Monday, October 24, 2011

Sepakbola Indonesia di Mulut Harimau dan Buaya*

*Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh Darmanto Simaepa

Para ilmuwan sosial telah lama mengenali dialektika antara pelaku dengan struktur sosialnya. Seorang pelaku atau sebuah tindakan hidup dalam struktur sosial tertentu. Begitu juga sebaliknya, tak ada struktur sosial yang tidak melibatkan pelaku/tindakan. Sebuah perlawanan atau protes pelaku tertentu terhadap kekuasaan selalu berada dalam matriks kekuasaan yang dilawannya. Contohnya, perlawanan terhadap rezim PSSI NH dengan demonstrasi oleh suporter mudah diabaikan karena (dianggap) berada diluar struktur kekuasaan. Mereka baru mulai cemas ketika para pemrotes berkunjung ke Zurich, menggunakan statuta FIFA sebagai dasar hukum atau hak-hak angggota dalam kongres resmi.

Melihat hubungan antara struktur kekuasaan dan pelaku sepakbola di Indonesia, sebenarnya tidak ada beda antara rejim baru dan rejim lama. Keadaan sedikit lain ketika politik sentralisasi memayungi zaman Kardono atau Azwar Anas, dimana kekuasaan sepakbola sangat tergantung dari restu Soeharto. Hanya orang-orang loyal dan perwira militerlah yang lazim menguasai PSSI. Selepas era reformasi, kelompok Jenggala juga makhluk berdaging dan berdarah yang muncul dari relasi sosial yang juga membentuk rezim NH. Mereka jelas beroperasi dalam skema yang sudah menjadi pola relasi dalam industri dan governmentality olahraga kita. Mengapa yang muncul adalah Arifin Panigoro dan Jenderal bintang 4 TNI? Kenapa dulu sayup-sayup muncul nama Jusuf Kalla dan Sutiyoso? Bagaimana Johar Arifin (JA) yang menang pemilihan ketua umum? Kenapa Sihar Sitorus yang jadi direktur kompetisi?

Kita tidak pernah tahu apa yang dibicarakan di kamar-kamar tertutup di hotel-hotel di Yogya dan Solo menjelang kongres PSSI. Di luar elit-elitnya, publik sepakbola hampir tidak mengenali aktor-aktor yang bermain, apa agenda mereka, dan bagaimana mereka menjalankannya. Hari-hari disekitar krisis PSSI masih masih menjadi kabut peristiwa. Apa trade-off antara pemilik suara dan para pialang politik yang mengincar kesempatan mendapatkan kekuasaan? Bagaimana kaitan kelompok Jenggala dan kelompo 78 pemilik suara? Kenapa muncul orang seperti Erwin Aksa dan lusinan nama-nama yang menyeruak tiba-tiba. Setelah semua agak reda, yang tertinggal hanyalah teka-teki.

Sebagai sebuah teka-teki, perebutan kekuasaan di PSSI bukannya tidak bisa dipahami. PSSI memang merupakan badan otonom yang bertugas mengelola urusan bersama yang bernama sepakbola. Tetapi, otoritas PSSI untuk mengelola sepakbola harus bersaing, berhadapan, bekerja sama dengan bidang-bidang kekuasaan lain seperti para pemodal (dari pemilik pabrik rokok hingga pedagang energi), lembaga perbankan, para politisi di DPRD yang mengesahkan anggaran, kekuasaan media atau ijin-ijin dari polisi. Untuk meraih kursi di PSSI, sebuah rezim atau seorang pelaku harus mengumpulkan dukungan dari kekuasaan lain. Ia perlu mendekati media untuk mencitrakan dirinya, mengambil uang investor untuk membiayai kampanye—dan kalau perlu membeli suara anggota. Sangat jelas, dalam iklim politik hari-hari ini, seseorang harus melakukan investasi politik sangat mahal untuk meraih jabatan lembaga sepakbola.

Untuk menyelenggarakan sepakbola dan kompetisi, orang-orang yang berhasil merebut kekuasaan di PSSI menjadi tawanan sekaligus hanya dapat bekerja oleh berbagai bidang kekuasaan lain.
Memang pernah ada suatu waktu, seorang picik mengabarkan bahwa urusan sepakbola adalah urusan PSSI. Tidak hanya seperti igauan orang ketakutan atau suara pemabuk dilarut malam, itu jenis suara abai pada kenyataan. Kita lihat kontradiksi ini: PSSI meminta otonomi dan tidak ada campur tangan pemerintah, tetapi dia selalu mengeluhkan sedikitnya bantuan dana dari Menegpora dan KONI.

Ketika kita memakai istilah PSSI, sebenarnya ia bukan pelaku, melainkan suatu arena tertentu yang diperebutkan oleh pelbagai macam kepentingan. Kita banyak mendengar nama seperti NH, Nirwan Bakrie, Sutiyoso, Diza Ali, Arifin, Toisutta dan puluhan nama menyingsikan lengannya menjelang kongres di Solo. Para bandit, politisi, jenderal, pengusaha, pemilik klub, gubernur dan bupati saling mengincar kursi ExCo PSSI. Persis dalam situasi penuh kabut ini biasanya para petualang malang-melintang untuk meraih kepentingannya dan kelompoknya. Para petualang ini berhasil disatukan oleh satu hal: hancurkan NH. Semua orang tahu, dengan lengsernya NH, semua kepentingannya bisa terbuka. Sebelum NH turun, kepentingan mereka tidak pernah terakomodasi.

Runtuhnya rejim NH adalah kata kunci dimana para pengkritiknya, suporter, pemilik klub, para Menteri, pialang politik, oportunis, pebisnis, petinggi militer bisa bersepakat, sepanjang kepentingannya yang tersembunyi masing-masing pihak tidak benar-benar diekplisitkan. Adanya tujuan tunggal mengaburkan banyaknya kepentingan dari bidang-bidang kekuasaan yang saling berebut pengaruh. Semua orang tahu JA hanyalah boneka dari kelompok-kelompok yang lebih besar.

Meskipun begitu, kemenangan kelompok Jenggala dan JA sebagai simbolnya tidak mengurangi harapan tentang pembaharuan membumbung yang sudah sampai diubun-ubun kepala. Kita berharap kepemimpinannya mampu mengatasi masalah yang mendera sepakbola kita selama rezim-rezim sebelumnya. Namun setelah 100 hari kepemimpinannya, harapan itu semakin menjauh dari arah semula. Rejim JA sepertinya gagap menghadapi masalah-masalah yang kita hadapi. Ia jadi sedemikian kalap mengeluarkan kebijakan yang tidak terkendali. Belakangan, rejim ini dituduh melanggar statuta dan akan dilaporkan ke FIFA oleh anggotanya sendiri.

Persis disinilah kita melihat kinerja rezim ini ada dalam medan pertarungan berbagai kekuasaan lain. Saya tidak yakin uang yang beredar dalam rekening-rekening rahasia pemilik suara PSSI diambil dari gaji JA sebagai pegawai. Dukung-mendukung, jual beli suara dan posisi dalam politik Indonesia seperti hantu, dia tidak kelihatan tapi mudah untuk dipercaya benar adanya. Gemuknya struktur kepengurusan dua kali lipat dari rejim sebelumnya dan keterlibatan pelbagai kepentingan—dari pemilik 78 suara, klub-klub LPI, para politisi dan petinggi militer—membuat rezim ini terlihat menjadi tawanan dari pelbagai kepentingan kelompok-kelompok yang mendukungnya.

Pembaharuan PSSI adalah harapan, tetapi juga suatu utopia. Cita-cita sepakbola bisa berbalik ke arah yang sebaliknya bukan lantaran buruknya ketua umum PSSI, melainkan karena rezim dia ditawan kelompok-kelompok seperti pemodal, penguasa militer, pemilik siaran televisi dan para petualang lainnya yang kekuasaannya digunakan, dipinjam, dihutang, atau dibarter agar memungkinkan rezim itu berkuasa dan berjalan diatas puingpuing rejim lama.

Kita bisa saja berpura-pura untuk mengabaikan bau busuk ini. Tetapi jenis permainan ini sangat mudah dikenali. Ada banyak fakta yang menunjukkannya. Tiba-tiba MNC milik Hari Tanusudibyo menyerobot hak siaran milik ANTV. Ini jelas ada urusannya dengan politik karena, pada minggu yang sama MNC jadi official partner LPI, taipan pemiliknya bergabung dengan parta Nasional Demokrat. Juga tiba-tiba SCTV mendapatkan hak siar pertandingan timnas tanpa lelang yang terbuka. Disisi lain, kelompok Bakrie Capital bergegas untuk meraih hak siar piala dunia 2014.

Ada banyak aspek kekuasaan yang dijalankan dengan brutal oleh rezim JA untuk mengakomodasi banyak kepentingan para pendukungnya. Alfred Riedle diganti seminggu menjelang kualifikasi oleh pelatih yang dikontrak LPI. Orang yang pertama merilis isu ke media ini justru Arifin Panigoro, yang tidak memegang jabatan apapun di PSSI. Di Klub-klub yang bertikai (Arema, Persebaya dan Persija, misalnya), mengapa satu eksponen LPI yang dimenangkan dan ‘kubu Bakrie’ diamputasi? Kompetisi tiba-tiba membengkak diikuti 24 klub dimana banyak rumor klub-klub belum diverifikasi. Saya kira ini ada kaitannya dengan klub-klub yang mencoba menarik upeti dari pemberian suara saat kongres. Para profesional bertangan dingin seperti Joko Driyono dan Iman Arif tidak dipakai lagi dan PSSI mempekerjakan orang-orang yang tidak pandai menyusun jadwal kompetisi.

Bung Towel—aka Tommy Welly—dalam esainya pernah risau reformasi ala Jenggala ini (Liputan6 10/10/2011). Reformasi ini sangat mudah mendemarkasi siapa pro status quo dan siapa tidak dengan cara mengorbankan timnasional. Seorang teman mengatakan bahwa kelompok Jenggala ingin membasmi rezim NH sampai ke akar-akarnya. Apa yang berbau NH dan Bakrie harus diberangus. Menurut saya, pokok persoalannya lebih luas dari itu. Disinilah kita bisa menjelaskan hubungan antara pemerintah dan penguasa. Dalam suatu tata kepemerintahan (govermentality), ketua umum/pemimpin bukanlah pemegang kekuasaan secara penuh. Pemimpin adalah salah satu pemegang kekuasaan dari beragam kekuasaan yang saling menawan dalam matriks kepemerintahan PSSI. Kapital, pasar, negara, politik juga kekuatan suporter adalah bidang-bidang lain yang menentukan corak kekuasaan PSSI.

PSSI ala JA memunculkan kebijakan-kebijakan baru karena harus mengakomodasi janjinya bagi pemilik bidang kekuasaan lain yang mendukungnya. Ini adalah pertarungan banyak gajah dengan banyak gajah yang ada berada dibelakang kekuasaan PSSI. JA mungkin bukan pelanduknya, tapi jelas dalam rimba raya kekuasaan ini, dia bukanlah gajah yang sudah punya gading. Mengapa PSSI menggunakan logo penuh tanda tanya dan juga nama yang sama dari LPI? Kenapa PSSI bersikeras memulai kompetisi tanggal 15, ketika bahkan, beberapa klub tidak menerima panduan liga atau aturan verifikasi? Kenapa tetap ngotong melikuidasi PT Liga Indonesia yang telah terbukti sangat bagus menyelenggarakan ISL? Saya melihat langsung laporan bahwa klub PSMS Medan belum memiliki dana, direktur, dan daftar pemain resmi, meski ia tercatat sebagai klub peserta liga.

Lebih buruknya, bertahun-tahun penjenjangan kompetisi—Divisi 3, Divisi 2, Divisi 1 dan paling tinggi ISL diabaikan begitu saja. Kita tidak pernah mendengar secara resmi bagaimana rezim JA ini mengurus Divisi Utama dan dibawahnya. Masuknya 24 klub sebagai peserta liga jelas lebih lucu dari lawakan paling ironis. Jika dengan 18 klub saja sudah banyak yang rugi, kenapa musti 24? Ini tak lain menggambarkan adanya kesepakatan-kesepakatan bawah meja pemilik (suara) klub yang telah dimulai sejak pemilihan ketua umum PSSI.

Kekacauan sepakbola Indonesia bukan melulu karena tiadanya pemimpin yang hebat, tetapi karena kita sebagai warga sepakbola gagal menghentikan keganasan para bandit bisnis, petualang politik, campur tangan militer, atau bos-bos media yang berambisi menguasainya. Lalu kita memaki rejim NH dan bermimpi tentang sosok seperti JA akan membebaskannya. Jika kita sendiri tidak sanggup, mengapa JA kita andaikan sanggup? Kita dulu melihat rezim PSSI dibawah ND menjadi tawanan agenda partai politik Golkar, agenda bisnis Bakrie, atau oligarki bisnis yang menutup diri. Namun kita melihat bau busuk yang sama sekarang ini telah merayap ke dalam PSSI.

Dilihat dari proses perubahan rezim kepemerintahan sepakbola, kita telah melakukan blunder yang sama dalam kehidupan politik bangsa. Kita membebankan masalah sepakbola itu kepada segelintir orang yang berkuasa. Blunder itu sering tidak kita kenali, seperti rasa asing kita terhadap bau mulut kita sendiri. Diam-diam saya melempari pemain lawan dengan botol minuman dan meneriaki wasit dengan makian tetapi berharap kompetisi berjalan damai. Kita menggunakan tiket dari calo tapi berharap sepakbola menjadi industri. Kita berharap mengembangkan pemain muda, tapi sekaligus mengamini naturalisasi. Kita sangat tahu bahwa orang-orang Jenggala itu manusia seperti kita, tetapi kita berharap ia bisa menjadi malaikat yang mengurusi sepakbola. Mereka dibentuk oleh sejarah sosial dan struktur kekuasaan yang sama dengan rejim NH, namun pada saat yang sama menuntut mereka bertindak sangat luar biasa untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia.

Segala keceriwisan saya diatas mungkin tidak ada hubungannya dengan kemelut PSSI sekarang ini. Tapi saya merasa (perasaan kadang sukar dibuktikan), sepakbola kita sangat mudah berpindah dari mulut harimau ke mulut buaya. Kebetulan kedua hewan itu menyukai rawa-rawa keruh dalam evolusi sejarahnya. Pendulum sejarah sepakbola sepertinya hanya berayun dari kedua mulut hewan karnivora.

*Terinspirasi tulisan B. Herry Priyono, Kepemimpinan Republik (2003).

1 comment:

  1. Indonesia punya pengusaha2 yang gila bola.. saking gilanya, tdk pduli dengan biaya yg hrus dikeluarkan.. Contoh, panigoro menghmburkan uangnya di LPI, Bakrie membiayai SAD, menanggung sebagian tanggungan PSSI dll.. Mreka smua punya niat yg tulus mmajukan sepakbola INA.. Yg menjadi masalah mereka salah tempat, seharusnya mereka bukan berkompetisi utk mengelola PSSI., tp bersaing di Liga yg dibuat PSSI.. Alangkah bagusnya jika Bakrie fokus pada Pelita Jaya, dg dana yg berlimpah, blanja pemain berkualitas, buat akademi pemain muda, buat stadion sendiri.. bgitupun Panigoro bersaing dengan cara membeli sebuah klub, misalnya Persebaya., buat jd klub yang betul2 profesional.. Blm lagi dulu pernah ada Investor yg trtarik asing trtarik dgn Persija., namun sayangmya dihalangi oleh klub2 lokal anggota Persija.. Arema dngan puluhan ribu suporter setianya tentu dapat menarik investor.. Persik bisa berkolaborasi dgn PT Gudang Garam.. Persipura bisa paksa Freport jd investor klub.. dan daerah2 lain yg pengusahanya gila bola.. semua bisa dimanfaatkan hingga trcipta kompetisi yg real profesional.. imbasnya pun bisa ke Timnas., jika semua tercapai, prestasi tinggal mmenunggu waktu..

    ReplyDelete