Oleh Nick Hornby; Terj. Mahfud Ikhwan
Langsung saja kita kembali ke tahun enampuluhan, ketika aku mulai menonton sepakbola. Inggris baru saja memenangkan Piala Dunia 1966 dan, dengan demikian, tak terbantahkan, merupakan tim terbaik di dunia. Fakta, titik, akhir cerita. Benar bahwa gol kemenangan di final itu seharusnya tak dihitung; pun, benar juga, bahwa tim Brazil dan Pele secara sistematik dibuat kalah di turnamen itu--Pele bolak-balik digotong dengan tandu setelah pelanggaran brutal yang kesekian. Tapi tetap saja, ya kan? Inggris yang terbaik! Mungkin!
Langsung saja kita kembali ke tahun enampuluhan, ketika aku mulai menonton sepakbola. Inggris baru saja memenangkan Piala Dunia 1966 dan, dengan demikian, tak terbantahkan, merupakan tim terbaik di dunia. Fakta, titik, akhir cerita. Benar bahwa gol kemenangan di final itu seharusnya tak dihitung; pun, benar juga, bahwa tim Brazil dan Pele secara sistematik dibuat kalah di turnamen itu--Pele bolak-balik digotong dengan tandu setelah pelanggaran brutal yang kesekian. Tapi tetap saja, ya kan? Inggris yang terbaik! Mungkin!
Dan kami adalah tim terbaik kedua di Piala Dunia 1970. Jelas, meskipun seseorang harus sedikit lebih kreatif untuk menunjukkan buktinya. Ya, Inggris memang tersingkir di perempatfinal, tapi seharusnya tidak. Mereka unggul 2-0 melawan Jerman hingga pertandingan tersisa 20 menit, dan akhirnya dipaksa kalah 3-2. Brazil adalah tim terbaik di 1970, jauh mengungguli lawan-lawannya. Namun, mereka hanya unggul tipis dari kami di babak grup, 1-0. Dan Jeff Astle membuang peluang menyamakan kedudukan di menit-menit akhir pertandingan. Seharusnya pertandingan berakhir 1-1. Padahal, Brazil menggulung semua lawan. Maka, kesimpulannya: kami jelas-jelas tim terbaik di 1966, dan lumayan terbaik--mari Brazil kita kasih sedikit kredit, agar setera dengan kita--di 1970.
Kemudian, semua jadi serba salah. Sepertinya untuk seterusnya.
Sebagai permulaan, aku jadi lebih dewasa, dan menjadi jauh lebih terganggu soal apa artinya menjadi bagian dari negara, sementara timnas Inggris jeleknya minta ampun. (Aku mungkin tidak terlalu pusing dengan soal nasionalisme dan patriotisme ini jika mereka lumayan bagus.) Tim yang sama bagusnya dengan Brazil itu bahkan tak lolos babak kualifikasi untuk Piala Dunia 1974 dan 1978; para pemain kelas dunia yang dianugerahkan kepada kita di tahun enampuluhan sudah pergi, dan pada tahun delapanpuluhan, soal sepakbola dan patriotisme ini menjadi lebih rumit lagi.
Terlintas jelas di pelupuk mata, di dekade itu, pertandingan-pertandingan timnas Inggris seringkali hanya bisa dinikmati di tengah-tengah kelimun gas airmata, yang biasa dipakai polisi-polisi negara Eropa untuk membubarkan hooligan kita yang ribut. Pendukung timnas Inggris dengan segera berubah menjadi segerombolan penjahat. Dan meskipun pertandingan-pertandingan di tingkat klub juga terjangkiti kerusuhan, itu tak ada apa-apanya. Jika kamu nonton pertandingan timnas di Wembley, sebagaimana yang masih aku lakukan, sekali waktu kamu akan ketemu orang di sampingmu melakukan salut ala Nazi ketika lagu kebangsaan dinyanyikan. Menghina pemain berkulit hitam--bahkan jika pemain itu bermain untuk Inggris--adalah sesuatu yang biasa.
Pada masa itu, Wembley sanggup menampung 92 ribu orang; tampak tidak kebetulan bahwa ada 92 klub profesional di seluruh Inggris. Kadang kala terasa bahwa seribu fan paling busuk dari setiap klub berkumpul bersama di Wembley, menirukan suara monyet dan menyanyikan lagu-lagu anti-IRA. Orang-orang itulah yang berjasa membentuk ketakutan dan kengerian khalayak atas dua bendera kita. Jika kalian melihat seseorang yang berjalan ke arahmu dengan kaos bergambar bendera salip Santo George atau Union Jack, kalian akan disarankan lebih baik menyingkir. Kaos itu kadang-kadang punya gambar dan slogan lain, yang boleh jadi berbunyi: "Aku rasis, tapi aku membencimu apa pun warna kulitmu"; atau, kaos dengan gambar grafiti hasil jepretan fotografer Philadelphia Zoe Strauss yang bertuliskan: "KALAU KAMU BACA INI BERARTI KAMU BANGSAT". Jika mereka tak ngapa-ngapin kamu, maka anjing pit-bull mereka yang akan menggigitmu.
Maka, cukup bisa dimengerti kalau lambat laun sebagian fan semakin hilang rasa dengan timnas Inggris. Pada 1990, ketika Inggris bertanding lawan Kamerun di perempatfinal Piala Dunia Italia, tak sulit menemukan orang Inggris (kelas menengah, biasanya liberal, tapi bisa juga siapa pun) yang ingin Kamerun menang. Aku nonton pertandingan itu dengan sebagian dari mereka. Ketika Inggris ketinggalan 1-2 (meskipun kemudian bisa menang dengan 3-2), orang-orang itu bersorak. Aku bisa mengerti sikap mereka, tapi tentu saja aku tidak bisa bersorak bersama mereka. Itu agak mengejutkanku. Orang-orang mabuk itu, para bajingan rasis yang berselimut bendera Inggris itu... bagiamanapun adalah orang sejenisku, tak seperti (sebagaimana yang sejak awal kupikirkan) teman-teman liberalku yang budiman yang nonton bersamaku. Dan timnas Inggris adalah timnasku. Maksudku, kalian tak bisa memilih, 'kan?
Piala Dunia 1990 memang jadi sebuah titik balik. Tim itu tidak malu-maluin--setidaknya setelah pertandingan pembuka. Terlepas dari tawuran kecil-kecilan yang ganjil, para fan Inggris juga tak malu-maluin amat. Pada akhirnya, Inggris kalah, tipis dan secara gagah berani, dari Jerman, lewat adu penalti, di semifinal. (Inggris, kebetulan, pada enam Piala Dunia terakhir, sudah empat kali dipulangkan kalau tidak oleh Jerman ya oleh Argentina, dua negara yang punya urusan dengan kami di masa lalu. Kalian yang familiar dengan koran-koran tabloid kita yang bawaannya ngajak ribut itu bisa membayangkan bahwa kesialan di Piala Dunia itu tak akan menyumbang apa-apa bagi perdamaian dunia.) Setelah beberapa dekade tidak karu-karuan, tim nasional, dan olahraga nasional ini, sekali lagi bisa berselimutkan kehangatan kasih sayang seluruh bangsa.
***
Kelahiran kembali itu pupus dalam lima menit. Akibat salah tunjuk manager, Inggris kembali gagal lolos kualifikasi. Dan pada 1998, sepakbola sudah menjadi permainan yang berbeda. Prancis memenangi Piala Dunia 1998, namun hanya beberapa gelintir pemain di tim itu yang main di Prancis. Para pemain kunci mereka, Zidane dan Desailly dan Deschamps, bermain di Italia; sisanya main di Spanyol, Inggris, atau Jerman. Sementara itu, para bintang besar di sepakbola Inggris adalah Zola dari Italia, Bergkamp dari Belanda, Schmeichel dari Denmark. Manchester United, klub terbesar di Inggris, memang mendasarkan kekuatan intinya pada para pemain muda Inggris, termasuk di dalamnya David Beckham. Namun, Arsenal, timku, yang dengan nyaman memenangkan Liga, telah mencampur kegigihan ala Inggris dengan kelihaian ala Prancis dan Belanda. Para pemain asing, yang jadi bagian terbesarnya, lebih baik, lebih fit, dan lebih murah, dan mereka juga lebih sedikit minum. (Orang seperti Bergkamp dan Henry jelas-jelas menjadikan tirakat sebagai tebusan bagi karir atletnya, namun sikap macam ini kadang dianggap sebagai sebentuk kecurangan oleh kebanyakan pesepakbola Inggris.) Belum lama terjadi, mayoritas pemain di divisi teratas sepakbola kita datang dari luar Kepulauan Inggris.
Globalisasi dan pasar transfer menusuk sepakbola internasional tepat di ulu hati. Di masa-masa lalu, kita terbiasa menonton pemain terbaik di setiap klub dan berpikir: "alangkah hebatnya jika pemain-pemain terbaik itu main bersama?" Dan jawabannya adalah seperti apa yang kita lihat dalam tim nasional--meskipun itu idealnya, karena kenyataannya, timnas, khususnya timnas Inggris, seringkali kali kurang terlatih dan salah urus. Sekarang, Chelsea, MU, Real Madrid, Juventus, duo Milan, dan Barcelona telah menggantikan timnas sebagai tim sepakbola fantasi. Jika di timnasmu tidak ada pemain dari klub-klub tersebut di atas, itu bukan berarti klub-klub tersebut tidak mau, tapi karena para pemain di timnasmu tidak bagus. Dalam beberapa tahun terakhir, timnas Inggris melorot akibat harus memilih pemain yang belum tentu terpakai di klubnya, dan kenapa pemain itu dipilih sudah sama sekali berubah. Dulu, seorang pemain berkelas timnas sudah pasti jadi pilihan utama di klubnya. Sekarang, tergantung--sebagus apa klubnya, dan sebagus apa timnasnya.
Bagaimanapun, tak diragukan lagi, impor pemain asing membuat pemain Inggris harus mengeluarkan kemampuan terbaiknya, kadang kala dengan ogah-ogahan, agar bisa bersaing. Kita sudah terbiasa dengan permainan itu, dan itu-itu juga ('kita' di sini boleh jadi merujuk kepada semua penduduk negeri ini); kita tidak terlalu mengkhawatirkan tim dari negara lain, sebab kita bertanding lawan mereka hanya sesekali dalam beberapa tahun. Sekarang, para pemain Inggris bermain bersama atau melawan tim terbaik dunia setiap pekan, dan mereka mesti cepat belajar agar bisa tetap ikut bermain, dan tetap mendapat pekerjaan.
Mereka yang tahu bola akan bilang bahwa timnas Inggris diperkuat oleh beberapa pemain terbaik dunia. Wayne Rooney masih remaja ketika Piala Eropa 2004. Namun, ketika ia pincang karena cedera saat pertandingan melawan Portugal, timnas Inggris jadi berantakan. Ia sangat kuat, sangat lihai, dan sebelum mendapat kartu merah, mungkin karena memaki, ia menciptakan salah satu gol terbaik yang pernah kita lihat. (Pada sebuah pertandingan melawan Arsenal, Rooney diperkirakan bilang 'fuck off' kepada wasit 20 kali dalam 60 detik. Karena "pelanggaran dan makian" diganjar kartu kuning, kita bisa menduga bahwa apa yang dikatakan Rooney adalah kata-kata yang betul-betul buruk, yang lebih buruk dari f*** atau c***, yang hanya pemain bola yang tahu dan kita tidak.) Frank Lampard dan John Terry adalah pemain-pemain terpenting di Chelsea, yang bila diukur dengan iklim ekonomi saat ini berarti bisa dianggap sebagai dua pemain terpenting di Eropa--jika tidak begitu, mereka pasti sudah kerja di tambak garam sekarang. Ashley Cole boleh jadi adalah bek kiri terbaik di dunia, itulah kenapa ia tidak mau lagi main di klubku, Arsenal, lebih lama lagi.
Setidaknya, separoh pemain timnas Inggris saat ini sungguh bagus. Maka, ketika mereka kalah di perempatfinal, seperti biasanya, yang muncul adalah kemarahan yang tidak penting alih-alih pasrah.
Menjelang pengujung babak kualifikasi Piala Dunia 2006 yang tak mengesankan, Inggris dipaksa menyerah 1-0 dari Irlandia Utara, yang sebagian besar pemainnya bermain di tim-tim gurem di Inggris Raya. Saat pertandingan, kalian hampir-hampir bisa melihat para pemain bintang Inggris berpikir: "ngapain aku di sini, di tempat sampah ini, bertanding melawan para pecundang?" (Fakta bahwa para pecundang itu memenangkan pertandingan tampaknya tidak terlalu mereka ambil pusing.) Tentu saja sulit menilai sebuah tim nasional hanya dalam 90 menit, jadi tunggu setidaknya sampai putaran final Piala Dunia dan setelahnya. Lalu, beberapa pekan kemudian, setelah kemenangan di menit terakhir di sebuah pertandingan yang tak ada artinya namun menegangkan melawan Argentina, kita semua telah menyimpulkan: Inggris akan jadi juara Piala Dunia.
Gambaran ini sedikit membaik: biasanya, kepercayaan nasional kita membumbung setelah kemenangan tipis dari Irlandia, sebelum kemudian dihancurkan oleh tim yang lebih baik. Sekarang kita punya sekelompok pemain kosmopolitan yang lebih 'ndenger' (atau para primadona yang gemerlapan, tergantung dari pandangan dunia, usia, dan koran apa yang kita baca), yang tak mudah diganggu, kecuali kalau ada kesempatan.
Enambelas tahun lalu, Inggris bertanding imbang melawan Swedia, hasil yang menjamin mereka lolos Piala Dunia 1990. Gambar abadi dari pertandingan itu adalah saat kapten Inggris, Terry Butcher, menyapu bola dengan kepala diperban, dan kaos putih timnasnya yang bersimbah darah yang menetes dari kepalanya yang terluka nyaris sepanjang pertandingan. "Di luar lapangan, aku adalah orang biasa yang lemah-lembut," kata Butcher pada wawancara setahun kemudian. "Namun, begitu aku pakai seragam timnas, aku merasa seperti pakai topi baja dengan sepucuk bayonet yang terhunus. Merdeka atau mati!"
Begitulah orang Inggris lama: bayangan tentang perang, menganggap penting pertandingan 0-0 melawan tim semenjana, pergantian tak terhindarkan bakat dan gaya dengan darah dan luka-luka. Hal itulah yang bikin pening David Beckham, kapten Inggris saat ini, yang bisa mengaku pakai topi baja dan kepala berperban jika dan hanya jika ia terpaksa pakai di sebuah klab malam dengan fashion konyol di Eropa.
Tentu saja itu tidak adil. Di luar wajah dan uangnya, Beckham juga telah bekerja sangat keras untuk menambal apa yang ia kurang sebagai pemain, terutama kecepatannya. Namun, tak diragukan lagi, ia adalah gambaran yang brilian tentang olahragawan Inggris jenis baru: profesional, sadar-media, sesekali marah-marah, dan sangat-sangat kaya.
Maka, lebih dari mencurigakan rasanya ketika para pendukung timnas Inggris yang menonton pertandingan persahabatan melawan Argentina (dilangsungkan di Jenewa, entah apa alasannya) masih menyanyikan lagu "Jangan Menyerah kepada IRA"; mereka masih mencari-cari sosok Terry Butcher dengan bayonetnya dan bukannya David Beckham, orang yang baru-baru ini difoto sedang pakai sarung. Padahal, Inggris macam itu sudah lewat. Kita sudah membom Jerman; dan, setelah 60 tahun, lamat-lamat sudah muncul dugaan bahwa hari-hari itu tak akan terulang lagi dalam waktu dekat; dan dalam pada itu, kita harus menyandarkan diri kepada bocah ganteng kaya yang pakai sarung untuk menendang orang Argentina untuk kita. Kita tak senang dengan itu, tapi mau bagaimana lagi?
***
Pada Piala Dunia 1998, saat paling menegangkan bagiku datang ketika Viera dari Arsenal menyodorkan bola kepada Petit dari Arsenal untuk menciptakan gol ketiga Prancis atas Brazil di final. Aku melonjak-lonjak. (Pagi berikutnya, the Daily Mirror, yang dieditori oleh seorang pemegang tiket musiman Arsenal, menulis kepala judul: ARSENAL JUARA PIALA DUNIA--halaman depan itu aku pigura.) Viera dan Petit adalah bocah-bocahku: aku menghabiskan lebih banyak hari dalam setahun membenci para pemain Inggris demi mereka; jika ada para bangsat dari Manchester United atau Chelsea berhadap-hadapan langsung dengan mereka, bocah-bocah Prancis-ku yang ganteng dan berbakat itu, aku tak ada keberatan kalau bangsat-bangsat itu dibereskan. Itulah saatnya kamu bisa memilih. Allez, les blues.
*diterjemahkan dari "Fan Mail", Nick Hornby, 2013
Kemudian, semua jadi serba salah. Sepertinya untuk seterusnya.
Sebagai permulaan, aku jadi lebih dewasa, dan menjadi jauh lebih terganggu soal apa artinya menjadi bagian dari negara, sementara timnas Inggris jeleknya minta ampun. (Aku mungkin tidak terlalu pusing dengan soal nasionalisme dan patriotisme ini jika mereka lumayan bagus.) Tim yang sama bagusnya dengan Brazil itu bahkan tak lolos babak kualifikasi untuk Piala Dunia 1974 dan 1978; para pemain kelas dunia yang dianugerahkan kepada kita di tahun enampuluhan sudah pergi, dan pada tahun delapanpuluhan, soal sepakbola dan patriotisme ini menjadi lebih rumit lagi.
Terlintas jelas di pelupuk mata, di dekade itu, pertandingan-pertandingan timnas Inggris seringkali hanya bisa dinikmati di tengah-tengah kelimun gas airmata, yang biasa dipakai polisi-polisi negara Eropa untuk membubarkan hooligan kita yang ribut. Pendukung timnas Inggris dengan segera berubah menjadi segerombolan penjahat. Dan meskipun pertandingan-pertandingan di tingkat klub juga terjangkiti kerusuhan, itu tak ada apa-apanya. Jika kamu nonton pertandingan timnas di Wembley, sebagaimana yang masih aku lakukan, sekali waktu kamu akan ketemu orang di sampingmu melakukan salut ala Nazi ketika lagu kebangsaan dinyanyikan. Menghina pemain berkulit hitam--bahkan jika pemain itu bermain untuk Inggris--adalah sesuatu yang biasa.
Pada masa itu, Wembley sanggup menampung 92 ribu orang; tampak tidak kebetulan bahwa ada 92 klub profesional di seluruh Inggris. Kadang kala terasa bahwa seribu fan paling busuk dari setiap klub berkumpul bersama di Wembley, menirukan suara monyet dan menyanyikan lagu-lagu anti-IRA. Orang-orang itulah yang berjasa membentuk ketakutan dan kengerian khalayak atas dua bendera kita. Jika kalian melihat seseorang yang berjalan ke arahmu dengan kaos bergambar bendera salip Santo George atau Union Jack, kalian akan disarankan lebih baik menyingkir. Kaos itu kadang-kadang punya gambar dan slogan lain, yang boleh jadi berbunyi: "Aku rasis, tapi aku membencimu apa pun warna kulitmu"; atau, kaos dengan gambar grafiti hasil jepretan fotografer Philadelphia Zoe Strauss yang bertuliskan: "KALAU KAMU BACA INI BERARTI KAMU BANGSAT". Jika mereka tak ngapa-ngapin kamu, maka anjing pit-bull mereka yang akan menggigitmu.
Maka, cukup bisa dimengerti kalau lambat laun sebagian fan semakin hilang rasa dengan timnas Inggris. Pada 1990, ketika Inggris bertanding lawan Kamerun di perempatfinal Piala Dunia Italia, tak sulit menemukan orang Inggris (kelas menengah, biasanya liberal, tapi bisa juga siapa pun) yang ingin Kamerun menang. Aku nonton pertandingan itu dengan sebagian dari mereka. Ketika Inggris ketinggalan 1-2 (meskipun kemudian bisa menang dengan 3-2), orang-orang itu bersorak. Aku bisa mengerti sikap mereka, tapi tentu saja aku tidak bisa bersorak bersama mereka. Itu agak mengejutkanku. Orang-orang mabuk itu, para bajingan rasis yang berselimut bendera Inggris itu... bagiamanapun adalah orang sejenisku, tak seperti (sebagaimana yang sejak awal kupikirkan) teman-teman liberalku yang budiman yang nonton bersamaku. Dan timnas Inggris adalah timnasku. Maksudku, kalian tak bisa memilih, 'kan?
Piala Dunia 1990 memang jadi sebuah titik balik. Tim itu tidak malu-maluin--setidaknya setelah pertandingan pembuka. Terlepas dari tawuran kecil-kecilan yang ganjil, para fan Inggris juga tak malu-maluin amat. Pada akhirnya, Inggris kalah, tipis dan secara gagah berani, dari Jerman, lewat adu penalti, di semifinal. (Inggris, kebetulan, pada enam Piala Dunia terakhir, sudah empat kali dipulangkan kalau tidak oleh Jerman ya oleh Argentina, dua negara yang punya urusan dengan kami di masa lalu. Kalian yang familiar dengan koran-koran tabloid kita yang bawaannya ngajak ribut itu bisa membayangkan bahwa kesialan di Piala Dunia itu tak akan menyumbang apa-apa bagi perdamaian dunia.) Setelah beberapa dekade tidak karu-karuan, tim nasional, dan olahraga nasional ini, sekali lagi bisa berselimutkan kehangatan kasih sayang seluruh bangsa.
***
Kelahiran kembali itu pupus dalam lima menit. Akibat salah tunjuk manager, Inggris kembali gagal lolos kualifikasi. Dan pada 1998, sepakbola sudah menjadi permainan yang berbeda. Prancis memenangi Piala Dunia 1998, namun hanya beberapa gelintir pemain di tim itu yang main di Prancis. Para pemain kunci mereka, Zidane dan Desailly dan Deschamps, bermain di Italia; sisanya main di Spanyol, Inggris, atau Jerman. Sementara itu, para bintang besar di sepakbola Inggris adalah Zola dari Italia, Bergkamp dari Belanda, Schmeichel dari Denmark. Manchester United, klub terbesar di Inggris, memang mendasarkan kekuatan intinya pada para pemain muda Inggris, termasuk di dalamnya David Beckham. Namun, Arsenal, timku, yang dengan nyaman memenangkan Liga, telah mencampur kegigihan ala Inggris dengan kelihaian ala Prancis dan Belanda. Para pemain asing, yang jadi bagian terbesarnya, lebih baik, lebih fit, dan lebih murah, dan mereka juga lebih sedikit minum. (Orang seperti Bergkamp dan Henry jelas-jelas menjadikan tirakat sebagai tebusan bagi karir atletnya, namun sikap macam ini kadang dianggap sebagai sebentuk kecurangan oleh kebanyakan pesepakbola Inggris.) Belum lama terjadi, mayoritas pemain di divisi teratas sepakbola kita datang dari luar Kepulauan Inggris.
Globalisasi dan pasar transfer menusuk sepakbola internasional tepat di ulu hati. Di masa-masa lalu, kita terbiasa menonton pemain terbaik di setiap klub dan berpikir: "alangkah hebatnya jika pemain-pemain terbaik itu main bersama?" Dan jawabannya adalah seperti apa yang kita lihat dalam tim nasional--meskipun itu idealnya, karena kenyataannya, timnas, khususnya timnas Inggris, seringkali kali kurang terlatih dan salah urus. Sekarang, Chelsea, MU, Real Madrid, Juventus, duo Milan, dan Barcelona telah menggantikan timnas sebagai tim sepakbola fantasi. Jika di timnasmu tidak ada pemain dari klub-klub tersebut di atas, itu bukan berarti klub-klub tersebut tidak mau, tapi karena para pemain di timnasmu tidak bagus. Dalam beberapa tahun terakhir, timnas Inggris melorot akibat harus memilih pemain yang belum tentu terpakai di klubnya, dan kenapa pemain itu dipilih sudah sama sekali berubah. Dulu, seorang pemain berkelas timnas sudah pasti jadi pilihan utama di klubnya. Sekarang, tergantung--sebagus apa klubnya, dan sebagus apa timnasnya.
Bagaimanapun, tak diragukan lagi, impor pemain asing membuat pemain Inggris harus mengeluarkan kemampuan terbaiknya, kadang kala dengan ogah-ogahan, agar bisa bersaing. Kita sudah terbiasa dengan permainan itu, dan itu-itu juga ('kita' di sini boleh jadi merujuk kepada semua penduduk negeri ini); kita tidak terlalu mengkhawatirkan tim dari negara lain, sebab kita bertanding lawan mereka hanya sesekali dalam beberapa tahun. Sekarang, para pemain Inggris bermain bersama atau melawan tim terbaik dunia setiap pekan, dan mereka mesti cepat belajar agar bisa tetap ikut bermain, dan tetap mendapat pekerjaan.
Mereka yang tahu bola akan bilang bahwa timnas Inggris diperkuat oleh beberapa pemain terbaik dunia. Wayne Rooney masih remaja ketika Piala Eropa 2004. Namun, ketika ia pincang karena cedera saat pertandingan melawan Portugal, timnas Inggris jadi berantakan. Ia sangat kuat, sangat lihai, dan sebelum mendapat kartu merah, mungkin karena memaki, ia menciptakan salah satu gol terbaik yang pernah kita lihat. (Pada sebuah pertandingan melawan Arsenal, Rooney diperkirakan bilang 'fuck off' kepada wasit 20 kali dalam 60 detik. Karena "pelanggaran dan makian" diganjar kartu kuning, kita bisa menduga bahwa apa yang dikatakan Rooney adalah kata-kata yang betul-betul buruk, yang lebih buruk dari f*** atau c***, yang hanya pemain bola yang tahu dan kita tidak.) Frank Lampard dan John Terry adalah pemain-pemain terpenting di Chelsea, yang bila diukur dengan iklim ekonomi saat ini berarti bisa dianggap sebagai dua pemain terpenting di Eropa--jika tidak begitu, mereka pasti sudah kerja di tambak garam sekarang. Ashley Cole boleh jadi adalah bek kiri terbaik di dunia, itulah kenapa ia tidak mau lagi main di klubku, Arsenal, lebih lama lagi.
Setidaknya, separoh pemain timnas Inggris saat ini sungguh bagus. Maka, ketika mereka kalah di perempatfinal, seperti biasanya, yang muncul adalah kemarahan yang tidak penting alih-alih pasrah.
Menjelang pengujung babak kualifikasi Piala Dunia 2006 yang tak mengesankan, Inggris dipaksa menyerah 1-0 dari Irlandia Utara, yang sebagian besar pemainnya bermain di tim-tim gurem di Inggris Raya. Saat pertandingan, kalian hampir-hampir bisa melihat para pemain bintang Inggris berpikir: "ngapain aku di sini, di tempat sampah ini, bertanding melawan para pecundang?" (Fakta bahwa para pecundang itu memenangkan pertandingan tampaknya tidak terlalu mereka ambil pusing.) Tentu saja sulit menilai sebuah tim nasional hanya dalam 90 menit, jadi tunggu setidaknya sampai putaran final Piala Dunia dan setelahnya. Lalu, beberapa pekan kemudian, setelah kemenangan di menit terakhir di sebuah pertandingan yang tak ada artinya namun menegangkan melawan Argentina, kita semua telah menyimpulkan: Inggris akan jadi juara Piala Dunia.
Gambaran ini sedikit membaik: biasanya, kepercayaan nasional kita membumbung setelah kemenangan tipis dari Irlandia, sebelum kemudian dihancurkan oleh tim yang lebih baik. Sekarang kita punya sekelompok pemain kosmopolitan yang lebih 'ndenger' (atau para primadona yang gemerlapan, tergantung dari pandangan dunia, usia, dan koran apa yang kita baca), yang tak mudah diganggu, kecuali kalau ada kesempatan.
Enambelas tahun lalu, Inggris bertanding imbang melawan Swedia, hasil yang menjamin mereka lolos Piala Dunia 1990. Gambar abadi dari pertandingan itu adalah saat kapten Inggris, Terry Butcher, menyapu bola dengan kepala diperban, dan kaos putih timnasnya yang bersimbah darah yang menetes dari kepalanya yang terluka nyaris sepanjang pertandingan. "Di luar lapangan, aku adalah orang biasa yang lemah-lembut," kata Butcher pada wawancara setahun kemudian. "Namun, begitu aku pakai seragam timnas, aku merasa seperti pakai topi baja dengan sepucuk bayonet yang terhunus. Merdeka atau mati!"
Begitulah orang Inggris lama: bayangan tentang perang, menganggap penting pertandingan 0-0 melawan tim semenjana, pergantian tak terhindarkan bakat dan gaya dengan darah dan luka-luka. Hal itulah yang bikin pening David Beckham, kapten Inggris saat ini, yang bisa mengaku pakai topi baja dan kepala berperban jika dan hanya jika ia terpaksa pakai di sebuah klab malam dengan fashion konyol di Eropa.
Tentu saja itu tidak adil. Di luar wajah dan uangnya, Beckham juga telah bekerja sangat keras untuk menambal apa yang ia kurang sebagai pemain, terutama kecepatannya. Namun, tak diragukan lagi, ia adalah gambaran yang brilian tentang olahragawan Inggris jenis baru: profesional, sadar-media, sesekali marah-marah, dan sangat-sangat kaya.
Maka, lebih dari mencurigakan rasanya ketika para pendukung timnas Inggris yang menonton pertandingan persahabatan melawan Argentina (dilangsungkan di Jenewa, entah apa alasannya) masih menyanyikan lagu "Jangan Menyerah kepada IRA"; mereka masih mencari-cari sosok Terry Butcher dengan bayonetnya dan bukannya David Beckham, orang yang baru-baru ini difoto sedang pakai sarung. Padahal, Inggris macam itu sudah lewat. Kita sudah membom Jerman; dan, setelah 60 tahun, lamat-lamat sudah muncul dugaan bahwa hari-hari itu tak akan terulang lagi dalam waktu dekat; dan dalam pada itu, kita harus menyandarkan diri kepada bocah ganteng kaya yang pakai sarung untuk menendang orang Argentina untuk kita. Kita tak senang dengan itu, tapi mau bagaimana lagi?
***
Pada Piala Dunia 1998, saat paling menegangkan bagiku datang ketika Viera dari Arsenal menyodorkan bola kepada Petit dari Arsenal untuk menciptakan gol ketiga Prancis atas Brazil di final. Aku melonjak-lonjak. (Pagi berikutnya, the Daily Mirror, yang dieditori oleh seorang pemegang tiket musiman Arsenal, menulis kepala judul: ARSENAL JUARA PIALA DUNIA--halaman depan itu aku pigura.) Viera dan Petit adalah bocah-bocahku: aku menghabiskan lebih banyak hari dalam setahun membenci para pemain Inggris demi mereka; jika ada para bangsat dari Manchester United atau Chelsea berhadap-hadapan langsung dengan mereka, bocah-bocah Prancis-ku yang ganteng dan berbakat itu, aku tak ada keberatan kalau bangsat-bangsat itu dibereskan. Itulah saatnya kamu bisa memilih. Allez, les blues.
*diterjemahkan dari "Fan Mail", Nick Hornby, 2013
Obat Aborsi
ReplyDeleteObat Aborsi Cytotec Asli
Jual Obat Aborsi Tuntas
https://lapakobataborsi.com/
Obat Aborsi Ampuh Jual Obat Penggugur Kandungan Tuntas
Jual Obat Penggugur Kandungan
Obat Aborsi
Cara Aborsi Ampuh
https://lapakobataborsi.net/
Promo Terbaru, Buruan Bergabung bersama kami.......
ReplyDeleteAgen Bola,Togel,Sabung Ayam,Bola Tangkas Terbaik Sepanjang Masa.....
Pastikan Anda Tidak Ketinggalan Promo Menarik dari kami.....
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
Live Chat Online 24 JAM NONSTOP !!!
WA : +628122222995
Pin BBM : BOLAVITA / D8C363CA (NEW)
sabung ayam live Bolavita
Haloo Guys , Bingung Mau cari game Online Poker Yang Aman dan Terpercaya .
ReplyDeletedari pada bingung yuk langsung aja Gabung di situs poker terlengkap
dan terpercaya.
Segera bergabung untuk menangkan hadiah utama 10juta di ANAPOKER
WA : 0852-2255-5128
BBM : D8B84EE1 atau AGENS128
Sangat mudah dan praktis bila Anda Daftar Sabung Ayam Menggunakan Linkaja serta kamu juga bisa mendapatkan keuntungan bila transaksi deposit dan withdraw menggunakan Linkaja.
ReplyDeleteDaftar Sabung Ayam Online Menggunakan Linkaja di situs Linkaja88.com, Klik Salah Satu Link dibawah :
https://www.linkaja88.com/cara-daftar-sabung-ayam-online-menggunakan-linkaja
https://medium.com/@bvmaniak/daftar-sabung-ayam-online-menggunakan-linkaja-8c15f4b997ce
https://pemainayam.hatenablog.com/entry/2019/08/04/Daftar_Sabung_Ayam_Online_Menggunakan_Linkaja
Atau hubungi kontak (Customer Service Sabung Ayam Online 24Jam) :
Telegram : @bolavitacc
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita
Tips dan Informasi pasaran Asian Handicap diatas adalah informasi standar yang berlaku di dunia taruhan Internasional khususnya di Asia. Data diatas bisa berbeda-beda dari situs taruhan yang anda mainkan karena tentunya odds dan vooran akan terus bergerak menyesuaikan dengan pasar dan aktifitas bet diseluruh dunia.
ReplyDeleteBagi anda yang berminat Pasang Taruhan Online Sepak Bola Euro 2020, anda bisa langsung mendaftarkan akun untuk produk judi bola seperti SBOBET, Maxbet dan 368Bet yang tersedia disitus kami.
- Bonus Deposit Pertama Member Baru IDR 500.000,-
- Bonus Cashback s.d 10% Setiap Minggu (Bonus tanpa batas)
- Bonus Referral 7% + 2% (Seumur Hidup)
Hubungi Customer Service kami yang gertugas 24 Jam Online Setiap Hari:
WA : +62812-2222-995
Telegram : @bolavitacc
Wechat : Bolavita
Line : cs_bolavita
Informasi Lainnya Klik Salah Satu dibawah :
https://medium.com/@bvmaniak/daftar-game-slot-joker123-pakai-linkaja-linkaja88-com-944ae327e000
Daftar Game Slot Joker123 Pakai Linkaja — Linkaja88.com
Permainan Sabung Ayam Online di Agen BOLAVITA , dengan minimal deposit hanya Rp 25.000 saja , dan minimal betting hanya Rp 10.000 saja sudah bisa mainkan permainan Sabung Ayam
ReplyDeletehttp://agensabungayam.logdown.com/post/7859484-jenis-ayam-bangkok-wido-pembunuh
Produk Kami Judi Sabung Ayam Online S128, SV388 & KungfuChiken.
https://www.sateayam.fun/
https://m1.hj128.club/
Daftar Sabung Ayam sv388
Daftar Sabung Ayam Online S128
Agen Sabung Ayam Online Bolavita Banyak Bonus dan Promo Mari Bergabung :
Promo Sabung Ayam Terbaru 8x Win Beruntun.
Bolavita Bisa Deposit Via OVO & GO-Pay.
Sabung Ayam Deposit Via Pulsa XL & TSEL 25rb.
Promo Promo BOLAVITA
Telegram : +62812-2222-995
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita
Dapatkan keseruan dengan deposit minimal 10ribu di Donaco Poker...Menangkan bonus jackpot hingga puluhan juta rupiah tanpa ribet...
ReplyDeleteIkuti Promo Menarik Setiap Bulannya dari Donaco Poker...Dapatkan Bonus Chip Setiap Hari....
Gunakan OVO pay dan PULSA untuk memudahkan dan mempercepat proses deposit anda!!
Dapatkan Juga Bonus Dari Donaco Poker...
- Bonus Deposit 15% New Member Weekend.
- Bonus Deposit 10% Next Deposit Weekend.
- BONUS DEPOSIT HARIAN 5%
- BONUS ROLLINGAN MINGGUAN 0.5%
- BONUS KEJUTAN LAINNYA
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662
Bonus 8 kali win dan dapatkan bonusnya hanya disini BONUS WIN 8 KALI BERUNTUNi
ReplyDeleteKumpulan Bokep Terupdate Terbaru 2020 BOKEPJAV.ONLINE
ReplyDeleteNONTON VIDIO BOKEP TERBARU
BOKEP HARDCORE
BOKEP INDO JILBAB
BOKEP BARAT 18+
BOKEP INDO
BOKEP JEPANG
Jarang menang dalam permainan Pokervita?
ReplyDeleteAtau
Tidak ada Bonus sama sekali dalam permainan Pokervita yang kamu mainkan?
Jangan khwatir kawan mari join bersama kami
Agent Pokervita ternama & banyak bonusnya
Info hub
WA:0812 2222 996
To be perfectly honest, regardless of those that attempt to do it without anyone else's help, HVAC fix is a task for experts assuming you need it done appropriately. On the off chance that you attempt it yourself you not just have the use this link of getting into the units, and afterward the considerably more prominent issue of affecting a protected fix, however at that point you need to assemble everything back in a protected style.
ReplyDeletegörüntülüshow
ReplyDeleteücretli show
2OZXN