Oleh Mahfud
Ikhwan
“...This kind of intimacy with
the ball is a mixed blessing... a poison remedy. In part this is because
football is an unpredictable game. All the statistical evidence reinforces the
observation that on any given day the worst team can win, that favourites are
more vulnerable than in other sport, that the place for the random, the chaotic
and the unexpected is surprisingly large in football...” -- David Goldblatt
1/
Ketika Eder
mencetak gol di pengujung babak kedua perpanjangan waktu final Euro 2016, gol
yang menjadi pembeda mana tim yang menang dan mana yang pecundang, Candra (14
tahun), dengan sedikit kaget berdiri dari duduknya. Tampak masih tidak percaya,
ia menuding ke tembok, ke mana sorot proyektor diarahkan. “Lho, gol. Gol. Hore,
Gol!” Ia bertepuk tangan dengan sedikit ragu, dan merayakan gol itu sedikit
terlambat. Dan sendirian. Teman-teman sebayanya, yang kebanyakan mengidolakan
Ronaldo dan mendukung Portugal, bergelimpangan di sekitarnya dihajar kantuk.
Ya, bagaimana pun, itu jam setengah empat pagi. Orang-orang dewasa, yang
kebanyakan bergerombol agak jauh dari layar, bersandar di tembok aula sebuah
sekolah TK itu, tak ada yang ikut merayakan. Mereka ada di pihak yang kalah.
Sikap sok rasional, sok analitik, yang mungkin saja mereka dapatkan dari ocehan
para pengamat di televisi atau penulis-penulis Jawa Pos, membuat mereka
mendukung tim tuan rumah, “yang bermain fantastis”, sang Ayam Jantan Prancis.
Beberapa dari
mereka tak mampu menepikan rasa kecewanya bahkan sampai sore di hari berikutnya—ada
yang bahkan menyimpannya sampai berhari-hari kemudian. Dalam sikap yang masih
uring-uringan itulah salah satu dari mereka bercerita tentang perayaan Candra
yang seorang diri pada dini hari itu kepada saya. Ya, saya memang tak
menyaksikan secara langsung perayaan Candra tersebut. Sayang sekali—hal yang
paling saya sesali di malam final itu. Padahal, saya ada di tempat yang sama
sejak sore. Tapi, rasa kantuk dan bosan membuat saya memutuskan untuk pulang
dari tempat nonton bareng itu 15 menit sebelum babak kedua waktu normal
selesai. Tapi adegan terakhir yang bisa saya ingat dari pertandingan itu hanya
saat masuknya Eder menggantikan Renato Sanchez. Saya tepar begitu sampai rumah.
Kalau
diingat-ingat, itu bukan saja satu-satunya pertandingan di Euro 2016 yang tidak
saya tonton (selain dua-tiga partai penentuan di babak grup yang memang disiarkan
serentak), tapi juga final Euro pertama sejak saya menonton sepakbola yang tak
sanggup saya selesaikan karena mengantuk. Dan ini tentu saja adalah pertandingan
yang saya saksikan dengan cara nonton bareng pertama yang tak saya tuntaskan.
Konyol sekali, bukan?
2/
Memang sangat
konyol jika mengingat betapa saya mempersiapkan diri untuk turnamen ini. Sejak
jauh-jauh hari saya sangat antusias menyambut Euro kali ini, yang kebetulan
berbarengan dengan Copa Amerika edisi Centenario. Ini tahun sepakbola memang. Yang
terutama, ini adalah tahun ke-20 saya sejak pertama menonton Euro—nanti akan
coba saya ceritakan. Ketika seorang teman dari Jawa Pos kemudian menggubungi
saya untuk ikut nimbrung nulis di kolom sportainment mereka, saya tahu ini akan
jadi Euro yang tak biasa bagi saya.
(Terdengar norak
dan berlebihan? Haha... biar saja. Sepakbola memang tak pernah membiarkan saya
jadi terlalu kalem seperti lazimnya.)
Tulisan saya
muncul sekitar tiga minggu sebelum turnamen berlangsung—itu adalah tulisan sepakbola
pertama saya di Jawa Pos, juga tulisan pertama sejak saya berhasil menerbitkan
dua cerpen pada 2003 silam di media itu. Beberapa teman di Jogja membacanya, kemudian
membaca tulisan yang kedua, dan itu segera membuat mereka tertulari antusiasme
saya. Bayangkanlah sebuah bulan puasa yang penuh dengan sepakbola, demikian
saya menggoda. Tidak semua teman saya ketahui menyukai sepakbola. Tapi toh
mereka ikut bersemangat juga. Seorang teman yang sehari-harinya hanya ngomong
soal Islam dan Jawa dan hubungan antara keduanya bahkan menegur saya karena tak
memasang jadwal pertandingan sebulan, padahal waktu turnamen sudah semakin
dekat. Properti kantor, sebuah proyektor tua, yang sehari-harinya kami salahgunakan
untuk menonton film-film India, untuk sebulan kedepan telah siap kami
salahgunakan untuk sarana olahraga.
Dan itulah yang
memang terjadi nyaris sebulan ke depan: setiap malam, dari setengah delapan
sore sampai jam lima pagi, kadang sampai jam 11 siang jika kebetulan dilanjut
dengan dua pertandingan Copa Amerika. Ruang tengah di rumah-kantor kami di
belakang Bandara Adi Sucipto Jogja malih fungsi jadi serupa tribun, lengkap
dengan serakan sampah, kopi yang tumpah, teh yang tak habis terminum, minuman
panas yang mendingin, minuman dingin yang butuh kembali dipanaskan, dan tentu
saja sumpah-serapah. (Ada juga alkohol, tapi si empunya bersikeras tetap
menyimpannya di kulkas. “Puasa,” katanya, “nunggu nanti setelah Lebaran.”)
Beberapa kali
gedoran dari tetangga kontrakan—sebagai tanda rasa terganggu—menyelingi acara
nonton bareng kami. Tapi tak ada yang lebih menarik untuk dikenang dari
malam-malam nonton bareng itu melebihi malam-malam waktu seorang tamu dari
Prancis datang menginap. Ia teman dari teman, seorang aktivis agraria yang
kekiri-kirian, yang banyak bercerita tentang Amerika Latin, terutama soal
cewek-ceweknya. Ya, dia cowok. Sejak sebelum kedatangannya, saya sudah khawatir
kalau dia akan jadi selingan tak menyenangkan bagi kegilaan sepakbola yang
tengah saya bangun di rumah itu. Ketika ia bilang bahwa ia suka bola, saya
sedikit lega. Dan itu dibuktikannya dengan ikut menonton satu-dua pertandingan.
Juga bertanya hasil-hasil pertandingan yang dilewatkannya karena harus keluar
untuk keperluan kunjungannya. Juga obrolan-obrolan pendek ala-ala Tarzan-Jane
soal kondisi ekonomi-politik sepakbola Prancis. Meski demikian, seperti yang
saya perkirakan sebelumnya, ia dan saya memang tidak berada di level yang sama
soal apa yang disebut dengan “suka bola”.
Pertama, ia tak
kenal nama Luca Modric. Kedua, ia tampaknya kesulitan memahami bagaimana cara
orang Asia, khususnya orang Indonesia, menyukai sepakbola. Ia terlihat berusaha
keras untuk bersosialisasi, dan saya menghargai itu. Selama di Indonesia, ia
ikut puasa. Ia ikut berbuka, dan memaksa diri ikut bangun makan sahur, meski
pada satu Jumat siang yang panas, ia berselonjor di beranda rumah dengan hanya
pakai celana pendek saat orang-orang berbondong berangkat Jumatan. Tapi,
masalah itu muncul saat tengah malam.
Malam itu, ia
ditinggal teman saya yang jadi temannya, sehingga dia harus bersosialisasi
dengan teman-teman saya yang baru dilihatnya. Dua orang di antara teman saya
pernah mengecap Program Bahasa Inggris Sanata Dharma, tapi kemampuan
komunikasinya tampaknya tak banyak berbeda dengan saya. Jadi, tanpa teman saya
yang jadi temannya, si Prancis tetap jauh lebih pendiam dari biasanya. Meski
begitu, ia cukup berhasil jadi bagian dari kerumunan keriuhan kami pada
pertandingan pertama. Ia antusias. Kata seru “O la la!” berkali-kali saya
dengar dari mulutnya. Ia minum teh yang kami buat, saya nyemil snack yang
dibelikannya untuk kami. Pada pertandingan kedua, yang dimulai pukul sebelas, ia
undur diri ke dalam kamarnya, kamar yang persis ada di belakang tembok tempat
proyektor menyorotkkan siaran sepakbola. Saya lupa apa pertandingan malam itu,
yang jelas jauh lebih seru dibanding pertandingan pertama. Dan itu membuat
suasana menonton jadi jauh lebih hidup. Singkatnya: lebih ribut. Saya sedikit
menyimpan khawatir, tapi menetralisirnya dengan berpikir bahwa ia semestinya
tahu bahwa orang Prancis main bola saat orang Indonesia tidur dan orang
Indonesia nonton bola pada jam yang sama dengan orang Prancis tidur. Tapi ia ternyata
tidak tahu, atau mungkin belum tahu. Sekitar setengah satu tengah malam, ia
keluar kamar dengan muka merah dan mata yang lebih merah. Ia tampaknya marah,
tapi mencoba dengan sopan memohon: “be quiet, please...” Kami kontan saja jadi
lebih kalem, sebagaimana umumnya tuan rumah yang mendongkol kepada tamunya.
Dalam beberapa
kesempatan setelahnya ia memberi nasihat soal tidak sehatnya begadang; ia
bahkan menunjuk perut saya. Saya senyam-senyum saja, yas-yes saja. Tapi mungkin
juga telah berpikir bahwa ia agak kebablasan, malam berikutnya, sejak sangat
sore ia mendekati meja saya, minta maaf karena membuat nonton saya tidak
nyaman, sembari kembali memohon-mohon agar saya nonton bolanya lebih kalem.
“Saya mau good sleep,” katanya, dengan senyum memelas. Saya berjanji,
karena saya tahu esoknya dia akan melakukan perjalanan jauh. Sedikit kebetulan,
malam itu saya hanya punya sedikit kawan menonton. Itu malam yang tenang. Dan
teman Prancis teman saya itu pun bisa sedikit pulas tidurnya. Ketika paginya ia
pamit pergi dari Jogja menuju tujuan berikut, saya mengantarnya dengan ucapan
selamat tinggal yang sudah saya hapalkan. Lengkap dengan senyum—senyum kemerdekaan.
Pada
pertandingan antara Kroasia-Spanyol yang seru itu, kami kemudian bisa ribut
dengan tenang. Demikian juga pertandingan Hungaria-Portugal—pertandingan
terbaik Ronaldo sepanjang turnamen. Dan saya sulit membayangkan betapa berat
beban pemberadaban yang ditanggung teman Prancis itu jika harus menyaksikan
betapa biadabnya kami di tengah malam saat merayakan tendangan voli Pelle
membunuh—tampaknya untuk selamanya—tiki-taka-nya Spanyol.
Dan saya pikir
dia akan kesulitan menerima penjelasan saya bahwa kemenangan Italia atas
Spanyol dan kemenangan Islandia atas Inggris mengembalikan energi puasa saya,
setelah sehari sebelumnya saya lesu, lelah, dan marah usai menyaksikan betapa
buruknya Argentina di final Copa Amerika, yang ditambah reaksi Messi setelahnya
yang bertolak belakang dengan seramnya tato di bahu dan kakinya dan lebat
brewoknya. “Itulah yang di sini kami sebut ‘suka bola’, Monsieur...”
Dengan mood yang
sedang baik, juga karena jeda jelang perempat final, saya menganggap itu waktu
yang tepat untuk ikut berdesak-desakan di bus Jogja-Surabaya. Berangkat selepas
sahur, saya mudik dengan seringai mengejek untuk para pendukung Inggris masih
tersisa di bibir. Saya bahagia untuk kesedihan mereka. Saking senangnya, saya
lupa memasukkan cas laptop, cas hp, dan modem ke dalam tas. Padahal, saya masih
ngutang dua tulisan untuk Jawa Pos.
3/
Kehilangan layar
seukuran almari lawas, juga umpatan-umpatan brutal dari orang-orang yang baru
ikut-ikutan nonton bola, saya kemudian melewatkan empat pertandingan perempat
final dan dua semifinal dengan televisi 21 inci murahan kami di rumah bersama
rekan nonton lama saya: bapak. Ia orangtua yang ribut saat nonton bola, tak
banyak berubah seperti saat ia masih muda. Meski demikian, tetap saja saya
tidak mungkin bisa nonton seperti biasanya. Apalagi jika dalam satu
pertandingan ternyata kami berpihak pada tim yang berbeda. Sementara itu, tidak
punya peralatan untuk menulis, saya ternyata masih diharuskan untuk memikirkan
tiap pertandingan dengan lebih serius. Itu akan jadi modal yang baik untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan teman yang kadang terlalu serius—setelah
beberapa dari mereka tahu saya nulis di koran—soal pertandingan-pertandingan
semalam, entah saat di warung kopi atau saat jadi panitia zakat fitrah. Pada
saat-saat seperti itulah tercetus untuk bikin acara nonton bareng pertandingan
final.
Sudah cukup lama,
acara nonton bareng telah jadi kebiasaan di desa kami. (Setidaknya, saya ingat
untuk pertamakalinya ikut nonton bareng dengan menutup jalan desa saat final
Liga Champions 2011, dan itu tampaknya bukan acara nonton bareng pertama di
desa.) Kadang untuk sekadar nonton bareng saja, sekadar ramai-ramai dan
senang-senang saja, kadang juga untuk menciptakan momentum agar kami bisa
kumpul-kumpul dan mengobrolkan hal yang agak urgen, semisal soal-soal
kontemporer desa, soal-soal pemuda, bahkan soal-soal agama. Toh tidak sulit
cari proyektor. Beberapa institusi pendidikan di desa kami, juga beberapa
individu, punya proyektor dan bisa dipinjam.
Usai Lebaran, saya
diberitahu kalau nonton bareng final Euro akan sekaligus dipakai untuk
mengumpulkan para pelajar dan remaja yang di hari-hari biasa kebanyakan ada di
luar desa, sebagain besar karena belajar di pesantren. Organisasi remaja di
masjid kami sudah lama mati suri, dan teman-teman sebaya saya merasa ikut
bertanggung jawab untuk berinisiatif mengorganisirnya kembali. Sedikit di luar
bayangan nonton bareng final yang gayeng, tapi saya kira itu baik.
Sempat bersilang
pendapat soal di mana sebaiknya kami mengadakan nonton bareng—ada yang
mengusulkan di depan masjid (agar ini tampak sebagai kegiatan yang bermanfaat),
ada yang bahkan mengusulkan di depan rumah saya (agar lingkungan rumah saya
yang sepi bisa sedikit ramai)—kami bersepakat menyelenggarakannya di aula
sebuah taman kanak-kanak. TK itu masih ada di lingkungan masjid, sehingga akan
memberi kesan bahwa itu bukan sekadar acara hura-hura. Meski demikian,
lokasinya yang tidak langsung bersebelahan dengan masjid akan menghindarkan
ketidakenakan menonton seandainya pertandingan memanjang sampai menerabas waktu
Subuh. Cocok.
Saya menyatakan
diri siap membantu. Berpengalaman dengan proyektor, saya siap jadi operator.
Saya juga siapkan senjata andalan saya: hardisk eksternal beserta film-film
yang mengisinya. (Ya, brengsek benar, di saat cas dan modem ketinggalan,
hardisk malah tak pernah alpa ikut pulang.)
4/
Hal terakhir yang
ingin saya lakukan, atau yang paling tak saya sukai, saat dan sesudah nonton bola adalah
menganalisis taktik. Karena itu pula, saya tak terlalu suka membaca analisis
taktik dan utak-atik statistik. Beberapa penulis, lebih sedikit lagi komentator,
memang membantu kita memahami pertandingan lebih baik. Tapi sisanya adalah omongkosong—sebuah
kerangka yang telah pakem, yang bisa diisi nama-nama pemain yang berbeda, tim
yang berbeda, pelatih yang berbeda, tergantung hasil pertandingan.
Dan hal paling
sia-sia dalam industri game paling tua ini adalah analisis taktik sebelum
pertandingan. Semua preview adalah gombal. Sejak sangat awal, saya tak menyukai
tabloid olahraga edisi Jumat karena isinya cuma tebakan yang
dipanjang-panjangkan. Para penjudi mungkin membutuhkannya, tapi salafus-salih
sepakbola sebaiknya mengabaikannya. Menebaklah jika ingin menebak. Begitu saja.
Kalau benar, asyik. Kalau salah, itulah sepakbola—dan sepakbola selalu asyik.
Saya berhasil menebak
skor pertandingan Kroasia-Spanyol dengan tepat nyaris ke menit-menit golnya. Dan
meski sakit, saya juga sama sekali tak terkejut ketika Kroasia tumbang oleh gol
di menit terakhir perpanjangan waktu oleh Portugal. Saya tak punya statistik,
dan tak lagi menyukainya kecuali ia ada dalam kalimat-kalimat Sid Lowe. Saya
tak baca satu pun preview. Hanya perasaan dan pengalaman menonton ribuan
pertandingan yang saya pakai. (Mungkin seperti petani yang menghapal pranata
mangsa setelah bergenerasi-generasi menanam padi.) Dan—dalam kondisi tak punya
mesin ketik dan tak memiliki akses internet—itulah yang saya pakai ketika
membuat tulisan jelang final yang dibaca banyak orang cenderung mengunggulkan
Portugal.
Tulisan itu saya
garap tengah malam, sekitar satu jam sebelum pertandingan semifinal Prancis-Jerman.
Tapi, sejak pagi, apa yang saya tulis itulah yang saya obrolkan dengan banyak
teman di sela-sela berhari raya. Kekalahan Wales di semifinal membuat banyak
orang marah, dan saya membuat mereka jadi lebih dongkol karena bilang bahwa mereka
memang pantas kalah. Di sisi lain, secara bersamaan, itu adalah pertandingan
terbaik Portugal. Dan pola itulah yang membawa saya bersimpulan: Portugal
justru tengah ada di puncak penampilan saat mengkapling tempat di partai
puncak. Dan itu mengkhawatirkan. Dan meskipun Prancis bisa mengalahkan Jerman
dengan skor yang sama dengan skor Portugal saat mengalahkan Wales, namun dengan
permainan terburuk mereka sepanjang turnamen (minim peluang, minim penguasaan),
saya jadi semakin khawatir.
Membaca dukungan
yang menggebu dan terus terang terhadap Prancis dalam tulisan seorang teman di
blog ini, yang saya tahu mewakili sebagian besar penggemar sepakbola (sebagaimana
yang diklaimnya), saya tahu tulisan saya yang muncul di koran beberapa jam
sebelum pertandingan final itu menentang arus. Dan dengan tebakan yang melawan harapan
banyak orang itulah saya datang ke tempat nonton bareng.
Sekolah TK itu
adalah bangunan terbaru di lingkungan masjid kami—secara lembaga, saya adalah alumninya,
tapi dulu kami belum memiliki tempat yang tetap, sehingga sekolah kami
berpindah-pindah. Fakta bahwa saya tak banyak tahu kapan gedung dua lantai itu
dibangun jelas menunjukkan bahwa bangunan ini sangat baru. Namun yang
benar-benar sulit saya kenali adalah para remaja yang sudah banyak berkumpul di
tempat itu. Cowok-cewek, mereka ada sekitar 30-an orang. Dengan rentang usia
SMP kelas 2 hingga kuliah semester 4, saya nyaris tak mengenali mereka dan
mereka tampaknya juga tak mengenal saya. Sebagian besar dari mereka pasti lahir
beberapa tahun setelah saya ke Jogja. Sedikit yang saya kenali adalah mereka
yang masih termasuk famili. Juga mereka yang pernah saya perdaya dengan bola
plastik, es teh, dan ote-ote agar mau
masuk ke perpus masjid yang saya dirikan.
Sembari
menyiapkan proyektor, mengatur kabel-kabel, memastikan antena bisa menangkap
siaran, menggotong televisi tabung dan son-son sebesar kulkas dari lantai satu
ke lantai dua, saya mencuri simak bocah-bocah itu rapat di antara mereka
sendiri. Hebat juga mereka. Seorang yang tertua dari mereka, dengar-dengar
sedang kuliah di Surabaya, memimpin forum dengan kemampuan komunikasi yang tak
saya miliki bahkan ketika sudah mengelola sebuah terbitan mingguan di kampus. Dalam
dua jam, mereka membentuk formatur, menunjuk ketua, dan ketua-ketua bidang.
Orang-orang tua yang selalu mengeluh soal kenakalan anak-anak mereka seharusnya
melihat anak-anak mereka rapat.
Tapi yang paling
mengesankan dari mereka adalah saat mereka menyelesaikan rapatnya. Sementara
beberapa dari mereka segera membuat perapian untuk membakar ikan buat dimakan
ramai-ramai, saya bertanya kepada beberapa di antara mereka tentang final yang
akan kami tonton bareng. Yang sedikit mengejutkan, sebagian besar dari mereka
tampaknya mendukung Portugal. “Kok bisa?” tanya saya, tak terima. Alasan mereka
standar, namun sangat mudah diterima: Ronaldo. Ketika saya mengkonfrontir
mereka dengan analisis-analisis yang beredar bahwa Portugal adalah tim buruk,
dengan permainan buruk, mereka dengan enteng menukas: “Yo uwis.” Biar saja.
Untuk membuat
suasana tetap gayeng, sementara jam pertandingan masih jauh, saya berinisiatif memutar
film untuk bocah-bocah itu. Ya, sudah dalam beberapa kali kesempatan saya memerankan
diri menjadi apa yang di waktu kecil dulu sangat saya idamkan: jadi operator
video. Saya pernah sukses membuat layar tancap kecil-kecilan dengan penonton
para bocah beberapa waktu lalu dengan memutar film aksi cum perjuangan tahun
80-an, Pasukan Berani Mati. Dan saya mau mengulanginya lagi. “Ojo India yo, Cak,”
mohon bocah yang komputernya saya pakai memutar film. (Haha... betapa sudah
tercemarnya reputasi saya.) Mengabaikan beberapa hal, saya putuskan memutar Pendekar
Tongkat Emas. Dalam beberapa menit, saya segera bisa melihat bahwa itu film
silat sekaligus film Indonesia yang aneh—saya baru menontonnya malam itu. Tapi
saya antusias melihat kerumunan yang membesar di depan layar.
Kerumunan
menjadi lebih besar ketika di luar tiba-tiba hujan tercurah dengan deras.
Anak-anak yang di luar gedung sekolah berhamburan masuk, dan mereka segera
bergabung dengan antusiasme layar tancap. Siapa yang nakal dan siapa yang
pendiam segera terlihat saat layar memampang adegan ciuman Reza Rahadian dan
Tara Basro. Yang nakal bersorak, sementara yang pendiam tersipu. Sempat ada sedikit
rasa bersalah, tapi kenangan menonton film-film Suzanna, Warkop, film-film laga
brutal sekaligus erotis khas tahun 90-an, di usia yang lebih muda dibanding
mereka, membuat saya jadi lebih cuek. Lagi pula, Youtube dan Facebook pasti
menjadikan hal-hal begituan tak terlalu istimewa untuk anak-anak remaja
sekarang. Film selesai dengan sambutan yang menyenangkan. Jika ada di lokasi, Ifa
Isfansyah pasti akan ikut senang.
Yang sedikit
kurang menyenang, perapian untuk membakar ikan yang ada di halaman mati total
karena dihajar hujan, dan kemudian sama sekali tak bisa diperbaiki. Dari
duapuluh kilo ikan salem yang disiapkan, baru sedikit yang sudah matang dan
siap santap. Untung nasi dimasak di rumah. Film usai, anak-anak itu—saya juga
ikut—menyerbu nasi dan ikan bakar (matang) yang jumlahnya terbatas. Saya masih kebagian
ikan, tapi kehabisan sambal kecapnya, sementara beberapa bocah malah hanya
makan dengan sambal kecap saja.
Kembali ke depan
proyektor, waktu masih setengah satu. Artinya, masih 90-an menit lagi dari
final. Tak ada yang membawa kopi, sementara warung kopi pasti sudah tutup. Perut
kekenyangan dan takut mengantuk, saya meminta pertimbangan mereka untuk memutar
satu film lagi. Mereka sepakat. Saya pilihkan Rango-nya Verbinsky, film animasi
yang sudah beberapa kali muncul di TV. Hanya untuk pelintas waktu saja. Tak
saya sangka, tak seorang pun dari mereka yang pernah menontonnya. Dan kadal
pembual bersuara Jack Sparrow itu pun segera jadi pusat perhatian.
Lalu jam dua
tiba. Waktu kick-off menjelang, film yang masih separo jalan harus dihentikan. Beberapa
orang tampak berat, tapi tak ada pilihan: ini acara nonton bareng final. Komputer
dimatikan, tv dinyalakan. Beberapa orang dewasa bergabung. Juga beberapa orang
yang bahkan tidak saya kenal. Anak-anak bergerombol dengan teman sebayanya di
barisan depan. Orang-orang dewasa berkerumun menyender dinding, sedikit jauh di
belakang. Jika dikasih kaos, kerumunan depan akan didominasi warna merah tua,
sementara warna biru akan mencolok di beris belakang. Ketika Prancis mendominasi
total babak pertama, memiliki peluang bersih melalui sundulan Griezman dan
sepakan Sissoko, kerumunan yang bersandar di tembok terlihat riuh. Bocah-bocah
di barisan depan menyembunyikan ketegangannya di balik sarung. Pasti juga untuk
menyumpal kuping mereka dari mendengar cemoohan orang-orang dewasa itu terhadap
tim yang mereka bela. Ketika Ronaldo yang cedera lutut dipapah keluar lapangan,
masuk lagi, dan kemudian benar-benar keluar, cemoohan itu makin membadai. “Huu...
pasti dia pura-pura. Agar dia punya alasan kalau kalah!” kata seseorang dari baris
belakang.
Memulai
pertandingan dengan grogi, banyak salah umpan, Sanchez yang tampak tenggelam,
dan puncaknya kehilangan Ronaldo di babak pertama, pasti membuat pendukung
Portugal khawatir. Tapi saya malah mengkhawatirkan Prancis. Saya ketemu sedikit
dejavu. Banyaknya penguasaan bola, dominasi total, juga banyaknya peluang, namun
tak sanggup membuat gol sampai babak pertama usai, Prancis mengingatkan saya dengan
Jerman di semifinal. Dan beberapa penyelamatan gemilang Rui Patricio—terutama atas
sundulan indah Griezman—seperti tengah mengulang apa yang dilakukan Llorris
empat hari sebelumnya. “Kalau gini terus, dan Prancis tak punya solusi, bisa
kalah mereka,” bisik saya kepada teman di sebelah.
Di awal babak
kedua, Portugal tampak memperbaiki penampilan, dan kemudian semakin membaik dari
menit-menit ke menit. Segera kelihatan, Deschamp memang belum menemukan solusi untuk
timnya. Tapi bukan hanya Deschamp yang tak menemukan solusi. Kami juga. Dari
awal pertandingan, kami mengalami persoalan dengan daya tangkap antena atas siaran—ini
sebenarnya masalah klasik kami sejak zaman TVRI masih Menjalin Persatuan dan
Kesatuan. Hujan deras barusan tampaknya memperburuk keadaan. Jika gambar di
layar televisi memburuk, gambar yang disorotkan proyektor menghilang. Dan
seiring berjalannya pertandingan, hilangnya gambar dari tembok yang disorot
semakin sering. Telah dicoba menstabilkan arah antena, tapi hanya bisa
mengatasi sementara saja. Kabel visual juga coba diganti. Tapi tak banyak menolong.
Dalam beberapa kesempatan, kami—ada sekitar 30-an orang—dipaksa memelototi layar
televisi. Dan itu tak menyenangkan.
Lalu azan awal
dari masjid di sebelah berkumandang. Pertandingan masih duapuluh menitan. Prancis
tetap buntu. Portugal, walau kelihatan lebih baik dibanding di awal
pertandingan, kelihatan menunggu. Dan beberapa kali gambar di proyekter amblas,
dan saya sudah putusasa mengatasinya. Saya simpulkan, Fernando Santos akan menunggu
Prancis bosan, seperti yang dilakukannya pada Kroasia; ini akan jadi pertandingan
dengan perpanjangan waktu yang kesekian untuk Portugal. Tapi sayalah yang bosan
duluan. Ngantuk pula. Saya pun memutuskan pulang.
Sampai di rumah,
saya menemukan bapak menonton sendiri, dan Eder masuk lapangan. Mau apa si
Santos? Saya ngadal di kursi dengan muka menatap televisi dan bantal menyangga
dagu. Lalu, kejadian selanjutnya saya tak tahu.
5/
Saya lebih tua
dua tahunan dari Candra ketika menonton Euro saya yang pertama. Itu Euro ’96. Saat
itu saya kelas dua SMA. Listrik PLN baru menyala, kalau saya tak salah ingat. Sudah
cukup banyak orang yang punya televisi. Meski demikian, saya ingat betul, hanya
ada dua tempat yang memungkinkan kami bisa menonton sepakbola malam-malam:
Taspan di bagian tengah arah barat, dan Kaji Puad (yang waktu itu belum haji)
di ujung utara desa. Tak ada yang namanya nonton bareng, karena semua tindakan
menonton sepakbola di televisi adalah nonton bareng.
Jelas tak ada
ikan salem bakar dan nasi hangat, lengkap dengan sambal kecapnya. Juga biasanya
tak ada sisa nasi di rumah—kalau pun ada pasti sudah basi. Kalau kelaparan, kami
bisa mengunduh (dengan diam-diam tentunya) jambu air di samping rumah di
pinggir jalan. Meski saya tak pernah ikut, teman saya malah sering menyatroni warung
bakso Mbokwak Sudar yang sudah tutup dan gelap, dan mengaduk-aduk panci kuahnya.
Syukur kalau masih ada pentol baksonya, tapi kalau tak ada kuah saja dengan diberi
saus banyak-banyak rasanya boleh juga. Ada pula yang malam-malam lalu lalang
dengan membawa cucukan (pikulan rumput
dengan ujung runcing), dan kemudian kembali dengan semangka segar yang dicuri
dari dagangan seseorang di pasar. (Yang hidup di kota, tolong, jangan
memaksakan diri untuk membayangkannya.) Meski warung kopi sudah ada sejak lama,
saya tak pernah merasakan ngopi di warung. Juga di rumah. Selain nasi dan lauk,
yang selalu akan habis sebelum jam tujuh malam, tak ada apa-apa di dapur. Emak saya
akan membikinkan saya wedang jahe hanya kalau saya sakit. Kalau kuatir ngantuk,
saya beli beberapa bungkus Kopiko. Mungkin karena saya tertipu iklan, tapi
terutama karena hanya itu yang bisa saya beli dari uang hasil mencuri sisa
belanja Emak.
Saya pendukung
Argentina sejak mengenal sepakbola, dan menjadi Milanisti sejak melihat mereka
dikalahkan Ajax pada final Piala Champion 1995. Tapi seingat saya, saya
menyongsong Euro ’96 dengan antusias tanpa menjadi pendukung tim mana pun. Malah,
kalau diingat, Euro ’96 justru menjadi titik awal saya menyukai beberapa pemain
yang kemudian berujung pada kesukaan saya dengan tim-tim tertentu. Misal saja,
Davor Suker. Suka sekali dengan striker Kroasia ini, saya mengikuti karirnya
dengan antusias bersama Madrid. Dan dari situlah saya kira saya mulai menyukai
Madrid.
Meski begitu, ada
satu tim yang mengundang perhatian saya. Mungkin karena terpengaruh
tulisan-tulisan bombastis di Tabloid GO, atau ulasan-ulasan asertif dari Bung
Kaisar dan Bung Mario di acara Praktik Trang di Radio Suzanna Surabaya (pedoman
utama para remaja penggemar bola di daerah Surabaya dan sekitarnya di masa itu).
Para cewek mungkin akan menyebut tim itu tim tertampan di Euro ’96. Saya cukup menyebutnya
keren saja. Tim ini dikenal sebagai generasi emas. Mereka menjuarai Piala Dunia
U-20 dua kali berturut-turut. Ada tiga pemain vital yang setelah turnamen ini
bermain bareng di Barcelona: kiper, bek tengah, dan gelandang. Tapi tepat di posisi
playmakerlah pemain idola saya berada. Angker dan dingin di wajah, tapi begitu
anggun di kaki. Ia bernama Rui Costa, yang bermain untuk Fiorentina. Dan timnya
tentu saja Portugal.
Mungkin karena
Potugal rontok di perempat final oleh Rep. Ceko, tim ini hanya bisa saya kenang
namun tak pernah membekas di hati. Dan saya bahkan menyoraki mereka ketika
kalah dari Yunani di final Euro 2004, saat mereka jadi tuan rumah. Kemudian, kemunculan
Ronaldo bahkan membuat saya membenci mereka. Dan cara Fernando Santos memainkan
tim itu di Euro 2016 menyempurnakannya.
Meski demikian, saya
samasekali tak punya beban memberi selamat kepada Candra dan kawan-kawan
sebayanya: bocah-bocah yang mendukung Portugal karena mereka menyukai Ronaldo, striker
hebat itu. Sebab, kalau saja duapuluh tahun lalu, Rui Costa bisa membawa timnya
menjuarai Euro ’96, saya pasti akan sebahagia mereka.
6/
Euro 2016 banyak
memberikan kekecewaan. Rerata gol yang rendah, permainan bertahan, tim-tim
bagus yang rontok terlalu awal, final-final kepagian, dan—tentu saja—Portugal. Tapi, selain dengan kemenangan dan kejayaan, bukankah dengan cara itulah, sepakbola selalu membuat kita menunggu
pertandingan berikutnya, musim berikutnya, dan turnamen berikutnya? Kita ingin
mendapatkan penebusan. Meskipun, biasanya kembali gagal.
Untuk saya
pribadi, ini adalah Euro yang tak selesai. Setelah mengikuti ribuan menit dari
setidaknya 40 pertandingan, saya malah melewatkan 40 menit paling menentukan di
pertandingan final, dan setidaknya 10 menit paling membanggakan bagi sejarah
sepakbola Portugal. Saya membenci Ronaldo, dan telanjur tidak menyukai Portugal.
Tapi, saya tak yakin, apakah di detik ketika Ronaldo mengangkat pot perak itu, saya
sanggup untuk tak bertepuk tangan untuknya. Untuk mereka.
Jogja, 19 Juli 2016
Binggung cari agent dengan Bonus yang berlimpah??
ReplyDeleteJangan binggung Bosku..
yukz gabung dengan Winning303 Agent dengan Bonus berlimpah
Dapatkan langgsung
Bonus New Member Sabung Ayam 10%
Bonus New Member Slot 15%
Bonus New Member Poker 10%
Bonus New Member Sportsbook & Live Casino 20%
Bonus Deposit 10% Setiap Hari
Bonus Cashback 5-10%
Bonus 100% 7x Kemenangan Beruntun Sabung Ayam
Diskon Togel Hingga 65%
Bonus Rollingan Slot 1%
Bonus Rollingan Poker dan Live Casino 0.5%
Yang Lain Sudah Bergabung...Sekarang Giliran Anda....
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: +6287785425244
Dapatkan keseruan dengan deposit minimal 10ribu di Donaco Poker...Menangkan bonus jackpot hingga puluhan juta rupiah tanpa ribet...
ReplyDeleteIkuti Promo Menarik Setiap Bulannya dari Donaco Poker...Dapatkan Bonus Chip Setiap Hari....
Gunakan OVO pay untuk memudahkan dan mempercepat proses deposit anda!!
Dapatkan Juga Bonus Dari Donaco Poker...
- Bonus Deposit 15% New Member Weekend.
- Bonus Deposit 10% Next Deposit Weekend.
- BONUS DEPOSIT HARIAN 5%
- BONUS ROLLINGAN MINGGUAN 0.5%
- BONUS KEJUTAN LAINNYA
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662