Oleh Mahfud Ikhwan
Migrasi dan
perang kentara mewarnai sejarah sepakbola. Dulu begitu. Dan tampaknya masih akan
begitu.
Tanpa pendatang
Inggris, mungkin hari ini Amerika Latin tidak bermain bola melainkan sumo. Jika
para budak dari Ghana tidak dibawa kapal-kapal Portugis ke Brazil dan
dipekerjakan di perkebunan-perkebunan kopi dan tebu di hutan hujan Amazon, boleh
jadi yang mereka punya hanya Ayrton Senna, sebab Garincha, Pele, Romario,
hingga Ronaldinho tak pernah ada. Italia mungkin tak akan seperkasa sekarang,
atau bahkan lebih memilih main basket saja, bila para oriundi dari
Argentina tidak keluar dari negara mereka dan Azzuri tidak meraih dua gelar
dunia pertamanya.
Jika Yahudi
jenius bernama Sindelar tidak mati secara misterius, dan Austria tidak dicaplok
Nazi, dan tim impiannya tidak dipaksa bermain untuk memuliakan Hitler, mungkin
yang punya 5 gelar dunia bukan Jerman, tapi Austria. Bila saja Yugoslavia tidak
terbelah, pemain-pemain Denmark yang sudah berangkat piknik itu tidak akan
pernah memperoleh piala Eropanya.
Gelar dunia
pertama Prancis diwarnai dan ditentukan para keturunan imigran, sama seperti
yang dilakukan para anak imigran untuk gelar paling mutakhir Jerman. Dikapteni
anak imigran Balkan, Swedianya Zlatan jauh lebih dikenal dibanding Swedianya
Brolin yang cemerlang, semifinalis Piala Dunia 1994. Dalam tim Belgia yang
belum lama ini menempati peringkat pertama FIFA kita bahkan menemukan nama
Indonesia. Sementara itu, seorang bocah Thailand ada di tim Swiss yang menjuarai
Piala Dunia U-17 2009. Tim ini sendiri dikapteni seorang anak imigran Albania.
Dan bocah Albania
yang sama, Frederic Vaseli namanya, bersama sembilan nama lain yang lahir
dan/atau besar di Swiss, pulang ke negeri orangtuanya, untuk mengantar Albania
lolos ke Euro 2016, kejuaran besar sepakbola pertama dalam sejarah negara
paling tertinggal di Eropa itu.
***
Vaseli lahir dan
tumbuh di Swiss. Juga Cana, Mavraj, Ajeti, Xhaka, Abrashi, Basha, dan Gashi.
Lanjeni dan Aliji pun tumbuh di Swiss, meskipun masing-masing lahir di Kosovo
dan Macedonia. Dari 23 pemain yang dibawa pelatih De Biasi ke Prancis, yang
lahir di Albania hanya 8 orang. Tak mengherankan, asisten pelatih Paolo
Tramezzani harus keliling Eropa untuk menemukan anak-anak perantau Albania yang
berbakat.
Kemiskinan
tinggalan rejim komunis Enver Hoxha, juga konflik berdarah di Kosovo, wilayah bekas
Yugoslavia yang dihuni oleh minoritas etnik Albania, membuat bangsa itu
tercerai-berai. Mereka pergi untuk menghindari perang, sekaligus mencari penghidupan
yang lebih baik. Dari sekitar 3 juta, tak kurang dari sepertiga penduduk Albania
hidup di luar negaranya. Kebanyakan menjadi pekerja kasar di negara-negara
Eropa Barat, terutama Italia, Jerman, dan Swiss. Anak-anak para perantau inilah
yang belakangan kita kenal namanya lewat kiprahnya di sepakbola. Valon Behrami,
Xherdan Shaqiri, Granit Xhaka, Adnan Januzaj, dan Shkodran Mustafi adalah
sedikit dari banyak anak perantau Albania yang mengemuka.
Albania memang
bukan kisah satu-satunya. Awal 2000-an, kita temukan nama-nama Balkan di banyak
tim dunia, dari Swedia hingga Singapura. Pada kurun yang kurang lebih sama,
bocah-bocah turunan Turki ada di timnas Jerman, Swiss, Belanda, Denmark, dan
lain-lain. Sebaliknya, nyaris separoh anggota timnas Bosnia-Herzegovina di
Piala Dunia 2014 lahir atau besar di negara-negara lain.
Kasus Albania
mirip Bosnia-Herzegovina, tetangga yang sama-sama terpapar konflik Balkan. Tapi
Albania lebih mengundang perhatian karena jumlah pemainnya yang lahir di rantau
lebih banyak. Juga, karena di Euro 2016 ini, mereka satu grup dengan Swiss.
Bukan saja karena Swiss adalah tempat sebagian pemain Albania lahir, tapi
karena tim ini begitu berwarna Albania. Tak kurang, enam pemain timnas Swiss
berdarah Albania, dan sangat memenuhi syarat memperkuat Albania. Keluarga Xhaka
bahkan memiliki masing-masing satu wakil di kedua tim. Konon, kakak-beradik Granit
dan Taulant perlu melewati rapat keluarga yang emosional sebelum akhirnya
memilih memperkuat dua negara yang berbeda.
Bangau yang jauh
terbang akhirnya kembali ke kubangan, kata pepatah Melayu. Itu mengena, tapi tak
tepat benar menggambarkan timnas Albania. Yang pulang ke kubangan bukanlah
bangaunya, melainkan anak-anaknya.
***
Enver Hoxha (baca
Anwar Hoja, biar lebih mudah) adalah seorang tiran yang mengamalkan Stalinisme pada
level paling aneh. Anak seorang guru sufi ini ingin melenyapkan jejak-jejak
sejarah Ottoman berusia 500-an tahun di Albania. Salah satu caranya adalah
dengan melarang orang Albania memelihara jenggot. Maka ada cerita, pada
pertandingan Piala Champions 1979, bek Skotlandia Danny McGrain ketakutan
dengan jenggotnya saat timnya, Celtic, harus bertandang melawan juara Albania,
Partizan Tirana.
Hoxha sudah mati,
menyusul visi-visi revolusionernya yang gagal. Ia juga gagal mengikis corak
Usmani yang melekati Albania. Setidaknya menurut demografi, 90% warga Albania masih
menautkan diri dengan Islam. Kalau Hoxha bisa menonton siaran langsung Euro
2016 dari kuburnya, dia mungkin menyumpah-nyumpah: sebagian pemain Albania
datang ke Prancis dengan jenggot lebat di dagu.
Kalah dari Swiss, "saudara angkat"-nya, Albania pasti akan sulit mengikuti jejak Denmark atau Yunani untuk membuat kejutan. Apalagi di pertandingan kedua, mereka mesti menghadapi tuan rumah Prancis. Lepas dari itu, semoga Ramadan akan memberkati mereka. Penampilan bagus anak-cucunya,
yang lahir di negeri orang, berjenggot pula, mungkin bisa sedikit menenangkan
Hoxha di alam sana.
*dimuat di Jawa Pos, 15 Juni 2016
GRATISS FREEBET MARET SPESIAL HARI RAYA NYEPI 2021
ReplyDeleteKUNJUNGI FREECHIP SITUS SLOT ONLINE TERMURAH DAN TERPECAYA DAN MASIH BANYAK PERMAINAN CASINO LIVE POKER CEME SABONG AYAM DAN PERMAINAN LAIN SERUNYA !! TENTUNYA EVENT BONUS PROMO SETIAP BULAN NYA YANG MANTAPPP ^^
CLAIM SEKARANG WA : >> +62 819-1005-3031 <<
CS 24jam Online
JANGAN SAMPAI KEHABISAN !!
SEHAT SELALU UNTUK KITA SEMUA ...ALWAYS THANKFULL AND GRATEFULL ^^