Wednesday, June 13, 2012

Sayap Kanan Belanda

Oleh Darmanto Simaepa

Sembilan puluh hari sebelum pertandingan pertama tim Oranje di piala Eropa, kabinet pemerintahan Belanda yang dipimpin perdana menteri Mark Rutte dari partai Liberal (VVD) diumumkan jatuh di Den Haag. Partij voor de Vrijheid (PVV), partai sayap kanan pimpinan Geerts Wilders menolak paket penghematan anggaran. PVV, partai anti-imigran dan anti-Islam tersebut menggagalkan perundingan cara mengatasi defisit keuangan akibat krisis ekonomi yang melanda Eropa. Mark Rutte, yang marah dengan kompatriotnya, menuduh PVV tidak berkomitmen atas kesepakatan taktik dan strategi memulihkan Belanda dari masalah. Wakil Perdana Menteri Maxime Verhagen dari Partai Kristen Demokrat (CDA) menyebut, partai sayap kanan terlalu mementingkan dirinya sendiri sehingga menyebabkan kerawanan politik Belanda.

Sembilan puluh hari setelah kejatuhan koalisi kabinet dan Ratu Belanda mengumumkan pemilu, tim Oranje yang dipimpin oleh Mark van Bommel tersungkur pada pertandingan pertama melawan Denmark di Kharkiv. Semua pemain Belanda berusaha mencetak gol untuk dirinya sendiri dan tidak mencerminkan tim sepakbola sebagai sebuah unit kolektif. Arjen Robben, yang bermain di sayap kanan, bermain dengan canggung dan tidak tahu kapan membuat keputusan untuk mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dan mengumpan ke kawan-kawannya. van Marwijk, yang sangat marah, dilaporkan tidak berbicara dengan beberapa pemainnya, sementara, Huntelaar yang dicadangkan, ngambek dan meninggalkan ruang ganti sehingga semakin memperburuk suasana. Sementara Sneijder, yang cukup terpukul dengan kekalahan itu, menyatakan kepada media, ada sebagian pemain Belanda yang memiliki ego sangat besar sehingga menjadikan posisi Belanda rawan tersingkir dari piala Eropa.

*****

PVV mengejutkan politik Belanda tahun 2010 setelah berhasil mengumpulkan 31 kursi. Geert Wilders berhasil membawa partai itu memperoleh dukungan dua kali lipat dari pemilu 2005. Kemenangan partai sayap kanan yang sangat keras terhadap isu imigrasi dan menolak integrasi dengan Uni Eropa ini mengejutkan peta politik Belanda yang selama 4 dekade terakhir dikuasai dan sangat kuat diwarnai politik liberal. PVV bersikeras melanjutkan ekonomi pasar bebas namun dengan proteksi penuh bagi orang-orang ‘Belanda asli’. Mereka menolak pemotongan anggaran pensiun bagi warga negara Belanda, tetapi berusaha untuk mengusir para imigran di 'sektor informal' yang menggerakkan ekonomi selama beberapa dekade terakhir.

Menangnya PVV seakan memutar pendulum sejarah politik Belanda yang dikenal dengan tradisi liberalisme dan keterbukaan. Tradisi liberal yang memuncak pada dekade 1960an hingga 1980an ini dicirkan oleh sikap yang toleran, keterbukaan terhadap seks dan obat-obatan, dan perlindungan terhadap tahanan politik di pengasingan. Politik itu membawa Belanda sebagai negara pertama yang mendukung amnesti internasional, dan hingga sekarang, Den Haag menjadi tempat untuk mengadili penjahat perang dan kemanusiaan. Sebagai tambahan, bersama Jerman dan Prancis, Belanda adalah negara yang membuka pintu masuk aliran imigran dari Maroko, Suriname, Karibia, Turki, hingga Maluku, dan Papua.

Belanda memiliki identitas kultural dan politik istimewa di masa-masa 1970an, hasil dari semangat pemberontakan dan bebas dari aturan dekade sebelumnya. Masa-masa itu menandai era romantis yang diwarnai mekarnya liberalisme yang sangat kuat pasca gejolak anak muda Eropa. Dengan latar identitas tersebut, Belanda dikenal sebagai negara yang simpatik, ramah, dan toleran terhadap masalah negara lain dan warga negara lain—ingat ilustrasi ini, Belanda bahkan membantu rejim Orde Baru lewat IGGI, sementara di waktu yang sama, mereka menampung eksil yang dianiaya oleh rejim yang sama! Dengan skema politik tersebut, Belanda menjadi negara yang cukup makmur dengan pendapat perkapita tertinggi nomer 4 di dunia. Profesor saya di Leiden mengatakan, mereka cukup bangga karena generasi yang tumbuh sejak tahun 1970an hingga 2000an menikmati berkah dan kualitas identitas liberal mereka. ‘Menjadi orang Belanda’ kata teman kuliah saya yang campuran Indonesia-Tionghoa-Belanda, ‘Anda akan dianggap ramah dan toleran’.

Dalam sekejap, tradisi politik Belanda yang liberal tersebut di putar oleh partai Wilders. Kini Belanda bertindak lebih kasar terhadap pengungsi perbatasan, mengancam Yunani dan Spanyol yang terbelit hutang dan bersikap sangat tidak simpatik terhadap imigran non-Eropa Barat—terutama dari Afrika. Di bawah sokongan PVV dan partai Liberal, pemerintah mengeluarkan UU yang akan memenjarakan para perempuan yang mengenakan burqah dan jilbab di ruang publik. Mereka juga memotong anggaran pendidikan dan layanan sosial untuk pekerja yang tidak memiliki paspor Belanda. Lebih dari sekadar politik berwawasan sempitnya, kemenangan PVV mencerminkan sikap politik orang Belanda sesungguhnya—sikap yang selama ini berada di balik permukaan janji-janji manis multikulturalisme Eropa Barat. PVV mewakili apa yang menjadi kekhawatiran sebagian masyarakat ‘asli Belanda’ (dan ‘asli Eropa’) akan dampak multikulturalisme dan liberalisme dimasa krisis ekonomi. Ini sangat jelas terlihat dari fakta bahwa suara PVV terkonsentrasi di kalangan kelas menengah kulit putih yang cemas masa depannya dan keistimewannya terancam tergusur oleh liberalisasi.

*****

Tim Oranje mengejutkan dunia—bahkan juga orang Belanda sendiri—setelah mampu melaju ke final Piala Dunia lagi setelah 32 tahun berselang. Van Marwijk dianggap berhasil membangun sebuah tim kurang berbakat tetapi berhasil menembus babak yang jarang mereka bisa dapatkan. Titik balik perjuangan itu secara simbolik dilakukan ketika mengalahkan Brazil di perempat final meskipun sangat tidak meyakinkan di babak penyisihan. Van Marwijk membawa sebuah nilai dan dimensi baru bagi sepakbola Belanda, dan itu berhasil. Ia membawa kekompakan, kolektivitas, kerja keras, dan keinginan hati kuat dan jiwa besar ke dalam sebuah tim yang secara historis diwarnai oleh percekcokan, masalah bayaran, perdebatan artistik dan taktik, pemain-pemain yang keras kepala, dan masalah soliditas.

Kejutan Belanda di Afrika Selatan seperti memutar sejarah sepakbola Belanda. Belanda dikenal sebagai tim yang berlimpah talenta, dipenuhi ide-ide artistik, dan permutasi yang sangat cair dan liberalisasi posisi antara bek dan penyerang. Juga, negara ini tak pernah kekuarangan talenta, mulai dari Cruijff, Neeskens, Rensenbrink, Basten, Gullit, Koeman, Bergkamp, van der Vart, van Persie yang bisa memainkan segala jenis taktik dan strategi. Cara dan filosofi Belanda memainkan sepakbola membuat Rinus Michels dan Cruijff menemukan Total Football. Bahkan, karena kualitas artistik dan taktik yang mereka banggakan, orang Belanda sepertinya tak terlalu menyesali kekalahan demi kekalahan tragis yang diderita timnya sepanjang pertandingan besar.

Karena kualitas sepakbolanya yang bernilai tinggi itu, Belanda telah mengekspor ribuan pemain terbaiknya ke seluruh liga terbaik Eropa sama seperti halnya mereka mengkspor tulip, susu dan keju dan para etnolognya. Pemain sepakbola adalah duta terbaik dan paling terkenal dari negara kecil yang bermental dagang itu. Misalnya, identitas sepakbola mereka bertransformasi dan tumbuh subur di Catalunia dan mewarnai era emas Arsenal, bahkan sekarang kelihatannya bersemayam dalam tubuh tim lawan tradisionalnya, Jerman. Skema 4-3-3 yang ofensif menjadi panduan bagi tim-tim yang berorientasi menyerang (tetapi sayang sekali, menjadi kerdil dan mati bila ditanam di tanah Yunani dan Indonesia) dan disukai para artis-artis terbaik sepakbola. Tidak mengherankan jika, karena sepakbola, Cruijf, Basten atau van Persie jauh terkenal dari ratu atau perdana menteri....

Namun, suatu Belanda yang lain, Belanda konservatif dan defensif dengan pemain-pemain brutal dan bengis seperti van Bommel telah diciptakan ulang oleh suatu pendekatan pragmatis ala Marwijk. Di Afrika Selatan, tim tersebut bermain tidak bermain dengan cara Belanda. Mereka turun ke lapangan tidak lagi untuk bersenang-senang dengan bola dan mengubah posisi seperti buah catur tetapi berkonsentrasi untuk menggasak Iniesta dan Xavi dan sebisa mungkin melakukan serangan balik melalui Robben sebagai taktik memenangi pertandingan. Para pemuja sepakbola menyerang, akhirnya, menemukan Belanda dipenuhi dengan agresi dan pelanggaran, kartu kuning, serta ‘operasi jantung dengan pul sepatu’ ala de Jong.

Terlepas dari kritik-kritik generasi 70an terhadap pilihan strategi tim ini di Afrika, Belanda versi Marwijk disambut dengan suka cita saat turun dari Bandara dan diarak di kanal-kanal Amsterdam. Koleksi foto dari majalah Voetbal International terhadap sambutan ini sepertinya menggambarkan suasana hati orang Belanda terhadap tim itu. Setiap orang di Amsterdam melongokkan kepala kepala dari jendela ke arah arak-arakan pemain bersama bunga tulip dan krisan berwarna kuning jeruk. Bendera ukuran besar dipasang menutupi tembok batu bata dan kanal-kanal menjadi riuh seperti era keemasan merkantilisme VOC. Sambutan terhadap tim Afrika Selatan ini konon jauh lebih meriah dari kesuksesan piala Eropa 1988 dan runner-up 1974. Gambaran ini menunjukkan betapa terkesimanya orang Belanda sendiri terhadap timnya—meskipun tidak juara.

*****

Sebulan sebelum Belanda mencapai final ketiga piala dunianya di Johanessburg, PVV meraih hasil gemilang pemilu 2010. Dua peristiwa tersebut menggambarkan secara simbolik apa yang terjadi di negeri Belanda waktu itu. PVV memberi panduan baru bagi para pemilih di Belanda bahwa liberalisasi politik akan mengurangi keistimewaan yang telah mereka dapatkan dari status kewarganegaraan atas dasar rasnya karena disaat krisis, mereka harus membaginya dengan imigran. Sementara van Marwijk memberi petunjuk bagaimana menciptakan tim yang lebih dekat dengan trofi dan menjauhi liberalisme, romantisme dan melankoli. Sintetis atmosfer sepakbola dan politik tersebut dengan sangat tepat dijelaskan Auke Kok, salah satu penulis sepakbola Belanda—yang saya kutip dari FourFourTwo edisi Juni (hal. 46). ‘Seolah kami menyesali masa lalu’, kata Kok, ‘bahwa kami terlalu liberal secara politik dan di sepakbola, dan kami tak boleh mengulang kesalahan itu lagi’.

Koinsidensi politik dan sepakbola sepertinya masih akan menjadi drama hari-hari ini Belanda. Ketika Marwijk sangat mengandalkan sayap kanan sebagai senjata mematikan, tim ini seperti kehilangan akal ketika Roben tidak dalam suasana hati terbaiknya. Hal ini diperburuk ketika ketidakseimbangan koalisi antar lini sangat terlihat saat melawan Denmark. Dari barisan gelandang ke depan, tim Oranje memiliki dua atau lebih pemain terbaik dunia di setiap posisinya. Sebuah kemewahan dan juga dilema jika seorang pelatih harus mencadangkan top skorer liga Jerman atau gelandang paling produktif di Liga Inggris. Namun, di barisan belakang, empat bek sejajarnya seperti pensiunan tentara NICA yang harus dipaksa di front belakang untuk menjaga daerah konsesi hasil perundingan ahli-ahli diplomasi berteknik tinggi di front depan. Sementara para barisan depan minum anggur terbaik dan menghasilkan keputusan yang merugikan, barisan pertahanan yang rapuh dipaksa sekokoh dam-dam yang membendung air laut di Zeeland.

Sepertinya, hasil melawan Denmark menggambarkan dilema yang dihadapi Marwijk dalam menciptakan tim Belanda. Setengah hatinya, ia seperti ingin mengembalikan sepakbola Belanda ke dalam bentuk tradisionalnya, dengan mengandalkan fantasi, permutasi, dan imajinasi pemainnya. Ia terlihat memberi kebebasan para pemain bintangnya untuk menembak ke gawang lawan sesuka hati. Ritme permainan juga relatif terbuka dan bola banyak berada di tempurung kaki Robben dan Sneijder dari pada dioper cepat ke arah gelandang bertahannya. Di babak kualifikasi, gaya ini berhasil dan menjadikan mereka tim paling produktif. Dengan cara itu, selama dua tahun, van Marwijk memenangi laga lebih banyak dari pelatih Belanda lainnya. Namun disisi lain ia harus rela kehilangan soliditas permainan dan daya juang untuk menang dari para pemainnya.

Terlihat sekali, meskipun Belanda dihuni pemain berbakat dan berkelas, van Marwijk lebih mengandalkan sayap kanannya. Ketika Affelay di sebelah kiri kebingungan dengan posisinya, ia segera mengirim bola lambung ke arah Robben. Beberapa kali permutasi yang menyegarkan dimulai dari kerjasama satu dua antara Robben dengan van Persie. Namun, bagian selebihnya seperti sedang menjadikan Robben menuju takdir yang telah dipunyai Michael Ballack, bermain bagus dan bisa memenangi pertandingan sendirian, tapi selalu gagal memenangi kejuaraan besar.

Diatas segalanya, Belanda di piala Eropa ini, dibandingkan tim 2010, jauh lebih malas berlari dan bekerja untuk tim. Tidak diragukan lagi, Sneijder dalam kondisi fisik yang buruk walau sentuhannya sesekali masih menghadirkan keajaiban. Sementara de Jong, setelah tersinggung pasca dikambinghitamkan oleh Marwijk akibat permainan kerasnya, terlihat bermain tidak dengan sepenuh hati. Van der Wiel di sayap kanan, jelas lebih menikmati kehidupan malamnya setelah bermain di final dunia pertamanya dari pada naik-turun membantu serangan dan pertahanan. Laporan di media pasca pertandingan melawan Denmark memunculkan kisah lama: perdebatan status antar pemain, pilihan taktik dan egoisme para bintang, serta semangat tim yang hancur lebur. Kedisiplinan, kesatuan, dan kerja sama yang membuat orang Belanda terkesima dua tahun lalu menguap entah ke mana.

Saat bola dari van Bommel dan Sneijder lebih banyak diarahkan ke sayap kanan dimana Robben berada, saya sedang membayangkan bagaimana perundingan antara partai Liberal dan partai Kristen Demokrat menunggu komitmen dari Partai sayap kanan PVV. Saat Robben gagal mengambil keputusan yang tepat—mengumpan atau menembak ke gawang—untuk kemenangan timnya, saya membayangkan kekecewaan Frank Rutte dan Maxime Verhagen setelah gagal membuat kesepakatan dengan partai sayap kanan PVV untuk menyelamatkan kabinetnya. Saya berandai-andai, saat van Marwijk menyusun strategi dan taktik dengan pemainnya untuk mengandalkan sayap kanan, itu sama dengan kecemasan Frank Rutte ketika menyiapkan road map kabinet koalisinya nya yang rapuh, yang mengandalkan partai sayap kanan.

*****

Jadi, seperti yang Anda bisa terka dari kesimpulan tulisan ini, apakah sayap kanan menjadi masalah bagi Belanda? Sangat jelas. Nasib Belanda, sangat tergantung dari cara mereka mengatur taktik dan strategi untuk mengubah sayap kanannya menjadi tidak lagi determinan, baik di dalam lapangan sepakbola dan lapangan politiknya.

2 comments:

  1. ulasan yang bagus. tidak gampang menarik benang merah antara politik dan sepakbola..

    ReplyDelete
  2. cerita yang menarik mas,...
    yang jelas sepak bola belanda tidak berada pada permainan yang sebenarnya. bayangkan saja 2 striker belanda menjadi top score didua liga Van persie (liga inggris 31 goal) dan huntelar 29 goal (bundesliga). perlu diberi kesempatan kepada huntelar untuk masuk starting eleven....

    ReplyDelete