Thursday, September 29, 2011

La Decima dan Perjanjian Faustian Ala Madrid


Oleh Darmanto Simaepa

Satu dekade setelah proyek Los Galacticos, untuk kedua kalinya, Madrid di bawah Perez, memulai kampanye kejayaannya dengan judul La Decima. Yang Kesepuluh, versi Indonesia dari La Decima, merujuk hasrat Madrid untuk meraih si telinga lebar genap sepuluh kali. Slogan ini, dapatlah dikatakan, memiliki kekuatan setara dengan kampanye Brazil penta campeon untuk meraih piala dunia 2002. Keharusan menjadi klub pertama peraih La Decima telah mengintegrasikan seluruh elemen Madrid—fans, pelatih, sponsor, presiden—ke dalam proyeksi satu janji. Tidak hanya itu, La Decima berhasil mentransformasikan kampanye Perez menjadi obsesi.

Dalam kekeruhan sejarah, obsesi seringkali muncul dari rasa frustasi. Anda jangan membandingkan apa yang dialami oleh Madridista dengan tahun-tahun murung dan gelap yang dijalani Liverpudlian. Saya juga tak sedang menyinggung fans Arsenal. Di dekade awal abad ini, Madrid meraih 2 champions, 3 gelar La Liga dan beberapa gelar minor lainnya. Madrid tidak pernah nyaris bangkrut, lalu dikuasai bajingan tengik seperti Thaksin atau Malcolm Glazer. Kaos Madrid—dari asli hingga palsu—dipakai penduduk Xingu di Amazon hingga selebritas seperti Paris Hilton.

Obsesi Madrid kali ini tidak ditentukan keinginan dari dalam. Hasrat itu tidak dimulai dari cita rasa membangkitkan era kejayaan. Ia dimulai dari campuran rasa iri, frustasi dan benci dari apa yang dicapai seteru abadi: Barcelona. Di tahun-tahun dimana harapan atas keglamoran los galacticos menyisakan aroma dan gemanya di dinding-dinding Barnabeu, pemain-pemain terbaik dunia diciptakan dan bermain akademi milik seteru. Madrid hanya membeli bekas pemain terbaik dunia: Cannavaro, Kaka, Ronaldo.....

Ada suatu jeda, ketika Barcelona kehilangan ritme, Capello dan Schuster berhasil menginterupsi. Tapi itu tidak cukup. Gaya kaku Italia tidak menggambarkan elegansi. Taktik yang presisi dan permainan klinis warisan Jerman tidak banyak melibatkan imajinasi. Kursi presiden Calderon tidak mampu diselamatkan piala dan medali. Bahkan di tahun Madrid juara, sapu tangan putih dilambaikan penonton Barnebeu ke arah pemainnya dan standing ovation diberikan kepada pemain lawannya. Itu hanya terjadi dua kali dalam sejarah sepakbola, kedua pemain beruntung itu—Ronaldinho dan Maradona—adalah pemain Barca.

Sepanjang satu dekade terakhir, sesak dada muncul setiap pekan, ketika, mula-mula Valencia, dan lalu Barcelona dengan identitas sepakbolanya dimainkan dan menang. Pun ketika Pelegrini mengumpulkan poin paling banyak dalam 10 tahun terakhir. Awan murung di kota Madrid lebih pekat dibanding ingatan atas masa cemerlang di bawah bantuan rezim Franco. Apa pasal semua ini? Tidak lain adalah identitas yang dibentuk dan dibangun Madrid di stadion dan sejarahnya. Madrid adalah klub dengan cita rasa elegan dan kebesaran, el grande Madrid.

Identitas madrid adalah menyerang dan menghibur. Ini berangkat dari tradisi sepakbola Spanyol yang memiliki kredo vencer y convencer, menang dengan cara elegan. Kemenangan atas pertandingan baru akan memiliki makna ketika sebuah tim meraih kemenangan atas permainan. Cara bermain sama pentingnya dengan hasil. Sepakbola menjadi alat sekaligus tujuan. Disini tidak ada pemisahan atas hasil baik dan permainan baik. Sepakbola dinikmati tidak hanya untuk menang, namun sebagai hiburan dan alat kebahagiaan. Elemen-elemen seperti keindahan, elegansi, imajinasi, adalah kebajikan yang utama.

Madrid, dengan segala sejarahnya, dibangun untuk meraih kejayaan sepakbola jenis ini. Barnebeu adalah katedral bagi pesepakbola terbaik dunia. Karenanya, Madrid harus memainkan sepakbola terbaik. Tidak hanya dalam jumlah piala. Tetapi juga bagaimana cara meraihnya. Menang tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan kerja kesenimanan. Dali dan Picasso tidak cukup melukis, ia harus menciptakan gaya, begitu pula Paco Gento, di Stefano, Laudrup, Zidane, Figo.

Disaat tradisi kejayaan hendak dirawat, semakin berlalunya hari, justru si rival yang berhasil mewarisi. Setelah era dream team Milan dibawah Sacchi, Barcelona, dalam dua dekade terakhir, dianggap duta terbaik permainan ini. Kehati-hatian dalam mengelola akademi, keteguhan mewarisi bentuk dan gaya permainan menyerang, dan kontinyuitas memelihara tradisi Catalunia membawa Barca meraih semua gelar juara yang mungkin bisa diraih. Lebih dari itu, Barcelona tidak hanya memenangkan medali, ia juga memenangkan hati.

Di saat rasa sakit akibat menyaksikan kehebatan rival abadi nyaris tidak ditemukan obatnya, si Mephistopheles datang menawarkan penangkalnya. Lebih dari penangkal, dengan segala panjang akalnya, kerja keras, berderet medali, serta sungai kata-katanya, si Iblis itu menawarkan kejayaan abadi. Seluruh dunia percaya, satu-satunya cara Madrid menghentikan laju Barca dan memulai siklus kejayaan dari puing-puingnya adalah jenius yang malas berlari dari Setubal. Ada suatu masa dalam 5 tahun akhir, yang hanya terjadi sekali, ketika tidak sedang apes, kurang beruntung atau bermain buruk¸ Barca bisa dikalahkan. Hanya Mou yang bisa melakukannya.

Selain dalam hal mentalitas juaranya, Mou nyaris tidak memenuhi profil melatih Madrid. Pendekatannya terhadap pertandingan, selera pemain yang dipilihnya, gaya bertahan, atau obsesinya pada keseimbangan membuatnya lebih pas melatih MU, Juventus atau Inter. Mentalitas Mou adalah kemenangan: apapun caranya. Dia mendistori sepakbola sebagai sebuah permainan. Baginya, sepakbola adalah medan perang. Kerja keras, etos mati dilapangan, dan disiplin tinggi tidak cocok diterapkan untuk pemain yang mengandalkan intuisi dalam mengubah arah bola, imajinasi dalam menentukan arah lari, dan kehalusan naluri seni dalam mencetak gol. (Saya sedang membayangkan bagaimana Redondo akan patuh pada Mourinho).

Dadu sudah dilemparkan. Dalam setiap perjanjian dengan obsesi, harus ada yang dikorbankan. Sesuatu yang dikorbankan terlalu besar: gaya, reputasi dan identitas. Jika diera los galacticos, Perez sendiri yang melempar del Bosque dan menendang Makalele, Redondo dan Hierro keluar dari pintu stadion demi citra dan keglamoran, kini pisau jagal telah diserahkan kepada Mourinho. Bulan Pebruari-April, ketika rentetan kemenangan 8 kali dan tiket ke semifinal Champions diraih, dan lantas Copa del Rey, si Iblis mulai memegang kendali dan belati. Hanya soal kapan Raul dan Valdano harus menyingkir.

Sementara ketika harapan mulai menapak naik dan antusiasme mengalahkan akal sehat, piala Champion yang diraih Barcelona adalah garam yang ditaburkan atas luka. Barangkali Perez benar ketika mengatakan, musim ini adalah pertama kali dalam 8 tahun terakhir Madrid menembus semifinal Champions dan mengumpulkan poin paling banyak dibanding kontestan lain. Fakta lain mengatakan, capaian hebat Peleggrini dan Capello dalam statistik tetap saja diabaikan. Perez berkilah, Mou selalu berhasil meraih gelar utama di tahun kedua. Namun ucapannya ini lebih mudah dikenali sebagai sebuah harapan atas keajaiban yang pernah dibawa orang sakti itu atas Inter. Atau semacam obat penenang sementara bagi rasa tersiksa.

Satu persatu kehidupan telah ditukar dengan janji Faustian. Seperti ditulis FourFourTwo edisi Maret, iblis telah menguasai Barnebeu. Obsesi mengalahkan rival telah membuat Madrid menjual jiwanya. Madrid memaafkan bagaimana Mou memberlakukan berlian Spanyol, Canales. Atau bagaimana secara eksplisit meminta Pepe, Arbeloa, Diarra dan Ramos menjadi lebih kasar dan brutal dari The Crazy Gank. Publik Madrid bahkan bisa bersorak ketika pemainnya menginjak Villa dan menyikut Messi, kapanpun dan bagaimanapun caranya. Lewat pesan berantai, saat Mou meminta Alonso dan Ramos merencanakan kejahatan kartu merah, orang bisa tetap tertawa.

Seorang Ferguson yang sangat despotik bisa bersimpati terhadap Stuart Holden yang dihantam dengan brutal oleh John Evans, sementara Mourinho menyebut Marcelo, yang menggunting Fabregas dengan cara yang biadab, ‘bermain baik’. Statistik 16 kartu merah dalam 64 pertandingan jelas punya kaitan dengan komentar cerdik tentang sepakbola kotor saat timnya kalah dari Levante atau Sporting Gijon. Jika pemuja Mourinho di Indonesia menyebut ini sebagai kepintaran, kejeniusan atau apalah, seharusnya kita harus membela Mursyid Effendi atau memperlakukan Rusdy Bahalwan atas gol bunuh diri itu sebagai jenius juga.

Memanglah harus saya akui, Madrid sesekali bermain bagus, elegan dan menang (misalnya saat menang tandang ke Valencia atau serangan brilian kemaren malam, lawan Rayo Vallecano). Namun dalam ingatan saya, taktik dan pendekatan ketika melawan Barca dan bagaimana bereaksi terhadap hasilnya, menggambarkan bagaimana Madrid kehilangan jiwanya. Fans Madrid tidak ada yang buka suara ketika seorang pengecut mencolokkan jari tengahnya ke mata pelatih lawan dari belakang—tindakan yang tidak pernah dilakukan pelatih lain dalam sejarah sepakbola. Tidak ada satupun apresiasi atas satu gol terbaik liga Champions tahun ini—solo run Messi melewati 5 pemain. Alih-alih, publik madrid mengabaikan ejekan ‘kucing’-nya Alfredo di Stefano, mentertawakan Calderon saat dia mengkritik kekuasaan Mou, dan tidak ada pernyataan simpatik atas jasa Valdano untuk Madrid dihari terakhirnya meninggalkan kantor.

Saya, yang pernah mendukung Madrid setidaknya ketika melawan Juventus 1998, berharap Mephistopheles akan kalah. Madrid jangan sampai memenangi La Decima seperti Milan memenangi Champions tahun 2002. Mungkin ini disebabkan ada bagian dimana ketidaksukaan saya terhadap Mou mengambil peranan. Lebih dari itu, saya tidak ingin sepakbola hanya dikenang karena seberapa banyak medali bisa dikalungi, sementara orang melupakan detil-detil bagaimana permainan indah ini dijalankan, dimainkan dan memberi semacam kebahagiaan hati. Atau ketika, karena ketidaksabaran pada obsesi, orang punya lebih banyak permakluman atas kejahatan sepakbola—taktik kotor, konferensi pers yang mengintimidasi, provokasi terhadap wasit, brutalitas dan pendekatan fisik—digunakan untuk memenangi pertandingan dan meraih kejayaan.

Hal-hal yang buruk selalu menjadi bagian dari sepakbola, terkadang malah menentukan. Menyedihkan: inilah yang membuat kita melupakan Tele Santana dan lebih memilih untuk mengingat Mourinho, memuja Pele dan mengabaikan Socrates atau Le Tessier.

2 comments:

  1. Dalam hal melihat keindahan sepakbola, saya punya posisi yang berbeda dengan penulis. Saya termasuk orang yang bisa menikmati permainan yang mengandalkan pertahanan, asal dilakukan dengan rapi dan bersih.

    Namun dalam hal kritik terhadap Mou, saya sepakat sepenuhnya. Menjadi arogan, berkata sarkastik soal lawan, menunjukkan ego, adalah pilihan sikap yang sah-sah saja. Tapi Mou lebih dari itu. Ia meyakini sikap antisepakbola. Ia memfitnah, berbohong, memakai standar ganda, menghalalkan segala cara dan tidak sportif. Pertandingan terakhir melawan Barcelona, sebagaimana dibahas tulisan ini, semakin jelas menunjukkan siapa dia. Demikian.

    Saya baru temukan blog ini, dan menyukai tulisan-tulisannya. Salam kenal.

    ReplyDelete
  2. Kalau bagi saya, kebahagiaan menonton bola tidak melulu berasal dari permainan indah, teknik dewa pemain, taktik cerdas pelatih, tetapi juga hal2 yang tidak biasa ataupun malah terlalu biasa. Seperti keegoisan dan drama queen yang ditampilkan Christiano Ronaldo (bukan berarti saya menyukainya), keantikkan Mou, psy war antar tim di konferensi pers, euforia suporter, off the pitch thingy, hingga private life pemain. Berhubung tim yg saya dukung tidak pernah dapat trofi dalam 1 dekade ini (walaupun dunia mengakui tim itu sudah memainkan sepakbola indah), maka kebahagiaan saya sebagai suporter tentu saja adalah TROFI. Karena permainan indah sudah ditampilkan, pelatih cukup jenius, pemain masih muda dan berkarakter, yang kurang adalah trofi, dan saya tidak ambil pusing jika nanti tim jagoan saya main standar tapi menang dan berujung pada TROFI, itu akan membahagiakan suporter.
    Anyway, saya baru menemukan blog ini, bagus sekali!! :)

    ReplyDelete