Oleh Darmanto Simaepa
Piala
Eropa kali ini adalah momen istimewa buat keluarga Xhaka. Dua bersaudara,
Toulant dan Granit, akan saling bertarung di grup A, mewakili dua negara
berbeda. Granit, saudara muda, berseragam Swiss; sementara Toulant berkaus Albania . Lahir
di Swiss dari pasangan Albania
yang mengungsi akibat perang Yugoslavia ,
kedua Xhaka lahir dan memulai karir di Basel .
Xhaka
bersaudara punya bakat cemerlang. Tampil di liga profesional sejak usia
belasan, mereka langganan juara bersama FC Basel. Keduanya bermain di semua
level tim nasional Swiss junior, meski akhirnya, Toulant memilih Albania .
Keputusan ini diambil atas saran si adik yang tidak ingin ia mengulangi
kesalahan sama dengan memilih Swiss.
Toulant
dan Granit mewakili pesepakbola masa kini yang hidup di banyak negara dan punya
lebih satu kewarganegaraan. Lihatlah Jerman dan Turki. Sebagian pemain timnas
Jerman adalah orang-orang Turki. Sebaliknya, timnas Turki berisi pemain-pemain
yang lahir, besar dan bermain di liga Jerman. Lihatlah timnas Austria dengan Serbia
atau Bosnia .
Xhaka
bersaudara adalah dua di antara puluhan pemain di Piala Eropa yang bisa memiluh
bermain untuk negara tempat mereka lahir atau negara orang tua. Para pemain ini lahir dari pasangan yang pindah entah
karena akibat perang atau menjadi pekerja migran. Dengan hidup yang lebih baik,
mereka memilih menjadi warga di negara baru dengan mempertahankan ikatan dengan
negara lama.
Bagi
mereka, sepakbola menawarkan jalan keluar bagi masalah adaptasi dan integrasi.
Ketrampilan mengolah bola dapat mengalahkan prasangka rasial dan mengeluarkan
bocah-bocah berbakat ini dari perumahan pengap dan gelap di pinggiran kota . Yang utama:
sepakbola memberi pengakuan sebagai warga negara.
Bagi
negara tempat ia lahir, pemain seperti Xhaka atau Ibrahimovic adalah berlian
kasar yang jarang mereka hasilkan. Dengan akademi dan industri sepakbola yang
tertata, berlian itu bahan dasar prestasi tim nasional. Selain itu, mereka
adalah inspirasi bagi integrasi dan contoh keberhasilan sistem demokrasi. Bagi
negara asal orang tua, mereka sumber daya siap jadi. Pengalaman dengan liga
profesional membuat mereka dinilai tinggi. Lebih dari itu, mereka adalah
teladan perantau sukses.
Meski
bukan hal yang baru sama sekali, fenomena pemain seperti Xhaka bersaudara ini
muncul secara kolosal sejak satu dekade terakhir. Mereka semua lahir akhir
1980an atau awal 1990an. Dan ini bukan kebetulan.
Pada
periode tersebut, dunia menyaksikan kematian perang dingin dan menyongsong
kelahiran Uni-Eropa. Setelah Tembok Berlin runtuh, kebijakan neo-liberal mulai
dirasakan secara global: perdagangan bebas menjadi mantra dan arus tenaga kerja
murah melintasi batas-batas negara. Nama-nama Rakitic, Hakan dan Karim lahir di Amsterdam atau Stuttgart.
Arus
migrasi ini seiring globalisasi sepakbola, yang ditandai lahirnya aturan Bosman
atau siaran liga Eropa ke lima benua. Arus ini melicinkan pertukaran tradisi
sepakbola yang dulunya ‘khas’ negara tertentu. Hollandse School
melanglang ke Spanyol, dikembangkan menjadi tiki-taka, lantas
dimodifikasi di Jerman. Inggris mengadopsi gaya Eropa Daratan, sementara Italia
tak lagi mengandalkan catennacio.
Kombinasi
arus pergerakan pemain dan pertukaran gaya main, gilirannya, mengubah wajah
Piala Eropa. Dulu sepanjang perang dingin, Piala Eropa menjadi suaka bagi
sentimen nasionalisme. Timnas adalah wakil negara yang lebih nyata dari
bendera, lebih manusiawi dari kepala negara, dan lebih konkrit dari pada angka
statistik.
Menonton
timnas bertanding adalah wujud sentimen nasionalisme. Di Austria, Belanda, atau
Polandia pertandingan melawan Jerman dan Soviet selalu dirayakan sebagai momen
kolektif sebagai bangsa. Peluang mengalahkan Jerman dan Soviet sebanding dengan
harapan membalas atas apa yang dilakukan Hitler atau Stalin selama masa perang.
Generasi
Xhaka di Piala Eropa kali berbeda. Mereka menghadirkan turnamen sepakbola
sebagai festival bagi nasionalisme kosmopolitan. Kebanggaan nasional tidak
hilang, tentu saja, namun ia malih-rupa menjadi karnaval global. Tidak jarang
saya ketemu orang Belanda memuji Jerman dan berharap mereka juara. Eric ‘the
King’ Cantona yang orang Prancis, memberikan suaranya untuk Inggris. Beberapa
orang Italia di Napoli mendukung Slovakia, negara kapten klub mereka.
Piala
Eropa masa kini kehilangan wajah nasionalisme yang keras, sempit dan patriotik.
Mendukung timnas tertentu bukan lagi perkara ‘tumpah-darah’. Tiap orang pasti
punya lebih dari satu negara jagoan. Dimainkan oleh pemain kosmopolit dan
disaksikan secara global, turnamen ini menunjukkan jalinan evolusi mutakhir
sepakbola dan globalisasi yang membentuknya.
Apakah
gelaran Piala Eropa menunjukkan gejala senjakala nasionalisme? Saya tidak
yakin. Di Jerman dan Prancis, masih ada protes tentang timnas Jerman yang tidak
Jerman dan Prancis yang tidak Prancis. Gambar orang Inggris menangis tetap akan
ada dan perkelahian melibatkan orang Albania di Zurich mungkin saja terjadi.
Sepakbola
berpilin ke udara mengikuti putaran globalisasi. Ia pernah mengeraskan sentimen
nasionalisme namun sekarang melenturkannya. Arah sepakbola tidak pernah bisa
ditebak atau diprediksi. Namun kita bisa menangkap wajahnya. Wajah itu terlihat
dari kebahagian dan kebanggaan yang dibagi keluarga Xhaka di Basel atau
Albania, seperti halnya kebahagiaan yang dibaginya untuk jutaan orang Indonesia
yang tidak punya hubungan historis dan emosional dengan Albania.
No comments:
Post a Comment