Thursday, May 22, 2014

Piala Dunia a la Galeano VI: Piala Dunia 1958*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Amerika Serikat meluncurkan sebuah satelit menuju langit ketujuh: sebuah setelit kecil baru yang bersimpang jalan dengan Sputnik-nya Soviet namun tak pernah bertegur sapa. Dan saat para adikuasa berlomba di Luar Angkasa, di Muka Bumi perang sipil meletus di Lebanon, Aljazair menyala, Prancis menggenggam api dan Jenderal de Gaulle berdiri enam kaki di atas bara dan menjanjikan keselamatan.

Di Kuba, pemberontakan para jenderal Fidel Castro melawan kediktaroran Batista gagal, namun di Venezuela pemberontakan jenderal lain menjatuhkan kediktatoran Perez Jimenez. Di Kolumbia, kaum Konservatif dan Liberal bersaing dalam pemilihan umum untuk mematut kesepakatan berbagi kekuasaan setelah selama sedasarwarsa saling memusnahkan. Richard Nixon, sementara itu, disambut dengan sambitan batu pada tur Amerika Latinnya. Deep Rivers karya Jose Maria Arguedas telah diterbitkan, sebagaimana juga Where the Air is Clear-nya Carlos Fuentes dan Poemas de amor-nya Idea Vilarino.

Di Hungaria, Imre Nagy ditembak bersama para pemberontak lain dari Gerakan ’56 yang lebih menginginkan demokrasi dibanding birokrasi. Pun demikian para pemberontak Haiti, yang meregang nyawa setelah melancarkan serangan ke istana tempat Papa Doc Duvalier berkuasa di tengah kerumunan para tukang tenung dan juru pancung. Yohanes XXIII, Yohanes yang Budiman, jadi Paus baru di Roma; Pangeran Charles jadi pewaris tahta Kerajaan Ingris; Barbie jadi ratu baru para boneka. Di Brazil, Joao Havelange merebut tahta di bidang industri sepakbola, sementara di bidang seni budayanya bocah tujuhbelas tahun bernama Pele ditahbiskan sebagai sang raja dunia.

Penobatan Pele bertempat di Swedia bertepatan dengan Piala Dunia keenam. Ambil bagian di situ duabelas tim dari Eropa, empat dari daratan Amerika, dan tak satu pun dari penjuru dunia sisanya. Orang Swedia bisa menonton pertandingan di stadion dari rumah mereka. Ini adalah yang Piala Dunia pertama yang ditelevisikan, meskipun siaran langsungnya cuma ada di Swedia. Orang luar harus nonton belakangan.

Ini pula untuk pertama kalinya sebuah tim yang bermain di luar benuanya jadi juara. Pada permulaan Piala Dunia ’58, para pemain Brazil tak mengkilap amat. Namun setelah para pemain mokong dan meyakinkan pelatihnya untuk menurunkan tim yang mereka inginkan, mereka tak bisa lagi dihambat. Pada saat itu, lima cadangan jadi pemain inti. Di antara mereka adalah remaja tak dikenal bernama Pele dan pemain yang sudah cukup masyhur di Brazil dan telah bersinar di Piala Dunia sebelumnya bernama Garincha. Garincha terpinggirkan sebab tes kepribadian menunjukkan bahwa dia punya otak tak memadai. Para sekondan hitam yang menggantikan pemain-pemain kulit putih itu bersinar berkilauan di tim bintang yang baru, bersama pemain hitam menakjubkan yang lain, Didi, yang mengendalikan sihir tim itu dari belakang.

Pertanding demi pertandingan, kilauan demi kilauan: koran London World Sport mengatakan Anda harus menggosok mata dulu untuk percaya bahwa permainan (Brazil) berlangsung di dunia nyata. Di semifinal melawan Prancis, timnya Kopa dan Fontaine, Brazil menang 5-2. Dan mereka menang lagi 5-2 di final melawan tuan rumah. Kapten Swedia, Liedholm, salah satu pemain paling bersih dan paling elegan dalam sejarah sepakbola, mencetak gol pertama di pertandingan itu. Namun kemudian Vava, Pele, dan Zagalo membalikkan keadaan dan menempatkan Swedia di tempat seharusnya di bawah tatapan terpukau Raja Gustavus Adolphus. Brazil menjadi juara tanpad sekali pun kalah. Saat pertandingan selesai, para pemain juara itu memberikan bola kepada seorang pendukung mereka yang paling setia, si tukang pijit hitam Americo.

Prancis mendapatkan tempat ketiga, sementara Jerman Barat keempat. Fontaine dari Prancis memimpin daftar pencetak gol dengan menggelontorkan tigabelas gol, delapan dengan kaki kanan, empat dengan kaki kiri, dan satu dengan kepala. Diikuti Pele dan Helmut Rahn dari Jerman yang mencetak enam gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

No comments:

Post a Comment