Monday, March 28, 2016

Keluar dari Bayang-Bayang Cruijff-isme

Oleh Darmanto Simaepa

Landasan gagasan revolusioner sepakbola Cruijff adalah tentang organisasi dan reorganisasi terus menerus ruang dan waktu. Elemen dasar dan alat dalam mereorganisasi ruang dan waktu dalam lapangan pertandingan adalah umpan satu-dua sentuhan dan perpindahan posisi pemain secara konstan. Pergerakan dan pertukaran posisi secara kontinyu membuka dan menciptakan (sekaligus membuka dan menciptakan ulang) ruang terus menerus, sementara umpan adalah gelombang tak teraba yang menyusutkan, membentangkan, memampatkan ruang.

Permainan sepakbola model Cruijff adalah ilmu geometri. Intinya adalah pergerakan untuk menemukan ruang. Seperti geometri yang berakar dari cara pandang modernitas versi Eropa Barat daratan, yang punya kontribusi penting dalam globalisasi dan ekspansi kapitalisme, permainan geometris sepakbola Cruijff mengeksploitasi ruang baru, menciptakannya ulang, tanpa akhir. Sekali bola bergulir dari kiper, bek sayap bergerak maju, bek tengah menyamping, pemain tengah mengkoloni pusat ruang, dan penyerang menjelajah mencari ruang-ruang baru yang bisa dieksploitasi. Setiap pergerakan yang terkoordinasi penuh perhitungan, keruntutan, dan kalkulasi membutuhkan umpan di waktu yang tepat dengan kecepatan yang tepat.

Salah satu penanda penting sepakbola geometris modern yang diciptakan ulang Cruijff—melalui perjumpaannya dengan Rinus Michels di Ajax sebagai pemain dan kesempatan melatih Barca—adalah posisi umpan sebagai kebajikan utama dalam sepakbola. Umpan, terutama sentuhan satu-dua, mengatur arah bola, menentukan kecepatan lari pemain, merubah arus dan irama pertandingan. Bakat penting, fisik perlu, skill akan membantu, kecepatan adalah bonus; tapi, di atas semuanya, umpan yang akan menentukan hasil permainan dan pertandingan. Ketepatan waktu mengambil keputusan dalam mengumpan dan berlari akan mengontrol permainan, dan konsekuensi logisnya, memenangkan pertandingan

Pemikiran Cruijff terhadap umpan sebagai prinsip dasar sepakbola merupakan warisan terbesarnya. Sepakbola ’Hollandse School’ yang diciptakannya memusatkan teka-teki ruang dan pergantian taktik dan posisi, dan membedakannya dengan tradisi sepakbola yang telah ada sebelumnnya. Jika tradisi Britania menempatkan kerasnya tendangan, tekel, umpan panjang atau silang dan kecepatan lari menuju kotak penalti—pendek kata antusiasme, hasrat, keberanian dan kecepatan—sebagai esensi sepakbola; kultur sepakbola Brazil menempatkan skil dan keindahan menggiring bola dan melewati lawan lewat duel satu lawan satu sebagai jantung permainan; filsafat bola Jerman memuja daya tahan badan dan mental sebagai elemen dasarnya; Cruijff, nyaris sendirian, berpikir, menemukan, dan kemudian mengembangkan umpan sebagai rahasia terbesar sepakbola.

Dengan umpan sebagai inti permainan, sepakbola menghasilkan tipe pemain dan cara bermain yang berbeda dengan tradisi lainnya. Sepakbola ‘tendang-lari’ Inggris menciptakan Stuart Pearce atau Kevin Keegan; sementara publik menempatkan pemain bersimbah darah a ala Terry Butcher dan John Terry sebagai pahlawan. Brazil diwakili oleh Garrincha atau Ronaldinho; keindahan sepakbola terletak dalam keberhasilan mengolongkan bola ke kaki lawan dan membuat publik tersenyum riang. Sementara sepakbola Jerman, digambarkan oleh penghargaan terhadap Rummenige atau Thomas Muller, adalah tentang permainan konsisten dan disiplin dari detik pertama hingga peluit berakhir.  Bagi sepakbola Cruijff, prototype sepakbola ideal adalah Guardiola atau Xavi: semuanya tentang kontrol ruang dan waktu lewat keputusan mengumpan.

Filosofi Cruijff tentang sepakbola sebagai penjelajahan atas ruang menjadi dasar dari, dan mendominasi, sepakbola modern. Mirip sejarah perkembangan VOC, gagasan sepakbola Cruijff tercipta dan dikembangkan dari perusahaan amatir di Amsterdam bagian timur. Kini visi itu menjadi visi global yang berkembang dan menjalar ke seluruh penjuru dunia nyaris tanpa tandingan. Dari sudut lapangan Imam Bonjol hingga camp pelatihan Arsenal, dari lapangan tak berumput di pinggiran Lagos hingga hamparan rumput sintetis di Claire Fountain, setiap pelatih dan pemain mempraktikkan prinsip umpan dan posisi segitiga, kucing-kucingan satu sentuhan (rondo), dan pergerakan konstan tanpa bola yang diciptakan Cruijff. Semuanya menciptakan pemain dengan kecakapan mengumpan dan menentukan permaianan posisi dalam lapangan.    

Bisa dikatakan, filosofi Hollandse School telah menjadi prinsip universal. Tidak ada tim sepakbola terbaik di dunia paska 1970an, yang tidak mengambil ide tentang kesatuan ruang-waktu dan umpan-posisi dan berhasil memecahkan teka-tekinya atau, dengan satu-dua tambahan ide, berhasil memodifikasi dan mengembangkannya. Arrigo Sacchi secara teratur pergi dengan kereta api ke Amstedam untuk menonton latihan Ajax di awal 70an, dan lantas mengembangkan metodenya sendiri di Milan dengan filosofi pemuaian-perampatan ruang (Corto Stretto). Arsene Wenger adalah pemuja fanatik sepakbola satu-dua sentuhan a ala Cruijff dan mencangkokkannya ke dalam tradisi sepakbola Inggris. Tim-tim kontemporer Amerika Latin, terutama Sampaioli dengan timnas Chile, berhasil menggabungkan varian 4-3-3 dengan permainan intens warisan Marcelo Bielsa.

Hampir mustahil kita menemukan klub atau tim nasional yang tidak punya aspirasi permainan seperti Barca modern dan timnas Spanyol, dua anak kandung filosofi Cruijff. Tim nasional Jerman memenangkan piala dunia terakhir tidak bermain a la Jerman dan bisa diidentifikasi sebagai bagian dari tiki-taka. Di Inggris, gagasan dan praktik Kick and Rush sepertinya hanya tinggal kenangan. Tengok saja, bahkan Stoke City yang terkenal dengan ’asis Ryan Shawcross ke Peter Crouch’ malih rupa menjadi sangat Barca. Brazil? Setelah kegagalan 1982, tim samba mengalami krisis identitas panjang. Mereka memang juara dunia dua kali setelahnya, tapi sangat sulit kita berpendapat bahwa dua-duanya dimenangkan dengan cara Jogo Bonito.

Indonesia pernah meminta jasa Foppe de Haan untuk membangun tim nasional junior dengan format 4-3-3 a la Hollande School. PSSI juga membayar mahal mahal Wim Rijsbergen yang menjadikan timnas senior Indonesia seperti Ajax atau Barcelona. Lebih jauh lagi, pemain-pemain dari divisi antah-brantah di Liga Belanda didatangkan, diberi kewarganegaraan, dan disuguhi beragam keistimewaan dengan harapan, sepakbola Indonesia bisa menimba pengaruh dan hasil dari negara yang pernah dalam waktu yang panjang menjadi ndoro-nya. 

Warisan Cruijff belum ada tandingannya sampai sekarang ini. Taktik pertahanan grendel a la Italia sekali-dua kali masih dipakai, terutama ketika menghadapi Barca atau Spanyol. Alegri dan Carletto berhasil mengembangkan taktik ini di Milan atau Juve untuk mempersulit Barca atau Munich versi Guardiola. Tapi taktik ini tidak banyak berkembang. Tim-tim Alegri dan Carletto kembali memakai gaya dasar pengaturan umpan dan ruang ketika melawan tim lain yang setara di liga domestik. Dekade 2000-an memang menemukan posisi 4-2-3-1 sebagai penawar taktik 4-3-3 ala Cruijff yang cair. Tapi bahkan skema itu, dengan tambahan penting dalam hal elaborasi pressing, tetap mengunakan permutasi posisi, pergerakan tanpa bola, dan umpan dalam permainan geomteri modern.

Seperti halnya dunia yang monoton, kering, dan tidak menarik akibat dominasi sistem politik-ekonomi kapitalisme, gagasan demokrasi elektoral, dan slogan kosong tentang perubahan iklim, sepakbola masa depan akan sangat membosankan jika semua tim dan klub ingin memiliki sistem bermain, akademi, dan tipe bermain seperti Barca atau Spanyol. Bukan hanya karena Messi atau Neymar tidak lahir setiap tahun untuk membuat keajaiban dan perbedaan dalam setiap pertandingan dan kita hanya akan melihat satu tim berputar-putar mencari ruang dan mencari prosentase tertinggi akurasi umpan dan penguasaan. Lebih mendasar dari itu, kultur sepakbola akan menjadi homogen, semua pemain seperti robot hasil cetakan akademi Ajax, dan hanya ada satu cara untuk memainkan sepakbola: menguasai bola dan memberi umpan.

Meskipun teknologi video, sistem kepelatihan, statistik pertandingan telah memungkinkan kajian terhadap lawan secara rinci dan teliti, sebagian besar eksplorasi taktik dan sistem permainan sepakbola modern sepertinya belum ada yang bisa memberi tawaran dan tandingan bagi ‘Hollandse School’’.  Hampir semua pelatih-pemikir utama sepakbola kontemporer adalah anak-cucu Cruijff-isme dan belum terdengar yang berusaha menyempal dari tradisi itu. Bacalah wawancara pelatih, semua ingin timnya memainkan sepakbola a la  Barca atau Bayern Munich.

Kecuali hanya ada satu orang, menurut saya, yang berpikir keras, bahkan sangat keras, untuk keluar dari bayang-bayang sepakbola Cruijff! Orang ini, lewat rute yang berliku, juga dibentuk oleh Cruijff-isme, namun berusaha untuk berjarak dan dengan sengaja, mendeklarasikan perang atasnya.
Semua bermula di Amsterdam Est.

******

Ketika tim Ajax berlatih di bawah kiriman kabut Laut Utara paruh 1960an,  Rinus Michels mengembangkan metode latihan baru yang menarik perhatian remaja-remaja tanggung di sekitar Amsterdam. Sekumpulan anak muda berbakat, yang kebetulan bertetangga dan teman sepermainan, yang menjadi tulang punggung tim terbaik sepakbola yang pernah dihasilkan oleh Belanda (dan Eropa): Cruijff, Piet Kaizer, Sjakie Swart, Ruud Kroll, Arie Haan, juga menjadi daya tarik kuat. Salah satu remaja tanggung dengan mata yang terus bergerak mengawasi gerakan bola di antara pemain-pemain Ajax itu adalah Luis van Gaal.

Luis kecil, terpikat oleh gerakan Cruijff, punya aspirasi untuk menjadi bagian dari Ajax yang sedang membangun imperium sepakbola global di akhir 1960-an. Namun, ia tak dikaruniai bakat sepakbola dan tubuh lentur-atletis seperti Cruijff. Gerakannya lambat dan hanya kaki kanannya yang bisa menendang bola dengan baik. Karirnya di Ajax tak lebih dari penghuni tim cadangan. Lantas, ia mengambil peruntungan di klub-klub papan bawah dan akhirnya menjadi kapten di Sparta Rotterdam.

Meskipun memiliki perbedaan langit-dan-bumi dalam hal bakat teknis, Luis dan Cruijff sebagai pemain memiliki kesamaan dalam satu hal: kemampuan mulutnya. Publik Belanda mengidentifikasi kemampuan bicara Cruijff dan Louis sedari awal. Mereka tak henti mengatur teman-temannya, berargumen dengan pelatih, memprotes wasit, dan bahkan bersilang pendapat dengan pengurus klub. Pendek kata, mereka berusaha meraih kekuasaan untuk mengontrol pertandingan dan permainan—bahkan mengontrol klub. Keduanya membentuk dan mengawali tradisi sepakbola Belanda, yang kata teman bermain bola saya di Leiden, selalu dipenuhi dengan opini, sengketa, dan pertengkaran mulut.

Bakat mulut besar dan keinginan untuk mengontrol permainan membawa keduanya memiliki kepribadian yang kuat sekaligus aneh. Mereka selalu percaya dengan ide-ide mereka sendiri, dan berusaha mati-matian untuk mempertahankan dan menerapkannya. Keduanya selalu bicara sepakbola lengkap dengan tambahan ‘filosofi’ atau ‘ideologi’.
Cruijff dan Louis, bisa dikatakan, hasil dari satu aliran atau padepokan yang sama: Hollandse School yang berkembang di awal dekade 70-an. Mereka berdua fanatik dengan skema 4-3-3, meskipun belakangan, terutama setelah gagal membawa Belanda ke piala Dunia Korea-Jepang, Louis lebih bersikap pragmatis dan mengembangkan varian 3-5-2 di edisi Brazil dan 4-2-3-1 dengan Alkmaar dan United. Keduanya berangkat dari gagasan tentang umpan dan penguasaan bola, kontrol atas ruang dan waktu permainan.

Mereka tidak percaya individu. Tim bergerak sebagai unit yang dikoordinasikan oleh pengaturan tempo. Bila Cruijff berhasil menerapkannya secara sempurna sebagai pemain, dan periode pendeknya sebagai pelatih di paruh 80-an, Louis berhasil meracik dan mengembangkannya ketika menjadi pelatih Ajax di awal 1990an. Keduanya berhasil membawa Ajax merajai kompetisi domestik dan meraih hadiah paling bergengsi, Piala Champions, di era yang berbeda.

Tidak ada argumen bahwa sepakbola Louis berbeda dengan prinsip sepakbola Cruijff, dan begitupun sebaliknya. Prinsip penguasaan bola dan pengaturan umpan adalah detak jantung permainan. Ajax dan Barcelona di tangan mereka bekerja dengan pressing tinggi, bek yang pintar mengolah bola dan mengirim umpan, dan umpan satu dua yang konstan. Tim-tim mereka aktif menyerang dan memaksa tim lawan menyesuaikan diri, bukan sebaliknya. Keduanya juga mengandalkan akademi dan mempromosikan anak-anak muda. Jika Cruijff memberi debut pada van Basten dan Guardiola, Louis berjasa memberikan kesempatan yang sama pada Seedorf, de Boer, Xavi, Valdez dan Rashford.....

Seperti halnya kisah klasik perseteruan dua murid satu perguruan, atau kompetisi antara sesama saudara, Cruijff dan Louis yang menimba ilmu dari mata air yang sama, menjadi musuh bebuyutan. Cruijff mengeluhkan sistem Louis yang berujung pada mekanisasi skema Hollandse School pada tingkat ekstrem. Di mata Cruijff, sepakbola Louis terlalu kaku, terpaku, dan kehilangan improvisasi. Ia bahkan menyebut tim Louis sebagai sepasukan tentara. Sebaliknya, Louis mengkritik sikap anti-metode Cruijff. Bagi Louis, sistem Cruijff hanya berpusat dan ada di kepala Cruijff belaka. Seharusnya, sebagai sebuah sistem, taktik sepakbola mengikuti game-plan kolektif. Sikap tidak disiplin terhadap rencana pertandingan membuat Belanda kalah dari Jerman dan Barcelona hancur lebur oleh Milan di Athena. Perseteruan di dalam taktik dan perebutan kekuasaan atas Ajax menjadikan mereka nemesis satu sama lain.

Keduanya punya kesempatan bekerja di laboratorium Barca, tempat segala eksperimentasi skema 4-3-3 dielaborasi, dipikirkan, dipraktikan, dievaluasi dan disebarluaskan lewat akademi dan prestasi. Louis tidak beruntung karena ia datang lebih belakangan. Ia direkrut untuk mengisi kaki yang dulu pernah menjadi milik nemesisnya, paska etorno yang membuat Nunez memecat Cruijff.  Sekali lagi, Louis tidak pernah bisa mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Cruijff. Tak bisa dibantah, Cruijff punya klaim sebagai perintis, orang yang pertama, yang meletakkan pondasi sepakbola Barca modern. Meskipun tidak terlalu gagal di periode pertamanya dengan Barcelona, Louis tidak berhasil bahkan tidak dikenal sebagai ayah kedua yang berhasil mengubah tradisi sepakbola Catalonia.

Walau tidak pernah bisa keluar dari tradisi Hollandse School dan selalu gagal mengusir bayang-bayang Cruijff di Barca, Louis berperan untuk memberi ‘debut’ pada murid yang mengembangkan sepakbola yang, dalam satu aspek, bisa dikatakan berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh Cruijff dan para pemeluk teguhnya. Bila tradisi Cruijff diperbaharui dan dielaborasi lebih lanjut oleh Pep Guardiola dan belakangan ditambahkan dengan serangan balik oleh Enrique, maka kita menemukan semangat anti-thesis tentang pemuaian ruang-waktu sepakbola dalam diri Jose Mourinho. Kehadiran Louis di Barcelona tidak lagi memberi warisan baru dalam hal pemahaman taktik bagi Jose, tetapi menguatkan semangat anti- otoritas dan kepercayaan diri, yang sudah ada dalam kepribadiannya.

Perlu ditekankan bahwa, pada awal pembentukannya sebagai pelatih, semangat anti-Cruijff-isme bukanlah definisi yang tepat untuk Jose. Kebetulan saja dia harus menangani tim-tim ‘kecil’ yang sulit mengembangkan filosofi yang dia timba dari Barca. Akhir musim 2007, dia berusaha kembali ke Nou Camp dan mengidentifikasi diri sebagai pewaris tradisi Cruijff-isme. Cruijff, yang memberi nasihat terakhir atas permintaan Laporta, menolak. Jose yang dilihat oleh Cruijff adalah seorang pelatih yang menangani klub Inggris modern dengan rekor kebobolan paling sedikit dan pertahanan yang paling rapat dalam sejarah sepakbola Inggris. Alih-alih mengagumi pengembaraan, pengalaman dan prestasi Jose paska sekolah kepelatihan terbaik di Nou Camp akhir 1990-an, Barca dengan pertimbangan Cruijff, memilih Guardiola.

Penolakan Jose dan tampilnya Guardiola membentuk narasi sepakbola kontemporer, bukan kebetulan karena persaingan Barca-Madrid, atau sekadar preferensi sepakbola menyerang vs bertahan. Lebih dalam dari itu, momentum di mana Jose ditolak ditempat ia ingin pulang, menggambarkan pilihan Cruijff  atas pewaris ideologi dan filosofi sepakbola modern yang ditemukannya. Penolakan atas Jose bersifat metafisikal, dan merupakan peristiwa yang menandai terbelahnya arus gagasan mutakhir sepakbola Eropa, yang kini mendominasi dunia. Untuk sementara, Cruijff-isme menang. Bayern mengimpornya dan Liga Jerman terjangkiti demam gegenpressing, dan kini sedang dalam jalan menuju Inggris. Kemenangan Inter di Liga Champions adalah jeda kecil untuk sepakbola anti-Cruijff.

Warisan Cruijff  mendominasi dunia, namun seseorang terus menggali cara untuk menguburkannya.

******* 

Bukan kebetulan bahwa Jose selalu punya sesuatu untuk dikatakan kepada Guardiola. Bahkan ketika di akhir musim, ketika wawancara biasanya santai dan pertanyaan wartawan fokus untuk memberi ucapan selamat dan bernada retoris untuk menggali bagaimana Chelsea menjadi Juara, Jose dengan humor gelap yang pintar dan pasti disiapkan sebelumnya, bicara tentang tim yang bisa juara di Jerman dengan pelatih seorang pembersih sepatu. Ketika Guardiola meminta tinggi rumput lapangan di Liga Champions diatur, Jose dengan jitu berkomentar tentang masa depan sepakbola di lapangan sintetis tanpa gawang, tempat dua kesebelasan saling membagi umpan, dan tiap kemenangan ditentukan oleh tim yang paling banyak menguasai bola. Jose tidak berhenti bicara tentang Gardiola, karena dia tahu, simbol dan representasi warisan Cruijff-isme dan Barca-isme adalah Guardiola.

Jose tidak bisa menutup mulutnya karena tahu bahwa Cruijff juga selalu membuka mulutnya untuk mendakwahkan gagasan sepakbolanya. Dominasi Cruijff-isme berangkat dari sikapnya yang terus memberi wejangan, mengatur-atur, berdebat, dan bertengkar tentang umpan atau pengambilan posisi. Cruijff siap berdebat dengan siapa saja dan punya kepribadian untuk menyukai perang pendapat. Jose memahami sejarah ini. Ketika gagasan yang Cruijff bangun menjadi filosofi dominan, ia menjadi otoritas dan menghegemoni pandangan tentang sepakbola.

Saya kira, seluruh proyek Jose adalah usaha untuk melawan otoritas dan dominasi ini. Ia tidak sedang melawan Barca sebagai klub; ia melawan sistem Barca sebagai satu-satunya cara untuk memahami dan memainkan seoakbola. Meskipun dinyatakan dengan sarkasme atau dalam nada-nada polemik, pernyataan Jose tentang sepakbola di depan televisi dan wartawan selalu berusaha memberi tawaran lain bagi sepakbola yang mendewakan umpan, penguasaan bola, dan dominasi total dalam pertandingan.

Jika ada yang menganalisis ribuan pernyataan Jose, seseorang pasti akan menemukan benang merahnya sebagai usaha untuk menolak dominasi Cruijff-isme dan Barca-isme. Sehabis membawa Inter mengalahkan Barca, dia dengan enteng menyatakan bahwa timnya tidak butuh menguasai bola, tetapi hasil. ‘Biar Barca mendapat bola, kami mendapat gol’. Dia juga yang mempopulerkan ‘steril possession’. Diego Torres mendaftar tujuh prinsip Jose dalam pertandingan besar, yang bila diringkas, semuanya bermuara pada satu hal: penguasaan bola dan umpan tidak penting. Tim yang menguasai bola akan lebih banyak melakukan kesalahan, tim yang memenangkan pertandingan adalah yang melakukan sedikit kesalahan.

Publik sering mengidentikkan sistem yang dibangun Jose untuk melawan tim yang bermain dengan prinsip Cruijff-isme dan Barca-isme sebagai ‘membosankan’, ‘negatif’, ‘parkir bus’, ‘anti sepakbola’. Pada awalnya, Saya juga termasuk yang mengamini label-label negatif tersebut. Namun, anggapan tersebut mengecilkan arti apa yang dipikirkan Jose dan aspirasinya tentang sepakbola. Jika sepakbolanya begitu negatif dan bertahan, bagaimana ia bisa menciptakan rekor poin tertinggi kompetisi di Liga Inggris dan Spanyol? Jika hanya memarkir bus, kenapa jenius seperti Messi tidak pernah membobol gawang tim Jose lewat permainan terbuka?

Apa yang dilakukan Jose adalah usaha untuk memecahkan teka-teki geometri ruang dan waktu dalam permainan sepakbola. Identik dengan prinsip Cruijff,  tapi ia meletakkan pemahaman ruang di ujung yang bertolak belakang. Jika Cruijff-isme terobsesi dengan pembukaan ruang dan perpindahan posisi, Jose punya obsesi untuk menutup ruang. Orang sering menyalahartikannya dengan sepakbola anti-proaktif, menunggu lawan menyerang dan menikamnya dengan serangan balik. Bagi saya, tidak sesederhana itu. Justru ia mengontrol permainan dan membentuk tempo bermain dengan cara mengunci ruang. Ia memaksa lawan menguasai bola, saling mengumpan di daerah yang tidak berbahaya, dan menciptakan akurasi umpan tinggi, tetapi tidak membiarkan mereka mengeksploitasi ruang. Liverpool vs Chelsea ketika Gerard terpeleset adalah contoh klasik, sementara yang lazim adalah ketika Chelsea melawan Arsenal.

Ia mengontrol lawan dengan cara memaksa lawan menguasi bola dan mengumpan sebanyak mungkin, tanpa harus menciptakan ruang. Tim-tim yang ia tangani tidak pernah mengawal pemain lawan sebagai individu. Timnya menyusutkan ruang yang bisa diciptakan oleh individu lawan. Dengan tertutupnya ruang, tim lawan tidak bisa mengatur tempo; aliran bola menjadi lebih lambat; irama pertandingan dikendorkan; pemain lawan tidak banyak berlari, dan sedikit sekali umpan terobosan dilepaskan. Bola berputar-putar dengan kecepatan tak berubah tanpa pernah diarahkan ke gawang.

Jose adalah sedikit, dan mungkin satu-satunya, yang berpikir keras tentang anti-geometri. Ratusan kali ia mengulang-ulang, umpan dan penguasaan bola tidak selalu berhasil menciptakan ruang dan bukan satu-satunya kebajikan utama sepakbola. Dalam wawancara panjang dengan ESPN, keinginan terbesarnya adalah melawan dominasi pandangan bahwa umpan dan penguasaan bola adalah satu-satunya jalan untuk memenangkan permainan. Lantas apa tawarannya terhadap sepakbola? Sejauh ini, kita belum bisa mengidentifikasinya. Taktik yang ia pakai banyak ditiru dan menginspirasi tim-tim kecil yang tidak punya bakat mengumpan sehalus dan seakurat Iniesta atau secerdas Busquet dalam menata geometri permainan. Namun penerapannya bersifat sporadis dan tidak metodis. Ini menyulitkan penarikan kesimpulan secara umum apa yang telah disumbangkan Jose dalam sejarah permainan sepakbola.

Di luar soal taktik dan sistem bermain, Jose juga mengambil sikap oposan dengan para romantik sepakbola dalam hal apa yang bisa diwariskan oleh pelaku sepakbola. Cruijff, Socrates, dan orang-orang yang mendewakan keindahan permainan daripada hasil berusaha menempatkan ‘pengaruh’, ‘ingatan’, ‘gaya bermain’ sebagai warisan terbesar sepakbola. Jose menyebut piala dan juara sebagai satu-satunya yang bisa diingat dan diwariskan kepada publik. Bagi dia, esensi industri sepakbola adalah kompetisi. Bukan sesuatu yang salah jika ia sering hanya dianggap dari sisi ini: menghalalkan kemenangan dengan segala cara.

Ia sering dikecam tidak peduli dengan sepakbola, dan hanya peduli dengan diri sendiri. Kesan ini melekat kuat sehingga menutupi pandangannya bahwa sepakbola pada dasarnya adalah olahraga kelas pekerja. Hal yang paling penting bagi pemain dan pelatih adalah memberi kemenangan dan kebahagiaan kepada pendukung yang datang ke stadion, menyisihkan uang belanja harian demi melihat timnya bertanding. Ia tidak ingin sepakbola menjadi olahraga yang didiskusikan di ruang nyaman para pundit dengan bahasa kelas tinggi. Kalah-menang sangat berarti bagi penggemar sepakbola dari pada buat pemain itu sendiri. Pemain yang kalah tetap bisa hidup nyaman, berlibur, dan pensiun dengan uang tabungan menggunung di rekening bank. Sementara penggemar yang kalah akan dibuli ramai-ramai dan mengalami hari buruk, justru setelah mengeluarkan uang hasil kerja upahan.

Sepakbola yang ia inginkan harus mewakili gambaran kompetisi hidup sehari hari yang keras. Pembelaannya terhadap Costa harus diletakkan dalam konteks bahwa sepakbola bukanlah sebuah pertarungan moral, tapi permainan yang berada diambang batas antara kecerdikan untuk berselancar dengan aturan. Tanpa imajinasi bermain yang melampaui kesantunan yang diciptakan oleh birokrat sepakbola, olahraga ini tidak pernah bisa menghasilkan Maradona atau Suarez.  

Spirit oposannya terhadap pandangan dominan menginspirasi klub-klub kecil untuk menjadi Daud bagi Raja Jalud. Pandanganya terhadap kemenangan adalah sebuah penghargaan atas kerja keras, sportivitas, dan keberanian melawan dominasi. Ia selalu mendatangi ruang ganti tim lawan yang mengalahkan timnya dan orang pertama yang menyelamati Apoel Nicosia saat menembus perempat final Liga Champions edisi 2011/2012. 

Para pundit belum bisa memformulasikan tawaran metode Jose dalam menghadapi geometri Cruijff dan variannya. Publik belum melihat sisi terang gagasan sepakbola Jose dan lebih banyak mendiskusikan kontroversi yang ia ciptakan. Barangkali masalah utamanya adalah dia belum secara mantap membangun dinasti dan legasi di salah satu klub dalam waktu yang lama. Analisis lain menyebut manajemen konflik yang dikembangkan Jose menguras energi tim, sehingga ia selalu kepayahan di musim ketiganya. Banyak ahli taktik menunggu apa yang dihasilkan dari periode keduanya di Chelsea, namun Abramovich tidak sabar menunggu krisis, dan orang balik kembali ke argumen lama yang menyatakan sistem Jose hanya mencapai titik optimalnya di tahun kedua.

Lebih dalam dari itu, mungkin saja anti-geometri yang berusaha dikembangkan Jose masih dalam kerangka berpikir Cruijjf-isme dan tidak bisa keluar dari bingkai epistemologi permainan ruang dan waktu dalam sepakbola. Sekeras apapun berpikir tentang taktik dan sistem, ia barangkali masih terperangkap dalam alam pikiran tentang umpan dan pertukaran posisi pemain. Usaha Jose, dan para pelatih lain, untuk keluar dari bayang-bayang Cruijjf-isme mungkin masih jauh, membutuhkan waktu, dan barangkali hanya akan terjadi jika muncul tipe-tipe pemain baru yang bergerak diluar kerangka ruang dan waktu dalam geometri aliran Hollandse.

Boleh jadi, warisan Cruijff adalah akhir sejarah dari evolusi taktik permainan sepakbola. Usaha apa pun untuk melawannya, akan terbentur pada aksioma bahwa ketepatan pengaturan umpan dan pergerakan posisi akan lebih menang melawan semangat dan umpan panjang, mudah melumpuhkan individu-individu yang terampil menggiring bola, atau pertahanan berlapis a la Italia. Namun paling tidak, dendam personal Jose bisa menjadi pembuka bagi pencarian metode yang melawan dominasi sepakbola berdasar umpan yang kita saksikan dan anggap sebagai kebenaran dalam selama empat dekade terakhir ini.

*****

Cruijff meninggalkan warisan terpenting bagi wajah sepakbola kontemporer. Ia sudah mati, namun gagasannya mengubah, merevolusi dan menghegemoni bagaimana sepakbola modern dimaknai, dipahami dan dihayati. Bahkan, Cruijjf-isme kini menjadi satu-satunya filosofi yang dominan. Sejauh horison di muka, belum ada tanda-tanda gagasan tandingan untuknya. Ini bisa berakhir menyedihkan karena sepakbola akan kehilangan elan vitalnya ketika berhenti pada hanya satu gagasan dan filosofi bermain.

Namun sepakbola, seperti hidup itu sendiri, akan menolak hegemoni dan dominasi tunggal. Buku sepakbola modern tidak akan berakhir di bab tentang Hollandse School dan variannya, dari tiki-taka hingga geggenpressing. Ia justru akan dimulai di musim depan, ketika pewaris Cruijjf-isme dan ahli anti-geometri sepakbola mengawali rivalitasnya secara langsung di dataran Manchester.
       

4 comments: