Oleh Nurcholis Kartiman
Ketika berjanji membuat tulisan hadiah pernikahan
darmanto, saya memikirkan dua tema. Pertama soal pertemanan. Bisa saja saya menulis dengan latar bulaksumur B-21: bagaimana dia merebut koran pagi yang sedang saya baca. Atau dengan seting perpustakan UPT, perjumpaan tak sengaja saat jeda
dari Siberut, atau kemampuan menyepak bola lebih
banyak saya ketahui hanya dari cerita. Tetapi, ingatan saya harus bekerja
keras untuk mengingat semua dengan rinci. Saya bahkan lupa nasib Bayern
Munchen di final Champion
1999 yang kami tonton bersama. Tulisan jenis begitu mudah jatuh pada puja-puji masa lalu—Darmanto mungkin menyukainya. Namun, Milan Kundera pernah bilang,
memberikan apa yang disukai penerima hadiah, bukanlah hal baik. Sebaliknya, memberikan
sesuatu yang kita sukai sebagai hadiah berarti memberi sebagian dari diri kita—meski sesuatu itu
belum tentu disukai si penerima.
Saya mengambil pilihan kedua.
Saya mengambil pilihan kedua.
Tema kedua tentang sepakbola. Saya dan Darmanto penggemar
sepakbola, tetapi punya kesalehan berbeda menghayatinya. Kami menempati sisi stadion yang berbeda.
Darmanto mendukung Argentina, Manchester United—saya bersumpah menyebutnya sekali di tulisan ini—dan Barcelona.
Saya pendukung Jerman dan klub-klubnya, terutama
Bayern Muenchen, Darmanto mbotohi tim-tim yang sesuai selera
mayoritas, sementara saya pengemar tim yang diledek karena gaya pragmatis. Ya, orang cenderung
mendukung Pandawa dan tim-tim yang
baik. Ada semacam ketakutan untuk mengakui bahwa trah Kurawa memainkan
peranan lebih penting agar epos Mahabharata terus dibicarakan.
*****
Piala dunia 1954, Jerman datang ke Bern sebagai negara yang porak-poranda. Di pertandingan pembuka, Jerman dihajar Hungaria. Di final, keduanya bertemu lagi. Selain orang Jerman, tidak ada yang menginginkan mereka
menang. Hungaria dengan Ferenc
Puskas dan Kocsis sedang meraja dan dunia menginginkan
mereka mengangkat piala. Namun, ketika peluit
terakhir ditiup, Jerman bersorak. Begitu pula di tahun 1974. Kali ini
Jerman datang dengan Beckenbauer, seorang Karna dalam sepakbola. Jerman yang
dipimpinnya kalah mentereng dari Belanda. Publik berharap total-football juara, tapi Jerman mencurinya. Backenbauer jugalah yang memimpin
Jerman paling tidak menarik sepanjang sejarah, juara dunia di tanah Italia. Maradona yang
dicintai semua orang—kecuali Peter Shilton—dibuatnya banjir air mata.
Maradona menunggu dua
puluh tahun untuk balas dendam. Kali
ini, ia sebagai pelatih. Sebelum putaran final, Argentina
bertandang ke Munich untuk sebuah laga persahabatan. Argentina datang dengan nama-nama besar, kecuali kipernya. Sementara,
publik akan sulit mengeja anak-anak muda Jerman. Pertandingan berjalan seimbang. Dari sebuah
serangan balik, Di Maria mengirim umpan lambung ke
kotak penalti. Higuain yang sudah menunggu, memutar arah larinya dan beradu dengan Rene Adler. Higuain lebih cepat dan seluruh stadion menyaksikan bola bergulir pelan ke garis gawang.
Dendam dilampiaskan di tanah Jerman!
Kemenangan dan balas dendam barangkali melingkupi perasaan Maradona. Saya membayangkan, dia akan menggunakan jumpa pers pasca pertandingan untuk
melampiaskan amarahnya. Namun, pernyataan paling penting justru
muncul di jumpa pers pra pertandingan. Melihat wakil Jerman, Maradona meradang.
Alih-alih menemui pelatih atau pesepakbola kondang, Maradona malah melihat bocah kurus ‘anak gawang’. Maradona
meninggalkan ruang pers. Ia mengancam tak balik sebelum anak gawang pergi. Si Bocah mengalah.
Kisah si anak gawang tak berhenti di sana. Ia memperkenalkan ulang dirinya di Afrika
Selatan—dengan cara yang luar biasa. Babak perempat final piala Dunia selalu
menghadirkan partai klasik. Bocah kurus itu menunjukkan kepada si
Tangan Tuhan, ia bukanlah sekadar pengambil bola. Dan ia tak menunggu
lama. Menit ketiga, Arismendi melanggar Podolski di sisi
kiri Argentina. Schweni mengambil tendangan bebas. Bola melintir ke depan
gawang. Si Bocah mengambil momentum, meloncat sepersekian detik lebih dulu dari
lawannya. Sedikit sentuhan
kepala dari bola yang deras berpilin membuat tangan Romero terayun sia-sia. Ia
berlari ke arah Schweni. Ia mengangkat
kedua tangannya dengan kaku dan histeris—cara yang
mengesankan bahwa dia bahkan belum bisa merayakan gol!
Si anak gawang itu bernama Thomas muller. Tusukan pertama Jerman dari empat yang membunuh karir kepelatihan
Maradona. ‘Sekarang ia (Maradona) akan tahu, saya bukan anak gawang’ ujarnya di jumpa pers. Saya tidak menambah tanda seru, karena pernyataan itu diucapkan sembari
bercanda. Namun, Muller punya bekal membusungkan dada. Ia membawa tim
Bavaria meraih gelar ganda,
dan menembus final Champion sebelum Afrika. Dua gol dan satu
umpan memulangkan Inggris. Namun, ia terlalu sederhana untuk pongah. Mengingat
peristiwa jumpa pers, hati
saya terlalu kotor untuk memikirkan bahwa Maradona menganggap
Muller benar-benar anak
gawang. Lebih dari itu, ejekan Maradona adalah tindakan seseorang yang merasa berhak atas
pengakuan. Maradona tidak bisa balik nmerumput dan bertarung melawan Muller. Senjata satu-satunya untuk mendapat pengakuan adalah klaim
sejarahnya. Saat Maradona bicara kemegahan status masa lalunya, Muller sedang menikmati kebahagiaannya.
*****
Saya melihat Muller dalam sosok Darmanto. Momen itu ada di dalam diskusi bukunya di Syarikat awal tahun ini. Di ‘jumpa pers’
buku pertamanya itu juga ada ‘Maradona’, yang menyosok dalam orang-orang yang merasa senior, lebih canggih,
lebih revolusioner, dan lebih mempunyai gagasan tentang
apa bentuk dan formula gerakan sosial. Mereka menempatkan
Darmanto sebagai pemula dan menuntutnya untuk menulis sebuah buku panduan
gerakan sosial untuk Siberut. Pembelaan Laksmi Savitri dengan mengatakan sebuah buku yang baik
adalah buku yang mampu mengajak
pembaca terlibat dan menyediakan cara pandang lebih
baik atas realitas tidak
mempan menangkis serangan Maradona. Para aktivis senior itu,
dengan klaim historisnya merasa apa yang ditulis oleh Darmanto bisa mengguncang
keyakinan atas realitas: bahwa masyarakat sudah berubah, maka cara pandangnya
juga berubah. Bagi saya, Darmanto
sedang menghamparkan kesaksian dan kekinian Siberutnya, sementara
para aktivis senior hidup dengan kisah masa lalunya dengan Siberut.
Setelah diskusi, saya
membonceng Darmanto. Di atas Vespa—kendaraan terhebat di dunia—Darmanto
mengungkapkan kejengkelannya. Menurut dia, kritik yang dinyatakan dalam diskusi
justru itu meleset dari apa yang ia harapkan. Ia sadar butuh kritik dan meminta kawan-kawannya menulis ulasan
sebagai bahan diskusi. Namun, yang ia dapatkan kritik lisan, verbal, dan argumen yang
memaksa harus mengambil posisi mutlak sehingga mengaburkan debat buku. Para aktivis
senior itu adalah Maradona
yang mengenakan tuksedo dan mengenakan rosario, tetapi tidak
tahu perkembangan taktik sepakoba. Para pemuja gerakan sosial, yang kagum akan sejarah
para ‘Maradona’, akan mudah percaya pada
kemahiran mereka dan mendoakan citra moralitas itu akan menolong
masyarakat. Orang terlanjur teryakinkan bahwa nama besar dan masa lalu Maradona sepadan dengan
kemampuan menganalisa realitas sepakbola kontemorer. Thomas Muller membuktikan
betapa dua hal itu tak hanya tak sama, tetapi juga tak ada hubungannya.
*****
Dalam dunia yang menjalin antara menulis (memproduksi pengetahuan)
dengan aktivisme (melancarkan tindakan), sebuah pertanyaan akan sebuah daya guna kerja
analisis pasti akan muncul. Ungkapan ‘setelah ini apa? Dari almarhum teman saya terngiang di kepala dalam diskus itu. Meskipun konteks ungkapan itu terkait hidup setelah lulus kuliah
namun saya melihat ada relevansinya disini. Apakah setelah diskusi buku, debat
teoritik, menyelesaikan skripsi, atau kerja produksi pengetahuan dapat ditemukan sesuatu yang berguna? Pertanyaan untuk tergesa menjawab pertanyaan ini menggambarkan
kerisauan, Bagi mahasiswa, mungkin ini karena dia tidak yakin mendapat kerja
atau menganggap kuliah soal tanda tangan, lulus, dapat kerja, pensiun—sebuah
sikap formalitas. Sikap yang oleh Daoed Joesoef
dikatakan sikap profesional. Profesional, karena si mahasiswa hanya mengerjakan
sesuatu sejauh menjadi persyaratan kelulusan. Setelah lulus, ia menjadi pekerja belaka.
Padahal yang diharapkan dari penulisan buku adalah sebuah kemampuan
analaitik dalam melihat bagaimana dunia berjalan. Kerja-kerja akademik adalah
ruang untuk menjadi man of analysis. Bagi Daoed
Joesoef, mahasiswa seharusnya mendalami pengetahuan, bukan
aktifitas politik. Kerja produksi pengetahuan dituntut menggunakan rasionalitasnya untuk memahami
dan memecahkan persoalan. Jika ingin
melakukan perubahan nyata, kerja politik atau aktivisme, ia harus melepaskan keistimewaan sebagai
intelektual. Mahasiswa, akamdemisi, menulis buku dihargai karena kemampuan intelektualnya, bukan karena
status aktivismenya. Pengkritik pun akan dinilai dari bobot
kritiknya, bukan dari statusnya sebagai aktivis senior
atau aktivis angkatan sebelumnya.
Pembedaan ala Joesoef sebenarnya tidak relevan lagi. Sejatinya, pembedaan harus berpangkal dari tanggung jawab. Partisi aktivis, penulis, akademisi, politisi tidak merujuk apa-apa
kecuali ketika menghasilkan karya atau tindakan. Ketika berada di ranah wacana, maka seseoranng harus
mempertanggungjawabkan rasionalitas analisisnya. Namun,
bila di ranah gerakan,
seseorang harus mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai aktivis.
*****
Permainan sepakbola terus berubah, dan setiap perubahan membutuhkan
jenis pemain yang berbeda. Potongan Muller tidak akan dapat bertarung dalam kompetisi
sebelum 1980an. Pelatih seperti Helenio Herera akan menyarankan orang tuanya
memilihkan karir lain, bahkan sebelum
latihan pertama, jika melihat cara berlarinya
Ia kurus dan tidak memiliki teknik yang hebat. Sulit membayangkannya mengecoh dua-tiga pemain lawan. Dalam pertandingan Bayern, orang
terpaku pada liukan Ribery atau giringan Robben. Jika Muenchen menang, meskipun
sama-sama mencetak gol, Robben-lah yang memenangkan
dan menyenangkan hati penonton. Yang diabaikan adalah bagaimana Muller berlari ke semua
sudut lapangan, dan ialah orang pertama yang merebut bola
dari bek lawan. Dibutuhkan pengamatan jeli untuk melihat Muller sebagai pemain terbaik.
Kenyataan bahwa Muller tidak bagus secara teknis mungkin menjadi alasan mengapa ia bekerja keras untuk tim. Dalam beragam
pertandingan, Muller tidak berada di daftar teratas statistik Opta. Ia tidak melanggar atau dilanggar, dan
hanya memiliki sedikit operan. Namun, secara nyata ada dimana-mana. Jerman dan Muenchen
menjadi tim yang sangat berbeda bila Muller absen. Ia pas-pasan, tapi
dominan. Tidak menekel, tapi menang rebutan bola. Pencetak gol tetapi bukan striker. Bukan pelari cepat, tetapi selalu dalam posisi yang tepat. Kurus
tapi menang duel udara. Muller
adalah semacam jendela untuk melakukan interpretasi permainan
sepakbola masa kini.
Pendobrak selalu sulit diukur dari
ukuran-ukuran yang berlaku surut ke belakang. Ia selalu dibicarakan karena menjadi pemula bagi terbukanya rute baru. Muller dan Darmanto bukan orang yang sama—dan Darmanto pasti tidak
suka cara bermain Muller. Tapi barangkali keduanya sama-sama menempuh rute yang
sama di arena yang berbeda. Diskusi buku Berebut Hutan Siberut di Syarikat tidak terlalu memuaskan. Namun, adalah
melegakan mendengar bukunya mendapatkan sambutan hangat
di banyak tempat. Konon, buku itu diniatkan
menjadi buku pegangan jurusan antropologi atau mata kuliah
politik ekologi di beberapa universitas. Menekuni antropologi dengan latar belakang biologi
bukanlah sesuatu yang lazim, meskipun tidak
berarti tidak ada
pendahulunya. Memilih rute itu seperti melalui jalur intelektual yang tidak biasa. Apalagi di rezim
akreditasi sekarang, sulit membayangkan seseorang berani menempuh
jalan seaneh itu. Menyimak karya-karya yang dihasilkannya, menekuni antropologi mungkin pilihan
tepat. Hanya, Darmanto harus terus menerus membuktikan ketepatan pilihan itu.
Seperti halnya Muller yang berusaha konsisten membuktikan pilihan gaya bermainnya.
Selamat membuktikan ketepatan pilihan, juga
selamat untuk niat dalam terus menerus membuktikan ketepatan untuk menikah.
No comments:
Post a Comment