie Le Pen berkoar bahwa timnas Prancis tidak lagi dikenali oleh
para pemainnya sendiri, sebab mereka semua hampir seluruhnya hitam dan sebab
kapten mereka, orang Arab itu, tidak menyanyikan lagu kebangsaan. Wakil
presiden dari Senat Italia, Roberto Calderoli, menggemakan pernyataan Le Pen,
dan menyatakan bahwa timnas Prancis terdiri atas orang-orang Negro, Islam
fanatik, dan Komunis, yang lebih menyukai mars Internationale dibanding Marseillaise
dan lebih senang Mekah daripada Belen. Sebelumnya, pelatih timnas Spanyol, Luis
Aragones, menyebut pemain Prancis Thierry Henry sebagai “kotoran hitam,” dan
Presiden Asosiasi Sepakbola Amerika Selatan yang tak ganti-ganti, Nicolas Leoz,
bilang dalam buku otobiografinya bahwa ia lahir di sebuah kota kecil yang
dihuni oleh tigapuluh orang dan 100 Indian.
Tapi bisakah seseorang
mereduksinya menjadi satu hinaan, atau satu rangkaian hinaan, tragedi tentang
pemain yang memilih untuk kalah ini, bintang yang mencampakkan kejayaan saat kejayaan
itu bergelut melawan dirinya?
Mungkin, siapa
tahu, boleh jadi amuk kemarahan itu, tanpa Zidane kehendaki atau bahkan ia sadari,
merupakan sebuah lolongan ketakberdayaan.
Boleh jadi itu
adalah lolongan ketakberdayaan melawan hinaan demi hinaan, tonjokan, cipratan
ludah, sepakan diam-diam, simulasi yang lihai atas pelanggaran dan kesakitan,
ketakberdayaan melawan drama para bintang panggung sandiwara orang-orang yang menonjokmu dan
kemudian pura-pura sekaan-akan mereka tidak pernah berada di sana.
Atau boleh jadi
itu adalah lolongan ketakberdayaan melawan kesuksesan yang menghancurkan dari
sepakbola kotor, melawan ketidakjujuran, kepengecutan, dan ketamakan dari
sepakbola yang mengglobal, musuh dari kebinekaan, yang dipaksakan untuk kita.
Pada akhirnya, sebagaimana Piala Dunia telah dilangsungkan, menjadi jelas dan
lebih jelas lagi bahwa Zidane bukanlah bagian dari sepakbola dengan pendekatan
macam itu. Dan sihirnya, kejadukannya, keanggunannya yang mengharu-biru, pantas
untuk dikalahkan, sebab dunia hari ini, dengan produksi massal sebagai model
kesuksesan, hanya layak untuk Piala Dunia yang semenjana.
Namun bisa juga dibilang bahwa Italia layak untuk memenangkan Piala Dunia, sebab
seluruh tim di Piala Dunia, beberapa lebih menonjol dari lainnya, memainkan
gaya Italia, dengan gaya permainan yang sama, empat pemain bertahan dalam
formasi gerendel, yang mencetak gol lewat serangan balik.
Italia melakukan
apa yang harus dilakukan. Alhasil, cara bertahan ala catenaccio menciptakan kebosanan namun juga empat tropi dunia. Di
Piala Dunia kali ini, cuma dua gol yang berhasil diceploskan ke gawang Italia.
Satu dari titik penalti, yang lain hasil bunuh diri. Dan para pemain terbaik
mereka berada di garis belakang, bukan di depan. Buffon, sang kiper, dan
Cannavaro, bek tengah.
Delapan pemain
Juventus tampil di final di Berlin: lima bermain untuk Italia, tiga untuk
Prancis. Itu adalah kebetulan yang aneh mengingat Juventus adalah tim yang
paling terlibat dalam skandal mengaturan hasil pertandingan yang merebak persis
sebelum Piala Dunia. Dari Tangan Bersih ke Kaki Bersih: pengadilan Italia
memutuskan untuk mendepak ke tingkatan lebih bawah di Serie B dan Serie C
tim-tim paling kuat di negeri itu, termasuk di dalamnya Lazio, Fiorentina, dan
Milan—yang dimiliki si budiman Silvio Berlusconi, yang berlaku curang dengan
berbekal kekebelan hukum baik di sepakbola maupun di politik.
Kehakiman
membuktikan serangkaian kongkalikong yang meliputi menyuapan wasit dan
wartawan, pemalsuan kontrak dan akrobat neraca bank, hingga memanipulasi
program-program televisi.
Seorang menteri
pemerintah mengapungkan ide tentang pengampunan jika Italia memenangi
kejuaraan. Dan Italia juara. Akankah ada tangan-tangan di balik meja, lagi,
seperti biasa? Zidane dilempar keluar membuatnya lebih gampang.
Seseorang, entah
siapa, merangkum Piala Dunia 2006 sebagai berikut: Para pemain bertingkah laku
dalam gaya penuh keteladanan. Mereka tidak minum, tidak merokok, dan tidak bermain.
Begitulah,
barangsiapa yang dari waktu ke waktu menciptakan gol tidak bermain sepakbola
indah, sementara yang bermain sepakbola indah tidak mencetak gol. Tim-tim
Afrika tersingkir dini, dan tak lama kemudian tim-tim Amerika Latin terdepak
juga.
Piala Dunia
malihrupa jadi Piala Eropa.
Hasil akhir jadi
milik apa yang sekarang disebut pendirian praktis: tembok tinggi pertahanan
dan menyisakan ujung tombak sendirian di depan, lalu memohon Tuhan untuk
memberikan pertolongan. Seperti yang biasa terjadi dalam sepakbola dan hidup,
dia yang bermain baik kalah, sementara yang bermain untuk tidak kalah justru
menang.
Pengujung adu
penalti cuma menambah ketidakadilan. Hingga 1968, pertandingan yang alot akan
ditentukan dengan undian koin. Dalam satu hal, ini tetap terjadi. Mencolok sekali, adu penalti
terlihat cuma soal untung-untungan saja.
Argentina lebih
baik dari Jerman, dan Prancis lebih baik dibanding Italia, namun beberapa
detik jauh lebih berarti dibanding dua
jam pertandingan. Dan Argentina harus pulang, sementara Prancis hilang gelar.
Cuma ada sedikit
imajinasi dalam pertunjukan itu. Para seniman meninggalkan permainan kepada
pemain angkat besi dan pelari Olimpiade, yang lewat sekadar untuk menendang
bola atau menendang lawan.
Piala Dunia
begitu membosankannya sehingga sang pemilik perhelatan tak memiliki pilihan kecuali
memikirkan cara-cara untuk menyuntikkan antusiasme pada pertunjukan yang suram
itu.
Salah satu ide
yang diusulkan FIFA adalah memberi hukuman bagi hasil 0-0. Ide lain adalah
meluaskan ukuran gawang untuk meningkatkan jumlah gol. Dan, ujung-ujungnya, seperti lelucon di sekolah: “Jika kamu tidak suka sup, bawalah dua mangkuk,” adalah ide
menghelat Piala Dunia dua tahun sekali.
Namun sepakbola
profesional, yang menjadi cerminan dunia, dimainkan untuk menang, dan bukannya
untuk dinikmati. Dan kalkulasi biaya menciptakan olok-olok tentang
khayalan tak berguna lingkaran birokrat yang mengatur sepakbola dunia.
Untungnya, tidak
semua sepakbola adalah profesional. Yang Anda butuhkan adalah keluar ke jalan
atau pergi ke pantai untuk melihat bahwa bola masih menggelinding dengan
gembira.
Dalam sepakbola
profesional, dalam keramahan televisi, hanya ada sedikit kebahagiaan yang bisa
disaksikan. Kita rasa-rasanya dikutuk noltalgia di masa lalu saat sepakbola
memiliki lima penyerang, dan menuju pada pengakuan menyedihkan bahwa sekarang
cuma tinggal satu. Dan berdasar rerata yang tengah terjadi, satu penyerang itu
bahkan tak akan bersisa lagi: suatu masa, hanya akan ada satu pemain bertahan.
Zoolog Roberto
Fontanarrosa telah membuktikannya: pemain depan dan panda adalah makhluk-makhluk yang terancam punah.
*diterjemahkan
dari “The World Cup of Zidane”, yang dimuat pada situs The Progressive, July 13, 2006.
HANYA di Judi Poker Online P'O'K'E'R V`1`T`A KEMENANGAN ANDA 100% AKAN DIBAYARKAN ATAUPUN KEMBALIKAN DANA YANG ANDA MENANGKAN, BERAPAPUN NILAI NOMINAL TERSEBUT
ReplyDeleteBAHKAN HINGGA RATUSAN JUTA !!!
P'O'K'E'R V`1`T`A Menyediakan BONUS-BONUS Untuk ANDA Diantaranya :
-BONUS REFERRAL 15% (SEUMUR HIDUP/SETIAP SENIN )
-BONUS CASHBACK TUROVER ( SETIAP HARI )
-NO ROBOT,NO ADMIN
-Proses Deposit dan Withdraw Dengan Cepat
-Dilayani CS Yang Ramah Dan Profesional
-Menyediakan 5 bank lokal : BCA,BNI,BRI,MANDIRI, DAN DANAMON
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
Festival Poker 2019