Friday, May 25, 2012

Siklus

Oleh Darmanto Simaepa

Musim semi di Eropa ditandai berakhirnya kompetisi, yang hasil-hasilnya, sepertinya, akan mengubah konstelasi rezim sepakbola dalam beberapa tahun ke depan. Seiring munculnya hangat matahari Mei, beberapa kekuatan tradisional keluar dari tahun-tahun penuh frustasi. Di Plaza Cebeles, Madridista tak hanya merayakan juara la Liga tetapi juga perasaan lega keluar dari himpitan dan bayang-bayang kejayaan Barca. Di Turin, para abdi keluarga aristrokrat Agnelli—terutama Luciano Moggi—minum anggur terbaik untuk merayakan kembalinya Lo Spirito si nyonya tua. Rasa lapar akan gelar membawa mereka tak terkalahkan dan menikung Milan di pekan menentukan. Para pemujanya di belahan dunia akhirnya bisa menyumpahi Moratti. Di Inggris, para pembenci MU merasa lega, karena pada akhirnya, menemukan tautan dan pelampiasan rasa frustasi selama bertahun-tahun melalui City. Terlebih lagi ketika Mancini, dengan aksen Italiannya, meluapkan kegembiraannya dalam kalimat, ‘we deserve it, we deserve it...’, di depan kamera Sky TV.

Siklus perubahan juga datang dari Amsterdam hingga Glasgow, dari Prancis hingga Istanbul. Di Skotlandia, Celtic berjaya diatas kebangkrutan finansial Rangers. Montpellier, dengan pasukan muda yang bersemangat akhirnya membuktikan bahwa Leonardo bertindak sangat ceroboh ketika mengganti Kambuore di tengah musim. Kegagalan PSG sedikit melegakan karena melanjutkan kebenaran lama: kadang, uang tidak banyak bicara dalam perebutan piala. Kota kecil Montpieller bisa saja bersaing dengan kota-kota kaya yang mendominasi seperti Lyon dan Marseille, dan Paris. Di jazirah Anatolia, rejim lama Fenerbache dan Galatasary kembali bersaing sengit pasca skandal korupsi. Di Belanda, sepanjang Leiden-Amsterdam, pendukung Ajax dengan wajah bungah bernyanyi dan berpesta hingga pagi.

Di tempat lain, musim ini ditandai kekecewaan. Setelah empat tahun bergelimang medali, Barca paling mungkin hanya mendapat satu trofi. Manchu-nian hilang harga diri karena mereka harus rela mendapatkan tahun tanpa medali. Dihantui teka-teki masa depan pasca Fergie, rezim ini dipandang sedang dalam bahaya keruntuhan. Sementara itu, dari Bavaria, kisah tragis menghantui Robben, Ribbery, Hoenes dan juga Backenbauer. Lebih sedih dari tahun 2010, peluang meraih trebel menguap di udara dengan cara yang sangat drama Yunani.

Pertanyaan mengambang di udara: bagaimana sepakbola pasca dominasi Barca?

*****

FourFourTwo edisi Februari telah memprediksi bahwa Madrid akan menggantikannya. Los Blancos mengukuhkan ramalan itu dengan kemenangan vital el-Classico ke dua. Mou berhasil menyelesaikan misi sempurna secara simbolik: mengakhiri dominasi Barca di rumahnya. Madrid barangkali sedang menjemput takdirnya sebagai tim pemburu kemenangan di tahun-tahun mendatang. Sebuah anomali yang luar biasa dalam sejarah kepelatihan di Barnebeu, Mou adalah orang pertama dalam dua puluh terakhir yang bisa mencapai tahun ketiga di Valdebabes dan barangkali orang pertama yang menggenggam kekuasaan paling besar di kursi kepelatihan Madrid.

Bagi penggemar Madrid, tampaknya mereka sedang menanti ufuk cerah. Mou akan dikontrak hingga empat tahun lagi dan diharapkan membawa kestabilan dan karakter baru. Ia sepertinya menikmati tantangan ini dan semakin membuatnya tampak lebih dewasa sebagai manusia. Setengah tahun terakhir, saya tidak pernah lagi mendengar perang media, kontroversi jumpa pers, pertikaian kamar ganti dan juga serangan pribadi kepada direksi. Namun, sebagai orang yang tidak menyukai gaya bermainnya, saya masih agak ragu Mou berhasil membangun tim penuh gaya yang diinginkan Madridista ala era Di Stefano atau Los Galacticos awal abad ini.

Bukan berarti Mou tak hebat. Ia sangat brilian, berevolusi dan mampu beradaptasi dengan tuntutan. Ia telah menciptakan Madrid sebagai mesin kemenangan. Ia membuat Ronaldo tampak lebih bersinar musim ini dan Pepe (ah, sebenernya merasa gatal menyebut nama ini) bermain konsisten sepanjang musim dan bisa menghadapi tekanan—meskipun sangat tidak mudah untuk mendengarkan teriakan ‘binatang’ atau pembunuh dari 90,000 orang. Rekor gol dan kemenangan Madrid serta piala bicara dengan sendirinya.

Namun, untuk menciptakan tim seperti el-Grande Madrid, Barca dibawah Cruijff dan Pep, Ajax 70-an, atau Milan versi Arrigo Sacchi, Mou sepertinya bukan orang yang tepat. Tim yang lebih dekat evolusinya dengan Barca malahan berasal dari Manchester (sedih sekali tim itu bukanlah tim saya!!). Harus saya akui, elegansi Nasri, eksplosifitas Aguero, kecerdikan Silva, dan atletisme Kompany dan Joe Hart membuat City berkembang menjadi dewasa secara teknik dan matang secara taktik. Gelar juara liga yang mereka raih akan menjadi capaian penting dalam kampanye menaklukan Eropa dan mengakhiri dominasi MU. Di ujung cakrawala lain, di bawah si gila Marcelo Bielsa, Athletic Bilbao memainkan sepakbola paling liar dan bersemangat sejak surutnya era Liverpool 1980an. Seperti spirit pemberontak ETA, pasukan muda Basque terus berlari, mengumpan dan bergerak tanpa rasa takut. Melihat tubuh tertelungkup Muniain bergetar hebat karena tangis kekecewaan saat gol Diego membuat final Europa ‘selesai’, saya terdiam beberapa saat untuk memahami kira-kira apa-apa yang ada dalam hatinya dan seberapa besar ia menginginkan gelar itu.

Diluar itu semua, siklus sepakbola seperti sedang menuju situasi yang pernah saya saksikan ketika remaja. Paruh 90an adalah suatu transisi surutnya pamor dua tim yang dominan di era akhir 80an dan awal 90. Paruh 90an adalah persimpangan dari berakhirnya era sepakbola indah ala Milan dan Barcelona dan munculnya Juventus dan Madrid yang menjadi perbincangan di Eropa. Era Milan menyurut ketika Berlusconi lebih banyak kampanye kursi perdana Menteri dan pemain kunci mulai menua dan sering cedera. Sementara itu ‘tragedi Athena’ secara tragis mengakhiri keemasan era era Cruijff. Di saat yang sama, Madrid muncul dengan generasinya Raul, sementara Juventus menemukan Del Piero. Dua klub itu di akhir 90an dan awal 2000an, secara total bermain dalam 8 final piala Champion. Sementara di Jerman, Hitzfield berhasil membangun sebuah tim yang berisi sisa diesel Jerman—Moeller, Sammer, Koehler—dan mencangkoknya ke dalam panser muda seperti Heinrich dan Lars Ricken.

Dua musim ini, Dortmund secara mental dan permainan berhasil menggeser dominasi Muenchen. Dengan sejumlah pasukan muda, Juergen Klopp, tidak seperti cambang tak teraturnya yang tak pernah dicukur rapi, mampu menciptakan tim pemenang dari pemain medioker yang kurang pengalaman dan kurang diperhitungkan. Di bawah Conte, Juventus sedang berusaha mengejar catatan 58 kali tak terkalahkan milik Milan dalam buku sejarah sepakbola Italia. Conte menemukan dirinya dalam diri Vidal, Angelo di Livio dalam diri Marchisio, dan Buffon yang melebihi kepemimpinan Peruzzi. Di Madrid, meskipun hanya menyisakan pemain binaan seperti Granero, Arbeola dan Callejon dalam skuadnya (dan tentu saja pengecualian untuk Casillas), sedang bergerak ke arah menggapai la decima-nya. Ajax, meski tak sekokoh class of 1995, dan tak ada tangan besi van Gaal di sana, mulai berusaha mengembalikan kejayaan imperiumnya lagi.

Para pembaca belakanggawang yang senang dengan mulut pahit pendukung MU musim ini, sepertinya harus berdoa, berharap siklus MU akhir 1990an tak berulang. Ya, ini memang sebuah anomali. Setelah hanya menjadi pupuk bawang di awal 1990an, MU berhasi mengatasi kesemenjanaannya di Eropa melalui sekumpulan bocah ingusan—ingat, tanpa Keane dan Scholes di final Nou Campnya. Namun gejala MU menuju klimaks yang terasa saat saya SMA itu itu tidak memberi tanda-tanda akan datang kembali. Gejala vitalitas dan hasrat untuk menang tentu saja masih ada dalam darah Fergie, tetapi yang hilang dari tim ini adalah kreatifitas lapangan tengah dan kepemimpinan yang kuat di kamar ganti. Jika Eden Hazard lebih memilih tetangga yang sedang bahagia—ya, sangat bahagia malah, seperti perasaan seseorang yang 40 tahun tidak pernah bercinta (ah, maaf, juara)—untuk berlabuh, barangkali Ken Loach sepertinya harus bersiap-siap membuat film yang lebih segar dan optimis lebih banyak lagi untuk pendukung MU di masa-masa mendatang.

Di belahan dunia lain, industri sepakbola Brazil sedang menggeliat. Para pemain berbakat seperti Neymar dan Ganso mendapat bayaran setara di Eropa. Pemain veteran pulang kampung menikmati atmosfernya dan bintang seperti Vagner Lopez atau Denilson meramaikan liga. Setelah sedikit bebas dari para Cartolas, Brazil, memulai industrinya. Momen piala dunia membawa siklus baru sistem kompetisi dan strategi pemasaran sepakbola domestik yang menggairahkan.

*****

Yang indah dari sepakbola adalah siklus ketegangan antara perubahan dan status quo. Dalam waktu lama, klub-klub yang secara tradisional mapan secara ekonomi dan politik akan mempertahankan dominasi. Tetapi, para kapitalis baru dari Timur Tengah sedang menyiapkan rencana untuk mengubah konstelasi dan konfigurasi rezim sepakbola Eropa. Terbetik berita juga dari Indonesia, ditengah masalah kelangkaan kerja, eksploitasi sumber daya, dan kelesuan ekonomi yang kian nyata, beberapa pengusaha sedang menyiapkan kemungkinan rencana sedikit gila untuk ‘menyelamatkan’ Glasgow Rangers dari kebangkrutan finansial.

‘Yang terbaik dari sepakbola,’ seperti dibilang Mou, ‘siklus perubahan selalu terjadi.’ Yeah, tentu saja katredal sepakbola modern—Barnebeu, San Siro, Old Trafford, Nou Camp—kecil kemungkinannya runtuh dan digantikan oleh, Anzhi atau Apoel misalnya. Bahkan kelompok-kelompok elit ini, dengan peluang siklus akumulasi yang difasilitasi pemasaran dan televisi, akan terus memperbesar imperiumnya. Meskipun demikian, selama sepakbola masih sebagai permainan manusia, dan karena itu bersifat fana, ia akan terus seperti awan dalam pengertian Geertz-ian, ‘sekali terhimpun, sekali membuyar’.

Lalu bagaimana dengan siklus di Indonesia? Sementara dunia begitu dinamis, liga Indonesia terus berkutat dengan isu primitifnya. Dualisme kompetisi, rivalitas pendeking, dan terbatasnya kekuatan suporter dan penonton membawa perubahan membuat sepakbola berjalan di tempat. Saat menyaksikan pertandingan timnas PSSI yang berlaga di turnamen antah berantah di Palestina, rasa geli dan gatal tiba-tiba muncul di kepala. Saya pernah mengkritik betapa buruknya Firman Utina dan cerobohnya Purwaka. Tetapi, saat melihat para pemain semenjana lebih banyak salah umpan dari jumlah kedipan mata, terbayang sebuah skenario sepakbola sebuah negara terbesar ke empat di dunia yang gila permainan ini, akan berakhir dalam sebuah rekor yang dimiliki oleh Haiti atau Fiji.

Barangkali, siklus sepakbola Indonesia seperti musim tropisnya: saat musim hujan dibanjiri konflik kepentingan, sementara di musim kemarau, kekeringan prestasi.

3 comments:

  1. Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
    tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D

    ReplyDelete
  2. saya seneng bener baca tulisan ini, keren
    oh ya, Timnas kita adalah timnas Indonesia, bukan PSSI. Mereka hanya pengelola hehehe

    ReplyDelete
  3. Mmmh, tentang timnas itu Hedi, sayang sekali, belakanggawang tidak merasa ada tautan emosi. Ini memang gejala buruk, karena ini tidak pernah seperti sebelumnya--kamu bisa lihat tulisan tentang timnas seagame atau piala tiger dikiriman terdahulu. Tapi, yeaah, kami tidak perlu berpura2 langit sedang cerah kan?

    ReplyDelete