Saturday, June 30, 2012

Jerman yang Kembali Gagal, Jerman yang Gagal Kembali


Oleh Mahfud Ikhwan

“Menyaksikan tim ini bermain memang menyenangkan, tapi agar dianggap hebat, mereka mesti merebut gelar,” begitu pujian sekaligus peringatan dari legenda timnas Jerman, Gunter Netzer, di Four-Four Two edisi Piala Eropa.

Kalimat Netzer (orang yang pernah membuat pelatih timnas Jerman lain, Rudi Voeller, murka di depan kamera televisi), juga sebagian besar pendukung Jerman tentunya, jelas didengar oleh Joachim Low. Di balik pembawaannya yang tenang dan setelan pakaiannya yang selalu rapi, Joachim Low rupanya menyimpan kegelisahan. Ia tampaknya tak ingin hanya membuat senang penonton sepakbola. Ia ingin timnya menjadi bagian dari sejarah sepakbola Jerman yang hebat.

Jogi Low memegang salah satu tim terbaik di dunia; salah satu tim terbaik Jerman sepanjang masa. Di tim itu terdapat pemain-pemain dengan skil Amerika Latin dan bisa bermain tiki-taka pada satu waktu dan bermain Total Football pada waktu lain. Sebuah tim yang membuat para pembenci Jerman lupa betapa membosankannya tim itu sebelumnya, sekaligus memberi asa para pendukungnya akan datangnya era kebangkitan. Kekurangan tim ini cuma satu: gelar juara.

Sejak berada di bangku cadangan Der Panzer pada 2004, saat mulai mengasisteni Klinsmann, Low telah merasakan empat semifinal dalam empat turnamen besar yang diikuti Jerman. Tentu, empat semifinal bukanlah sesuatu yang sangat istimewa, mengingat mereka adalah Jerman. Namun, bagaimana tim itu bermain dan betapa mudanya mereka, membuat semua orang terpana.

Tapi, sekali lagi, tim yang bagus namun tak juara bukanlah Jerman sebagaimana yang kita kenal. “Jerman,” yang macam itu, kata penulis sepakbola Belanda, Henk Spann, “adalah Belanda.”

Tentu tak seorang Jerman pun, tak terkecuali Low, yang ingin timnya seperti Belanda—tim yang selalu penuh bakat namun lebih dikenang karena nasib buruknya di turnamen-turnamen besar. Lagi pula, Low tentu tak ingin—dan tak mungkin—jadi pengamal ajaran Bapak Sepakbola Belanda, Johann Cruijff, bahwa “keindahan lebih dikenang daripada kemenangan.” Pertama, karena Low bukan Cruijff, yang meskipun tak mendapat gelar bersama Belanda namun bergelimang gelar di tingkat klub bersama Ajax dan menjadi dewa di Barcelona. (Bandingkan dengan Low, yang menghabiskan karir pemainnya dengan klub-klub di divisi bawah Liga Jerman, sementara gelar tertingginya adalah Piala DFB Pokal bersama Stuttgart dan juara Liga Austria bersama FC Tirol Innsbruck saat menjadi pelatih.) Kedua, tentu saja, karena Low orang Jerman.

Seperti semua pendukung Jerman, Low sepertinya mulai berharap lebih dari sekadar semifinalis, apalagi sekadar sebutan “tim yang bermain indah”. Itulah yang pada akhirnya membuat Low harus mendengar kritik dan, ujung-ujungnya, mengubah pendekatannya terhadap tim. Timnya harus juara, sebagaimana seharusnya tim Jerman. Karena kelihatannya gelar itu tak dapat dicapai dengan cara yang hampir sewindu ini dipakainya, maka ia harus memakai cara Jerman—cara yang memberi tim itu tiga bintang di dada sekaligus predikat terkuat di Eropa.

Lalu, di Polandia-Ukraina, kita melihat tim yang sangat berbeda dengan tim yang memesona di Afrika Selatan dua tahun lalu. Sebuah tim yang nyaris klinis.

Sebuah tim yang meminggirkan pemain penuh gaya sekaligus topscorer Piala Dunia 2010, Thomas Muller, dan memberikan tempat kepada striker penuntas (penerus tradisi Klinsmann dan Bierhoff), Mario Gomez—yang dalam dua turnamen besar sebelumnya selalu jadi cadangan. Sebuah tim yang membuat seniman lapangan seperti Ozil diharuskan bermain lebih efektif dibanding impresif.

Itulah tim yang lebih mendekati menakutkan dibanding mengagumkan.

***

Hingga semifinal, tim Low paling mutakhir ini jelas lebih meyakinkan dibanding dengan Jerman yang memesona dua tahun lalu. Bahkan, terlihat lebih mengerikan dibanding dengan tim yang bermain di Euro 1996, di mana gelar terakhir Jerman didapatkan. Di penyisihan, Jerman jadi satu-satunya tim yang menuai nilai sempurna, meski berada di grup yang dianggap paling berat. Di perempat final, mereka menghujani gawang Yunani dengan empat gol yang kesemuanya tampak begitu Jerman: rapi, terencana, dan tampak tak terbendung. Coba ingat bagaimana cara Lahm, Khedira, Klose, dan Reus mencetak golnya!

Tapi, seperti yang telah disebut, tim ini nyaris klinis, dan karena itu nyaris Jerman. Namun, tentu saja, tim yang nyaris Jerman jelas bukan tim yang benar-benar Jerman.

Sekilas tak ada yang kurang dari tim ini. Dalam banyak hal, selain jauh lebih muda, tim ini jauh lebih berbakat dibanding Jerman 1996 yang juara. Di depan, Gomez tampak tiga kali lebih berbahaya dibanding Bierhoff. Di tengah, kombinasi ketepatan, kekuatan, dan kelihaian antara Khedira-Schweinteigger-Ozil mungkin adalah yang terbaik yang pernah dimiliki Jerman. Lalu di belakang... ? Ah, inilah pertanyaan besarnya. Inilah juga akan memperlihatkan bahwa tim asuhan Low memang “tak Jerman-Jerman amat”, sebagaimana yang selama ini banyak disangka.

Jerman yang kita kenal tak hanya mengerikan di penyerangan, tapi membuat segan di sektor pertahanannya. Bahkan, mungkin, dari sektor inilah kejayaan sepakbola Jerman dilahirkan. Perhatikan, di area ini, karakter-karakter hebat macam Beckenbeuer, Vogts, Brehme, Matthaus, Basler, atau Sammer, muncul. Di area ini, dari kaisar hingga jenderal sepakbola Jerman dihasilkan. Dan, inilah kepingan yang belum ditemukan dari tim Jerman-nya Low.

Batstuber atau Hummels jelas bek tengah dengan masa depan cerah dalam lima tahun ke depan. Namun, pada usia (masih) 23, mereka tampak terlalu hijau untuk meneruskan tradisi yang membentang dari Der Kaizer hingga Summer itu.

Kita telah melihat gejalanya. Menghadapi Yunani di perempat final, tim yang strikernya hanya mencetak tiga gol, yang dua diantaranya karena blunder kiper dan satunya dari tendangan penalti, lini belakang Jerman dibuat berantakan pada 15 menit antara akhir babak pertama dan awal babak kedua. Para pendukung Jerman sempat dibuat demam hebat saat Samaras, striker yang lemah gemulai itu, yang jadi kucing-kucingan saat menghadapi bek Argentina di Afrika Selatan dua tahun lalu, mampu menyamakan kedudukan. Meski mampu bereaksi dengan sangat galak, dan akhirnya menang dengan telak, menderita dua gol dari tim ‘paling aneh’ di turnamen menunjukkan bahwa, di depan gawang, Jerman-nya Low tampak rentan.
Lalu, di semifinal, Italia benar-benar membuktikan betapa rentannya Jerman di belakang. Dua gol Balotelli, yang masing-masing diawali dari kesalahan Hummels saat mengawal Cassano dan kelengahan Batstuber dalam mengantisipasi umpan panjang Montolivo, membuat mereka sekali lagi gagal melewati fase semifinal.

Namun, yang lebih penting, kegagalan itu juga menunjukkan Jerman-nya Low, Jerman yang sedap dipandang mata, tak berhasil untuk mencoba kembali menjadi Jerman yang perkasa itu. Jerman yang tiga kali juara Piala Dunia dan Piala Eropa, sekali lagi, gagal. 

No comments:

Post a Comment