Friday, September 21, 2012

Si Pemain

Oleh Eduardo Galeano

Terengah-engah, Ia menyisir sisi lapangan. Sebuah sisi menanti surga kemenangan; sisi lain menunggu kehancuran yang meremukkan.

Ia menjadi bahan pergunjingan tetangga: atlet profesional yang berhasil melarikan diri dari pabrik kusam atau kantor membosankan, dan ia mendapat bayaran dari bersenang-senang. Ia telah memenangkan lotre. Dan bahkan ketika Ia harus mengucurkan seember keringat, tanpa hak untuk letih dan bersedih, Ia bisa masuk surat kabar dan televisi. Namanya berdengung di radio. Para perempuan berteriak ke arahnya, dan anak-anak membual agar bisa seperti dirinya. Ia tak lagi mengolah si kulit bundar untuk secercah kenikmatan di jalanan becek di pemukiman kumuh, namun untuk sebuah kewajiban di stadion, dimana Ia tak memiliki pilihan lain kecuali untuk menang dan menang.

Para pebisnis membeli, menjual, dan meminjamkannya; dan Ia membiarkan semua terjadi dengan harapan mendapat ganjaran popularitas dan sekantung uang. Semakin ia sukses dan mendapat kibasan uang, semakin ia menjadi seorang tawanan. Dipaksa untuk hidup dengan disiplin militer, Ia menahan derita-hukuman latihan sepanjang hari dan gelontoran pembunuh rasa sakit serta kortison untuk meredakan cedera dan ketakberdayaan tubuhnya. Dan menjelang pertandingan besar, mereka menguncinya di kamp konsentrasi, dimana dia dipaksa menjadi buruh, menyantap makanan tak berasa, minum air putih belaka, dan tidur di kamar sendirian.

Dalam kisah perdagangan manusia, harga menurun seiring menuanya usia, namun seorang pemain sepakbola sudah dianggap kapiran di usia tigapuluhan. Otot-otot letih lebih awal:

“Pemain itu tidak bisa mencetak gol bila lapangan sedikit bergelombang.”

‘Dia? Tidak akan bisa bahkan jika mereka mengikat kipernya.”

Atau semuanya terjadi sebelumnya: jika setiap bola yang menghampirinya datang membawa sial, atau ketidakberuntungan mencabik ototnya, atau sebuah tendangan meremukkan tulangnya sehingga kakinya tak bisa diperbaiki lagi. Di sebuah hari yang muram, si pemain mendapati dirinya kalah taruhan melawan kehidupan saat dadu pertama digelindingkan. Uangnya lenyap dan keterkenalannya menguap. Ah, keterkenalan, si gadis fana itu, tak pernah meninggalkan sebuah surat cinta untuknya.

No comments:

Post a Comment