Oleh Mahfud Ikhwan
Raut haru itu—apakah
Anda menyaksikannya? Alfred Riedl, orang Austria itu, kakek berwajah dingin
itu, seperti menahan isaknya di ruang jumpa pers usai mengantar Indonesia lolos
ke semifinal AFF 2016. Wajah bulenya memerah, kalimat-kalimatnya (tentu masih
tetap dalam bahasa Inggris beraksen Jerman) nyaris terbata. Ia memuji timnya
yang masih sangat muda, tak berpengalaman, dan penuh kecingkrangan akibat
berbagai batasan dan keterbatasan. Berkali-kali kata “manis” keluar dari
bibirnya, tapi matanya menatap kamera dengan berkaca-kaca.
Riedl pernah
diberitakan menangis. Itu saat ia bertemu dengan pendonor ginjalnya—seorang
warga Vietnam. Tapi menangis untuk timnas Indonesia? Itu… itu membuat saya, seorang
warga Indonesia, pendukung timnas bahkan sebelum benar-benar mengerti sepakbola,
sangat tidak nyaman. Itu menggelisahkan.
Beberapa jam
sebelumnya, dengan wajah berbinar, bapak saya langsung nyerocos soal betapa
indahnya gol penyama milik Andik begitu saya pulang dari warung kopi. (Ia belum
tahu saya tak menonton pertandingan itu, bahkan sama sekali tidak ingat.) Itu
binar yang sama saat ia bercerita bagaimana Ronny Pasla, dengan tangan-tanganya
yang panjang, menyelamatkan gawang Indonesia, saat saya masih bocah. Itu
semangat yang sama ketika ia menggambarkan gol sundulan Syamsul Arifin si
Kepala Emas kepada anaknya yang masih TK, di sela siaran pandangan mata
pertandingan-pertandingan Persebaya dari radio.
“Menang, Pak?”
saya bertanya dengan sedikit rasa bersalah. “Menang 2-1, dan lolos!” jawabnya
semringah.
Sehari
setelahnya, dalam sebuah obrolan ringan soal agama, seorang kerabat yang
sehari-harinya dikenal sebagai imam masjid yang saleh, jenis orang yang tak
mungkin saya sangka punya antusiasme dengan sepakbola, tiba-tiba dengan
menggebu memuji permainan timnas saat mengalahkan Singapura. “Luar biasa. Yang
mencetak gol kedua itu... siapa namanya?” Diam sebentar, seakan berpikir tapi
sebenarnya agak malu, saya menjawab: “Stefano Lilipaly.”
***
Lilipaly, seperti
halnya Riedl, tak pernah terlihat memberikan wawancara dalam bahasa Indonesia, dan tampaknya tak cukup berusaha. Ia,
sebagaimana juga nyaris seluruh pemain yang dipanggil Riedl, dan Riedl sendiri,
adalah hal-hal yang membuat saya tak berharap di AFF tahun ini. Sebagaimana AFF
di beberapa edisi terakhir.
Ya, mohon maaf,
saya memang sedang tak punya harapan dengan timnas, sebagaimana dengan
sepakbola Indonesia. Mengingat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini, dan
apa yang masih terjadi saat ini, bagi saya, memiliki harapan untuk sepakbola
kita terdengar imoral. Lagi pula, setelah berkali-kali dibuat hilang harapan
dengan cara yang sangat buruk, dan sebagian besarnya sama sekali tak ada
hubungannya dengan sepakbola, pendukung biasa seperti saya merasa layak untuk
tidak berharap.
Lenyapnya timnas
dari peredaran dan menghilangnya sepakbola lokal dari televisi kita adalah
bencana. Namun bikin kompetisi yang artifisial jelas bukan usaha rekonstruksi
yang dibenarkan. Mendongkel oligarki partai dari PSSI itu penting, tapi
mengundang kembali serdadu ke sepakbola adalah langkah mundur. Keluar dari
mulut harimau masuk mulut buaya, itu kata teman saya Darmanto Simaepa tentang
sepakbola Indonesia. Belakangan, kita tak berdaya melihat sepakbola kita jadi rebutan
para lipan dan lengkibang.
Riedl berangkat
ke Manila dengan skuad sangat terbatas akibat hanya bisa bawa dua pemain dari
setiap klub. “Biar timnas dan kompetisi sama-sama bisa tetap jalan,” begitu kata
yang sok bijak. Tunggu..., sejak kapan timnas dan kompetisi bisa “sama-sama
tetap jalan”? Jelas ada yang tak beres jika jadwal bertanding timnas Indonesia
bersamaan jamnya dengan laga big match liga. Mendapati lini tengah Indonesia
diobrak-abrik Filipina (bangsa yang lebih suka main bola dengan tangan), sementara pada saat yang sama di tv sebelah misalnya kita
menyaksikan Slamet Nurcahyo sedang bagus-bagusnya bersama Madura United, apa
kepala tidak pening?
Jelas, itu bukan win-win
solution timnas dan klub. Jika bukan kompromi dua kelompok oligarki yang
masih terus saling berebut sepakbola Indonesia, itu pasti kesepakatan dua
televisi untuk tak saling mengganggu acara unggulan masing-masing.
Untuk kondisi
macam itulah saya lebih memilih untuk tak berharap. Dan dengan tak berharaplah saya
menonton Indonesia dilantakkan Thailand dan kemudian didominasi Filipina. Karena
tak berharap, saya merasa lebih baik. Karena tak berharap pula, saya lupa
jadwal pertandingan menentukan Indonesia vs Singapura, dan saya tak apa-apa.
Sampai kemudian
saya melihat haru di wajah Riedl.
***
Akhir pekan lalu,
di semifinal leg pertama, Indonesia 2-1 atas Vietnam. Indonesia bermain bagus setidaknya
di paroh pertama babak kedua. Lewat akselerasinya yang menghasilkan penalti, tapi
terutama karena peran pentingnya di sepanjang pertandingan, Lilipaly menjelaskan
kepada kita kenapa ia jadi satu-satunya pemain naturalisasi yang dipanggil
Riedl. Andik ngos-ngosan selewat menit 70-an, tapi kompetisi yang teratur di
Malaysia membuatnya terlihat lebih bijak dalam berlari dan pegang bola, dan
karena itu ia jauh lebih berbahaya. Tapi hal terbaik adalah melihat para pemain
Indonesia tetap tenang usai menerima beberapa keputusan tak menyenangkan dari
wasit.
Tapi saya tahu,
bukan hal-hal itu yang membuat harapan itu menyelusup kembali, mendesak-desak
lagi. Kita toh pernah mengalami yang lebih: AFF 2010, Sea Games 2011, dan tentu
masih banyak lagi. Lagi pula, untuk pertandingan format tandang-kandang, menang
tipis di kandang dengan lawan mampu mencetak gol tandang adalah bekal yang
rentan. Tidak, bukan itu.
Adalah kekaca di mata
kakek bule itu yang memicunya. Juga binar wajah bapak saya, yang tak pernah
berubah dari masa ke masa berkait timnas Indonesia. Juga pertanyaan seorang
kerabat tentang pemain dengan wajah dan nama yang terlalu asing untuk
dihapalnya. Semua itu yang menyadarkan bahwa saya sebenarnya hanya seorang penggemar
yang sedang ngambek saja, yang membenci karena terlalu mencintai. Yang
mendendam karena rindu. Yang jauh di dalam sana, masih saja bandel memendam
harapan, meskipun berkali-kali dikecewakan.
Apa daya, saya
hanya seorang penggemar biasa. Anda juga, ‘kan?
Suka bermain Slot dengan tingkat kemenangan tertinggi???Mari bergabung dengan kami di Winning303
ReplyDeleteada banyak Bonus untuk anda dalam permainan Slot.
Klik >>>>>>> slot online gratisan
Informasi Lebih Lanjut, Silakan Hubungi Kami Di :
- WA : +6287785425244
Yakin anda selalu tidak hoki?? Kami tantang anda yang merasa selalu tidak hoki... Kami yakin tidak ada orang yang tidak hoki...disini akan kami adu hoki anda dengan hoki pemain lain.
ReplyDeleteHubungi Kami Secepatnya Di :
WA : +6281333555662