Thursday, June 7, 2012

Antara Krisis dan Harapan: Geo-Politik Piala Eropa

Oleh Darmanto Simaepa

Aspek politik piala Eropa kali ini paling baik digambarkan oleh posisi dan kesiapan Jerman dan Yunani. Tentu saja, gambaran itu tidak berhubungan langsung dengan pertandingan di atas lapangan. Kedua negara itu tidak memiliki sejarah rivalitas yang kuat. Pertandingan diantara keduanya nyaris selalu dingin dan sesejuk cuaca kota Wroclaw, kota budaya Polandia yang menjadi pangkalan tim Yunani. Lagi pula, meskipun undian memungkinkan mereka bertemu di perempat final, melihat cara bermain Yunani di babak kualifikasi, keajaiban untuk mereka, meski tetap harus ada, ibarat berharap melihat komet Halley setahun sekali.

Hal yang menghubungkan Jerman dan Yunani adalah bayang-bayang kebangkrutan ekonomi Eropa. Perdebatan panas di gedung parlemen Uni Eropa di Brussel mengenai cara menangani krisis dua bulan terakhir seperti menunjukkan peta kekuatan ekonomi-politik tim peserta turnamen. Jerman, yang kuat dan berpengaruh secara ekonomi, tengah memaksa Yunani yang terancam pailit untuk berhemat. Rapat anggaran di gedung parlemen di Athena dipaksa memangkas anggaran publik, termasuk pendidikan dan layanan kesehatan untuk mencegah krisis lebih dalam. Jika tidak, Jerman mengancam akan menarik investasi, memulangkan imigran dan mencabut bantuan.

Yunani, tanpa bantuan Jerman, diprediksi akan menuju kebangkrutan. Satu dari lima orang Yunani tidak punya pekerjaan dan satu dari dua hidup dibawah garis kemiskinan. Gelombang migrasi ke luar Yunani mencapai rekor terburuk, suatu tanda bagi hilangnya kebanggaan sebagai warga negara. Meskipun pemerintah Yunani marah ketika perdana menteri Jerman Angela Merkel mengatakan orang Yunani malas dan tidak mau mengencangkan ikat pinggang, banyak warganya menyalahkan ekonom dan politisi dalam negeri atas krisis ini.

Secara tepat, gambaran ketimpangan kekuatan geo-politik dan ekonomi Eropa terefleksikan dari daftar unggulan di bandar taruhan piala Eropa dimana Jerman di tempat teratas dan Yunani diurutan paling buncit. Negeri belahan Eropa utara, mulai dari Skandinavia, Jerman, Prancis, Belanda Russia terlihat lebih makmur, sejahtera dan lebih berkuasa. Krisis kapitalisme global jelas mengguncang mereka tetapi tidak sampai melumpuhkan fondasi ekonomi mereka yang lebih kuat. Dengan posisi yang lebih kokoh, mereka memiliki kekuatan ekonomi-politik untuk mendikte negara lain.

Optimisme Jerman akan juara Eropa mencerminkan kekuatan geo-politiknya. Tim Jerman mewakili gambaran belahan Eropa utara yang lebih stabil, tenang dan percaya diri. Nationalmanschaft tidak menemukan masalah cedera, konflik internal, dan pertengkaran dengan asosiasi. Kestabilan tim Jerman adalah hasil dari kekokohan ekonominya.Sepanjang satu dekade, dengan ekonomi cukup, mereka mengucurkan lebih 100 juta dolar untuk merevolusi pembinaan usia dini. Hasilnya, mereka mampu membentuk sebuah tim Jerman yang paling tidak Jerman—setengah pemain terbaiknya adalah anak-anak keturunan non-Jerman.

Kini Jerman bersiap memanen kerja kerasnya. Ketika Jerman klasik identik dengan determinasi, semangat pantang menyerah dan kualitas fisik, Jerman masa kini meleburkan kualitas artistik, kehebatan teknik dan ketepatan taktik. Revolusi yang tersusun rapi itu telah mengubah citra tentang tank dengan mesin disel kaku dan karatan menjadi seniman-seniman multikultur yang melukis di atas lapangan.

Sementara itu, gambaran buruk krisis ekonomi negara-negara Eropa bagian selatan seakan-akan terwakili oleh masalah tim nasionalnya. Gara-gara badai krisis ini, bank-bank ditutup, krisi politik meluas, dan protes-protes warga meletup di negara-negara seperti Italia, Portugal, dan Spanyol. Seakan krisis itu merembes ke lapangan, Spanyol harus kehilangan Puyol dan Villa, dua figur terpenting saat merebut trofi Eropa dan dunia. Del Bosque baru-baru ini mengkhawatirkan ruang ganti yang diisi pemain Madrid dan Barca. Sementara bagi Italia, sekali lagi, mereka dihantui skandal calciopoli dan masalah regenerasi.

Tim Yunani barangkali gambaran sempurna posisi lemahnya geo-politik selatan Eropa. Kali ini mereka tidak datang ke piala Eropa dengan cara elegan dewa Zeus turun ke bumi. Kebangkrutan ekonomi menyebabkan seretnya roda kompetisi sejak 5 tahun terakhir. Tidak seperti pada dekade 90an hingga awal 2000an, ketika mereka menikmati pertumbuhan ekonomi pra dan pasca Olimpiade Athena, para pemain lebih memilih keluar untuk mengais rejeki—meskipun sebagian di liga yang lebih kecil seperti Siprus dan Albania. Investasi pembinaan sangat kecil dan kompetisi profesional tidak berkembang secara mengesankan. Tidak heran jika, pada satu dekade terakhir, mereka kekurangan bakat alami. Ini sangat terlihat ketika para pemain kawakan yang menyongsong senjakala karir seperti Charisteas, Karagounis, dan Theofanis Gekas masih terus dipakai.

Hasilnya, Yunani datang sebagai tim yang mencetak gol paling sedikit dibabak kualifikasi—14 gol dari 10 pertandingan dan delapan diantaranya diperoleh melalui bola mati. Mereka mengandalkan otot alih-alih imajinasi untuk mendobrak pertahanan musuh. Mereka memilih menunggu sebuah tendangan sudut atau tendangan bebas di menit-menit akhir untuk mencuri gol lewat sundulan mematikan. Bisa dikatakan, kualitas permainan Yunani serendah tingkat pendapatan penduduk miskinnya sekarang ini. Cara mereka menghadapi pertandingan dengan bertahan seperti cara politisi mereka menangkis kecaman warganya sendiri.

Namun perlu diingat, diluar paralelitas geo-politik dan pertandingan di lapangan, piala Eropa selalu penuh dengan anomali. Terdapat jarak antara kondisi ekonomi politik dan permainan sepakbola di lapangan—meskipun keduanya bisa saling bertalian erat. Tidak selalu negara yang lebih makmur dan berkuasa secara politik bisa memenangi piala Eropa. Piala Eropa penuh dengan cerita tentang ledakan-ledakan besar dan keajaiban.

Tidak ada orang yang menaruh uangnya di bandar judi sebelum pemain Denmark merebut piala Henry Delaunay tahun 1992. Di edisi 1976, negara komunis Cekoslowakia di pandang sebelah mata sebelum akhirnya menaklukan tim terbaik Jerman yang pernah ada—yang diiringi lahirnya teknik penalti cungkil ala Panenka. Dan jangan lupakan kejutan terbesar Eropa ketika Yunani merengkuh trofi dengan mengandalkan man to man marking yang membosankan dan eksekusi bola-bola mati.

Memanglah, tidak ada penjual mimpi di bawah matahari. Tapi justru karena mimpi seperti udara, maka publik sepakbola boleh mengambilnya secara cuma-cuma. Warga Yunani, yang kini sebagian besar miskin dan papa—setidaknya untuk ukuran Eropa, bisa berharap bahwa satu-satunya yang tersisa dari kebanggaan menjadi bagian dari Eropa adalah Sepakbola.

‘Tim ini,’ ujar seorang reporter majalah SportToday Yunani, ‘adalah salah satu dari sedikit hal yang masih diyakini orang-orang Yunani’. Diantara himpitan ekonomi, sepakbola menjadi tautan mimpi jutaan orang Yunani. Ya, mimpi dan perjuangan bagi Yunani, bukan hanya ada dalam cerita Homeros atau Sophocles dan kisah keajaiban dewa-dewa di bukit Olympus. Di tahun 2004, mereka membuktikan mimpi adalah imajinasi dan kerja keras dengan mata terbuka.

Namun, diluar mimpi Yunani, tim kuat Jerman juga tengah bermimpi membangun sebuah ‘Jerman’ yang lain. Sebuah Jerman yang pemainnya berasal dari Polandia, Turki, Tunisia, Ghana bahkan Brazil. DFB menginginkan Jerman yang lebih segar dan mereka mendapatkan tim yang penuh keragaman, keanggunan dan yang lebih penting, harapan. Menengok sejarah bangsa yang penuh kebencian terhadap ras lain dan sedikit koloni, maka dunia pun terkejut oleh mekarnya talenta anak-anak imigran di sebuah negeri yang pernah memuja ilmu eugenetika.

Namun, tantangan sepakbola Jerman bukan hanya mereka harus memberi piala. Di akhir tahun 2011, Angela Merkel mengatakan bahwa proyek multikultural hampir gagal di Eropa. Kasus penembakan di Norwegia, ribut-ribut jilbab di Swiss, dan kemenangan partai sayap kanan di Eropa daratan membuat masa depan pembauran berada dalam kegentingan. Di dunia olahraga, hal mengejutkan terjadi ketika tersiar berita percekcokan mengenai kuota bagi pemain berkulit hitam di Prancis, negeri yang menjunjung tinggi prinsip egalite. Sepakbola bola Jerman bisa membuktikan Merkel salah dan politisi sayap kanan harusnya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.

Tim nasional Jerman memberi harapan yang lebih panjang tentang hidup bersama ras-ras yang bercampur dalam dunia yang telah melebur. Eropa, memiliki wajah paradoks tentang hubungan antara kebebasan dan antitesisnya. Seperti yang ditulis Jack Goody, antropolog Cambridge dalam bukunya The Stolen History, benua ini sebenernya mencuri, atau dalam pengertian yang lebih sopan meramu ide tentang pencerahan dan kesetaraan manusia dari peradaban sebelumnya, tetapi merekakalah yang menemukan fasisme, nazisme, rasisme dan kolonialisme. Sepakbola yang sepanjang waktu menemukan sisi gelapnya di Eropa, berpotensi untuk menemukan antitesis sisi gelap tersebut. Jika tim multikultural bisa tumbuh subur di tempat yang pernah memiliki Hitler dan Holocaust, saya kira sepakbola tidak bisa meminta lebih dari itu dari tim Jerman.

Diatas segalanya, diantara harapan di kepala penduduk Berlin, Paris, Roma, hingga Stockholm, melintas burung Minerva Hegel dalam sungai waktu Heraklitus. Diantara kaki-kaki pemain yang letih, bunyi peluit wasit, rumput halus Swiss yang bercampur plastik sintetis, dan siaran-siaran berita ke seluruh dunia, terselip kebijakan tua dari filsuf Athena bahwa tidak ada kepastian, selain ketidakpastian itu sendiri dalam (hidup) sepakbola dan juga kerendahhatian pemikir Jerman bahwa semua yang fana akan menguap ke udara.

No comments:

Post a Comment