Oleh Mahfud Ikhwan
Kita pernah mendengar tentang kejayaan tembakau Dusseldorf, namun jelas Jerman lebih identik dengan mobil, pesta bir, dan kaos adidas, dibanding dengan rokok. Tak ada perusahaan rokok Jerman yang masuk jajaran 5 besar dunia. Menurut laporan Daeng dkk. (2011), produksi tembakau Jerman tak masuk hitungan 10 besar negara penghasil tembakau. Angka konsumsi juga: mereka kalah dari negara-negara tetangga Eropa-nya yang lebih kecil macam Belgia, Belanda, Swiss, bahkan Luxemburg.
Tapi, siapa sangka jika kebesaran Jerman di abad ke-21 ini, terkhusus dalam sepakbola, berhutang budi dengan seorang bocah penjual rokok. Paling tidak, itulah yang diperlihatkan oleh Sonke Wortmann dalam filmnya, The Miracle of Bern (2003).
***
The Miracle of Bern (Keajaiban Bern), atau Das Wunder von Bern dalam bahasa Jerman, adalah sebuah istilah yang mengacu kepada kemenangan ajaib Jerman (Barat) 3-2 atas Hungaria di final Piala Dunia 1954 di Bern Swiss. Dianggap sebagai keajaiban karena publik sepakbola dunia saat itu, termasuk para pendukung Jerman sendiri, sulit membayangkan mereka bisa mengalahkan Hungaria.
Sebagaimana ditulis Owen McBall (2010), tim nasional Hungaria tahun 1950-an adalah sebuah tim yang hampir tak memiliki padanannya hingga hari ini, tidak dengan Brazil tahun 2000-an, tidak juga dengan juara dunia Spanyol sekarang. Dekade 50-an, sepakbola jadi milik Hungaria sepenuhnya. Diperkuat oleh deretan pemain terbaik masa itu seperti Ferenc Puskas, Nandor Hidegkuti, Sandor Kocsis, dan Jozsef Bozsik, tim ini tidak terkalahkan dalam 4 tahun, atau tak kurang dari 32 pertandingan internasional. Dua tahun sebelum Piala Dunia 1954, mereka adalah pemegang medali emas sepakbola Olimpiade Hensinki 1952. Tak berselang lama sebelum ke Swiss, mereka membantai moyangnya sepakbola, Inggris, di kandangnya sendiri, Stadion Wembley, dengan skor mencolok, 3-6. Itulah kenapa mereka disebut sebagai Para Penyihir Magyar. Di lain pihak, Jerman adalah tim yang sakit. Diperkuat oleh banyak veteran yang kalah perang pada Perang Dunia II, Jerman hanya berangkat ke Swiss sebagai tim Eropa kacangan. (Dan tampak semakin kacangan saja ketika di penyisihan, mereka dibantai oleh Hungaria 8-3.) Karena itu, ketiga Jerman bisa mencapai final, banyak kalangan—termasuk para wartawan dan pendukung Jerman sendiri—yang menganggap hal itu sebagai keberuntungan saja. Namun, Jerman kemudian membalik semua teori dan prediksi. Mereka memukul Hungaria 2-3 dan merengkuh gelar Piala Dunia untuk pertama kalinya.
Meski begitu, istilah “keajaiban” itu tak hanya mengacu kepada kemenangan di Bern pada 4 Juli 1954 tersebut, melainkan hal-hal yang terjadi setelah kemenangan tersebut. The Miracle of Bern dianggap sebagai titik balik kebangkitan sepakbola Jerman. Sepakbola di Jerman, yang sebelumnya berada di bawah bayang-bayang olahraga gimnastik, seperti digambarkan oleh penulis Roman Horak (2006), tiba-tiba menjadi olahraga nasional dan jadi kebanggaan Jerman, yang ditegaskan dengan dimulainya Bundesliga Jerman tahun 1963. Namun yang lebih hebat dari itu, The Miracle of Bern dianggap sebagai penanda pulihnya kebanggaan bangsa Jerman usai dihajar Perang Dunia II. Hal itu digambarkan secara indah oleh film Wortmann.
***
Matthias Lubanski (dimainkan secara sangat mengesankan oleh Louis Klamroth) adalah bocah 10 tahun yang tinggal di Essen, kota kecil-kusam di Jerman pasca-perang. Setiap harinya ia membongkar puntung-puntung rokok, melintingnya kembali, dan menjualnya kepada para pengunjung warung minuman yang dijalankan ibunya, Christa (Johanna Gastdorf). Christa harus menghidupi ketiga anaknya sendirian, sebab Richard (Peter Lohmeyer) belum kembali dari kamp tahanan Rusia. Jika tak sedang membantu ibunya, Matthias menghabiskan waktunya dengan bermain bola dan menjadi asisten (bag boy) bagi seorang pemain sepakbola lokal bernama Helmut Rahn (Sascha Gopel). Hubungan Matthias dan Rahan sungguh istimewa. Sebagai penggemar klub lokal Rot-Weis Essen, ia sangat memuja strikernya, Rahn. Karena itu, Matthias dengan senang hati jadi asistennya, membangunkannya, dan membawakan tasnya menuju tempat latihan atau ke pertandingan. Di sisi lain, Rahn sangat tergantung dengan Matthias. Bukan saja karena sangat terbantu dengan asistensinya, tapi juga karena ia percaya kalau Matthias adalah azimat keberuntungannya. Dan benar, di ujung cerita, hubungan aneh anatanya Matthias dan Rahn inilah yang jadi penentu gol kemenangan Jerman di Bern—tentu versi Wortmann.
The Miracle of Bern memang film tentang keajaiban. Namun yang lebih penting dari itu, ini kisah tentang bangkit dari kehancuran: kebangkitan tim nasional Jerman dari kekalahan 8-3 oleh Hungaria di babak penyisihan; kebangkitan keluarga Lubanski yang 12 tahun terpisah; kebangkitan rakyat Jerman dari kehancuran pasca-perang.
Di Bern, beberapa jam sebelum kick-off Final Piala Dunia 1954, di depan para pemainnya, pelatih Jerman Barat Sepp Herberger mengungkit kekalahan 8-3 atas Hungaria di babak penyisihan. Sang pelatih berharap, kekalahan itu cukup menyakitkan bagi para pemainnya, sehingga mereka tak hendak mengulanginya lagi. Skor 8-3 memang menunjukkan betapa perkasanya Para Penyihir Magyar. Namun, di sisi lain, kebobolan 3 gol menandakan bahwa mereka bisa juga ditembus. “Kita sudah tahu betapa kuatnya mereka, tapi mereka tak tahu apa-apa sampai di mana kekuatan kita,” katanya.
Di Essen, sebuah kota dengan tembok-tembok rumah kusam dan tanah becek yang hitam kelam (seakan asap mesiu sisa perang masih menempel di mana-mana), tepatnya dalam rumah keluarga Lubanski, Richard Lubanski, yang kembali pulang setelah 12 tahun dalam sekapan kamp tahanan Rusia, harus menyembuhkan dirinya dari trauma Siberia. Ia mesti kembali menjadi bapak yang semestinya bagi ketiga anaknya, terutama untuk si bungsu Matthias, yang sebelumnya tak pernah dilihatnya. Beberapa kesalahan fatal yang dilakukannya, yang membuat Matthias mencoba kabur, dan membuat anak sulungnya Bruno, seorang simpatisan Partai Komunis, memilih minggat ke Jerman Timur, coba ditebusnya. Salah satu caranya adalah dengan membawa Matthias ke tempat yang sangat diinginkannya, di sebuah peristiwa yang membuatnya merasa penting.
Di seluruh Jerman, tepat di saat final, jalan-jalan, rumah, biara-biara, terlihat lengang. Di tengah pesimisme dan ketidakpercayaan diri yang parah—“ah, pasti Jerman kalah 12-0” kata seorang pengunjung di warung keluar Lubanski—hampir seluruh rakyat Jerman (termasuk di dalamnya orang-orang yang sebelumnya tak suka sepakbola) harap-harap cemas di depan radio dan televisi. Meski tak terkatakan, wajah-wajah mereka menunjukkan, nasib bangsa Jerman ke depan ditentukan oleh skor akhir pertandingan di Bern itu.
***
Bocah penjual rokok itu sepertinya hanya sebuah dongeng yang dicangkokkan oleh sutradara Sonke Wortmann ke momen historis final Piala Dunia 1954. Pada riwayat hidup Helmut Rahn, kepada siapa film ini dipersembahkan, tak terkonfirmasi adanya seorang bocah dengan ciri-ciri mendekati karakter Matthias Lubanski. Matthias Lubanskii tamapknya serupa sosok Arya Kamandanu, yang disuntikkan S. Tijab pada sejarah berdirinya Majapahit dalam Tutur Tinular.
Tapi, bisa jadi saya salah. Matthias mungkin saja pernah menjadi bagian dari riwayat hidup Helmut Rahn. Dan mari beranda-andai—dengan sedikit tawa tentu saja—bahwa pada tahun 1993, 10 tahun sebelum Wortmann membuat filmnya, seorang petinggi sepakbola Indonesia mendengar kisah tentang bocah penjual rokok itu entah dari mana. Sembari mengingat banyaknya pabrik dan merek rokok di Indonesia, dari Jeruk sampai Bentoel, dari Lodji sampai Gudang Garam, dari Seng sampai Djarum, tebersitlah di pikirannya: jika Jerman hanya membutuhkan seorang bocah penjual rokok untuk jadi juara dunia, maka apa jadinya sepakbola Indonesia jika menggandeng para juragan rokok. Lalu, dengan rasa bahagia sebagaimana saat Archimides meneriakkan “eureka! eureka!” setelah menemukan teori fisikanya, sang petinggi berlari ke rumah Azwar Anas, ketua PSSI saat itu.
Satu tahun kemudian muncullah Liga Dunhill.
Mantabs....jadul gila potonya
ReplyDelete