Oleh Mahfud Ikhwan
Saat menonton semifinal leg
kedua Vietnam-Indonesia, teman yang menonton di samping saya mendukung Vietnam.
Ia mungkin kekiri-kirian, tapi dukungannya untuk Vietnam bukan karena mereka
tim dari negara komunis. Kurang patriotik, tidak juga. Ia hanya seseorang yang
sedang sangat skeptis. “Aku hanya tak mau keberhasilan timnas diklaim
penguasa,” begitu ia memberi alasan.
Ia memang bukan penggemar
sepakbola, dan kebetulan bukan pendukung pemerintah. Jadi, maklum saja kalau
yang mengemuka adalah alasan-alasan yang jauh dari sepakbola. Meski begitu,
saya yang menonton untuk mendukung timnas senang-senang saja. Saya jadi ada
rival di depan televisi. Acara menonton jadi seru, tidak sepihak. Ekspresi
perayaan kemenangan saya, ketika wasit Fu Ming menyudahi 15 menit kedua babak
tambahan waktu, jadi punya sasarannya.
Tapi jika pun teman saya itu
seorang penggemar sepakbola, sikap tersebut juga akan saya maklumi. Sebab
penggemar sepakbola, lebih-lebih sepakbola Indonesia, tahu benar bahwa
sepakbola memang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun. Siapa pun! Mulai dari kepala
negara, ketua partai oposisi, ketua partai bukan oposisi, kepala departemen
yang kurang menonjol, kepala daerah yang kurang berprestasi, kepala keluarga
yang sedang pusing soal ekonomi, hingga kepala bujangan yang pening karena
harus mikir pindah kontrakan.
Gampangnya, banyak sekali kepala
yang disandarkan di pundak sepakbola kita.
Tapi itu bukan hal yang
terlalu istimewa. Setidaknya, di mana-mana memang seperti itu.
Sepakbola menanggung beban
yang jauh lebih berat di tempat-tempat kurang beruntung atau di antara orang-orang
melarat. Di tempat-tempat macam itu, sepakbola jadi bukan sekadar permainan,
dan olahraga hanya jadi bagian kecilnya saja. Ia harus jadi obat untuk
orang-orang sakit; jadi roti untuk orang-orang lapar; jadi bola lampu untuk
orang-orang dalam gelap; jadi penghiburan untuk orang-orang susah. Dalam banyak
kasus, sepakbola bahkan jadi agama untuk orang-orang yang tersesat.
Itulah kenapa Maracanazo, kekalahan Brazil di final
Piala Dunia ’50, jadi tragedi nasional yang melegenda, melebihi kisah kekalahan
di mana pun. Itu juga yang membuat perang konyol yang disebut Football War antara Honduras dan El
Salvador pada 1969 bisa terjadi dan masuk akal. Itulah sedikit alasan kenapa
hooliganisme merebak di era Theacher, masa ketika Inggris secara ekonomi
sedang murung dan mundur setelah ngos-ngosan membiayai Perang Malvinas. Dan
itulah kenapa, pemujaan bak dewa yang didapat Maradona di Naples yang miskin tak
akan didapat Maldini di Milan atau Del Piero di Turin yang lebih makmur,
meskipun dua nama terakhir mendapat lebih banyak gelar dibanding yang pertama.
Dan, itulah kenapa kita tak
membutuhkan penjelasan yang terlalu njelimet untuk tahu kenapa persoalan
sepakbola di negeri ini jadi jauh lebih runyam dari seharusnya.
***
Saya ada di antara 80-an ribu
suporter Indonesia di Gelora Bung Karno yang dibuat kesurupan oleh gol indah
Cristian Gonzales ke gawang Filipina, yang mengantar kita ke final AFF 2010.
Tapi, pada saat yang sama, dengan mata-kepala sendiri, saya menyaksikan di
seantero stadion terpasang spanduk-spanduk konyol berisi puja-puji kepada ketua
PSSI, yang saat itu tengah banyak digoyang. Dan hanya beberapa jam kemudian,
seluruh Indonesia menyaksikan tim calon juara itu digiring seperti ternak ke
“acara keagamaan” seorang ketua partai. (Mana bisa kita lupa dengan wajah cemberut
dan mengantuk Irfan Bachdim di antara kerumunan dan cubitan ibu-ibu pengajian
malam itu.)
Dengan salah satu tim terbaik yang
pernah kita punya, Indonesia gagal secara memalukan di final, ditaklukkan
Malaysia, tim yang mereka gasak 5-1 di babak grup. Orang Indonesia murka.
Oligarki partai yang menguasai sepakbola kita selama berdekade-dekade digugat.
Dan sekelompok orang, entah siapa dan dari mana, tiba-tiba merasa punya hak
untuk “menyelamatkan” sepakbola Indonesia. PSSI belah dua. Klub-klub terlibat
perkubuan. Ada kompetisi kembar. Timnas jadi kacau. Lalu, penguasa saat itu,
yang tengah sangat tidak populer, dengan sok bijak dan sok pahlawan berlagak menjadi
hakimnya. Ujungnya, tak ada. Kita tak tahu lagi, mana hakim, mana jaksa, mana penjahatnya. Semuanya sama.
Di tubir titik nadirnya,
tiba-tiba sepakbola kita menemukan tim U-19. Seperti mendapati sumur jatuh dari
langit, orang-orang berkerumun, berebut airnya, berebut berkahnya. Nama Evan
Dimas, Maldini Pali, Paulo Sitanggang, secara instan jadi lebih dikenal
dibanding artis manapun di Indonesia. Wajah mereka beredar di acara-acara gosip, di
iklan-iklan, di program-progam penguras air mata. Maka, kisah-kisah ditulis,
wawancara-wawancara dibuat, mitos-mitos muncul.
Mereka main dua hari sekali--untuk pertandingan-pertandingan konyol yang sama sekali tak bermanfaat untuk mereka--seakan
mereka sebuah boyband remaja yang sedang laris-larisnya. Terpukau dengan
skil Evan Dimas, gocekan Ilhamuddin, lari Maldini, dan metode kepelatihan Indra
Sjafri, orang Indonesia bukan hanya yakin mereka akan juara Piala Dunia U-21
tapi juga percaya bahwa 8 atau 10 tahun ke depan Indonesia mungkin saja juara
Piala Dunia. Ketika mereka gagal melewati
fase grup di Myanmar, semua orang segera menyadari bahwa raja dengan pakaian
gemerlap yang tengah mereka puja-puja itu tak lebih dari bayi
telanjang. Bayi yang masih butuh dipopoki, yang masih harus dibedaki. Faktanya,
mereka memang masih sekumpulan bocah.
Seperti semua pencinta
sepakbola di Indonesia, saya mendukung mereka. Tapi, kegagalan mereka yang
terlalu awal, tangis mereka yang tersedu-sedu, justru melegakan saya. Mereka
akhirnya terbebas dari beban yang belum waktunya, dan tak semestinya, mereka
tanggung.
Saya waktu itu tak mendukung Vietnam
seperti teman saya yang kekiri-kirian itu, tak juga mendukung tim lainnya. Tapi
saya tahu, semakin jauh mereka melaju, akan semakin banyak pihak yang mengincar
keuntungan atas mereka. Urat leher mereka yang muda, darah mereka yang segar, dan kegilaan yang tengah menyelubungi mereka, pasti tak akan dilepaskan begitu saja oleh stasiun-stasiun tv yang butuh iklan atau pejabat-pejabat gagal yang ingin nampang.
***
Ini Indonesia 2016. Masih banyak
orang yang kecewa calon presidennya tak jadi. Tak sedikit orang uring-uringan karena
presiden pujaannya dihina. Berbondong orang murka karena merasa agamanya
dilecehkan. Tak terhitung buruh di-PHK, orang-orang miskin digusur rumah dan
mata pencahariannya, petani diusir dari tanahnya, nelayan dihalau, laut diurug,
sawah dibeton. Ini tahun yang berat. Ini Indonesia yang sedang kurang
menyenangkan. Jutaan orang, ratusan juta orang, membutuhkan penebusan.
Karena itu, alangkah
jahatnya melarang orang-orang malang itu menumpukan harapan pada timnas
sepakbolanya. Tapi, berlebihan memberikan dukungan, berlebihan menitipkan
harapan, berlebihan membuat ekspektasi—setelah hal-hal buruk yang telah mencengkam
dan belum benar-benar pergi dari sepakbola kita—adalah tindakan tak tahu diri.
Mendukung dan berharaplah dengan sewajarnya, sepantasnya.
Kepada Pak Presiden, silakan
datang ke stadion, berilah dukungan kepada timnas kita, sebagaimana Anda
memberikan dukungan kepada rakyat Anda yang sedang memperjuangkan hidup dan
cita-citanya, di manapun, di bidang apapun. Tapi cukuplah begitu saja, tak
perlu lebih dari itu. Sebab, sejujurnya, saya tak ingin kekuatiran teman saya itu
jadi kenyataan. Saya ingin teman saya yang mendukung Vietnam kembali menjadi
orang Indonesia selazimnya, yang mendukung timnasnya.
Pak Menteri, Pak ketua
partai, dukungan Anda sekalian juga dibutuhkan, sebagaimana dukungan seluruh
rakyat Indonesia. Tapi tetaplah jadi pendukung (seperti kami-kami ini), dan
bukannya pelatih, apalagi pemain, apalagi jadi semuanya sekaligus. Jika Anda
ingin memberi yang terbaik bagi sepakbola Indonesia, ambil kebijakan yang baik
dan langkah-langkah yang konkret, dan bukannya mengambil mik dan jadi pusat
sorotan kamera, dan mengesankan seakan Anda yang paling punya jasa.
Kepada ketua dan pengurus PSSI,
siapa pun kalian, fokus untuk mengurus tiket pertandingan timnas dengan baik,
memperlakukan suporter Indonesia dengan sepantasnya, akan jadi bentuk dukungan
yang sangat bermanfaat dan dihargai. Membuat kompetisi yang baik dan rapi ke
depannya, yang diorientasikan sepenuhnya untuk kepentingan timnas, akan lebih
baik. Tapi jika kalian tak melakukan apa pun, itu tampaknya jauh lebih baik
lagi.
Kepada teman-teman, para suporter
biasa seperti saya, menjadi suporter bijak itu sulit. (Kkalau bijak, cerdas
pula, kita tak akan jadi suporter tapi jadi pelatih, ya toh?) Tapi, kita bisa
berusaha menjadi suporter yang baik, yang... ehmm... yang tak menumpahkan beban
hidupnya kepada 11 pemain yang beban hidupnya tak lebih ringan dibanding kita.
Katakanlah, tak ada di
antara mereka yang calon presiden pilihannya nggak jadi, yang presiden yang
didukungnya terus-menerus dimaki, yang calon gubernurnya dikriminalkan, yang
agamanya dilecehkan, yang rumah atau tanah keluarganya digusur, atau yang
desanya diincar pengembang—seperti kita. Tapi, yang pasti, belum lama ini
mereka adalah bagian kecil dari sekelompok orang Indonesia yang terancam mata
pencahariannya.
Noyokerten, 13 Desember 2016
Agen Togel Online Terbaik & Terlengkap!
ReplyDeleteTersedia Pasaran Hongkong - Sydney - Singapore
Potongan Diskon 2D = 30% | 3D = 59% | 4D = 66%
Dapatkan Keuntungan Dalam Menebak Angka Hingga Ratusan Juta Setiap Hari..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995