Sunday, February 26, 2012

Revolusi Akhir-Pahit, Arsenal?

Oleh Darmanto Simaepa

Andai saja Wenger bisa tersenyum lebar dan bahagia seperti semalam, setiap pekan! Terlepas dari gairah yang keluar saat menghancurkan Spurs, tujuh tahun terakhir, Arsene Wenger lebih sering mengusap kepalanya di konferensi pers, terlihat depresi atau murung di bangku cadangan.

Wajah tirus dan tanpa harapan dalam wawancara pasca kekalahan di Milan dan Sunderland pekan lalu itu bisa jadi sebuah pertanda sebuah revolusi, yang klimaksnya mendekat, namun berakhir getir.

*****

Tak disangkal lagi, Wenger adalah manajer tersukses dalam sejarah Arsenal. Ia tidak hanya memberi piala dan sejarah, tetapi merevolusi Arsenal lama yang tua, physical, dan banyak berlari menjadi Arsenal yang lebih segar, taktis, dan modern. Ia tidak hanya menciptakan tim tak terkalahkan dalam satu musim kompetisi, the invicible, tetapi segalanya: menu makan, pola tidur, ukuran lapangan latihan, hingga kuitansi transfer para pemainnya.

Sistem pemantauan pemain belia di penjuru dunianya merevolusi sistem rekruitmen pemain di Eropa. Sekolah sepakbola di Abidjan dan Younde menghasilkan pemain hebat dan murah ala Kolo Toure atau Song. Mata tajam pemandu bakatnya bisa menghasilkan Fabregas, Clichy, Ramsey, atau Koscielny.

Naluri dan kecermatan ekonomi Profesor—ia mendapat gelar doktornya di Universitas Strasbourg yang terkenal—membuat Arsenal adalah tim elit Eropa paling sedikit berhutang di bank dan stabil secara finansial. Bakat dagangnya bisa menciptakan stadion Emirates yang tidak terlalu besar tapi sangat praktis dalam hitungan ekonomis. ‘Adjusment program’ ala Wenger berhasil menghindarkan Arsenal dari badai industri sepakbola yang terimbas krisis kapitalisme keuangan .

Secara taktik, revolusinya ditandai bergantinya wajah sangar Paul Merson dengan elegansi Bergkamp atau Fabregas.Ia mengubah gaya kick and rush menjadi satu dua sentuhan versi Eropa Daratan. Ia memberi garis perbatasan era ‘fever pitch’. Bagi penikmat sepakbola kontemporer, apa yang dipikirkan, didefinisikan dan dibayangkat tentang Arsenal berasosiasi dengan Wenger. Generasi kini pasti tidak hapal Herbert Chapman, George Graham, atau Tony Parker....

Wajah Arsenal modern adalah wajah Arsene Wenger. Para jurnalis jelas punya dilema jika mengkritik apa yang memudar dari rejim ini. Lagi pula tidak mudah mencari celah orang hebat dalam sejarah. Saya sepakat bahwa kritik terhadapnya tidak sebanding dengan apa yang telah ia capai. Ia telah mengubah dan memberi identitas Arsenal lebih dari siapapun dalam sejarahnya. ‘Ia bilang saya harus mundur,’ kata Wenger membalas kritik bekas muridnya,Martin Keown, ‘seakan-akan saya ada di bisnis ini dua pekan kemarin‘.

Saya sepakat!

Namun, jika tim stabil secara finansial, brilian secara taktik dan mencapai usia matang, dengan otoritas manajer yang begitu besar, jelas ada yang salah dengan 7 tahun tanpa gelar (bahkan gelar minor). Banyak spekulasi tentang derita Arsenal: pemain datang silih berganti, hilangnya pemimpin ala Vieira, investasi terlalu hati-hati, sampai yang klenik, hilangnya tuah Highbury! Namun, saya kira, masalah Arsenal lebih dalam dari urusan teknis.

Wawancara Fabregas dengan FourFourTwo yang cerdas secara implisit menjelaskan apa yang tidak berjalan semestinya ditubuh Arsenal. Meskipun secara halus dan sopan ia memendam kegundahan dengan tim yang membesarkannya, justru, respeknya terhadap Wenger dan klubnya menjelaskan semuanya. Klub ini lebih menitikberatkan pada proses kestabilan ekonomi dari pada investasi untuk mendapatkan gelar—salah satunya dengan membeli pemain berpengaruh dan berpengalaman dengan juara.

Tentu saja keberlanjutan finansial adalah hal baik dan ideal. Tapi dalam sebuah kompetisi yang melibatkan harapan jutaan orang, Arsenal ibarat sekolah sepakbola. Ia memproduksi banyak pemain hebat. Anak-anak muda brilian dibeli dengan harga murah, dibekali dengan teknik mumpuni, namun akan pergi saat tiba dahaga juara. Tim ini sepertinya kehilangan kerangka untuk mentransformasikan sisi pembinaan ke arah tim yang lapar gelar.

Barangkali kerumitan sebuah klub tidak hanya seperti yang saya tuliskan ini. Wenger pasti ingin juara dengan anak-anak muda yang tumbuh bersamanya. Ia hampir menaklukan Eropa tahun 1996 sebelum kesalahan fatal Lehmann menggagalkannya. Ia juga pasti tidak semata-mata hanya berhitung jumlah kas klubnya dibanding mengkoleksi final piala FA. Ia telah membuktikannya selama 9 tahun pertama: koleksi trofi bisa sejalan dengan efisiensi.

Namun apa yang keliru dengan 7 tahun ini? Surut ke belakang, menyaksikan Arsenal tidak pernah juara diera turbulensi Chelsea dan transisi MU, teka-tekinya bukan perkara tim lain lebih hebat. Ini belaka karena Arsenal yang tidak punya kualitas juara atau tim yang kompetitif.

Tony Adams, kapten legendaris, menyatakan, tim ini kehilangan semangat bertarung pesepakbola Britania. Saya setuju dengan ucapannya. Ada sebuah elemen penting Inggris dalam tim ini telah hilang. Akan menjadi sangat jelas jika kita merujuk statistik kekalahannya. Arsenal sulit menang jika bobol duluan dan mudah kalah kalau lawan mengejar ketinggalan. (mungkin kecuali pertandingan derby semalam :))...

Bagaimana ini bisa dijelaskan? Sepakbola dipercaya merepresentasikan sejarah dan relasi sosial suatu bangsa—atau katakanlah populasi di wilayah tertentu. Itulah mengapa pria pesolek dan maskulin Italia mengekspresikanya dalam seni bertahan dan para bek tampannya menemukan Catennacio. Hangat cuaca dan ekologi jazirah di Spanyol ditunjukkan dengan seni menguasai bola sehingga mereka punya kosa kata posesion yang tidak hanya berarti menguasai tapi juga indah. Sementara cara berpikir Jerman yang sangat teknis, duratif dan mekanis diperagakan dalam cara bermain pelan-pelan, ritmik, dan dengan daya tahan yang sepenuhnya rasional.

Konon, orang-orang Celt dan Saxon di Britania adalah bangsa pejuang. Mereka mewujudkannya lewat kick and rush dan umpan panjang. Kelahiran buruh era revolusi industri dan masa-masa perang, kata sosiolog Ricardo Guilonotti, menciptakan daya juang dan bertempur. Sepakbola Inggris tidak pernah indah, namun punya semangat bertarung di dalamnya.

Agak rumit dan spekulatif, memang, menarik proposisi logis hubungan Arsenal dan sejarah Inggris. Semangat bertarung adalah definisi abstrak. Bukankah Jerman era Loew jauh lebih artistik dari pada Brazil era Dunga? Atau Belanda lebih artistik dari Spanyol untuk di final piala dunia? Bukankah tim manapun punya semangat dan mentalitas bertarung?

Tapi bagi Arsenal barangkali ada secercah kebenarannyua. Wajah tanpa gairah pemain Arsenal sejak kalah 8-2 di Old Trafford hingga dipecundangi Sunderland tidak menyembunyikan fakta bahwa tim ini telah kehilangan darah. Para legenda Arsenal menggelengkan kepala melihat reaksi tanpa daya tim ini dipecundangi Milan. Bukan kekalahan itu yang menyakitkan, tetapi reaksi pemain terhadap kekalahan dalam permainan yang membuat mereka menyesalkan tim ini.

Pendukung Arsenal pra-Wenger mengeluhkan hal ini sejak lama. Wenger dianggap mengganti tradisi sepakbola Inggris dengan sepakbola kontinental. Elemen ini sangat terasa dengan semakin sedikitnya pemain yang memiliki cara bermain agresif dan penuh semangat ala Vieira.

Setelah era Henry, umpan panjang Arsenal paling sedikit diantara tim manapun di Britania. Mereka juga berlari dan menyundul jauh dibawah rata-rata. Bek-bek tim ini bahkan hampir tidak pernah menekel. Hilangnya unsur Britania terwakili dengan proporsi pemainnya. Fakta ini mungkin bukan isu utama, tapi juga bukan kebetulan.

Era tanpa gelar Arsenal adalah era tanpa pemain Inggris sebagai tulang punggungnya. Sejak Cole menyeberang ke Chelsea, Campbell ke Spurs, Roy Parlour dan Koewn menepi dan pensiun, pemain-pemain Inggris hanya menjadi bagian minor Arsenal. Para pembela Wenger mungkin berpendapat, bukankah Walcott, Gibbs, masih disana? Iya, tapi gaya mereka, karena sudah masuk di dalam visi dan mentalitas sepakbola kontinental sulit mentransformasikan spirit Britania.

Lebih dari itu, metode latihan dan visi Arsenal adalah menciptakan tradisi sepakbola Eropa Daratan. Ini, sekali lagi, juga bukan hal yang buruk. Inggris menyadari bahwa sepakbola Britania tertinggal jauh dari daratan Eropa. Secara fisik dan kebugaran mungkin mereka menang, tetapi secara teknik dan taktik, Inggris kalah kelas dari Italia atau Spanyol misalnya.

Bukan kebetulan jika FA merevolusi akademi sepakbola dan berharap menyaingi akademi sepakbola Prancis. Permainan Arsenal menjadi standar dan role model dari bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. FA juga mengubah elemen dasar latihan bagi anak-anak muda untuk lebih akrab dengan bola, belajar taktik, dan aspek teknik. Jelas, revolusi Arsenal telah mengubah wajah sepakbola Inggris dan berkontribusi besar dalam transformasinya.

Akan tetapi, masalah utamanya adalah adalah revolusi Wenger telah mengurangi elemen semangat bertarung itu. Setiap kali kita melihat Arsenal yang kalah atau seri, kita melihat bola berputar-putar dari kaki ke kaki tanpa pernah bisa masuk ke kotak penalti.

Kadang sepakbola bukan hanya soal keindahan, tetapi juga brutalitas semangat untuk memenangkan pertandingan. Meskipun olahraga paling indah, sepakbola bukan seni melukis atau bermain teater. Permainan fisik dan semangat juga sangat menentukan hasil pertandingan. Bukan kebetulan jika Wenger selalu marah dan mengkritik Stoke City yang lebih mengandalkan semangat, umpan panjang dan lemparan ke dalam untuk mengalahkan mereka. Dan bukan kebetulan juga, jika Arsenal selalu kewalahan melawan tim-tim yang, seperti Newcastle dan West Bromwich, mengandalkan semangat tempur untuk menunaikan tugasnya.

Mungkin ia lupa, bahwa sebagian besar pemain Inggris adalah kelas pekerja yang mengandalkan daya juang, semangat tempur, daya tahan menderita untuk mencapai posisi kelas yang mereka dapatkan sekarang. Meski kaya raya, mereka punya semangat orang-orang Celt dalam dirinya. Liga Inggris terlihat menarik karena ‘permainan tidak akan selesai sebelum peluit berbunyi’ dan bola selalu mengarah ke gawang.

Seperti yang kita lihat semalam, bagaimana pemain Cardiff yang secara finansial dan teknik membuat pendukung Liverpool jantungan. Gerard atau Rooney akan sulit menyamai teknik Iniesta atau Xavi. Tetapi jika melihat mereka bermain, mentalitas sepakbola Britania yang membentuk pemainnya ada dalam darahnya.

Jika Wenger ingin mengubah tradisi sepakbola sebagai pertempuran, ia seperti menyuruh penggemar sepakbola mengganti bir dengan wine atau kapucino. Atau mengubah stadion menjadi tempat para pria berdasi menghabiskan akhir pekan. Jadi, revolusi Wenger telah mengubah sisi mentalitas sepakbola Brtiania di Arsenal. Ia mengganti seni semangat sepakbola menjadi seni mengolah bola.

Di banyak tempat dan dimasa yang akan datang (dan juga masa lalu), dua hal itu mungkin tidak menjadi kategori yang terpisah. Wenger telah melakukannya sepanjang 9 tahun pertamanya. Tapi ingat, saat itu, masih ada unsur brutalitas pertempuran Arsenal. Seseorang yang cinta rivalitas Arsenal—MU ini pasti mengingat lorong-lorong perkelahian menuju kamar ganti, adu fisik Keane vs Vieira, atau lompatan penuh intimidasi Keown terhadap Nistelrooy.....

Apa lagi yang bisa dikatakan jika tim jarang menciptakan gol-gol krusial di menit akhir untuk menang? atau tim yang tidak pernah menang jika bermain buruk. Arsenal telah banyak kehilangan semangat bertempur itu. Misalnya saat lawan Milan, Arsenal bukanlah bermain jelek atau Milan bermain brilian.

Kegagalan Arsenal meraih trofi adalah sebuah arus balik revolusi sepakbola sebuah klub hebat. Seperti halnya dalam sejarah, tindakan revolusioner memiliki jalurnya sendiri untuk memutar dan seperti sabuk, memakan ekornya sendiri. Ironisnya, revolusi yang berniat mentransformasikan permainan kaku ala Britania, telah mengubah sisi dasar sepakbola ditempat ia berasal. Dan seperti setiap revolusi yang meminta korban, Arsenal mungkin meminta tumbalnya yang paling berharga....

No comments:

Post a Comment