Oleh Mahfud Ikhwan
Bahu saya dicengkam oleh Pak Amrozi, orang
yang paling dihindari dan paling ditakuti di seantero pondok. Tanpa bicara
sepatah pun, ia menyeret saya keluar dari ruang tengah rumah Bu Anshor, tempat
kami menonton, menyeberang perempatan, melewati jalanan beraspal pukul tujuh
malam yang sedang ramai orang lalu-lalang. Di gerbang pondok, Pak Yai Muchlis (Allahuyarham) telah menunggu dengan muka merah
padam. Sajadah di tangannya yang tergulung menjadi lebih kecil teracung tinggi,
seakan sebatang cambuk api.
Selama tiga tahun nyantri, tak pernah saya
melihat beliau marah melebihi malam itu. Dan kemarahan itu ditujukan kepada
saya. Meski demikian, yang mengganggu di kepala saya justru adalah pertanyaan:
berapa skor akhir Indonesia-Vietnam?
***
Saya dan Timnas Indonesia dihubungkan oleh
serangkaian narasi kekalahan—frasa yang saya pakai untuk judul sebuah tulisan
yang menggambarkan kekalahan Indonesia dari Malaysia di Sea Games 2011. Lebih
banyak buruk dan sedihnya dibanding bahagianya. Karena itu, sebagian besar
berusaha saya lupakan, dan pada akhirnya memang terlupakan. Meski demikian, ada
beberapa penggal kenangan yang tak mungkin bisa tanggal, yang akan melekat terus-menerus
di kepala, yang jika saya mati boleh jadi akan lebih saya ingat dibanding
rangkaian talqin Pak Modin.
Sepakbola dikenalkan kepada saya lewat
suara buruk siaran pandangan mata di radio dan sebuah poster di dinding rumah.
Niyat Mitra (demikian saya menghafal nama Niac Mitra) dan Persibaya (seharusnya
Persebaya) adalah hal-hal berkait sepakbola yang pertama saya dengar, sementara
Maradona dan Buruchaga dan tentu saja Argentina adalah nama-nama yang mungkin
untuk pertama kalinya saya eja.
Dengan timnas Indonesia secara khusus,
saya tak tahu mulainya kapan. Nama-nama yang lekat asosiasinya dengan timnas di
kepala sejak sangat awal adalah kiper Hermasyah, Marzuki Nyak Mat (yang dulu
kami sebut sebagai Marzuki Nikmat), dan tentu saja Ricky Yacob—terutama karena
komentator TVRI, entah siapa saya lupa namanya, selalu meneriakkan “Ayo Ricky!”
setiap ia melakukan syuting ke gawang lawan. Tapi, jauh sebelum itu,
rasa-rasanya saya juga familiar dengan nama Kadir, Yacob Sihasale, Nasir
Salasa, hingga Djoko Malis, walaupun deretan nama-nama ini tentu saja bercampur
asosiasinya dengan sepakbola Surabaya, pusat peradaban yang terdekat dengan
kami.
Langkanya televisi di desa kami tampaknya membuat
saya—tidak seperti teman-teman sebaya yang ada di kota atau yang agak kekota-kotaan—mengasosiasikan
diri dengan timnas Indonesia agak telat. Lagi pula, di saat itu, nasionalisme di
olahraga yang belakangan paling kelihatan di sepakbola tampaknya terbagi agak rata
dengan bulu tangkis dan tinju, dengan nama Ellyas Pical ada di puncak piramida.
Meski begitu, ada setidaknya dua pertandingan lama timnas yang sayup-sayup
tersimpan di ingatan.
Pertandingan pertama adalah pertandingan
persahabatan melawan PSV Eindhoven. Karena nama PSV, saya bisa dengan gampang
menandai pertandingan ini sebagai tur pramusim PSV usai mereka menjadi juara
Piala Champion 1988. Saya tak ingat skor akhirnya, tapi pertandingan ini mudah
diingat karena nama Gullit (yang waktu itu terdengar dan disebut dalam
percakapan sehari-hari sebagai Rut Kulit), yang ikut ke Jakarta, dan tampaknya
jadi penanda kepindahannya yang kolosal ke AC Milan di musim berikutnya.
Yang sedikit aneh adalah pertandingan
kedua. Meneliti beberapa detil yang masih saya ingat, pertandingan ini
tampaknya lebih dulu dibanding pertandingan pertama. Tapi, secara keseluruhan,
ingatan atas pertandingan ini banyak yang jelas-jelas sumir dan salahnya
dibanding benarnya. Bayangkan, saya selalu mengingat pertandingan itu sebagai pertandingan
timnas Indonesia vs Romania. Aneh? Bukan cuma aneh, pertandingan Indonesia vs
Romania tampaknya memang tak pernah ada—tak ada sekelumitkan catatan atasnya.
Tapi saya ingat betul pertandingan itu, beberapa detil, dan terutama skornya.
Dalam pertandingan yang diwarnai kerusuhan antarpemain dan penonton, dan diakhiri
pemogokan oleh tim lawan, Indonesia dinyatakan menang telak 5-0.
Apakah ingatan saya telah menukar Romania
dengan Oman (mengingat bahwa para pemain lawan saat itu banyak yang bercambang
lebat seperti orang Arab), saya tidak yakin juga. Yang benar-benar membekas,
sehingga saya bersikukuh bahwa saya benar-benar menonton pertandingan ini dan bukan
mengimpikannya, adalah dua nama Lubis di tim Indonesia, yaitu Hamdani dan
Zulkarnain. Keduanya, atau setidaknya salah satunya, bertubuh gempal dan
berambut gondrong, raut mukanya terlihat tak enak untuk seorang kanak-kanak, dan
terutama larinya yang seperti setan.
Selain dua ingatan yang tak begitu jelas
itu, saya tak banyak mengingat pertandingan timnas tanpa membaurnya dengan final sepakbola Pon atau pertandingan-pertandingan penting liga
Indonesia, terutama setelah penyatuan perserikatan dan galatama. Melewatkan
satu-satunya gelar juara timnas Indonesia di masa saya tumbuh, yaitu medali
emas Sea Games 1991, (mungkin karena saat itu mentor dan pembimbing pengetahuan
sepakbola saya, Bapak, sedang tidak di rumah), ingatan sepakbola di masa-masa awal
remaja saya hanya dipenuhi oleh pengguntingan yang serampangan gambar-gambar
pemain sepakbola lokal, hampir siapa pun, dari koran-koran bekas yang bisa
didapat. Beralih kesukaan dari Persebaya ke Mitra Surabaya (klub jelmaan bekas
Niac Mitra), dinding almari buku saya dipenuhi oleh gambar guntingan Marzuki
Badriawan dan Hadi Surento, dua pemain hebat yang malangnya tak banyak mengecap
kap di timnas Indonesia, selain Da Costa dan Gomez de Olivera. Maka, jika ada
pengalaman pahit berkait sepakbola Indonesia di tahun-tahun itu tentu adalah gagalnya
Mitra menembus 8 besar Liga Indonesia ’94-’95, kandasnya Barito Putra (tim
semua penonton netral) di semifinal, dan kalahnya Petrokimia Putra (tim
terbaik di kompetisi) oleh Persib Bandung (tim favoritnya PSSI) di final.
Timnas mulai mengharu biru ketika kehebatan
PSSI Primavera dari Italia mulai digemborkan. Melihat cara Kurniawan, Kurnia
Sandi, Bima Sakti, dan Aples Tecuari bermain dalam pertandingan-pertandingan
ujicoba dan pada Praolimpiade 1996, terutama saat mereka begitu percaya diri
melawan Korea Selatan (meskipun akhirnya kalah), denyar dan harapan yang saat
itu mungkin sama dengan saat kita untuk pertamakalinya melihat Evan Dimas dkk
dari timnas U-19 bermain. Maka, diantarai oleh penampilan mengejutkan timnas
Indonesia di Piala Asia 1996, dengan puncaknya pada gol salto Widodo C. Putra, tak
mengherankan jika harapan itu benar-benar ada di ubun-ubun semua pendukung
timnas, termasuk saya, saat Sea Games 1997.
Nahasnya, dari situlah rupanya, narasi
kekalahan antara saya dan timnas Indonesia dimulai.
***
Kurniawan Dwi Yulianto sudah menjadi pembicaraan di koran-koran dan tabloid-tabloid sejak ia dikabarkan direkrut
oleh Sampdoria. Bahwa kemudian ia berlabuh di FC Luzern, tim Swiss yang tak
begitu dikenal publik Indonesia, dan kemudian tak sukses, sama sekali tak
mengurangi antusiasme saya untuk menontonnya bermain bersama timnas Indonesia.
Tak bergabung dengan timnya Danurwindo di Piala Asia 1996, Sea Games 1997 pasti
akan jadi panggung besarnya.
Masalahnya, saya ada di sebuah pesantren
yang tak mengizinkan dinikmatinya tontonan dan hiburan elektronik. Saya memang
masih bisa nonton di tv milik Bu Ansor, warung tempat kami makan. Tapi, seperti
yang saya alami dengan pertandingan-pertandingan Seria A di tiap akhir pekan,
kami (anak-anak pondok) biasanya harus rela untuk tak menonton sampai selesai,
karena terpotong jam malam. Saya sudah mencermati jadwal pertandingan timnas
Indonesia di Sea Games, dan saya tahu cepat atau lambat akan ada masalah.
Dan masalah itu rupanya datang lebih
cepat.
Pertandingan kedua Indonesia di fase grup melawan
Vietnam, setelah sebelumnya menang lawan Laos 5-2, dilangsungkan di jam
tanggung: ia memakan waktu Magrib sekaligus Isya. Sudah begitu, tepat di waktu
yang sama, pesantren sedang mengadakan pemilihan pengurus organisasi siswa yang
mewajibkan seluruh santri untuk turut serta. Kalau di hari biasa kami bisa setidaknya
menonton separo akhir pertandingan, karena jadwal mengaji akan kelar usai
shalat Isya berjamaah, acara begituan jelas tak akan selesai setidaknya sebelum
jam sembilan. Sementara, saya ingin menonton pertandingan lawan Vietnam secara
utuh, tak mau hanya mendapat ujungnya saja, apalagi cuma ceritanya. Saya sejak
awal enggan untuk terlibat memberikan legitimasi anak-anak pencari muka Pak Yai
itu memimpin kami, tapi yang benar-benar saya pikirkan adalah bagaimana cara saya
agar tak melewatkan Indonesia vs Vietnam.
Biasanya, kalau saya sangat ingin menonton
sepakbola yang tak memungkinkan ditonton karena berbenturan dengan peraturan
pondok, opsi pertamanya adalah berkunjung ke rumah teman. (Rumah Darmanto,
teman yang kampungnya sekecamatan dengan SMA kami, biasanya jadi sasaran.)
Atau, opsi kedua, yang lebih ekstrem lagi: sekalian pulang kampung. Tapi dua
opsi itu sama-sama tak bisa diambil: sudah ditegaskan bahwa izin meninggalkan
pondok tak akan dikeluarkan untuk hari itu, kecuali untuk hal yang sangat
urgen. Maka, berhari-hari sebelum pertandingan, saya sudah melakukan hasutan
kecil-kecilan dengan beberapa teman yang biasa menonton sepakbola dengan saya
agar memilih sepakbola dibanding acara seremoni tak berguna itu. Tapi, hingga
jelang waktu pertandingan, saya tak menemukan teman untuk berkomplot. Mungkin
karena mereka takut dengan risiko yang bisa ditanggung, tapi boleh jadi juga
karena timnas Indonesia di kepala saya berbeda dengan timnas di kepala mereka.
Akhirnya, saya memutuskan melakukannya sendiri.
Hari itu, usai makan sore, saya meneguhkan
diri untuk tak kembali ke pondok. Saya minta ijin kepada Bu Anshor, pemilik
warung, untuk menunaikan shalat Magrib di rumahnya sembari mengutarakan maksud
untuk ikut nonton sepakbola. Pak Anshor memperingatkan soal kemarahan pengurus
pondok, tapi saya menegaskan bahwa saya yang akan menanggung risikonya.
Tak memperoleh teman berkomplot, saya
rupanya dapat “pengikut”. Ada setidaknya empat atau lima orang lain (saya lupa
persisnya) yang jelas sangat ingin menonton tapi takut memutuskan. Mereka
adalah bocah-bocah usia SMP dan dua orang santri baru usia SMA yang kebetulan
mengenal saya karena desa kami bertetangga. Ada seorang anak pondok tahun terakhir
di antara mereka tampaknya membuat keberanian mereka timbul. Jadinya, kami berlima
(atau berenam) nekat menonton.
Tak menunggu lama, risiko itu sudah
mengendus-enduskan hidungnya. Pengurus pondok bukannya tak tahu jadwal
pertandingan Indonesia-Vietnam, jadi mereka memang telah pasang mata dan
telinga. Usai jamaah shalat Magrib, mereka tentu segera tahu berapa orang dan
siapa saja yang tak muncul di barisan. Maka, jelang babak pertama berakhir,
Samuri, lurah pondok kami, sudah muncul di pintu rumah Bu Anshor. Ia tak
berselisih jauh umurnya dengan saya, Samuri ditakuti karena sangat keras
menegakkan peraturan—untuk beberapa kasus bahkan terlalu keras. Tapi ia baik
dengan saya. Kecuali malam itu, saya tak punya catatan buruk di bukunya. Oleh
karenanya, ia membujuk dengan baik-baik agar kami, terutama saya, balik ke
pondok.
“Tanggung, Ri,” itu jawab saya. Samuri tak
memaksa. Ia balik kucing, dan saya memilih bertahan untuk menunggu pertandingan
selesai. Tekanan dari Bu Anshor agar kami kembali ke pondok kembali menguat,
tapi kami bergeming. Seingat saya, hanya seorang bocah SMP yang akhirnya muntir. Sampai kemudian, berselisih
sekitar 15-20 menitan, Pak Amrozi datang.
Lalu terjadilah adegan yang saya ceritakan
di bagian awal tulisan.
***
Dari gerbang hingga kantor pondok, saya
digebuki oleh Pak Yai Muchlis dengan sajadahnya—hal yang seingat saya tidak
pernah saya lihat sebelumnya dan tak dilakukannya lagi sesudahnya. Sembari menyeru
kalimat-kalimat tayibat untuk mengendalikan amarahnya sekaligus mengekspresikan
penyesalannya, beliau menghardik saya sebagai santri senior yang tak tahu diri.
“Tuwo-tuwo kloyongan!” Kalimat itu
akan saya ingat sampai kapan pun.
Begitu didudukkan di meja kantor pondok,
kami langsung disidang.
“Bagaimana ini? Pilih langsung dikeluarkan
atau dipanggilkan orangtua?” Pertanyaan Pak Amrozi itu jelas untuk menggertak, tapi
tentu saja itu tetap mengejutkan saya. Dua bocah SMP dan dua anak angkatan baru
mengkeret, mata mereka memelas, memandang ke arah saya.
“Kamu yang paling tua, Fud. Bicaralah,”
mohon Nasrul, salah satu anak baru. Saya tahu, dalam hirarki pelanggaran pondok,
hanya minum-minuman keras dan mencuri, atau kemaksiatan berat lainnya, dan
bukannya menonton sepakbola, yang bisa membuat kami terusir dari pondok. Lagi
pula, seingat saya, saya tak punya simpanan kesalahan. Meski demikian, opsi
pemanggilan orangtua saja sudah cukup untuk membuat saya ketar-ketir. Bukan
apa-apa, itu tahun 1997, ekonomi memburuk, ongkos angkutan gila-gilaan naiknya.
Pasti emak saya akan repot jika harus dipanggil ke pondok.
“Saya tak pernah melakukan pelanggaran
sebelumnya, Pak. Dan anak-anak ini,” saya menunjuk rekan-rekan pesakitan saya,
“juga bukan anak-anak nakal. Kenapa kami diancam hukuman yang begitu berat?”
tanya saya, memberanikan diri menawar.
“Sebab kalian telah melakukan tiga
pelanggaran!” Pak Amrozi menegaskan.
Saya bingung. Bocah-bocah itu mungkin
sudah tak melihat ada peluang lolos.
“Pertama, kalian keluar pondok tanpa izin.
Kedua, kalian bolos dari shalat berjamaah dan kegiatan wajib pondok. Ketiga,
ini yang paling berat, kalian menonton tontonan dan/atau hiburan. Dan jadi
lebih berat lagi karena kalian melakukan ketiganya secara sekaligus.”
Saya nyaris tertawa mendengarnya, tapi
tentu saja itu tak mungkin. Sebab muka Pak Amrozi serius, dan muka anak-anak
selain saya tertekuk nyaris menempel meja. Tapi karena sudah kadung dianggap
yang paling tua oleh Pak Yai, dan dituakan oleh bocah-bocah itu, juga keinginan
untuk menolong diri sendiri, saya terus menawar hukuman itu.
Pak Amrozi melunakkan ancaman dengan
mendenda kami masing-masing satu sak semen—yang lazimnya didendakan untuk kesalahan
tingkat ketiga. Tapi itu jelas tak lebih baik. Harga satu sak semen lebih mahal
dibanding ongkos transportasi yang dibutuhkan emak saya jika harus datang pondok.
Bisa terancam SPP sekolah saya. Maka saya terus menawar, lebih tepatnya
menghiba, agar kami hanya dijatuhi denda untuk kesalahan tingkat kedua.
Entah karena diplomasi saya canggih, atau
karena wajah bocah-bocah itu begitu mengibakan, tawaran penurunan denda itu
akhirnya dikabulkan. Kami masing-masing didenda uang Rp5000. Ya sudah, saya
harus merelakan uang makan seminggu saya. Sialnya, salah satu bocah itu, kalau
tak salah Nasrul, yang kini kabarnya sudah menjelma jadi petani melon yang
sukses, sedang kehabisan uang. Maka, saya pun harus menalanginya. Saya tak
ingat apa ia mengembalikannya atau tidak, tapi yang saya tahu saya baru saja
kehilangan uang saku setengah bulan.
Jelas, itu kesalahan terbesar (yang
ketahuan) yang pernah saya lakukan saat di pesantren. Tapi, selain kemarahan
Pak Yai Muchlis, saya tak pernah menyesali peristiwa itu. Indonesia ternyata
tertahan 2-2 oleh Vietnam, sebelum dua hari kemudian menggilas Malaysia dengan
empat gol, dan Kurniawan, pemain yang paling ingin dilihat oleh orang Indonesia,
mencetak gol di setiap pertandingan penyisihan. Sampai tulisan ini dikerjakan, insiden tiga pelanggaran itu biasanya selalu saya kenang dengan senyum, dan menjadi salah satu episode indah dari tiga tahun saya yang
datar di pesantren.
Mungkin karena itu, saya selalu silap mengingat
bahwa insiden “indah” itu punya kaitan dengan peristiwa buruk yang ingin saya
lupakan tapi selalu gagal; peristiwa buruk yang jadi rangkain awal
pengalaman-pengalaman buruk yang terus berulang dan berulang selama bertahun-tahun
kemudian. Saya selalu berpikir bahwa dua pengalaman berkebalikan ini terjadi di
tahun yang berbeda, padahal nyatanya kejadiannya hanya berselisih hari saja.
***
Saya memutuskan pulang kampung beberapa
hari setelah insiden itu. Tentu saja alasan utamanya adalah agar saya bisa
menonton dengan bebas pertandingan final cabang sepakbola Sea Games 1997, selain
karena uang saku saya habis lebih cepat akibat kena denda. Menonton di televisi
milik bude saya, hanya berdua dengan seorang sepupu, kami menikmati pertandingan
dengan bebas merdeka—tak ada Samuri, tak ada Pak Amrozi. Tapi siapa
sangka, ujungnya justru adalah pengalaman buruk yang memenjara—apakah ini
berkait dengan motif batu-bata di kostum (keluaran Unisport?) yang dipakai timnas
saat itu, saya tidak tahu. Indonesia kalah melalui adu penalti, setelah sebelumnya berhasil
menyamakan kedudukan di babak kedua lewat gol yang sangat khas Kurniawan. Ronny Wabia dan Uston
Nawawi gagal menunaikan tugas penaltinya, dan Thailand (memang siapa lagi?) pun
juara.
Saya menyalahkan kaos biru yang kebetulan
saya pakai ketika menonton, membantingnya ke lantai, menginjak-injaknya, dan hanya
mencangkingnya ketika pulang ke rumah. Berjalan dengan bertelanjang dada saat
hari jelang jam 11 malam tentu saja dingin, tapi itu tak ada apa-apanya dibanding panas di dada dan mata saya.
Blandongan, di antara hujan badai dan mati lampu jelang final AFF 2016
kostum keluaran MIKASA bukan Unispor.... tabik.. :-)
ReplyDeleteAgen Togel Online Terbaik & Terlengkap!
ReplyDeleteTersedia Pasaran Hongkong - Sydney - Singapore
Potongan Diskon 2D = 30% | 3D = 59% | 4D = 66%
Dapatkan Keuntungan Dalam Menebak Angka Hingga Ratusan Juta Setiap Hari..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995