Wednesday, November 23, 2011
Tentang Dua Penonton yang Terkapar*: Sebuah Narasi Kekalahan
Oleh Mahfud Ikhwan
“Ah, ini pasti gara-gara Pak Mahfud nonton. Kita jadi tak bisa suap wasit.”
-- Sriyono, warga Sambilegi, tetangga Mahfud MD--
Sebelum Kekalahan
Saya sangat menikmati kemenangan Indonesia saat melawan Vietnam di semifinal. Mungkin karena terlalu senang, saya tak melakukan hal lain selain berlama-lama menikmatinya. Darmanto Simaepa di kamar sebelah juga mengalami kegembiraan yang sama. Bedanya, energinya cukup besar untuk menyalurkan rasa syukurnya ke tulisan tiga halaman yang penuh puja-puji. Kepada Andik Vermansyah, Egi Melgiansyah, Diego Michiels, dan—yang paling aneh—kepada Jose Mourinho. Boleh dikata, hari itu, demi Indonesia, ia “mengkhianati” Barcelona sekaligus bersimpuh di haribaan “musuh sepakbola nomor satu” versinya sendiri.
Tapi, masa-masa menikmati itu tak panjang. Malam kedua setelah pertandingan, saya mengalami serangan dari dalam—yang oleh Darmanto diistilahkan sebagai “demam”. Ada keinginan kuat untuk membuat sebuah tulisan menjelang partai final lawan Malaysia. Namun, hanya sebuah judul aneh dan dua paragraf yang meragukan yang bisa saya hasilkan. Ketika keesokannya bisa bangun pagi, saya kembali coba menulis. Kali ini lancar.
Cantelan tulisannya berasal dari gestur pelatih Vietnam Falko Gotz saat mengingatkan penjaga gawangnya agar membusungkan dada dan menegakkan kepala, meski ia baru saja mengalami cedera leher lumayan parah. Yang menarik, Rahmad Darmawan tidak melakukan hal yang sama bagi pemain-pemainnya. Bukan karena ia terlalu kalem seperti Wim—ia berlari dengan mulut terbuka dan tangan mengepal ke udara saat Tibo mencetak gol kedua. Bukan juga karena tak ada pemainnya yang berlari dengan rasa sakit (bisa kita lihat sendiri, Nguyen Trong Hoang, pemain Vietnam bernomor 8 yang menyebalkan itu, melabraki semua pemain Indonesia yang dihadapinya). Mungkin RD sudah melakukannya di ruang ganti. Bisa jadi Malaysia-lah yang justru melakukannya pada pertandingan sebelumnya. Tapi, yang jelas, para pemain kita tampak tak perlu disuruh untuk tampak tangguh di depan musuh.
Saya kemudian menemukan frasa “daya tahan”. Sesuatu yang berkait dengan kemampuan untuk survive. Ini meliputi ketabahan menahan rasa sakit, ketangguhan menanggung kelelahan, kekuatan menghadapi tekanan, kesabaran untuk menunggu peluang. Dalam sejarah sepakbola dunia, ini dicontohkan oleh timnas Jerman Barat 1958 dan 1974 serta Italia 1982 dan 2006 saat menjadi juara dunia.
Di Indonesia, “daya tahan” itu dicontohkan oleh tetap penuhnya kepulauan ini oleh manusia penghuninya meski 5 dari 10 bencana terbesar yang melanda dunia terjadi di tempat ini. Juga tentang bagaimana bangsa ini melewati masa-masa revolusi. Dan, coba cermati, dalam sejarah sepakbolanya, “daya tahan” adalah kunci utama saat timnas Indonesia mengalami puncak-puncak kejayaannya. Misalnya, menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, menjadi semifinalis Asian Games Seoul 1986, juga medali emas Sea Games 1987 dan 1991. Dalam capaian-capaian timnas yang selalu diceritakan berulang-ulang itu, bukan ketajaman para striker yang menentukan, tapi ketahanan tim untuk menanggungkan tekanan. Di sisi lain, pada setiap kegagalan menyakitkan yang dialami timnas Indonesia, itu adalah saat “daya tahan” itu menguap entah di mana. Blunder libero Ronny Pattinasarani pada final Sea Games 1979 dan semifinal Sea Games 1981, kaki gemetar Uston Nawawi saat adu penalti di final Sea Games 1997, hingga insiden sinar laser dan kecerobohan Maman Abdurahman pada final AFF Cup 2010.
Karena “daya tahan”-lah Indonesia menang atas Vietnam di semifinal. Dan menurut saya, itu pasti akan menjadi kunci mengalahkan Malaysia di final.
Tapi, karena hingga menjelang sore saya tak menemukan penjelasan yang memuaskan dan mendalam tentang “daya tahan”, yang membuatnya tak sekadar sebagai pengindonesiaan istilah endurance semata, tulisan itu tidak selesai. “Daya tahan” itu tak saya miliki. Saya meninggalkannya begitu saja untuk menonton pembantaian Myanmar atas tim yang tak lagi memiliki daya tahan, Vietnam, 4-1.
Saat-saat Kekalahan
Karena kami kehabisan gula, sebelum pertandingan Darmanto keluar sebentar untuk membeli gula, ditambah sebungkus keladi goreng dan sebanjar biskuit selai. Tak memperhitungkan volume gula dan volume toples wadahnya, Darmanto membuat sebagian gula tumpah berceceran saat menuangnya. Karena saya cukup optimistis (juga karena saya seorang Islam modernis), saya hanya menganggap kejadian itu sebagai kecerobohan dan bukan pertanda buruk.
Meski begitu, sebagai penonton bola yang—ehm—lumayan berpengalaman, kami sebenarnya melihat pertanda buruk itu. Kekalahan telak Vietnam atas Myanmar pada perebutan medali perunggu adalah karena kelelahan setelah semifinal yang keras itu. Dan, karena menjalani pertandingan yang sama dengan Vietnam, Indonesia sangat mungkin mengalami hal yang sama. Apalagi pada pertandingan dua hari lalu itu, Egi, kapten dan pemain terpenting tim Indonesia saat ini, keluar dari lapangan dengan cedera.
Namun, gol cepat Gunawan Dwi Cahyo di menit ke-4, merontokkan semua prasangka. Kami berdua teriak sekencang-kencangnya, lupa kalau rumah-rumah di sekitar adalah milik keluarga polisi, tentara, dan satpam. Kami semakin bersemangat setelah Indonesia mengurung pertahanan Malaysia hinga 10 menit berikutnya. Pada saat itulah kami berani bicara tentang rencana tulisan masing-masing jika Indonesia menang. Kami semakin bersemangat dengan ide masing-masing saat Tibo tampak menceploskan gol yang kedua. Sayang offside.
Tapi keadaan macam itu tak berlangsung lama. Serangan Indonesia mengendor, dan Malaysia mulai leluasa menekan. Ujungnya adalah gol balasan Asra pada menit ke-33. Bersamaan dengan itu, mulai kelihatan apa yang sebelumnya dikuatirkan: kelelahan. Melihat laju Andik jauh melambat, sementara Wanggai tampak linglung di wilayah pertahanan lawan, saya mulai jadi lebih pendiam. Tapi Darmanto semakin banyak mengoceh.
Babak kedua dimulai, Malaysia langsung ambil kendali. Sebaliknya, di depan televisi, Darmanto mulai hilang kendali. Ia mengomentari hampir setiap gerak bola. Ia memaki setiap pemain Indonesia yang melakukan kesalahan. Namun, saat Indonesia menguasai permainan, menyerang, dan membuat peluang (dan gagal), ia mulai berbuat kerusakan: membanting antena duduk tv di depannya, menggampar dinding di belakangnya, atau menghempaskan keladi goreng yang digenggamnya. Tapi, penderitaan saya tak lebih ringan. Selain harus berkali-kali membenarkan letak antena akibat ulah tangan jahat itu, saya juga menahan mulas hampir sepanjang pertandingan. Pasti itu karena setiap peluang Malaysia yang nyaris jadi gol atau peluang Indonesia yang gagal seakan selalu jadi tendangan yang telak ke arah perut.
Ketika dua kali babak perpanjangan harus disambung adu penalti, saya mulai pasrah. Bayangan buruk tentang Ronny Wabia dan Uston Nawawi di final sepakbola Sea Games 1997, di tempat yang sama, menghantui saya. Darmanto, yang juga lunglai, mulai menghibur dirinya dengan berceloteh tentang teori-teori adu penalti. Ia memperkirakan Egi akan jadi penendang pertama dan Tibo yang terakhir.
Ketika Tibo yang pertama maju, Darmanto memegang kepalanya tanda cemas. “Tatap mata kiper! Tatap matanya!” teriak Darmanto—seakan ia ada di bangku cadangan Indonesia. Kami memekik sekencangnya saat penalti Tibo sukses. Tapi, Darmanto kembali menjerit-jerit ketika Gunawan maju sebagai penendang berikutnya. “Oh, para pencetak gol di pertandingan terbuka biasanya gagal saat adu penalti!” katanya. Saya terpengaruh. Apalagi melihat ia berkomat-kamit terlalu banyak. Saya menyangka ia tak cukup percaya diri. Hasilnya, doa Gunawan tumpul dan sumpah-serapah Darmanto yang manjur. Kami baru menjadi lebih tenang setelah eksekusi Fakri diblok Kurnia Meiga.
Tapi, tiga menit setelah itu adalah kesunyian. Seperti garis lurus di alat pendeteksi detak jantung yang ditempelkan ke badan orang mati. Tak ingin melihat tempik-sorak pasukan kebangsaan di kejohanan Sukan Sea dan tangis Ferdinand Sinaga, saya langsung mematikan tv dan keluar ruangan; meninggalkan antena yang baru saja dibanting, keladi goreng yang berserakan, dan seorang penonton yang terkapar dengan tangan lunglai seperti maling yang usai dihajar massa.
Karena perut kosong, sebagaimana kepala kami, makan tampak jadi pilihan yang bijak. Tapi, Darmanto belum sembuh benar dari “suwung”-nya. Di warung bakmi jawa, ia mencemooh pembeli lain yang bilang Indonesia tidak kalah dan cuma tidak beruntung. Ia juga menumpahkan minumannya.
Usai makan, saya segera tidur dengan film India lama sebagai pengantar. Sementara itu, Darmanto, menurut pengakuannya, tak sanggup memicingkan mata hingga pagi berikutnya.
Setelah Kekalahan
Tak ada yang perlu dijelaskan...
*Didedikasikan untuk dua orang penonton yang meninggal di GBK. Semoga Tuhan menerima amal baiknya, dan pengurus PSSI yang menerima segala kesalahannya.
Sambilegi, 23 November 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Renyah mas ulasannya.
ReplyDeleteLOL keren pisan artikelnya mas :D duh..saya sempat ke GBK loh... ingin menonton dan harus berjibaku dengan ribuan penonton hanya untuk bisa memasuki sebuah pintu besi..dan badan saya remuk :( setelah berhasil masuk, badan saya kelelahan luar biasa, tertatih ke lorong tribun yang sudah sesak.. memaksa masuk, namun badan ini sudah tak kuat dan akhirnya menyerah.. saya memilih menonton lesehan di istora senayan.. dan babak adu penalti di kosan adik saya di senopati..
ReplyDeleteEko @ How: trimakasih. silakan dibaca tulisan lainnya. dijamin tak kalah renyah dan keren :D
ReplyDelete