Saturday, November 16, 2013

Kesan Tentang Thomas Muller

Oleh Nurcholis Kartiman


Ketika berjanji membuat tulisan hadiah pernikahan darmanto, saya memikirkan dua tema. Pertama soal pertemanan. Bisa saja saya menulis dengan latar bulaksumur B-21: bagaimana dia merebut koran pagi yang sedang saya baca. Atau dengan seting perpustakan UPT, perjumpaan tak sengaja saat jeda dari Siberut, atau kemampuan menyepak bola lebih banyak saya ketahui hanya dari cerita. Tetapi, ingatan saya harus bekerja keras untuk mengingat semua dengan rinci. Saya bahkan lupa nasib Bayern Munchen di final Champion  1999 yang kami tonton bersama. Tulisan jenis begitu mudah jatuh pada puja-puji masa lalu—Darmanto mungkin menyukainya. Namun, Milan Kundera pernah bilang, memberikan apa yang disukai penerima hadiah, bukanlah hal baik. Sebaliknya, memberikan sesuatu yang kita sukai sebagai hadiah berarti memberi sebagian dari diri kita—meski sesuatu itu belum tentu disukai si penerima.
Saya mengambil pilihan kedua.

Tema kedua tentang sepakbola. Saya dan Darmanto penggemar sepakbola, tetapi punya kesalehan berbeda menghayatinya. Kami menempati sisi stadion yang berbeda. Darmanto mendukung Argentina, Manchester Unitedsaya bersumpah menyebutnya sekali di tulisan inidan Barcelona. Saya pendukung Jerman dan klub-klubnya, terutama Bayern Muenchen, Darmanto mbotohi tim-tim yang sesuai selera mayoritas, sementara saya pengemar tim yang  diledek karena gaya pragmatis. Ya, orang cenderung mendukung Pandawa dan tim-tim yang baik. Ada semacam ketakutan untuk mengakui bahwa trah Kurawa memainkan peranan lebih penting agar epos Mahabharata terus dibicarakan.

*****

Piala dunia 1954, Jerman datang ke Bern sebagai negara yang porak-poranda. Di pertandingan pembuka, Jerman dihajar Hungaria. Di final, keduanya bertemu lagi. Selain orang Jerman, tidak ada yang menginginkan mereka menang. Hungaria dengan Ferenc Puskas dan Kocsis sedang meraja dan dunia menginginkan mereka mengangkat piala. Namun, ketika peluit terakhir ditiup, Jerman bersorak. Begitu pula di tahun 1974. Kali ini Jerman datang dengan Beckenbauer, seorang Karna dalam sepakbola. Jerman yang dipimpinnya kalah mentereng dari Belanda. Publik berharap total-football juara, tapi Jerman mencurinya. Backenbauer jugalah yang memimpin Jerman paling tidak menarik sepanjang sejarah, juara dunia di tanah Italia. Maradona yang dicintai semua orang—kecuali Peter Shilton—dibuatnya banjir air mata.

Maradona menunggu dua puluh tahun untuk balas dendam. Kali ini, ia sebagai pelatih. Sebelum putaran final, Argentina bertandang ke Munich untuk sebuah laga persahabatan.  Argentina datang dengan nama-nama besar, kecuali kipernya. Sementara, publik akan sulit mengeja anak-anak muda Jerman. Pertandingan berjalan seimbang. Dari sebuah serangan balik, Di Maria mengirim umpan lambung ke kotak penalti. Higuain yang sudah menunggu, memutar arah larinya dan beradu dengan Rene Adler. Higuain lebih cepat dan seluruh stadion menyaksikan bola bergulir pelan ke garis gawang. Dendam dilampiaskan di tanah Jerman!
Kemenangan dan balas dendam barangkali melingkupi perasaan Maradona. Saya membayangkan, dia akan menggunakan jumpa pers pasca pertandingan untuk melampiaskan amarahnya. Namun, pernyataan paling penting justru muncul di jumpa pers pra pertandingan. Melihat wakil Jerman, Maradona meradang. Alih-alih menemui pelatih atau pesepakbola kondang, Maradona malah melihat bocah kurus anak gawang. Maradona meninggalkan ruang pers. Ia mengancam tak balik sebelum anak gawang  pergi. Si Bocah mengalah.

Kisah si anak gawang tak berhenti di sana. Ia memperkenalkan ulang dirinya di Afrika Selatan—dengan cara yang luar biasa. Babak perempat final piala Dunia selalu menghadirkan partai klasik. Bocah kurus itu menunjukkan kepada si Tangan Tuhan, ia bukanlah sekadar pengambil bola. Dan ia tak menunggu lama. Menit ketiga, Arismendi melanggar Podolski di sisi kiri Argentina. Schweni mengambil tendangan bebas. Bola melintir ke depan gawang. Si Bocah mengambil momentum, meloncat sepersekian detik lebih dulu dari lawannya. Sedikit sentuhan kepala dari bola yang deras berpilin membuat tangan Romero terayun sia-sia. Ia berlari ke arah Schweni. Ia mengangkat kedua tangannya dengan kaku dan histeris—cara yang mengesankan bahwa dia bahkan belum bisa merayakan gol!

Si anak gawang itu bernama Thomas muller. Tusukan pertama Jerman dari empat yang membunuh karir kepelatihan Maradona.  ‘Sekarang ia (Maradona) akan tahu, saya bukan anak gawang’ ujarnya di jumpa pers. Saya tidak menambah tanda seru, karena pernyataan itu diucapkan sembari bercanda. Namun, Muller punya bekal membusungkan dada. Ia membawa tim Bavaria meraih gelar ganda, dan menembus final Champion sebelum Afrika. Dua gol dan satu umpan memulangkan Inggris. Namun, ia terlalu sederhana untuk pongah. Mengingat peristiwa jumpa pers, hati saya terlalu kotor untuk memikirkan bahwa Maradona menganggap Muller benar-benar anak gawang. Lebih dari itu, ejekan Maradona adalah tindakan seseorang yang merasa berhak atas pengakuan. Maradona tidak bisa balik nmerumput dan bertarung melawan Muller. Senjata satu-satunya untuk mendapat pengakuan adalah klaim sejarahnya. Saat Maradona bicara kemegahan status masa lalunya, Muller sedang menikmati kebahagiaannya.

*****

Saya melihat Muller dalam sosok Darmanto. Momen itu ada di dalam diskusi bukunya di Syarikat  awal tahun ini. Di ‘jumpa pers’ buku pertamanya itu juga ada ‘Maradona’, yang menyosok dalam orang-orang yang merasa senior, lebih canggih, lebih revolusioner, dan lebih mempunyai gagasan tentang apa bentuk dan formula gerakan sosial. Mereka menempatkan Darmanto sebagai pemula dan menuntutnya untuk menulis sebuah buku panduan gerakan sosial untuk Siberut. Pembelaan Laksmi Savitri dengan mengatakan sebuah buku yang baik adalah buku yang mampu mengajak pembaca terlibat dan menyediakan cara pandang lebih baik atas realitas tidak mempan menangkis serangan Maradona. Para aktivis senior itu, dengan klaim historisnya merasa apa yang ditulis oleh Darmanto bisa mengguncang keyakinan atas realitas: bahwa masyarakat sudah berubah, maka cara pandangnya juga berubah. Bagi saya, Darmanto sedang menghamparkan kesaksian dan kekinian Siberutnya, sementara para aktivis senior hidup dengan kisah masa lalunya dengan Siberut.

Setelah diskusi, saya membonceng Darmanto. Di atas Vespakendaraan terhebat di duniaDarmanto mengungkapkan kejengkelannya. Menurut dia, kritik yang dinyatakan dalam diskusi justru itu meleset dari apa yang ia harapkan. Ia sadar butuh kritik dan meminta kawan-kawannya menulis ulasan sebagai bahan diskusi. Namun, yang ia dapatkan kritik lisan, verbal, dan argumen yang memaksa harus mengambil posisi mutlak sehingga mengaburkan debat buku. Para aktivis senior itu adalah Maradona yang mengenakan tuksedo dan mengenakan rosario, tetapi tidak tahu perkembangan taktik sepakoba. Para pemuja gerakan sosial, yang kagum akan sejarah para ‘Maradona’, akan mudah percaya pada kemahiran mereka dan mendoakan citra moralitas itu akan menolong masyarakat. Orang terlanjur teryakinkan bahwa nama besar dan masa lalu Maradona sepadan dengan kemampuan menganalisa realitas sepakbola kontemorer. Thomas Muller membuktikan betapa dua hal itu tak hanya tak sama, tetapi juga tak ada hubungannya.

*****

Dalam dunia yang menjalin antara menulis (memproduksi pengetahuan) dengan aktivisme (melancarkan tindakan), sebuah pertanyaan akan sebuah daya guna kerja analisis pasti akan muncul. Ungkapan ‘setelah ini apa? Dari almarhum teman saya terngiang di kepala dalam diskus itu. Meskipun konteks ungkapan itu terkait hidup setelah lulus kuliah namun saya melihat ada relevansinya disini. Apakah setelah diskusi buku, debat teoritik, menyelesaikan skripsi, atau kerja produksi pengetahuan dapat ditemukan sesuatu yang berguna? Pertanyaan untuk tergesa menjawab pertanyaan ini menggambarkan kerisauan, Bagi mahasiswa, mungkin ini karena dia tidak yakin mendapat kerja atau menganggap kuliah soal tanda tangan, lulus, dapat kerja, pensiun—sebuah sikap formalitas. Sikap yang oleh Daoed Joesoef dikatakan sikap profesional. Profesional, karena si mahasiswa hanya mengerjakan sesuatu sejauh menjadi persyaratan kelulusan. Setelah lulus, ia menjadi pekerja belaka.

Padahal yang diharapkan dari penulisan buku adalah sebuah kemampuan analaitik dalam melihat bagaimana dunia berjalan. Kerja-kerja akademik adalah ruang untuk menjadi man of analysis. Bagi Daoed Joesoef, mahasiswa seharusnya mendalami pengetahuan, bukan aktifitas politik. Kerja produksi pengetahuan dituntut menggunakan rasionalitasnya untuk memahami dan memecahkan persoalan. Jika ingin melakukan perubahan nyata, kerja politik atau aktivisme, ia harus melepaskan keistimewaan sebagai intelektual. Mahasiswa, akamdemisi, menulis buku dihargai karena kemampuan intelektualnya, bukan karena status aktivismenya. Pengkritik pun akan dinilai dari bobot kritiknya, bukan dari statusnya sebagai aktivis senior atau aktivis angkatan sebelumnya.

Pembedaan ala Joesoef sebenarnya tidak relevan lagi. Sejatinya, pembedaan harus berpangkal dari tanggung jawab. Partisi aktivis, penulis, akademisi, politisi tidak merujuk apa-apa kecuali ketika menghasilkan karya atau tindakan. Ketika berada di ranah wacana, maka seseoranng harus mempertanggungjawabkan rasionalitas analisisnya. Namun, bila di ranah gerakan, seseorang harus mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai aktivis.

*****

Permainan sepakbola terus berubah, dan setiap perubahan membutuhkan jenis pemain yang berbeda. Potongan Muller tidak akan dapat bertarung dalam kompetisi sebelum 1980an. Pelatih seperti Helenio Herera akan menyarankan orang tuanya memilihkan karir lain, bahkan  sebelum latihan pertama, jika melihat cara berlarinya  Ia kurus dan tidak memiliki teknik yang hebat. Sulit membayangkannya mengecoh dua-tiga pemain lawan. Dalam pertandingan Bayern, orang terpaku pada liukan Ribery atau giringan Robben. Jika Muenchen menang, meskipun sama-sama mencetak gol, Robben-lah yang memenangkan dan menyenangkan hati penonton. Yang diabaikan adalah  bagaimana Muller berlari ke semua sudut lapangan, dan ialah orang pertama yang merebut bola dari bek lawan.  Dibutuhkan pengamatan jeli untuk melihat Muller sebagai pemain terbaik.

Kenyataan bahwa Muller tidak bagus secara teknis mungkin menjadi alasan mengapa ia bekerja keras untuk tim. Dalam beragam pertandingan, Muller tidak berada di daftar teratas statistik Opta. Ia tidak melanggar atau dilanggar, dan hanya memiliki sedikit operan. Namun, secara nyata ada dimana-mana. Jerman dan Muenchen menjadi tim yang sangat berbeda bila Muller absen. Ia pas-pasan, tapi dominan. Tidak menekel, tapi menang rebutan bola. Pencetak gol tetapi bukan striker. Bukan pelari cepat, tetapi selalu dalam posisi yang tepat. Kurus tapi menang duel udara. Muller adalah semacam jendela untuk melakukan interpretasi permainan sepakbola masa kini.

Pendobrak selalu sulit diukur dari ukuran-ukuran yang berlaku surut ke belakang. Ia selalu dibicarakan karena menjadi pemula bagi terbukanya rute baru. Muller dan Darmanto bukan orang yang sama—dan Darmanto pasti tidak suka cara bermain Muller. Tapi barangkali keduanya sama-sama menempuh rute yang sama di arena yang berbeda. Diskusi buku Berebut Hutan Siberut di Syarikat tidak terlalu memuaskan. Namun, adalah melegakan mendengar bukunya mendapatkan sambutan hangat di banyak tempat. Konon, buku itu diniatkan menjadi buku pegangan jurusan antropologi atau mata kuliah politik ekologi di beberapa universitas. Menekuni antropologi dengan latar belakang biologi bukanlah sesuatu yang lazim, meskipun tidak berarti tidak ada pendahulunya. Memilih rute itu seperti melalui jalur intelektual yang tidak biasa. Apalagi di rezim akreditasi sekarang, sulit membayangkan seseorang berani menempuh jalan seaneh itu. Menyimak karya-karya yang dihasilkannya, menekuni antropologi mungkin pilihan tepat. Hanya, Darmanto harus terus menerus membuktikan ketepatan pilihan itu. Seperti halnya Muller yang berusaha konsisten  membuktikan pilihan gaya bermainnya.


Selamat membuktikan ketepatan pilihan, juga selamat untuk niat dalam terus menerus membuktikan ketepatan untuk menikah.

No comments:

Post a Comment