Saturday, July 19, 2014

Akhir Permainan*

Oleh Eduardo Galeano; alihbahasa Mahfud Ikhwan



Bola bergulir, dunia terus berputar. Orang-orang menyangka matahari adalah bola api yang bekerja sepanjang hari dan menghabiskan waktu malamnya dengan terpental-pental di sekitaran surga saat rembulan menjalankan tugasnya, meskipun sains agak meragukannya. Yang jelas-jelas tak dipertanyakan, bagaimanapun, bahwa dunia mengitari sebuah bola yang berputar: final Piala Dunia ’94 ditonton lebih dari dua miliyar manusia, kerumunan terbesar yang pernah ada dari beberapa kerumunan yang berhimpun dalam sejarah planet ini. Inilah hasrat yang paling luas dibagikan: sebagian pemujanya bermain bersamanya di lapangan dan padang rumput, dan sebagian lagi dengan kursi malas di depan televisi dan menggigit kukunya saat menonton pertunjukan yang dimainkan oleh duapuluh dua orang bercelana pendek yang mengejar bola dan menendangnya untuk menunjukkan rasa cinta mereka.

Pada pengujung Piala Dunia ’94, setiap anak yang lahir di Brazil dinamai Romario, dan rumput stadion di Stadion di Los Angeles dijual seperti pizza, seharga duapuluh dolar seiris. Sedikit gejala kegilaan layak jadi alasan yang lebih baik? Sebuah perniagaan yang primitif dan vulgar? Sekantung trik yang diutak-atik si pemilik? Saya salah seorang yang percaya sepakbola memiliki semua itu, namun juga lebih dari itu: perayaan mata yang menontonnya dan kebahagiaan bagi tubuh yang memainkannya. Seorang reporter suatu kali bertanya kepada teolog Jerman, Dorothe Solle: “Bagaimana Anda menjelaskan kepada seorang bocah arti kebahagiaan?”

“Aku tak akan menjelaskannya,” jawabnya. “Aku akan lemparkan bola kepadanya dan membiarkannya bermain.”

Sepakbola profesional melakukan apapun untuk mengebiri energi kebahagiaan ini, namun itu masih terpendam dalam kedengkian dari segala kedengkian. Dan mungkin karena itulah kenapa sepakbola tak pernah berhenti membuat ketakjuban. Dan teman saya Angel Ruocco mengatakan, hal terbaik tentang hal itu—adalah kapasitas kekeraskepalaannya untuk membuat kejutan. Semakin banyak teknokrat masuk ke hal-hal detil yang lebih kecil, semakin kuat memanipulasinya, sepakbola terus saja menjadi seni tak terduga. Saat Anda kurang mengharapkannya, tak mungkin terjadi, macam semut yang melumpuhkan gajah, maka seorang bocah hitam kerempeng dengan kaki pengkor membikin sebuah patung atlet di Yunani jadi tampak konyol.

Sebuah kesia-siaan yang menakjubkan: sejarah resmi mengabaikan sepakbola. Teks-teks sejarah kontemporer lalai menyebut-nyebut, meskipun hanya sekilas saja, soal negara-negara yang mana sepakbola telah menjadi dan terus saja menjadi simbol primordial identitas kolektif. Aku bermain sebab itulah aku: sebuah gaya permainan adalah cara untuk mengungkapkan keunikan wajah dari tiap-tiap komunitas dan menegaskan haknya untuk jadi berbeda. Bertahun-tahun, sepakbola dimainkan dengan cara-cara yang berbeda,  jadi ekspresi personalitas masing-masing orang, dan melestarikan keberagaman hari ini menjadi lebih pentig dibanding sebelumnya. Inilah hari-hari wajib seragam, dalam sepakbola dan dalam segala hal. Tak pernah dunia begitu timpang dalam kesempatan yang ditawarkan dan begitu serupa dalam kebiasaan yang dipaksakan: pada akhir abad ini, barangsiapa yang  tidak mati karena lapar akan mati karena bosan.

Bertahun-tahun, saya merasa tertantang oleh kenangan dan kenyataan dalam sepakbola, dan saya mencoba untuk menulis sesuatu yang layak bagi berhala agung massal ini yang mampu bicara dengan bahasa yang berbeda dan mengumbar hasrat universal. Dengan menulis, saya melakukan dengan tangan apa yang saya tak pernah bisa lakukan dengan kaki: ketololan yang terus dipiara, bikin malu di lapangan, saya tak punya pilihan selain mengiba kepada kata-kata apa yang ditolak oleh bola yang begitu saya damba.

Dari tantangan tersebut, dan dari kebutuhan untuk menebus dosa, buku ini lahir. Penghormatan untuk sepakbola, perayaan atas cahayanya, yang mengikis bayang-bayangnya. Saya tidak tahu apabila buku ini malah memunggungi cara sepakbola disuka, tapi saya tahu buku ini tumbuh bersama saya dan telah mencapai halaman terakhir, dan sekarang buku itu lahir jadi milik Anda. Dan saya merasakan haru-biru yang tak tersembuhkan yang kita rasakan setelah bercinta dan pada akhir permainan.


Montevideo, musim panas 1995.


*Diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow, Eduardo Galeano, 2003, transl. Mark Fried.

No comments:

Post a Comment