Sunday, March 11, 2012

Sepakbola Tanpa Politik? Omong Kosong!

Oleh Mahfud Ikhwan


Wajah Alex Nurdin, Gubernur Sumatera Selatan, kandidat gubernur DKI Jakarta, sekaligus bos Sriwijaya FC, muncul di slot iklan di sela-sela siaran langsung Indonesia Super League (ISL) di stasiun televisi ANTV. Sesaat sebelum dilangsungkannya pertandingan Sriwijaya FC vs Mitra Kukar, Kamis (08/03), ia menyapa pemirsa dan mengucapkan selamat menonton pertandingan yang akan berlangsung.

Pantas atau tidak hal yang seperti itu, saya tak tahu. Saya bukan anggota Komisi Penyiaran, bukan pula anggota Komnas Anak yang punya kapasitas untuk menganggap munculnya wajah politisi (yang sedang punya hajat politik besar) di sebuah acara olahraga, misalnya, berbahaya bagi pendidikan mental anak-anak. Banyak hal ganjil yang tiap saat hilir-mudik di layar televisi kita. Lelaki yang dibayar mahal karena sifat keperempuanannya, perempuan yang mendalangi tindak kejahatan yang biasanya didominasi laki-laki, pengadilan yang banci, pegawai yang bersaldo CEO, hingga pemimpin yang bermental jelata. Maka, jika ada satu keganjilan lagi, sebenarnya, apa sih bedanya?

Saya memang tak nyaman melihat pemandangan itu—setidak nyaman saat melihat wajah Olga Syahputra muncul di hampir semua saluran pada saat bersamaan. Tapi, keganjilan-keganjilan yang kita hadapi tiap hari (baik di dunia nyata, dan terutama di televisi) membaut saya sudah cukup belajar: hanya buang-buang energi berteriak mengutuknya. Televisi cuma memberi dua pilihan: matikan dan pergi, atau terus tonton dan anggap itu keganjilan yang normal belaka.

Sore itu, saya lebih memilih yang kedua. Itu karena saya sedang sangat merindukan rasa cinta kepada sepakbola Indonesia. Dan selagi putus asa dengan penampilan timnas, saya merasa, hampir satu-satunya ekspresi cinta itu—paling tidak pada beberapa pekan ini—adalah dengan menonton Sriwijaya FC, pemimpin klasemen kompetisi sepakbola yang dilarang PSSI.

Boleh sepakat, boleh tidak, pada tim itu saya menemukan banyak hal yang saya idamkan dari timnas kita. Saya temukan bayangan Fachry Husaini, playmaker Indonesia terhebat yang pernah saya saksikan, pada diri Ponaryo Astaman. Firman Utina memperlihatkan hal terbaik yang dimilikinya yang tak muncul saat ia bermain untuk timnas. Aji Santoso di kanan dan Rully Nere di kiri terasa bereinkarnasi masing-masing pada diri M. Ridwan dan Siswanto. Dan, ah, alangkah indahnya jika Kurniawan masih sebugar Keith Kayamba Gumbs!

Saya berhalusinasi? Bisa jadi. Tapi, tampaknya, itulah satu-satunya cara membebaskan diri dari sakitnya hati menghadapi runyamnya sepakbola Indonesia. Dan untuk itu, saya harus menebusnya dengan mengabaikan beberapa hal: seragam kuning mereka yang menjemukan; kalimat-kalimat sumbang presenter dan komentator ANTV; wasit-wasit goblog dan pemain yang tak pernah belajar; hubungan erat kompetisi ini dengan rejim lama sepakbola Indonesia yang memang patut dibenci; dan—ya, tentunya—dengan munculnya wajah Alex Nurdin menjelang kick-off itu.

Saya tak nyaman dengan munculnya wajah politisi di siaran langsung sepakbola, karena pada dasarnya semua politisi kita menyebalkan. Tapi, saya tak akan bergabung dengan para utopis yang berkoar ingin membebaskan sepakbola dari politik.

***

Kebanyakan pemuja sepakbola akan lebih suka mengatakan sepakbola adalah sebuah ekpresi budaya. Hampir serupa dengan teater dan opera yang muncul dan berkembang di antara banyaknya waktu luang para bangsawan Eropa, sepakbola modern lahir dan berkembang di sela-sela waktu senggang kaum pekerja di Britania Raya.

Kita pasti senang dengan fakta tersebut. Sayangnya, itu hanya separoh kebenaran saja. Sebab, jauh sebelum itu, ketika sepakbola masih pada bentuk purbanya, ia hampir selalu menjadi sebuah ekspresi politik, dan karena itu—seperti ditulis Richard Giulianotti—sering mendapat respon politis. Sepakbola purba, kembali merujuk Giulianotti, dilarang oleh penguasa Cina abad ke-14 karena dianggap kegiatan yang membahayakan kaum penguasa. Di abad yang sama, Edward II dari Inggris melarang permainan sejenis karena dianggap menggangu waktu berlatih panahan.

Sepakbola modern jelas berkembang bersama dengan hal-hal politis yang dikandungnya. Kepanjangan FIFA yang setengah Prancis setengah Inggris, pertarungan antara dominasi Eropa melawan dunia ketiga saat pemilihan Presiden FIFA tahun 1974, penolakan Indonesia melawan Israel di kualifikasi Piala Dunia  1958, gelar pertama Argentina dan tegaknya rezim Jenderal Videla, polarisasi ideologi antarsuporter tim-tim Italia di selatan dan utara, dan perseteruan segitiga antara Castilla-Catalonia-Basque di Spanyol adalah beberapa contoh saja.

Ya, terlalu banyak politik dalam sepakbola, sehingga ekspresi-ekspresi apolitis dalam sepakbola malah sering menjadi sangat politis. Misalnya, tropi Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 yang diraih tim Prancis multietnis adalah sebuah godam politik yang secara telak memukul balik propaganda ultranasionalis politisi rasis Jean-Marie Le Pen. Sedikit mundur ke belakangan, penolakan Stanley Rous, Presiden FIFA 1961-1974, terhadap politik—dengan mengatakan bahwa politik sebaiknya diurus PBB dan bukannya FIFA—secara ironis justru menjadi representasi hegemoni politik Eropa atas Amerika Latin dan Asia-Afrika.

***

Sepakbola adalah wahana pengumpul massa yang sangat efektif. (Dalam kasus Indonesia, hal itu tak jauh beda dengan panggung dangdut dan tabligh akbar.) Itulah yang selalu mengundang politik, sebagaimana juga modal, untuk masuk dan ambil peran. Politik dalam sepakbola—sama halnya dengan kapital—jelas memuakkan, bahkan menjijikkan.  Tapi, apa mau dikata, sepakbola lahir dan berkembang bersamanya. Politik bagi sepakbola seperti codet di wajah, yang hanya bisa disamarkan dengan bedak atau ditutup topi, namun tak akan pernah bisa hilang sama sekali. Sepakbola mesti hidup dengan itu.

Karena itu, membayangkan sepakbola tanpa politik adalah utopia. Dan jika seseorang datang menawarkan hal itu, apalagi dengan wajah sok suci, sudah pasti ia menebar omong kosong; ia sudah berbohong bahkan sejak pertama mengatakannya. Sebab, satu-satunya cara untuk memisahkan sepakbola dari politik adalah dengan meniadakannya.

Di Indonesia, dimana demokrasinya masih diukur dari sebesar apa kerumunan yang bisa dikumpulkan, politik tak akan pernah menyembunyikan ketertarikannya dengan sepakbola. Jadi, berhentilah berharap enyahnya para politisi dari sepakbola Indonesia. Karena—percayalah!—akan ada politisi lainnya, yang bisa jadi lebih busuk, yang akan masuk.

Satu-satunya hal yang bisa kita harapkan: sepakbola tak dimasuki oleh politik berkelas teri.

Sebagai seorang yang kerap menganggap sepakbola tak ubahnya musik atau sastra, tak berlebihan jika saya berharap politik yang melekati sepakbola bukan politiknya seorang calon bupati; bukan politiknya seorang loyalis partai; bukan politiknya seorang jenderal yang hendak berhenti; atau bahkan politiknya seorang presiden yang tengah turun popularitasnya. Politik yang masuk ke sepakbola semestinya adalah politik elegan berskup negara-bangsa. Misalnya, dengan memasukkan olahraga (khususnya sepakbola) dalam kerangka besar strategi politik-kebudayaan.

Saya tak bisa menoleh ke contoh lain selain dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan tahun 1995. Seperti yang digambarkan sutradara Clint Eastwood dalam film Invictus, saat itu, Nelson Mandela “mempolitisasi” tim nasional Rugby Afrika Selatan yang sedang mengikuti Piala Dunia Rugby untuk jadi wahana rekonsiliasi nasional. Saya kira, untuk politik dalam rupa seperti yang ditunjukkan Mandela, sepakbola tak punya alasan untuk menolaknya.

Ah, tapi apakah saya tidak sedang menawarkan utopia dalam bentuk yang berbeda? Semoga saja tidak.

No comments:

Post a Comment