Empat pekan lagi Piala Dunia. Brazil si tuan
rumah terus berderap tapi tetap tampak tak kunjung siap. Ada tribun yang ambruk. Banyak buruh bangunan
yang mati. Lebih banyak lagi orang miskin tanpa tanah yang tergusur. Senasib
dengan Kaka, Robinho, dan Ronaldinho, yang tak dapat tempat di Selecao.
Di Indonesia, orang-orang sibuk
menyerang calon presiden yang bukan pilihannya. Yang agak kalem dan saleh mungkin
bersiap menyambut puasa sunat tengah Sa'ban, sebelum benar-benar larut pada
Ramadan yang akan datang. Yang kalem, saleh, dan lumayan bisa memanfaatkan
peluang, tengah menimang surat
panggilan pemilihan suaranya untuk, suatu hari, ditukar dengan sedikit uang.
Pasti lumayan untuk belanja berbuka.
Sudah tak cukup yakin
bisa meningkatkan iman dan takwa saat puasa, tak cukup bersemangat untuk
berencana berangkat ke bilik suara, sementara novel baru tak terbit juga, maka
Piala Dunia adalah harapan saya hampir satu-satunya.
Dan buku Soccer in Sun and Shadow-nya
Galeano. Buku buah tangan seorang teman yang kini sudah penuh coretan. Buku yang,
bagi seorang penggila bola, sangat menggiurkan. Tapi juga menggentarkan—mengingat
angka 3 dalam Bahasa Inggris yang saya dapat pada ujian nasional di tiga
jenjang.
(Tapi Darmanto bisa, kenapa saya
tidak?)
***
Eduardo Hughes Galeano, seperti
yang dengan terbata saya baca di Wikipedia, adalah penulis Uruguay yang
gagal menjadi pemain sepakbola. Ia menulis buku sejarah, novel, dan esai
tentang bola. Nyeni dan kiri, membuatnya selalu berurusan dengan
jenderal-jenderal sayap kanan. Tahun 1973 terjadi kudeta militer di Uruguay . Ia
dibui dan terpaksa menyingkir. Bukunya tentang sejarah Amerika Latin, Open Veins of Latin America, dilarang di beberapa negara.
Ketika tinggal di Argentina
ia kembali harus terusir setelah namanya masuk daftar orang yang harus dilenyapkan
oleh para begundal Jenderal Videla.
Soccer in Sun adalah buku yang indah, begitu kata yang pernah membacanya.
Saya mempercayainya dan karena itu berusaha membacanya—sebisanya. Dan saya rasa
begitu—kalau tidak salah. (Karena takut salah itulah, saya mencoba
menerjemahkannya, dan membaginya dengan beberapa gelintir pembaca Belakang
Gawang.)
Tapi ‘indah’ tak mencukupi untuk
menggambarkan buku ini. Membaca Soccer
in Sun, dalam pengalaman
saya, seperti melihat cuplikan gol dan trik-trik Maradona, atau dagu mendongak
dengan kerah tegak Cantona, atau diving Suarez,
atau wawancara Mourinho. Atau, sepakbola itu sendiri.
Indah jelas. Tapi kepahitan juga
ditemukan di banyak bagian. Ledakan tawa tercetak satu halaman dengan rasa
ngungun dan murung. Main-main ada. Serius dan berdarah-darah lebih banyak lagi.
Di atas semuanya, adalah rasa agung. Dan memang demikianlah sepakbola.
Orang banyak menyebut sepakbola
sebagai permainan. Saya meyakininya sebagai seni budaya. Dan hal itulah yang
saya temukan pada Soccer in
Sun. Seperti seni budaya yang
lain, berlawanan dengan harapan naïf dan rasis dari mantan Presiden FIFA
Stanley Rous, sepakbola tak bisa dibahas sebagai dirinya sendiri dan tak
mungkin dikucilkan dari apa yang terjadi di sekitarnya. Pasar saham di New York , harga tebu di Dominika, penulis yang mati bunuh
diri di Rusia, kelaparan di Haiti ,
hingga pembantaian PKI di Indonesia, semua memiliki keterkaitan dengan
sepakbola. Demikian Galeano meyakininya dan meyakinkan saya.
“Militer memandikan Indonesia dalam
kubangan darah. Setengah juta, sejuta, atau entah berapa, mati. Jenderal
Soeharto meresmikan kediktarotannya yang panjang dengan membunuh orang-orang
merah, kemerah-merahan, atau yang dicurigai merah yang masih hidup…” demikian
Galeano membuka kalimatnya saat hendak menulis Piala Dunia 1966 Inggris. Indah,
bukan?
***
Sembari menunggu Piala Dunia, agar tak terjebak menonton—meminjam istilah seorang teman—berita banjir bandang di Metro TV yang sebenarnya kencing Surya Paloh dan berita Topan di TVOne yang sesungguhnya kentut Bakri, saya bermaksud menerjemahkan beberapa tulisan dari Soccer in Sun yang terkait Piala Dunia untuk Belakang Gawang.
Itu untuk saya.
Untuk Anda? Jika terlalu sibuk
membela calon presiden pilihannya atau menyerang calon presiden orang lain, tak
apa, lewatkan saja—toh, calon-calon itu tak omong apa-apa tentang sepakbola.
Atau, yang tengah khusuk menyambut Nisfu Sa’ban, ini jelas tak terlalu penting.
Tapi, yang jelas, Belakang Gawang tak hendak menyabotase pemilu, apalagi
membawa insan kepada jalan kesesatan. Jadi, ke TPS-lah, puasalah, dan coba
bacalah. Insyaallah Anda akan jadi pemilih saleh yang lebih baik.
(Tapi mohon tak berharap terlalu
tinggi—mengingat angka 3 dalam Bahasa Inggris yang saya dapat pada ujian
nasional di tiga jenjang pendidikan.)
***
Oh ya, ngomong-ngomong, apa kabar dengan tiki-taka?
No comments:
Post a Comment