Oleh Mahfud Ikhwan
“Menyaksikan tim
ini bermain memang menyenangkan, tapi agar dianggap hebat, mereka mesti merebut
gelar,” begitu pujian sekaligus peringatan dari legenda timnas Jerman, Gunter
Netzer, di Four-Four Two edisi Piala
Eropa.
Kalimat Netzer
(orang yang pernah membuat pelatih timnas Jerman lain, Rudi Voeller, murka di
depan kamera televisi), juga sebagian besar pendukung Jerman tentunya, jelas
didengar oleh Joachim Low. Di balik pembawaannya yang tenang dan setelan
pakaiannya yang selalu rapi, Joachim Low rupanya menyimpan kegelisahan. Ia
tampaknya tak ingin hanya membuat senang penonton sepakbola. Ia ingin timnya menjadi bagian dari
sejarah sepakbola Jerman yang hebat.
Jogi Low memegang
salah satu tim terbaik di dunia; salah satu tim terbaik Jerman sepanjang masa.
Di tim itu terdapat pemain-pemain dengan skil Amerika Latin dan bisa bermain
tiki-taka pada satu waktu dan bermain Total Football pada waktu lain. Sebuah
tim yang membuat para pembenci Jerman lupa betapa membosankannya tim itu
sebelumnya, sekaligus memberi asa para pendukungnya akan datangnya era
kebangkitan. Kekurangan tim ini cuma satu: gelar juara.
Sejak berada di
bangku cadangan Der Panzer pada 2004,
saat mulai mengasisteni Klinsmann, Low telah merasakan empat semifinal dalam
empat turnamen besar yang diikuti Jerman. Tentu, empat semifinal bukanlah
sesuatu yang sangat istimewa, mengingat mereka adalah Jerman. Namun, bagaimana
tim itu bermain dan betapa mudanya mereka, membuat semua orang terpana.
Tapi, sekali
lagi, tim yang bagus namun tak juara bukanlah Jerman sebagaimana yang kita
kenal. “Jerman,” yang macam itu, kata penulis sepakbola Belanda, Henk Spann,
“adalah Belanda.”
Tentu tak seorang
Jerman pun, tak terkecuali Low, yang ingin timnya seperti Belanda—tim yang
selalu penuh bakat namun lebih dikenang karena nasib buruknya di
turnamen-turnamen besar. Lagi pula, Low tentu tak ingin—dan tak mungkin—jadi
pengamal ajaran Bapak Sepakbola Belanda, Johann Cruijff, bahwa “keindahan lebih
dikenang daripada kemenangan.” Pertama, karena Low bukan Cruijff, yang meskipun
tak mendapat gelar bersama Belanda namun bergelimang gelar di tingkat klub
bersama Ajax dan menjadi dewa di Barcelona. (Bandingkan dengan Low, yang
menghabiskan karir pemainnya dengan klub-klub di divisi bawah Liga Jerman,
sementara gelar tertingginya adalah Piala DFB Pokal bersama Stuttgart dan juara
Liga Austria bersama FC Tirol Innsbruck saat menjadi pelatih.) Kedua, tentu
saja, karena Low orang Jerman.
Seperti semua
pendukung Jerman, Low sepertinya mulai berharap lebih dari sekadar semifinalis,
apalagi sekadar sebutan “tim yang bermain indah”. Itulah yang pada akhirnya
membuat Low harus mendengar kritik dan, ujung-ujungnya, mengubah pendekatannya
terhadap tim. Timnya harus juara, sebagaimana seharusnya tim Jerman. Karena kelihatannya
gelar itu tak dapat dicapai dengan cara yang hampir sewindu ini dipakainya,
maka ia harus memakai cara Jerman—cara yang memberi tim itu tiga bintang di
dada sekaligus predikat terkuat di Eropa.
Lalu, di Polandia-Ukraina,
kita melihat tim yang sangat berbeda dengan tim yang memesona di Afrika Selatan
dua tahun lalu. Sebuah tim yang nyaris klinis.
Sebuah tim yang
meminggirkan pemain penuh gaya sekaligus topscorer Piala Dunia 2010, Thomas
Muller, dan memberikan tempat kepada striker penuntas (penerus tradisi
Klinsmann dan Bierhoff), Mario Gomez—yang dalam dua turnamen besar sebelumnya
selalu jadi cadangan. Sebuah tim yang membuat seniman lapangan seperti Ozil
diharuskan bermain lebih efektif dibanding impresif.
Itulah tim yang
lebih mendekati menakutkan dibanding mengagumkan.
***
Hingga semifinal,
tim Low paling mutakhir ini jelas lebih meyakinkan dibanding dengan Jerman yang
memesona dua tahun lalu. Bahkan, terlihat lebih mengerikan dibanding dengan tim
yang bermain di Euro 1996, di mana gelar terakhir Jerman didapatkan. Di
penyisihan, Jerman jadi satu-satunya tim yang menuai nilai sempurna, meski
berada di grup yang dianggap paling berat. Di perempat final, mereka menghujani
gawang Yunani dengan empat gol yang kesemuanya tampak begitu Jerman: rapi,
terencana, dan tampak tak terbendung. Coba ingat bagaimana cara Lahm, Khedira,
Klose, dan Reus mencetak golnya!
Tapi, seperti
yang telah disebut, tim ini nyaris klinis, dan karena itu nyaris Jerman. Namun,
tentu saja, tim yang nyaris Jerman jelas bukan tim yang benar-benar Jerman.
Sekilas tak ada
yang kurang dari tim ini. Dalam banyak hal, selain jauh lebih muda, tim ini
jauh lebih berbakat dibanding Jerman 1996 yang juara. Di depan, Gomez tampak
tiga kali lebih berbahaya dibanding Bierhoff. Di tengah, kombinasi ketepatan, kekuatan,
dan kelihaian antara Khedira-Schweinteigger-Ozil mungkin adalah yang terbaik
yang pernah dimiliki Jerman. Lalu di belakang... ? Ah, inilah pertanyaan
besarnya. Inilah juga akan memperlihatkan bahwa tim asuhan Low memang “tak
Jerman-Jerman amat”, sebagaimana yang selama ini banyak disangka.
Jerman yang kita
kenal tak hanya mengerikan di penyerangan, tapi membuat segan di sektor
pertahanannya. Bahkan, mungkin, dari sektor inilah kejayaan sepakbola Jerman
dilahirkan. Perhatikan, di area ini, karakter-karakter hebat macam Beckenbeuer,
Vogts, Brehme, Matthaus, Basler, atau Sammer, muncul. Di area ini, dari kaisar
hingga jenderal sepakbola Jerman dihasilkan. Dan, inilah kepingan yang belum
ditemukan dari tim Jerman-nya Low.
Batstuber atau
Hummels jelas bek tengah dengan masa depan cerah dalam lima tahun ke depan. Namun,
pada usia (masih) 23, mereka tampak terlalu hijau untuk meneruskan tradisi yang
membentang dari Der Kaizer hingga
Summer itu.
Kita telah
melihat gejalanya. Menghadapi Yunani di perempat final, tim yang strikernya
hanya mencetak tiga gol, yang dua diantaranya karena blunder kiper dan satunya
dari tendangan penalti, lini belakang Jerman dibuat berantakan pada 15 menit antara
akhir babak pertama dan awal babak kedua. Para pendukung Jerman sempat dibuat
demam hebat saat Samaras, striker yang lemah gemulai itu, yang jadi
kucing-kucingan saat menghadapi bek Argentina di Afrika Selatan dua tahun lalu,
mampu menyamakan kedudukan. Meski mampu bereaksi dengan sangat galak, dan akhirnya
menang dengan telak, menderita dua gol dari tim ‘paling aneh’ di turnamen
menunjukkan bahwa, di depan gawang, Jerman-nya Low tampak rentan.
Lalu, di
semifinal, Italia benar-benar membuktikan betapa rentannya Jerman di belakang.
Dua gol Balotelli, yang masing-masing diawali dari kesalahan Hummels saat
mengawal Cassano dan kelengahan Batstuber dalam mengantisipasi umpan panjang
Montolivo, membuat mereka sekali lagi gagal melewati fase semifinal.
Namun, yang lebih
penting, kegagalan itu juga menunjukkan Jerman-nya Low, Jerman yang sedap
dipandang mata, tak berhasil untuk mencoba kembali menjadi Jerman yang perkasa
itu. Jerman yang tiga kali juara Piala Dunia dan Piala Eropa, sekali lagi,
gagal.
No comments:
Post a Comment