Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan
Orang-orang Maya dari Chiapas angkat senjata, rakyat jelata Meksiko menohok wajah aparatnya, dan Subcomandante Marcos mencengangkan dunia dengan kata-kata jenaka dan kalimat-kalimat cintanya.
Onetti, novelis the dark side of the soul, terbaring
sekarat. Juara dunia balap mobil Ayrton Senna, orang Brazil itu, terpancung di
sebuah lintasan Eropa yang tidak aman. Orang Serbia, Kroasia, dan orang Islam
saling bunuh di kepingan-kepingan negara yang dulunya adalah Yugoslavia. Di
Rwanda hal serupa terjadi, namun televisi mengocehkan soal suku, dan bukannya
manusia, dan secara tersirat bicara bahwa itu cuma masalah orang hitam saja.
Anak-turun
Torrijos memenangkan pemilu presiden di Panama, empat tahun setelah invasi
berdarah dan sia-sia oleh Amerika Serikat. Tentara Amerika ditarik keluar dari
Somalia, di mana mereka memerangi orang kelaparan dengan senapan. Afrika
Selatan memilih Mandela. Kaum komunis, yang dibaptis kembali sebagai sosialis,
berjaya di pemilihan parlemen di Lithuania, Ukraina, Polandia, dan Hungaria,
negara-negara yang mendapati bahwa kapitalisme ternyata juga punya tabiat yang
menjengkelkan. Namun Progress Publishers di Moskow, yang biasa menerbitkan
buku-buku karya Marx dan Lenin, sekarang menerbitkan majalah Reader’s Digest. Sumber informasi
terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal
waktu saja.
Skandal korupsi
meluluhlantakkan politik kepartaian Italia dan kekosongan kekuasaan diisi oleh
Berlusconi, Orang Kaya Baru yang menjalankan kediktatoran televisi atas nama
kebinekaan demokrasi. Berlusconi membungkus kampanyenya dengan sebuah slogan
yang dicurinya dari stadion sepakbola, sementara Piala Dunia kelimabelas
dilangsungkan di Amerika Serikat, si negeri kasti.
Pers Amerika
Serikat memberi secuil perhatian dan berkomentar: di sini sepakbola adalah
olahraga masa depan dan akan selalu begitu. Namun stadion penuh sesak meskipun
sinar matahari mampu melelehkan batu. Untuk menyenangkan televisi Eropa,
pertandingan-pertandingan besar dimainkan di siang bolong, sebagaimana di
Meksiko ’86.
Tigabelas tim
dari Benua Eropa, enam dari Benua Amerika, dan tiga dari Afrika, ambil bagian,
ditambah Korea Selatan dan Arab Saudi. Untuk mencegah banyaknya hasil imbang,
tiga poin diberikan bagi yang menang dan bukannya dua sebagaimana sebelumnya. Dan
untuk mencegah kekerasan, wasit jadi lebih galak dari sebelumnya, menghambur kartu
kuning dan kartu merah sepanjang turnamen. Untuk pertama kalinya wasit pakai
seragam warna-warni dan untuk pertama kalinya setiap tim diperbolehkan memiliki
tiga pemain cadangan untuk menggantikan penjaga gawang yang cedera.
Maradona
memainkan Piala Dunia terakhirnya, dan itu adalah sebuah perayaan, sampai
kemudian dia dikecundangi laboratorium yang mengetes air seninya setelah
pertandingan kedua. Tanpanya dan tanpa si setan kober Caniggia, Argentina
terjerembab. Nigeria memainkan sepakbola paling memuaskan di turnamen.
Bulgaria, timnya Stoichkov, memenangkan tempat keempat setelah menghentikan
laju Jerman yang menakutkan. Tempat ketiga direbut Swedia. Italia menghadapi
Brazil di final. Itu adalah pertandingan membosankan yang berakhir seri. Namun,
di antara kejemuan, Romario dan Baggio menawarkan beberapa pelajaran tentang
sepakbola yang baik.
Di babak adu
penalti, Brazil menang 3-2 dan dimahkotai sebagai juara dunia. Sebuah kisah
luar biasa: Brazil adalah negara satu-satunya yang masuk kualifikasi seluruh
gelaran Piala Dunia, negara satu-satunya yang juara empat kali, dan negara yang
memenangkan paling banyak pertandingan dan mencetak paling banyak gol.
Yang memimpin
daftar pencetag gol adalah Stoichkov dari Bulgaria dan Salenko dari Rusia
dengan enam gol, diikuti oleh Romaria-nya Brazil, Baggio-nya Italia,
Andersson-nya Swedia, dan Klinsmann-nya Jerman, dengan lima gol.
*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
No comments:
Post a Comment