Saturday, November 16, 2013

Satu Angka: Bukan Sebuah Ulasan Sepakbola

Oleh Mahfud Ikhwan

Hidup kita tak ditentukan oleh hal-hal besar yang pernah kita alami. Belokan kecil yang sengaja atau bahkan tak sengaja kita ambil, itulah yang akan menentukan di ujung jalan mana nanti kita akan sampai. Itu yang saya yakini.

Dan, itulah yang saya yakini terjadi pada teman saya, Darmanto.


***

Kami bertemu di sebuah ruang kelas yang riuh pada awal tahun ajaran 1995, kelas I-1 SMU Negeri Babat, Lamongan. Meski sebutannya tampak utama dan pertama, tapi kelas itu justru saya kenang sebagai kelas paling marjinal. Paling jauh dari gerbang masuk dan paling dekat dengan rawa, kami biasa memancing ikan sepat dengan biji stapler jika kelas sedang kosong. Dalam waktu tak seberapa lama, kelas itu dari sisi disiplin segera dikuasai oleh para bocah nakal dan dari sisi akademik didominasi para siswa (yang paling tidak pada awalnya dianggap) bodoh.

Begitu mengenal seorang bocah yang mulutnya tak pernah berhenti mendendangkan lagu-lagu KLa Project itu, kami segera menjadi akrab. Rasa-rasanya kami memiliki banyak sekali persamaan. Namun, tanpa harus menyebutkan yang banyak itu—yang mungkin akan membuat tulisan ini akan bertele-tele jika disebutkan satu-satu—sepakbola jelas telah mengatasi semua perbedaan. Saat upacara bendera hari Senin, kami bersama beberapa siswa lain membuat komplotan kecil di barisan belakang agar bisa membicarakan hasil-hasil pertandingan pada malam sebelumnya. Jika ada yang membawa tabloid olahraga baru atau bekas ke ruang kelas, kerumunan lain akan tercipta, dan saya dan dia pasti ada di antaranya. Dan jika ada sekelompok siswa yang main bola di halaman sekolah saat jam istirahat, kami berdua pasti juga jadi bagiannya.

Tapi, tentu saja, kami tetap dua orang yang punya beda. Ia dengan sangat percaya diri selalu mendendangkan lagu KLa Project kesukaannya keras-keras di kelas, sementara saya dengan malu-malu hanya menggumam-gumam saja jika ingin mendendangkan lagu-lagu Kumar Sanu. Ia ikut membentuk band dengan bermain bass, sementara saya (yang menimang gitar saja kikuk) cuma bisa menonton. Di lapangan bola, kami juga agak berbeda nasib. Dribelnya yang bagus membuatnya jadi pemain penting di latihan Ekskul Sepakbola, sementara saya yang pelari cepat dengan nafas terbatas biasanya terdampar menjadi seorang bek kiri cadangan.

Karena nilai rapor yang sama-sama lumayan, kami dipertemukan kembali di kelas yang sama pada tahun berikutnya. Kali ini di kelas unggulan. Dekat dengan gerbang dan jauh dari rawa. Di kelas yang dipenuhi oleh anak-anak yang dipersiapkan untuk kuliah di fakultas teknik dan kedokteran itu, kami berdua justru menonjol di dua pelajaran yang tak dianggap penting: Olahraga dan Sejarah. Namun, yang jauh lebih dikenal luas adalah minat terhadap sepakbola kami berdua semakin menggila.

Bosan dengan teka-teki silang (TTS) sepakbola di tabloid Bola, Go, maupun (almarhum) Kompetisi, juga karena telah terlalu menganggap enteng TTS harga 1000-an yang dipenuhi oleh pertanyaan tentang “moa”, “ebi”, “istal”, “nuh”, “isa”, kami berdua bersepakat membuat sendiri TTS sepakbola versi kami. Caranya, saya akan membuat TTS untuk dijawabnya dan dia akan membuat TTS untuk saya jawab. Barangsiapa yang TTS buatannya lebih banyak kosong, dialah yang unggul. Maka, untuk membuat lawan plonga-plongo, kami tak hanya memelototi klasemen liga-liga di dunia, daftar pencetak gol, atau profil-profil klub dan pemain yang biasa muncul di halaman belakang koran, tapi juga menghafal nama-nama pemain cadangan, nama-nama klub level bawah, nama-nama stadion kecil, yang tertulis kecil di halaman-halaman statistik sepakbola. Di situlah terletak senjata rahasia untuk mengalahkan lawan.

Pada tahun ketiga, kami berpisah kelas. Sebuah perpisahan yang, kalau saya urut-urutkan, menentukan hidup kami berdua hari ini. Dan tahukah apa yang menyebabkan kami berpisah? Nilai Biologi saya satu angka lebih tinggi darinya.

***

(Jika bukan karena nilai Biologi, maka nilai rata-rata eksakta kami akan sama dan kami akan tetap satu kelas. Darmanto mungkin tak mengingat, tapi saya—karena sulit menerima kenyataan—sungguh pernah benar-benar menghitungnya.)

Selisih satu nilai Biologi (kesamaan lain kami yang agak terabaikan) itu jelas berbuntut panjang. Paling tidak, itu yang saya rasakan. Darmanto, seperti yang telah diduga, berjaya di kelasnya. Sementara saya, sembari menatap iri teman dekat di kelas sebelah, justru tengah dibikin frustasi oleh integral, rantai karbon, dan genetika. Kami masih bertemu di upacara bendera hari Senin, juga di pertandingan-pertandingan antarkelas (meski kini berhadapan sebagai lawan), tapi saya jelas kehilangan partner in crime soal sepakbola di dalam kelas. Dan masa kejayaan TTS sepakbola itu berakhir sudah!

Saya, tanpa tahu benar sebabnya, menjadi lebih soliter dalam mengekspresikan kegilaan terhadap sepakbola. Gambar sampul buku-buku teks pelajaran eksakta yang membosankan saya timpa dengan gambar-gambar pemain sepakbola. Itu di bagian depan. Di dalam buku, pada setiap ruang kosong saya isi dengan coretan-coretan pemain sepakbola dalam berbagai posisi dan kondisi. Coretan-coretan itu, meski tak pernah benar-benar bisa sebagus yang saya inginkan, memberi saya keyakinan muluk dan konyol bahwa saya bisa jadi pelukis.

Ketika di akhir tahun ajaran terdengar kabar bahwa Darmanto diterima dalam PBUD di Jurusan Biologi UGM, saya justru sedang dirundung keraguan apakah saya bisa lulus atau tidak. Ketika kemudian lulus (dengan angka yang sangat biasa), saya mencoba mengejar Darmanto ke Biologi UGM. Barangkali untuk mengingatkannya bahwa, setahun sebelumnya, Biologi saya lebih baik darinya. Tapi Tuhan Yang Maha Eksak (yang mungkin mempertimbangkan IPA Dasar saya yang buruk) memilihkan Sastra untuk saya.

***

Jika jalan hidup manusia ditentukan hal-hal besar—sebagaimana diyakini banyak orang—saya yakin Darmanto sudah jadi seorang redaktur pelaksana di Harian Republika (sebagaimana yang ia tulis di kolom cita-cita dalam Buku Angkatan), atau pemain sepakbola profesional paling tidak di tingkat Divisi Utama, atau seorang bassis sebuah band pop dari Surabaya. Tapi satu angka itu muncul dan membelokkan semuanya.

Satu angka itu, tentu saja dalam pandangan saya, memisahkan kami dan kemudian membawa Darmanto ke Jurusan Biologi UGM. Dan, jelas, satu angka itulah yang membuatnya terhanyut ke Siberut. Lalu Siberut membawanya ke Leiden sekaligus membuatnya berkawan dengan orang-orang di SAINS, dua tempat yang memungkinkannya bertemu dengan Nadya. Dan, kawinlah mereka!

(Alamak... itu tho ujungnya.)

Satu angka itu akan membawa Darmanto (dengan Nadya di sampingnya) lebih jauh lagi—saya yakin begitu. Tapi, seperti yang sejak dulu saya sangka, satu angka itu jelas-jelas tak membuatnya jadi seorang sarjana Biologi yang berbakat.

Dan, itulah kenapa dia mencoba-coba untuk menjadi Antroplog.

No comments:

Post a Comment