Oleh Mahfud Ikhwan
Judul: Marco van Basten: Era AC Milan dan Oranye; penulis: Zeger van Herwaarden; alih bahasa: Laurens Sipahelut; penerbit: Pena Wormer;
tebal: 254 halaman; tahun: 2006.
Judul: Marco van Basten: Era AC Milan dan Oranye; penulis: Zeger van Herwaarden; alih bahasa: Laurens Sipahelut; penerbit: Pena Wormer;
tebal: 254 halaman; tahun: 2006.
Van Basten memang serupa angsa. Karena itu, orang Italia menjulukinya Il Cigno (si angsa). Ia anggun, elegan, amat memesona, tapi tak ada orang yang bisa mendekatinya. Apalagi membelainya. Ia hanya bisa dikagumi dari kejauhan, tapi tak bisa disentuh. Seusai memesona puluhan ribu penonton di stadion, ia akan bergegas mandi dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Permintaan tandatangan dari fans diberikan sebagai bagian dari pekerjaan, bukan sebentuk basa-basi keramahan. Permintaan wawancara dari juru warta akan ia jawab dan hanya jika berkait dengan sepakbola. Begitu pertanyaan menjurus ke urusan pribadi, dengan enteng ia akan ngeloyor pergi.
Seperti ditulis Van Herwaarden, sejak kecil, satu-satunya hal yang diketahui dan menarik hati Marco muda hanya sepakbola. Ini karena sejak sebelum 10 tahun, saat masih bermain di klub amatir EDO, di kota kelahirannya, Utrecht, Marco telah jadi talenta yang mengundang perhatian. Sementara ayahnya, Joop van Basten, adalah seorang pelatih amatir yang ngomongnya tak lain hanya sepakbola.
Di kamar Marco, tulis Van Herwaarden, setiap malam, sebelum Marco tidur, ayah dan anak Van Basten itu menyempatkan untuk membahas teknik dan taktik sepakbola barang setengah jam. Van Basten senior juga seorang yang sangat keras, terutama kepada anaknya sendiri. Sebagus apapun Marco bermain, Joop tak pernah menunjukkan rasa puasnya. "Dengan kemampuan yang kamu miliki, kamu semestinya jauh lebih baik," demikian hardik Joop pada Marco.
Kerasnya Joop menempa anaknya amat membekas pada Marco. Marco tumbuh jadi remaja yang selalu ingin membuktikan diri. Kepada orang lain, tetapi terutama kepada diri sendiri. "Saya adalah yang terbaik kedua setelah saya," demikian semboyan Van Basten yang, konon, masih dapat ditemukan tertera di meja kerjanya sampai saat ini. Dan semangat itu, yang melengkapi bakat dahsyatnya, mengantar Marco dengan tanpa kesulitan menapaki tangga kebintangannya.
Di Ajax-lah kemudian Van Basten mendapat sentuhan langsung dari legenda sepakbola terbesar Belanda, Johan Cruyff. Jika Van Basten senior menempa Van Basten junior keras terhadap dirinya sendiri, maka Cruyff—yang oleh beberapa kalangan dianggap seorang maniak—mengarahkan Van Basten untuk keras terhadap seluruh dunia. Sang legenda menanamkan dalam-dalam ke pikiran si calon legenda kalau sepakbola pada dasarnya hanya tunduk pada satu hukum: memakan atau dimakan. Cruyff pula yang menanamkan pada benak Van Basten bahwa untuk bertahan menjadi juara diperlukan sikap jemawa. Misalnya, saat Van Basten resah karena hanya jadi cadangan di skuad Belanda untuk Piala Eropa 1988, Cruyff dengan setelah menghasut mengatakan kepadanya: “Kamu penyerang terbaik Eropa... Main sebagai penyerang atau jangan main sama sekali.” Dengan sangat tepat Van Herwaarden mengatakan kalau Cruyff tak hanya membuat Van Basten lebih waspada, tajam, dan lihai, tapi juga lebih keras lagi bengis. Dan memang itulah gambaran lengkap seorang Marco Van Basten, sebagai pribadi maupun sebagai pemain.
Beberapa kisah yang bisa kita temukan di buku ini bisa
diajukan sebagai contoh. Van Basten adalah aktor penting dalam kejadian
memalukan saat skuad Belanda pada kualifikasi Piala Dunia 1990, yang dipelopori
sang kapten, Ruud Gullit, sepakat “mencopot” pelatih mereka sendiri yang kurang
dikenal, Thijs Libregts—sebuah kejadian yang selalu menjadi rujukan setiap
orang yang ingin menelisik mengapa di balik membanjirnya bakat-bakat sepakbola,
Belanda hanya punya seupil piala. Pada lain kesempatan, saat menjadi kapten
timnas Belanda pada kualifikasi Piala Eropa 1992, dengan tanpa belas-kasihan,
Marco meminta pelatih Belanda saat itu, Rinus Michels, agar meminggirkan Wim
Kieft, striker senior yang tidak sukai Marco—dan permintaan itu dituruti.
Tapi, ke-“garang”-an van Basten tak hanya terjadi di luar
lapangan. Menjadi striker hebat di Serie-A yang dikenal karena kebengisan
bek-beknya, van Basten tumbuh menjadi penyerang yang juga bengis. Merasa tak
cukup dilindungi oleh wasit, dan bukan jenis pemain yang suka mengiba kepada wasit untuk minta belas-kasihan, van Basten mengembangkan perlindungan diri dengan
caranya sendiri: membalas. Itulah yang membuatnya disegani. Insiden paling terkenal adalah saat ia membuat bonyok hidung bek Club Brugge, Pascal Plovie, dalam sebuah pertandingan di Piala
Champions. Insiden yang menghasilkan skorsing empat pertandingan (sebelum
dikurangi menjadi tiga) itu, oleh van Basten dengan enteng dianggapnya sebagai
sebuah ‘kecelakaan belaka”. Yang perlu ditambahkan, bonyoknya hidung Plovie ini
hanya berselang dua pekan dari sebuah keributan yang ditimbulkannya saat Milan
kalah lawan Porto, di mana van Basten diklaim telah membuat jontor bibir bek
Porto, Veloso.
***
Dikenal sebagai pribadi yang keras dan dingin, bukan
berarti suasana itulah yang kita dapati sepanjang buku. Dari keanggunan yang
tak tersentuh dari van Basten, yang secara umum menjadi kesimpulan dari buku
ini tentang siapa van Basten, banyak bagian yang justru sangat menyentuh. Ya,
tak sebengis gol-golnya, beberapa bagian dari diri van Basten masih menyikan
drama untuk kita—yang sebagian mungkin tak banyak diketahui oleh para pembaca
tabloid olahraga.
Meski telah menjadi penyerang hebat di Liga Belanda,
kepindahannya ke Milan pada musim kompetisi 1988 tak serta-merta mencuatkan
karirnya ke puncak sebagaimana yang kita ketahui belakangan. Datang ke Milan
dengan ligamen lutut telah rusak, ia melewati musim pertama bersama Rossoneri
dengan lebih banyak menjadi cadangan dari Pietro Paolo Virdis, striker yang
bahkan tak banyak dikenal dalam sejarah AC Milan. Van Herwaarden menggambarkan,
ketika Rudd Gullit dielu-elukan karena menjadi poros utama kesuksesan Milan
merebut Scudetto dari dominasi Napoli-nya Maradona—sebuah gelar yang mengawali era
keemasan Milan pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an—van Basten hanya
duduk-duduk tenang di pinggir lapangan. Ia tak larut dalam kegembiraan tim itu
karena merasa tak menjadi bagian dari kesuksesan tersebut.
Tak cukup sukses pada musim pertamanya di Milan membuat
van Basten hanya jadi ban serep di skuad Belanda untuk Piala Eropa 1988 di
Jerman Barat asuhan Rinus Michels. Menjadi cadangan dari striker yang kini
sudah hampir terlupakan dari memori kita soal timnas Belanda, John Bosman,
Michels memaksa van Basten untuk bermain di sayap kiri dan memberinya nomor
punggung pemain cadangan, 12, yang oleh Basten disebut sebagai “nomor tribun”.
Namun, seperti sebuah film olahraga kacangan, semua orang kemudian tahu, Basten
muncul di akhir turnamen sebagai pahlawan.
Namun, drama terbesar dari kisah van Basten tentu saja
adalah cedera engkelnya. Jika van Basten adalah superhero di dunia sepakbola,
maka cedera engkel ini adalah penjahat tangguh dan licik yang selalu
merongrongnya—dan akhirnya berhasil mengalahkannya. Berlatih terlalu keras, dan
menjadi musuh nomor satu semua bek, van Basten telah hidup dengan cedera sejak
belia, sebagaimana dialami oleh pemain-pemain hebat macam Maradona dan Baggio.
Namun, Basten, dengan kelenturan tubuh yang alami, selalu sukses untuk kembali
ke lapangan dan kembali mencetak gol. Namun, sebuah cedera yang didapatinya
setelah melawan Ancona pada sebuah partai Serie A di mengujung tahun 1992
berbeda. Cedera itulah yang membuatnya menerima penghargaan Pemain Terbaik
Dunia dengan kaki pincang. Cedera itulah yang mengharuskannya berpindah dari
satu dokter bedah ke dokter bedah lain (dengan satu dokter dengan dokter yang lain saling menyalahkan), dari satu meja operasi ke meja operasi
lain, dan–pada akhirnya--dari satu kemungkinan sembuh ke ketidakmungkinan sama
sekali. Cedera itulah--setelah melewati bulan-bulan yang menyakitkan, penuh
darah penuh nanah, penuh penantian yang memutusasakan--akhirnya memaksanya
untuk menyerah. Di usia 28 tahun!
***
Meski bercerita tentang Marco Van Basten dari awal karirnya hingga masa kepelatihannya dengan detail yang mengagumkan, buku ini jelas bukan buku biografi, apalagi otobigrafi. Bukan saja karena terlalu tipis untuk sosok sebesar Van Basten, tapi juga memiliki bentuk yang terlalu aneh untuk sebuah buku riwayat hidup. Zeger Van Herwaarden, sang penulis, menyisipi (atau malah, tepatnya, mengawali) tiap pergantian bab dengan fragmen-fragmen hidupnya sendiri. Tapi, alih-alih mengganggu, fragmen-fragmen pendek hidup penulis ini justru malah menjadikan buku ini menjadi sangat personal bagi penulis. Lebih-lebih lagi, Van Herwaarden menulis dengan cara yang lincah dan cergas, khas gaya para penulis kolom sepakbola Eropa.
Lepas dari bentuknya, ini buku langka yang penting. Penerjemahannya yang langsung dari bahasa Belanda sudah jadi salah satu keistimewaannya. Sebab, dalam khazanah perbukuan Indonesia, biasanya hanya buku-buku ilmiah dan sejarah saja yang diterjemahkan langsung dari bahasa Belanda. Yang perlu dipuji juga adalah usaha penerjemahnya untuk memberdayakan dan mengekplorasi kosa-kata Indonesia dalam penerjemahan ini. Banyak kosa-kata yang jarang—yang sering disangka telah arkais— dipakai penerjemah dalam buku ini. Kata "sintas", “retas”, “dolak-dalik”, "jemawa", atau "langsam" dapat dengan mudah ditemukan dalam buku ini.
Suka atau tidak dengan sepakbola, kenal atau tidak dengan Marco van Basten, buku ini mesti dibaca para olahragawan dan para pencinta dunia olahraga. Selain menyajikan dengan amat manusiawi sosok olahragawan besar seperti Van Basten, buku ini secara langsung maupun tak langsung menunjukkan kepada kita semua—baik sebagai manusia maupun sebagai olahragawan—apa yang mesti dilakukan dan apa yang tak perlu dilakukan. Van Basten menjadi contoh bahwa kebesaran tak bisa diraih dengan usaha biasa-biasa saja: kerja keras, ambisi besar, standar tinggi, kadang malah harus sempurna, adalah tuntutannya. Tapi, jalan hidup Marco juga mengajarkan, tak ada yang lebih berbahaya bagi diri kita kecuali kita sendiri.***
*Dirombak dari
sebuah resensi yang (rupanya) pernah dimuat di harian Analisa edisi Rabu, 17 Februari 2010.
buku yang sangat bagus, sayapun sudah memilikinya, buku yang memang pantas untuk dimiliki terutama oleh de oranje maniak.
ReplyDeletemaaf sebelumnya bro, ane baru baa artikel ini
Deletengomong2 otobiografinya beli dimana?
saya juga sudah memilikinya,ya terlalu tipis utuk sosok sebesar marco van basten da sangat disayangkan tidak disertai foto-foto
ReplyDeleteWinning303
ReplyDeleteMemberikan Permainan Poker Paling Seru dengan Tingkat Kemenangan yang tinggi... Yakin anda susah menang??? coba saja di winning303.. Kemenangan tidak akan jauh dari semangat anda!!
Dapatkan Kemudahan Dengan Deposit Via Pulsa..Bermain Tanpa Ribet...
Proses Cepat dan Aman...
Bonus New member 10%
Bonus Deposit harian
Bonus Rebate mingguan
Winning303 juga menyediakan permainan lain dengan 1 ID...
1. Sportsbook
2. Live Casino
3. Slot Online
4. Lottery/Togel
5. Sabung Ayam
Ayo Langsung bergabung dengan kami...
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: 087785425244