Wednesday, October 5, 2011

Land Grabbing & Sepak Bola

Oleh Darmanto Simaepa


Ekspansi para baron minyak menggambarkan bagaimana dunia kontemporer bekerja melalui dua hal: tanah dan sepakbola. Uang minyak dunia tidak hanya mengincar tanah-rawa penuh buaya di Merauke atau lahan gambut masam di delta Barito, ia juga merambah tanah 110 x 65 m2 berumput rapi di Manchester, Paris atau Napoli.

Pertama, kita bicara dulu soal yang lebih penting: tanah.

Para kapitalis dunia sedang mengincar tanah-tanah luas untuk akumulasi primitifnya. Perusahaan Eropa, China dan Amerika dan para milarder Timur Tengah bergerak dari Amazonia, Afrika, Kamboja dan Indonesia, melakukan land grabbing. Di Indonesia, si kapitalis ini adalah pemain-pemain baru. Investor Qatar, sheikh Emirat Arab, dan Bin Laden group sedang menggulirkan dadu diatas tanah-tanah berbau itu.

Fenomena land grabbing menjelaskan bagaimana produksi kapitalis bekerja. Land grabbing global berhubungan dengan meningkatnya nilai tanah dan harga komoditi berbasis tanah: makanan, energi dan serat. Krisis ekonomi global menjadi narasi upaya penguasaan ini. Ketika sumber daya dunia menipis, pemodal menyasar tanah-tanah yang dianggap tidak produktif dan murah.

Jelas, ini bukanlah cerita baru. Sejak era kolonial, penguasaan teritori dan tenaga kerja telah membuat negara imperialis-kolonialis hidup makmur. Yang berbeda adalah eskalasi dan modusnya. Krisis finansial global mengalihkan cara berinvestasi. Pasar komoditi tanah dianggap aman dan berpeluang besar. Mungkin saja, banyak dari mereka kapok menaruh uang di Goldman Sach atau ditipu lantas ditinggal bunuh diri orang seperti Bernard Madoff.

Dari Papua, Jakarta sampai Deen Hag, akademisi sayap kiri, aktivis lingkungan dan pejuang keadilan agraria tidak suka. Proyek Merauke Integrated Food Estate (MIFE), pembukaan lahan untuk tanaman bio-fuel (jarak, kedelai, jagung) dan ekpansi boom crops (sawit, kakao) akan melucuti relasi manusia dengan tanah, menyingkirkan masyarakat setempat dan melemparkannya ke dalam neraka bernama kemiskinan. Dengan inspirasi risalah Karl Polanyi mengenai tanah, para aktivis berusaha melawan para kapitalis itu. Dengan segala cara.

Tentu saja tidak semua berpikir melawan. Para pemilik usaha swasta seperti Medco, Bakrie, Sinar Mas, Arta Graha jelas melihat ini adalah peluang besar untuk menambah kekayaan. Juga para kelas menengah—baik yang bekerja di birokrasi maupun industri—dan elit-elit lokal dan sebagian warga setempat sendiri. Ini adalah aliran investasi. Mimpi indah dirajut: ekonomi mengalami konstraksi, lapangan kerja terpenuhi, kehidupan membaik bagi petani. Bahkan jika ilusi itu hanya terwujud dengan cara memeras keringat dan menginjak saudaramu sendiri.

Saya tidak tahu apakah PSSI ‘yang baru‘ mendapat limpahan uang pemain baru itu. Dalam urusan transfer pemain, pembangunan stadion atau akuisisi klub di Indonesia, jelas tidak ada indikasi uang Timur Tengah memainkan peranannya. Namun semua tahu, pengusaha energi yang mengatur kubu Jenggala adalah perantara orang kaya mendapat akses dan kontrol atas sumber daya Indonesia.

Dalam kelimun permainan finansial global, uang terlihat tidak memiliki majikan. Ia mungkin saja berputar-putar tak terkendali. Diam bersembunyi entah di brankas Swiss atau Karibia namun tiba-tiba ia mampu mendatangkan Wim Rijsbergen ke sini dan menjadikannya pelatih timnas Indonesia. Saya rela potong kepala jika grup Medco—yang memberi hutang milyaran untuk klub LPI, membayar gaji pelatih dan wasit luar negeri, dan memutar roda kompetisi—tidak melakukan kalkulasi untung rugi. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menduga, sebagian uang itu bukan dari hasil ngopi-ngopi pengusaha Indonesia bersama pangeran Arab di kedai mahal Dubai.

Sekarang, kita lanjutkan diskusi dengan hal yang jauh lebih penting: sepak bola.

Highbury kini jadi jadi tanah lapang lengang dengan apartemen yang sunyi. Diatas puing-puing sejarahnya, Emirates berdiri gagah. Eastland sebentar lagi berganti menjadi Etihad. Malaga berencana membangun stadion baru. Juga Paris St Germain. Barcelona lolos dari hutang karena Qatar Foundation. Bayern, Milan, Hamburg, dan klub-klub besar mendapat uang bermilyar-milyar dari maskapai penerbangan berbasis Dubai, Jeddah, dan Muscat.

Pendek kata, uang Timur Tengah telah membeli tanah-tanah dan klub Eropa. Uang itu mengguyur lapangan bola menjadi lebih licin, semarak, dan beraroma minyak mentah. Bintang-bintang sepakbola di bayar dengan mahal. Para pelatih dan Direktur klub tinggal menunjuk nama dan petro dollar akan bicara dengan sendirinya. Silva, Nasri, Tevez, Dzeko, Pastore...

Industri sepakbola modern menggambarkan evolusi ekonomi kita. Sepakbola, meskipun bukan merupakan faktor produksi seperti halnya tanah, adalah komoditi yang dapat membuat para kapitalis lebih banyak melakukan akumulasi kapital. Era klub-klub sepakbola dimiliki secara penuh oleh buruh telah lama lewat. Hanya di negara-negara yang memiliki tradisi sosialis demokrat kuat (Skandinavia, Jerman dan Spanyol), klub sepakbola lebih selamat dari keserakahan pemuja laizes faire laizes passer.

Selebihnya, sepakbola adalah panggung akumulasi skema U-B-U (Uang-Barang-Uang) Marx yang terkenal itu. Klub dan permainan sepakbola adalah barang/komoditi yang dibeli dengan uang untuk mendapatkan lebih banyak uang. Nilai tukarnya tak terpamanai. Anda tinggal mengubah gocekan Messi, umpatan Rooney, biografi Maradona, kebengalan Balotelli, atau mulut tajam Mourinho menjadi uang melalui siaran televisi, penjualan tabloid, portal atau DVD. Tiket terusan adalah cara memindahkan upah buruh-buruh pabrik kembali pada juragannya. Kaus dan jaket sepakbola digandrungi banyak petani sehingga mereka harus membelanjakan hasil produksi.

Bisnis sepakbola sangat menggiurkan. Itu menjelaskan kenapa Havelange, Blatter, Grondona, Isa Hayatou, Jack Werner, Sheikh Haman bertahan begitu lama di kursi FIFA. Seperti yang dibilang Franklin Foer, para cartolas—kelas menengah yang licik dan tengik serta koruptif—di Brazil semuanya berhubungan dengan sepakbola. Pejabat China yang di penjara adalah pengurus federasi. Di Karibia dan Nigeria, suara pemilihan ketua PSSI-nya dihitung dalam ukuran jual beli. Di Indonesia? Anda jangan coba-coba klarifikasi ke Nurdin Halid atau Johar Arifin ya.....

Dalam setiap perkembangan historisnya, para pemilik kekayaan dunia berusaha membeli sepakbola. Pengusaha Amerika membeli klub-klub Inggris untuk mendapatkan lebih banyak uang bagi perusahaannya. Langkah sama ditempuh juragan besi dan ayam dari India—Mittal dan Venkys group—di Blackburn dan Bolton. Pemilik klub-klub Korea dan Jepang juga adalah pemilik Honda, Toyota, Samsung, Daewoo. Di masa lalu ada Agnelli, Berlusconi, Cechi Gori, Bernard Tapie, Agustinus Wenas, Kalla, Bakrie. Dan di masa ini ada John Henry, Aulas, Usmanof, Magnusson, Ecclestone, Tony Fernandes, Sheikh Abdullah bin Nasser, Sihar Sitorus, Arifin Panigoro...

Perubahan kepemilikan klub sepakbola menggambarkan kekuatan ekonomi macam apa yang sedang bekerja. Ketika badai krisis finansial menghantam dunia tahun 2007, kawasan gurun berpasir nyaris hanya dibelai angin sepoi-sepoi. Bank-bank, jasa asuransi, industri otomotif luluh lantak. Industri sektor riil—minyak bumi, kain, minyak goreng, jarum peniti, karet—tidak terguncang. Para baron minyak selamat. Saya tidak tahu mekanismenya, tetapi dengan melihat tidak ada satupun sponsor seperti Banca di Roma, Banca de Santander, AIG, Prudential, Allianz (kecuali di Munich), yang mewakili jasa pengelola keuangan, kita telah tahu para pemuja saham tidak dapat menanggung badai ini. Sekarang adalah giliran para Sheikh yang mendapat kekayaan dari emas hitam untuk menguasai sepakbola.

Jika banyak orang protes terhadap fenomena land grabbing di Merauke, para pemilik tanah di Malaga, PSG, atau City malah mendukung dan mengagumi ‘penyerobotan’ atas tanah mereka. Supporter City, Malaga, Paris St Germain menunjukkannya dengan memakai surban di kepala dan membentangkan poster-poster berisi ucapan terima kasih untuk investor baru ini. Masuknya kapitalis baru ini memberi harapan baru kepada klub-klub semenjana untuk meraih impian menjadi Milan atau Chelsea. Bahkan hampir semua pengurus klub berusaha memasarkan klubnya ke seluruh penjuru bumi dan memburu orang kaya baru.

Tentu tidak semua setuju. Fans Barca protes Rossel mengkhianati semboyan es mas que un club . Beberapa fans fanatik City cemas klubnya menjadi MU baru. Wenger risau gejolak ekonomi minyak merusak pasar pemain dan membuat sepakbola menjadi gila. Platini dan UEFA bersikeras menerapkan financial fair play agar si kaya tidak bertambah kaya dan klub kecil semakin terpuruk. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Ada suatu gejala dimana klub sepakbola adalah jaminan hutang ke bank dan mentransformasikan uang/kapital ke produksi baru.

Apa boleh buat. Pertempuran sepakbola mutakhir tidak hanya terjadi di lapangan namun juga di bursa saham dan catatan akuntansi perusahaan.

Di bagian akhir, mari kita bicara sepakbola dan tanah.

Orang akan bilang, jutaan hektar di Merauke dan 10 ha di Maine Road jelas berbeda ukurannya. Tetapi pembaca Das Capital yang tekun tidak perlu hapal halaman berapa untuk tahu betapa, dalam ekonomi kapitalistik, nilai suatu barang/komoditi tidak ditentukan oleh kesetaraan ukurannya. Di hari-hari ini, satu hektar di Eropa lengkap dengan status klub sepakbola jelas lebih mahal dari nilai satu pulau besar di Kepulauan Mentawai. Kata kunci untuk menghubungkan keduanya: perkembangan dan gerak kapital.

Lepas dari urusan kerumitan nilai pakai dan nilai tukarnya, sepakbola dan tanah memang mengabarkan bentuk ekonomi apa yang sedang memburu sejarah kita. Dunia akan berubah selepas badai ekonomi awal abad ini, seperti halnya yang terjadi dengan resesi 1930. Kapitalis(me) akan berevolusi dari satu krisis ke krisis yang lain. Sejarawan Fernand Braudel pernah mengatakan, jika kapitalisme diusir lewat pintu, dia akan masuk lewat jendela. Baiklah, kita tidak perlu memperumitnya dengan teori. Sepakbola dan tanah dapat menggambarkannya, meski dengan cara yang aneh!

Mari kita lihat putaran refleksif sederhana ini: banyak kawan aktivis perjuangan keadilan agraria adalah penggemar sepakbola. Saya yakin hampir semua pemilik tanah adat di Merauke mencintai olahraga ini. Di benua lain, banyak penggemar bola adalah akademisi yang peduli terhadap perkembangan ganas ekonomi dunia. Sebagian fans klub Eropa adalah aktivis anti land grabbing.

Mereka semua tahu bahwa uang si kapitalis dari baron minyak membuat sengsara penduduk pedesaan di negara-negara selatan. Namun ketika semua menatap Messi atau Aguero berlari bersama bola, meliuk-liuk seperti anemon laut, melintasi garis penalti, menipu lawan dan mencungkil bola diatas kiper, urusan dengan tanah terhenti, diskusi tentang si kapitalis menjadi macet, dan yang tersisa adalah histeria, kelegaan, emosi, kebahagiaan. Apapun namanya....

Untuk mengejar fatamorgana bernama kebahagiaan dan hiburan itu, kita rela membayar tiket ke stadion, berlangganan siaran televisi, membeli majalah sepakbola, pergi ke warnet untuk mengejar berita hasil pertandingan terbaru. Iklan-iklan, tagihan listrik, pajak-pajak, toko-toko merchandise, sistem keuangan, kartu kredit memungkinkan ekonomi berputar kencang. Setiap putaran mengeluarkan uang. Uang itu, dengan ketidakjelasan sirkulasinya, mungkin akan balik lagi ke rekening Sheikh Mansour, Glazer atau menambah gaji Cristiano Ronaldo.

Yang ada di kepala saya sekarang ini adalah: apakah mungkin land grabbing bisa digagalkan dan kita tetap bisa menyaksikan Xavi melalui televisi?

No comments:

Post a Comment