Sunday, November 20, 2011

Modal, Mental, Final

Oleh Darmanto Simaepa

Saya tahu betapa beratnya bagi pemain seperti Andik berebut bola, mundur jauh ke dekat kotak penalti sendiri, dan berkonsentrasi menjaga zona teman yang kehilangan posisi. Andik adalah jenis pemain yang senang menyerang, nyaman bersama bola, dan bermain dengan kecerdikan dan fantasi. Sangat sulit bagi pemain yang biasa berkelit dari cegatan lawan harus mengubah pendekatan untuk menekel dan beradu badan. Seorang pemain penuh imajinasi yang diminta mencegah gol terjadi seperti pecinta wanita yang dikebiri. Atau ibarat seorang aktor drama yang disuruh memerankan film aksi.

Saya sulit menikmati tim yang memaksa fantasista-nya berkorban terlalu banyak. Idola saya adalah gelandang yang tidak mau ditugasi dengan tetek-bengek pertahanan. Laudrup, Le Tessier, Ronaldinho, Fachri Husaini—untuk menyebut beberapa nama. Saya selalu menginginkan tontonan sepakbola versi Barcelona. Tim yang terdiri dari gelandang pintar, menyerang, rendah hati, imajinatif, produktif, kreatif. Mereka menggunakan lapangan seperti novelis dan penyair menggunakan kertas dan mesin tiknya.

Saya terkadang heran kenapa orang bisa menyukai Italia. Saya mencintai kesebelasan yang memainkan bola dan bermain di daerah lawan. Tim-tim saya adalah tim yang tidak takut kalah dan meletakkan kesenian sebagai kebajikan dan alasan bermain bola. Brazil 1982 atau Oranje 1974—keduanya tidak pernah juara—adalah contoh utamanya.

Saya membenci pendekatan Dunga, Capello atau Mourinho terhadap sepakbola. Juga Pasarella. Untuk menang dan dan mendapatkan cincin juara, mereka mengekang imajinasi seniman kreatifnya. Mereka menggunakan kata ajaib dalam taktik modern sepakbola yakni ‘keseimbangan’, untuk memaksa playmaker atau trequartista bermain jauh ke dalam dan kehilangan sentuhan ajaibnya.

Namun, akal sehat dan pengalaman kadang tidak sinkron dengan emosi dan suhu tubuh. Saya merasakannya semalam. Setiap menyaksikan Andik merebut bola dari kaki lawan, kepala saya jadi tenang. Saat Octo seperti banteng kecil yang bertarung, saya bernapas lega. Ketika bek-bek menghalau serangan, suhu badan turun. Saat para gelandang mampu menyempitkan ruang dan membuat tekel bersih, saya melupakan khayalan Indonesia yang bermain elegan.

Saya menyaksikan sepakbola Indonesia dari jenis yang tidak begitu saya harapkan. Rahmad mengambil pendekatan berbeda. Ia menuntut dan meminta pemainnya untuk bermain menekan lawan. Tim Indonesia tidak bermain kreatif. Tidak bermain brilian dengan satu dua sentuhan atau umpan-umpan terobosan yang mengejutkan. Tidak juga dominan—dari statistik, Vietnam lebih banyak penguasaaan. Tim ini tidak mengandalkan teknik, bakat dan selera seni menggiring bola dan melewati lawan.

Namun, setiap berebut bola, anak-anak garuda menang. Vietnam yang lebih rapi dalam memainkan bola dari kaki ke kaki kehilangan sentuhan. Istimewanya: tidak hanya Andik melakukannya. Eggi seperti seorang jenderal gagah berani yang memimpin langsung perang gerilya. Diego Michel seakan berada dimana-mana—ia selalu terlibat dalam setiap perebutan bola. Dirga bermain dingin, taktis dan rapi. Octo cepat berbalik ke posisi saat gagal menekan lawan. Hasim Kipuw sulit dilewati. Bek tengah berhasil membuat penyerang Vietnam hanya membelakangi gawang. Tibo berlari liar, mengejutkan, dan selalu dilanggar. Setiap bola ada dikakinya, situasi berbahaya tercipta. Wanggai, yang terlihat menurun, agak bingung dan canggung seperti orang tersesat, muncul disaat yang tepat.

Jika melawan Malaysia, Indonesia digerakkan oleh hasrat untuk menang dan harga diri, malam tadi, tim ini bekerja dengan semangat pembuktian untuk bertahan. Tidak ada umpan-umpan kreatif. Tidak ada ruang-ruang kosong yang tercipta dari gerakan tanpa bola. Tidak banyak senyum gembira. Tidak ada individu yang paling cemerlang atau pemain bintang. Setiap pemain memberi kontribusi dengan caranya sendiri. Mereka bermain sebagai tim, menang sebagai tim.

Saya—dan anda pasti juga merasa—terkesan dengan kesederhanaan ini. Tim Indonesia tidak memakai trik dan skill yang canggih. Tak ada pemain menggunakan umpan dengan tumit atau sodoran membelah pertahanan. Semua pemain berlari tanpa henti, berbenturan kaki, dan bertarung sepenuh hati. Yang jauh lebih menggetarkan, para pemain menggunakan senjata terakhirnya: semangat juang dan nasib sepenanggungan. Siaran langsung punya cerita tentang ini: di menit 70-an, Wanggai gagal menghalau tendangan sudut dengan sempurna. Bola berbelok arah dan menciptakan kemelut. Secara reflek, ia mengangkat kedua tangan. Sebuah isyarat meminta maaf. Lambaian itu tidak hanya ditujukan kepada rekan-rekannya. Gerak tangannya diarahkan ke seluruh stadion —atau bahkan jutaan rakyat yang, ia tahu, berharap padanya.

'Bahkan kalaupun kalah,’, seorang penjual lele di dekat rumah mengatakan, saya tetap akan menonton Indonesia jika bermain seperti lawan Vietnam’. Dari Sabang hingga Merauke, saya rasa semua penduduk negeri ini memiliki pendapat sama. Tidak hanya kemenangan yang membuat tim ini layak dihormati, tetapi apa yang mereka tunjukkan mewakili elan-vital nilai dan kata-kata yang menghilang dinegeri ini: kerja keras, pengorbanan, perjuangan.

Mungkin tidak adil bila membandingkan apa yang kita rasakan di tim U-23 ini dengan semangat rakyat di masa-masa revolusi. Tapi saya merasa semangat berkorban dan bertahan dari saat-saat sulit selama 90 menit mewakili apa yang pernah ada dalam sejarah republik ini: kemauan untuk berkorban. Kemauan untuk berjuang. Bahasa Indonesia memiliki kosa kata seperti ‘bahu-membahu’, ‘sama-rasa-sama rata’, ‘senasib sepenanggungan’. Setiap kata, dalam bahasa, tidak pernah lahir dari ruang hampa—ia diperas dari praktik-praktik kehidupan. Kata-kata itu pernah menyihir orang Indonesia untuk melawan bedil dengan bambu runcing. Pernah menginspirasikan para bajingan kecil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan--seperti dalam buku-bukunya Cribb atau Nagabonar. Kata-kata yang membangkitkan imajinasi politik tentang sesuatu bernama Indonesia. Kalau dalam waktu lama kita tidak menggunakannya, itu berarti jenis kehidupan yang menumbuhkan dan menciptakannya juga telah lama meninggal dunia.

Lama tidak mengenali arti dibalik kata 'berkorban', 'senasib' atau ‘bersama’, saya merasa kekuatannya muncul kembali malam tadi. Tim Indonesia mengorbankan bermain menyerang dengan mengganti dengan kemauan untuk berkonsentrasi dan menunjukkan determinasi. Sejujurnya, kita tidak lebih bermain pintar dibanding Vietnam. Tidak banyak umpan terobosan dan kreasi-kreasi brilian. Indonesia hebat karena bermain lebih ketat dan membuat frustasi pemain Vietnam. Bila dibandingkan saat bermain Malaysia, gelandang Indonesia lebih sering mematahkan serangan. Ini membuat para pemain Vietnam kesulitan mengembangkan permainan. Hanya ada dua tendangan ke arah gawang Kurnia Mega—salah satunya karena kesalahan Tibo.

Satu momen yang tak terlupakan bagi saya adalah bagaimana Eggi terus berlari ke kotak penalti. Saat dijegal dan terjatuh, ia berdiri kembali. Bisa saja ia berguling-guling dan meminta penalti. Saya yakin itu sangat layak. Tapi dengan kepercayaan diri yang tinggi, ia berusaha menguasai bola, mengecoh lawan dengan kaki kiri dan menendang ke gawang. Peristiwa di babak kedua itu mengingatkan momen ketika Dwight York diganjal Ferara dikotak terlarang di semifinal Liga Champions musim 1998/1999. Ia terjungkal tapi tidak meminta penalti. Dengan keyakinan penuh ia percaya bahwa timnya bisa menceploskan bola dari situasi ini ke gawang Peruzzi.

Apa yang dilakukan Eggi menggambarkan semuanya. Eggi terus bermain dengan bantuan penghilang rasa nyeri. Tim ini tidak mau dikasihani wasit yang murah hati. Sepanjang pertandingan, tidak ada pemain Indonesia pura-pura cedera ketika unggul sementara. Tak ada pemain memperlambat waktu untuk mempertahankan angka. Satu-satunya kelemahan dari permainan Indonesia semalam adalah daya bunuhnya yang tidak tepat waktu. Seharusnya penonton sudah bisa minum kopi dengan santai dan tersenyum riang saat serangan balik bisa dituntaskan oleh Tibo dan Octo menjelang menit 60-an.

Diatas segalannya, Rahmad telah mentransformasikan keraguan menjadi kemenangan. Ia menepati janjinya untuk mengubah kekalahan menjadi sumbu perjuangan. Ia mampu membuat para pemainnya seperti prajurit yang siap mati dalam peperangan. Ia berhasil membujuk setiap orang untuk berkorban demi kemenangan tim. Hanya sedikit pemain dan tim yang bisa melakukannya. Kita pernah menemui Etoo melapis bek kiri saat Inter bertahan di Nou Camp, Gerard mengisi posisi bek kanan di Saracuglu-Istambul, dan Rooney yang turun menjadi gelandang bertahan di Moscow.

Orang Indonesia sangat layak menaruh harapan. Ya, harapan yang mampu mengalahkan selera mengenai sepakbola menyerang saya. Rahmad telah membawa tim melaju dengan keringat, kerja keras, dan perjuangan. Saya tiba-tiba merasa nyaman dan menemukan secercah kebenaran saat membaca ulang cara Mourinho melihat pertandingan. ‘Ketika saatnya mesti habis-habisan mengerahkan segala kemampuan di lapangan,’ sesaat setelah Inter menahan serangan Barca di Nou Camp, ‘Anda tidak mengerahkan skill, tapi semangat juang.’

Rahmad telah memberikan modal dan mental yang cukup untuk ke final. Untuk pertandingan terakhir nanti, Tuan Mou, ijinkan saya melupakan Barca dan memuja Anda.

4 comments:

  1. Bung, novelis kayaknya udah enggak menggunakan mesin tik. over all, nice piece of you...

    ReplyDelete
  2. Darmanto, dari semua ulasanmu soal bola, Ini yang paling membuatku semangat membacanya sampai akhir. Bila u bisa menyusun lebih ringkas, aku dengan senang hati berbicara di rapat redaksi, agar u menjadi kontributor kolom kami, sesekali. (htr)

    ReplyDelete
  3. Wah, terima kasih atas pujiannya pak redaktur :). Akan jadi kesempatan yang menarik sesekali menulis kolom sepakbola dengan gaya begini. Soalnya semua kolumnis bersikap sopan dan objektif.

    ReplyDelete
  4. Dwight Yorke bung...

    Tulisan yang bagus! Luar biasa

    ReplyDelete