Wednesday, June 27, 2012

Sayang Sekali Jerman Ini, Jerman Lama! Bukan Jerman Dua Tahun Lalu

Oleh Darmanto Simaepa

Sejarah turnamen sepakbola (khususnya piala Eropa dan piala Dunia) memberi alasan bagi saya untuk membenci Jerman. Tidak peduli mereka pernah menghasilkan Beckenbauer, Gerd Mueller atau Sammer. Dengan tim yang komposisinya ditertawakan pelatihnya sendiri (Mexiko 1986) atau ketika pasar taruhan melupakannya (Swiss 2008, Spanyol 1982), dengan libero elegan (1970, 1974) atau gelandang yang hanya berlari sepanjang 14 kilometer untuk mengejar bola (Italia 1990, Inggris 1966), Jerman adalah tim yang paling sukses dalam turnamen.


Lebih buruknya, Jerman selalu mengalahkan tim-tim terbaik di dunia dan pemain-pemain paling kreatif sepanjang sejarah sepakbola. Mereka merontokkan Puskas, Koscic dari Magical Magyar di tahun 1954; Masopustnya Cekoslowakia di tahun 1972; Polandia dengan Lato dan Belanda bersama total football tahun 1974; Prancis dengan Platini dan kuartet gelandangnya di Spanyol 1982 dan Mexico 1986 dibuat pingsan; serta benar-benar membuat patah hati Maradona dan Gazza di Italia 1990; di Wembley 1996 Jerman menjadikan kereta ekspres Poborksy berhenti dan sekali lagi Gazza frustasi; dan terakhir membuat kombinasi pemain bertalenta tinggi dari Portugal kebingungan di piala Eropa 2008.

Kenapa Jerman selalu mencetak hasil bagus dalam turnamen? Dalam sebuah kalimat yang penuh tautologis, Ulrich Hesse menyebutnya: ’karena mereka Jerman’. Tidak cukup dengan itu, ia menambahkan kebencian saya terhadap Jerman dengan mengatakan sebuah penjelasan ala antropolog pendukung esensialis ’Jerman akan berprestasi di Afrika karena memang selalu begitu”.

Kehebatan Jerman sering dihubungkan dengan—sebuah konsep abstrak yang membingungkan—mentalitasnya. (Apakah tim Inggris atau Portugal berpikir akan kalah sebelum pertandingan???). Orang-orang Jerman itu dikenal memiliki mentalitas pemenang. Tidak kenal menyerah. Bermain konsisten. Terus berlari dan selalu berpikir pertandingan benar-benar berhenti ketika lampu stadion telah padam. Sebuah tim yang dapat mengambil analogi dari sebuah peperangan panjang.

Lebih jauh lagi, konsep abstrak tentang mentalitas ini selalu dihubungkan dengan sejarah superioritas orang Jerman atas ras-ras yang lain. Nietzche pernah melontarkan konsep manusia super (Ubber Mannsch) dan Hitler menganggap ras di luar Indo-Arya adalah binatang. Eropa pernah mengimani gagasan yang mengatakan kehebatan orang ditentukan oleh ciri-ciri yang diturunkan DNA dari tampilan fisiknya. Hingga kita tidak heran ketika Ekolog dan ahli Anatomi terkenal dari Jerman, Ernst Haeckel, pernah mengatakan, ”ras-das rendah—Aborijin Srilanka atau Negro Australia—secara fisiologis lebih dekat dengan binatang mamalia, kera, dan anjing dari pada dengan orang-orang Eropa yang beradab”. Gagasan tentang hubungan kehebatan dan ciri fisik ini dianggap melandasi imperialisme yang perih, yang bekas-bekasnya terus mengarus hingga kini.

Jerman memiliki sejarah sosial kejam yang mengalir bersama sejarah genetiknya. Ketika Hitler masih remaja dan belum menulis Mein Kampf, selain industri militer, Eugenetika—cabang genetika yang menginginkan perbaikan kualitas fisik manusia dengan mengubah susunan DNA—adalah bidang yang menjadi isu nasional. Ilmuwan Jerman menganjurkan perkawinan antara orang-orang yang memiliki gen yang dikehendaki dan memaksa orang yang tidak dikehendaki untuk dimusnahkan. Tidak ada sejarah politik yang lebih kelam dari perang dunia ke 2 yang menginginkan adanya suatu ras unggul bernama Arya, yang bermata biru dan berambut pirang. Ideologi ini telah membawa kesengsaraan bagi orang Yahudi dan orang-orang Afrika dan juga bagi orang Jerman sendiri.

Meskipun ideologi Nazi telah runtuh, dan para ahli genetika menemukan bukti yang tak dapat disanggah lagi tentang mustahilnya ide kemurnian ras, orang-orang Jerman tetap mengaggap bahwa mereka diciptakan untuk menang karena alasan Arya-nya itu. Dan lapangan sepakbola adalah medan laga yang paling tepat untuk menunjukkan betapa berbedanya orang Jerman dari ras lainnya. Setelah luluh lantak dan seluruh dunia mengutuk slogan Allemania Ubber Allesch pasca perang dunia ke II , Max Morlock, Helmut Rahn, dan Fritz Walter mengembalikan harga diri Jerman di dunia. Kalah telak di kualifikasi dan tertinggal 2-0 dari Hongaria, kualitas ’mental’ Jerman membalikkan keadaan dan menciptakan istilah ’dua satu dan akhirnya kita menang 3-2” yang legendaris itu. (Bukankan ini sesuatu yang mutlak benar? Portugal tidak bisa melakukan nya terhadap Yunani. Dan Belanda terhadap Argentina!!). Der Kaizer mengatakannya sebagai sebuah kesuksesan paling penting dalam sejarah sepakbola Jerman. Menurut saya lebih dari sekedar sepakbola.

Terkadang, kita terpaksa mempercayai mentalitas Jerman ini. Setiap turnamen Jerman selalu membuktikan melalui turniermannschaft-nya. Kita sering menyebutnya tim nasional Jerman hebat karena mereka orang Jerman. Orang-orang ini memiliki sikap pantang menyerah, detail dan konsisten. Mereka lebih unggul karena fisik yang prima, dagu yang tegap sudut wajah yang dibentuk oleh dasar tengkorak (facial angle) yang mendekati 90o dan tengkorak yang besar untuk menyimpan volume otak. Mereka adalah orang-orang yang mewarisi gen orang-orang Indo-Arya yang mereka khayalkan. Barangkali setengah abad yang lalu, pandangan-pandangan esensialis yang mengatakan Jerman hebat karena faktor keturunan dan DNA yang dibawanya masih bisa diterima. Ketika situasi sosial di Jerman masih kental dengan khayalan manusia supernya dan hasrat mengembalikan harga dirinya masih tinggi, penggemar sepakbola mudah terpengaruh pada pemikiran esensialis ”karena Jermannya”.

Tetapi siapakah para pemain Jerman itu sekarang? Wajah pemalas dan murung Turki dari Ozil yang brilian itu? Kaki tegap dan kulit gelap yang lincah Cacau dari tropis Amazonia? Campuran Hidung Arab dan wajah pipih Mediteranian Khedira ? Kulit tirus dan lembab orang-orang Polish dan Slav milik Klose, Podolski dan Trochowski? Rambut keriting Afrika dan gempalnya bahu Afrika Barat dari Boateng dan Aogo? Atau rambut hitam dan mata coklatnya Spanyol ala Mario Gomez?

Apa yang terjadi dalam komposisi Jerman sekarang ini adalah refleksi dari dunia yang terus senantiasa berubah—bahkan sebelum pra-sejarah. Kata Steve Olson dalam Mapping Human History, sejarah penduduk Eropa terlalu kusut untuk ditelusuri. Apa yang disebut orang Jerman sekarang adalah campuran dari banyak kelompok kuno. Orang-orang Celtic, Frank, dan tidak kurang selusin suku-suku yang saling kawin, bercocok tanam, berkelahi dan bernyanyi selama berabad-abad di Jerman dan Eropa Barat. Gelombang-gelombang migrasi (juga orang Yahudi) itu terus berlangsung sampai jaman modern. Penelusuran DNA melalui proyek genom dunia menyebutkan, Eropa (Jerman ada didalamnnya) adalah benua yang paling rumit susunan genetikanya.

Setelah meledak di abad pertengahan dan sindrom superioritasnya hingga akhir kolonialisme, populasi orang Eropa (Jerman, Prancis, Spanyol, dan pegunungan tengah) mengalami penurunan drastis. Eropa mengalami transisi demografi, dari tingkat kelahiran tinggi menjadi rendah. Modernitas yang memberikan kita penjajahan dan penindasan juga membawa teknologi, gaya hidup, emansipasi bagi perempuan, revolusi industri yang menyebabkan negara-negara Prancis dan Jerman mengalami angka kelahiran yang sangat rendah. Perempuan-perempuan punya banyak kesibukan selain mengurus anak. Perang Dunia yang menewaskan banyak pemuda dan kebangkitan ekonomi pasca perang itu membutuhkan tenaga kerja dari luar. Pada akhirnya, untuk menggerakkan roda ekonomi, mereka menerima tenaga kerja dari Turki, Asia, Afrika, dan Mediterania. Imigrasi ke Eropa mencapi puncaknya pada 1950-1960-an ketika jutaan buruh migran bekerja di sektor industri yang menjamur di Prancis, Jerman dan Inggris.

Saya ingin mengatakan bahwa ide tentang kemurnian ras barangkali diciptakan malaikat paling suci atau iblis yang paling berdosa yang tak ingin dunia adalah tempat pertemuan dan percampuan DNA yang mewujud dalam diri Hitler dan kawan-kawannya. Orang lupa bahwa jantung Eropa adalah tempat migrasi besar-besaran kelompok yang menemukan gagasan bercocok tanam yang mengubah dunia dari Asia. Tentu saja sampai sekarang kelompok kanan yang mengecam Ozil masih ada dan orang-orang ekstrim pimpinan Le Pen dari Prancis hampir memenangkan pemilu dan menggertak Zizou. Setiap konstitusi negara Eropa selalu diwarnai pertentangan parlemen untuk menghentikan laju migrasi dan memulangkan pendatang ilegal.

Tetapi, sejarah kemurnian (dalam agama, negara-bangsa, seni maupun sepakbola) akan selalu kalah. Hidup seperti hutan tropis. Lebat dan beronak. Terusun oleh beragam kehidupan yang sering tidak dikehendaki namun selalu hadir. Para migran yang seringkali ilegal itu terus berdatangan, membawa keluarganya, bekerja dan bersekolah. Seperti Jakarta yang tidak bisa menghentikan penduduk baru sepanjang habis lebaran. Hal ini juga ditopang dari sisi lain dimana penduduk bangsa itu tidak mau memiliki banyak anak. Angka harapan hidup meninggi dan orang tua tak mati-mati. Populasi stagnan dengan angka usia produktif rendah. Dengan kesejahteraannya, mereka enggan hidup menjadi buruh kasar dengan upah rendah. Jerman, Prancis, Spanyol, Belanda, hanya memiliki satu cara untuk mempertahankan jumlah penduduk dan struktur ekonomi mereka: menerima lebih banyak imigran.

Jerman kini menikmati hasilnya dari penerimaan terhadap DNA-DNA yang baru ini. Berkah yang pernah didapatkan Perancis tahun 1998 lalu yang terdiri dari DNA Mediterania, Maghribi, Austronesia, Polinesia, Armenia, Argentina dalam diri Zizou, Thuram, Karembeu, Henry, Trezeguet, Djorkaeff, atau Vieira. Saya tidak yakin jika Hitler menang atau Le Pen mengalahkan Mitterand, sepakbola akan lebih berwarna dan semenarik permainan Perancis era Zidane dan Jerman saat mengalahkan Australia.

*****

Sebelum kick-off Australia dan Jerman kemaren, saya masih menginginkan Jerman kalah. Bahkan jika itu yang bertarung adalah tim yang paling licik seperti Italia atau Uruguay, saya tetap menginginkan Jerman kalah. Saya bertaruh sebotol bir dengan teman yang mendukung Jerman. Setelah dua sentuhan pertama Ozil dan pergerakan Mueller, setengah jam kemudia permutasi pemain-pemain Jerman (kecuali sikap statis Badstuber) tiba-tiba seluruh DNA kebencian saya terhadap Jerman juga mengalami mutasi. Dengan cara yang aneh, saya bisa menikmati tim Jerman seperti menikmati tayangan ulang tim Brasil 1982 atau Argentina 1986.

Itu sebuah pertandingan terbaik dalam empat hari pertama piala dunia kali ini. Sama sekali tidak ada keluhan klasik mengenai Jerman yang membosankan, menunggu pemain lawan kelelahan, dan menciptakan kemenangan yang berasal dari gol kebetulan. Terlepas dari kartu merah Cahill yang tak berdosa dan pemain Australia yang kebanyakan tidak memainkan kompetisi dan tidak punya klub, Jerman yang kemaren bermain lebih artistik dari Argentina atau Inggris yang konon dihuni 6-7 pemain terbaik dunia dua hari sebelumnya.

Anda tahu kan para pemain Jerman itu masih sangat muda? Bahkan Ozil, Muller, Marin, Badstuber, Khedira belum genap berusia 22. Tentu saja opini saya terlalu dangkal dan sederhana. Mereka baru bertanding sekali dan saya, dapat anda katakan, memujanya. Mereka belum bertanding melawan tim-tim tradisional yang menyulitkan dan berpengalaman seperti Italia, Amerika atau Serbia.

Tetapi tetap saja saya memiliki sejumlah alasan untuk memujanya. Melebihi kebencian saya bertahun-tahun terhadapnya. Tentu saja semangat ala Jerman masih tersisa di dalam anak-anak muda itu. Mereka ditinggal Ballack dan Lehmann sebagai figur yang paling berpengalaman. Tetapi, menurut Mathias Sammer, mereka punya mentalitas yang telah ditanamkan sejak mereka remaja. Kerangka tim muda ini memenangkan piala Eropa usia 17 dan 21 dua dan setahun yang lalu. Dan tidak ada rumus fisika yang mengatakan usia berbanding terbalik dengan mentalitas.

Pada akhirnya, saya sendiri meyakini konsep abstrak mentalitas ala Jerman ini. Tetapi mentalitas ini bukan secara sederhana terbentuk oleh DNA-DNA pemain mereka secara terberi. Bukan berarti mentalitas Jerman dibentuk secara otomatis oleh DNA Jerman. Saya mendukung definisi mentalitas ala Jerman tetapi tidak mendukung Hesse yang membuat pernyataan itu disebabkan ”karena mereka Jerman”. Syamsir Alam, Alan Martha atau Rizky Pellu atau Dendy Santoso dapat memiliki mentalitas ala Jerman ini ketika dihadapkan dalam kompetisi yang ketat, fair, dan penuh tekanan. Orang Austronesia seperti kita ini bisa punya mentalitas Jerman seperti yang telah dibuktikan oleh Drogba atau Eto’o di level klub.

Sebagai keturunan manusia modern, kita semua dianugerahi sebuah sifat yang buruk: hasrat ingin menang dan unggul. Sifat ini adalah ciri khas sejarah evolusi manusia modern (Homo sapien). Sifat inilah yang telah membawa banyak bencana tetapi juga segala inovasi dan kreasi. Dengan sifat ini, manusia modern telah menggantikan beberapa keturunan kera yang berjalan tegak dan belasan Homo spp yang pernah menjadi warga dunia. Dengan sifat ingin menang dan unggul inilah, manusia modern menjadi spesies yang paling penting dan merajai dunia. Tubuh dan akal manusia modern mampu beradaptasi dan berevolusi untuk mengalahkan iklim yang keras, lanskap yang mustahil untuk ditaklukkan, binatang-binatang purba yang ganas, dan hidup yang kadang sukar dimengerti.

Hasrat unggul dan menang adalah hasrat terdalam dari sisi gelap manusia modern. Darwin menyebutnya sebagai kemampuan untuk lebih bertahan hidup dan menghasilkan keturunan. Kemampuan bertahan hidup inilah yang meramaikan dunia dengan sebuah pertunjukan yang sangat menakjubkan dari makhluk-makhluk hidup. Berkelahi, makan, kawin, bernyanyi, berpindah tempat mencari tantangan dan kematian. Mentalitas pemenang bukanlah mutlak orang Jerman. Tetapi mungkin hanya orang Jerman yang memiliki bahasanya. Nietzche yang sakit-sakitan dan atlet penunggang kuda yang buruk itu mengatakan der wille zur macht: kehendak untuk berkuasa.

Orang Austronesia, Mongoloid, Polynesia, Semit, Arab, Afrika juga punya mentalitas untuk menang seperti orang Jerman. Mereka tersusun oleh kepingan 23 kromosom yang sama. Di Indonesia, artis-artis ingin menang pemilu. Pengusaha terus menerus menguras sumber daya alamnya. Dan para pengendara sepeda motor menyerobot trotoar bagi pejalan kaki. Di Afrika, orang Hutu ingin memusnahkan orang Tutsi. Tetapi dengan mentalitas itu, manusia modern menciptakan perahu layar, komputer, lukisan monalisa, symphoni 12, Borobudur, dan pesawat luar angkasa. Tanpa mentalitas ini, manusia tidak akan bisa menaklukkan kutub utara, gurun sahara, lingkungan tropis dan mengaruhi lautan dan samudra.

*****

Saya lebih menyukai Jerman ini karena alasan yang rumit karena pemain-pemain terbaik mereka bukanlah orang-orang Jerman yang punya khayalan terhadap ras Arya. Sebelas dari 23 pemain-pemain itu susunan DNA berasal bukan dari ras Jerman yang bermata biru, berkulit terang dan berambut pirang ala Brad Pitt. Kecuali Cacau, mereka adalah pemain-pemain yang dilahirkan dari orang tua yang telah menetap di Jerman sebagai Migran unuk sekurang-kurangnya 2 generasi. Atau memiliki ayah Jerman dan ibu non-Jerman. Mereka tumbuh besar dengan bahasa Jerman dan punya kehidupan ala Jerman (jika itu ada). Sebelum generasi mereka Felix Magath, Kuranyi, Gerald Asamoah, dan beberapa lainnya telah menjadi generasi diaspora yang membawa Jerman

Selain Cacau, pemain Jerman ini bukanlah pemain naturalisasi. Saya tetap tidak suka Liedson, Deco, Amauri atau pemain yang menjadi anggota tim nasional karena paspor ganda mereka dan kalah bersaing dan kesempatan bermain di negeri asalnya sangat kecil. Mungkin saya bisa dianggap Chauvinis. Tetapi ada beda Mario Balotelli dengan Marcio Santos di Tunisia. Ada beda ketika, kamu anak imigran yang telah hidup di Prancis selama 70 tahun (meskipun tanpa KTP) dengan seseorang yang datang sebagai profesional, hebat dan ketika tidak ada penyerang dimana liga anda bermain, anda mengisi pos itu. Saya lebih menyukai anak teman saya yang ibunya Belanda dan ayahnya orang Mentawai dan lahir besar di Mentawai untuk menjadi pemain nasional dibandingkan dengan Beto atau el Loco Gonzales.

Sepakbola menyebar ke seluruh dunia seperti DNA-DNA manusia. Sepak bola telah menyatukan dunia dengan permainan seperti halnya molekul panjang dan kompleks yang meneruskan informasi genetik dalam sejarah manusia dan kehidupan itu. Corak egaliter permainan ini bisa dimainkan orang-orang semak yang lebih pendek atau keturunan kulit merah Indian dan orang-orang sipit dari Asia Timur. Kualitas permainan dalam sebuah pertandingan ditentukan semangat dan mentalitas terhadap permainan ini. Tidak semua orang bisa juara seperti tim Jerman. Disinilah letak perbedaan definisi tentang mentalitas. Barangkali orang Jerman yang terlatih untuk menyerap dan menyuling dasar sifat kemanusiaan kita yang menginginkan keunggulan dan kemenangan

Tim Jerman yang saya tonton melawan Australia telah menggabungkan DNA-DNA manusia di penjuru dunia dan mentalitas hasrat ingin menang manusia modern. Tubuh pemain-pemain Jerman sekarang ini tersimpan sejarah panjang gen manusia yang di bawa oleh seorang ibu di lembah timur Afrika melintasi waktu dan ruang. DNA-DNA tersebut bersatu bersama kehendak untuk terus bertahan dari kerasnya kompetisi dan survival of the fittest dunia yang tak ramah milik Homo sapien di piala dunia. Dengan cara itu, Jerman sekaligus telah berhasil mengubur impian gila dalam riwayat kemanusiaan kita tentang manusia unggul dengan menerima perbedaan-perbedaan genetik dan tampilan fisik dari penjuru dunia melalui tim sepakbolanya. Turniermannschaft mengembalikan DNA-DNA dan mentalitas hakikat manusia modern di tempat nenek moyangnya di Afrika dalam sebuah kejuaraan paling besar dan menyatukan umat manusia.

******

Saya tiba-tiba peduli apakah Jerman juara atau tidak. Saya merasa Jerman harus Juara untuk keadilan permainan ini. saya bahagia piala dunia kali ini telah menyediakan elemen perayaan kemanusiaan kita (sejarah persebaran genetika dan mentalitasnya) melalui tim Jerman di benua asal-usul manusia. selain itu sepakbola dimenangkan dengan cara yang brilian. Alasan-alasan itu telah menyebabkan saya menyangkal kebencian kronis ala-Hitler saya terhadap Jerman dan menikmati bola dari Lahm ke Khedira, Klose bergerak ke arah gawang dan Basti menusuk ke tengah, Khedira lanjut ke Ozil, oper ke Mueller, dan diteruskan Podolski ke gawang Schwarzer.

No comments:

Post a Comment