Sejak jauh hari,
saya dipesan teman-teman untuk tak cepat-cepat balik ke Jogja. Tahun-tahun
belakangan ini, mereka punya kebiasaan baru: nonton pertandingan kandang
Persela. Mereka ingin saya ikut serta—sebab mereka tahu, saya belum pernah
melihat secara langsung permainan tim kebanggaan mereka itu. Saya
menyanggupi—dengan senang hati. Maka, tibalah tanggal 31 Mei. Persela
menghadapi Deltras Sidoarjo.
Desa kami mungkin
adalah desa di Lamongan yang terjauh jaraknya dari Stadion Surajaya. Karena
itu, persiapan keberangkatan itu sudah terlihat bahkan sebelum azan dhuhur
mengalun. Beberapa orang dengan atribut Persela sudah tampak bersiap di
pertigaan desa saat saya baru beranjak pulang dari warung kopi untuk pulang dan
bersiap. Tak punya atribut apapun dengan klub yang pada masa remaja saya sama
sekali belum terdengar itu, tak juga memiliki kaos dengan warna abu-abu (warna
yang tak pernah saya punyai kecuali di celana SMA), saya menyabet kaos biru
yang ada di rumah. Di depan masjid, sebuah truk pasir sudah menunggu; seorang
juragan material pencinta Persela menyediakan gratis untuk kami. Benda itulah
yang akan mengantar kami menonton salah satu pentandingan di—mengutip presenter
ANTV—“liga sepakbola terakbar di Indonesia”.
Menunggu semua penonton
yang akan ikut ke Lamongan naik, truk itu tak langsung berangkat. Namun, belum
lagi truk itu berangkat, saya merasa telah sampai ke tujuan yang sebelumnya tak
saya duga akan sampai ke sana: masa lalu. Ya, naik ke bak truk, menunggu semua
yang akan berangkat lengkap, dan seseorang yang jadi ketua rombongan mengutip
uang dari setiap penumpang agar nanti lebih mudah dikoordinasi saat sudah
sampai di lokasi, benar-benar membawa saya ke masa kecil saya, saat saya akan
selalu ikut bapak—dengan antusiasme luar biasa—mengikuti laga-laga tandang tim
kesebelasan desa kami ke desa-desa di seputaran Lamongan-Gresik-Tuban.
Saat itu,
sepakbola di televisi masih jadi sekadar pesta empat tahunan saja. Galatama
masih ada, Perserikatan masih dimainkan, tapi hampir semuanya—kecuali beberapa
partai penting—hanya disimak dari radio sebagai siaran pandangan mata. Liga
Indonesia edisi pertama bahkan belum terdengar sedang direncanakan. Dengan truk
bak terbuka, kami mengantar kesebelasan desa kami, Persatuan Sepakbola
Karangtaruna (Perseka) Lembor, ke banyak desa lain. Dengan truk kami menang,
kalah, senang, susah. Dengan truk juga, tanpa bermaksud berlebihan, kami bertemu
sukacita dan juga bencana. Kami, tim dari sebuah desa tak dikenal, pernah
menantang kesebelasan besar dan menang saat tandang. Tapi, kami pernah dipaksa
pulang berjalan kaki puluhan kilo meter ketika, tanpa disengaja, truk yang kami
tumpangi diamanakan polisi setelah melindas mati seorang pejalan kaki.
Tak diragukan,
truk adalah bagian dari sejarah sepakbola di desa kami.
(Liga) Indonesia bagian dari (Sepakbola) Desa Saya
Tapi, sebenarnya,
beberapa hari sebelum keberangkatan ke Lamongan itu, aroma masa lalu itu telah
tercium. Dua pekan sebelum pertandingan yang hendak kami tonton itu,
tongkrongan dan lingkaran-lingkaran obrolan di bangku-bangku pinggir jalan atau
di meja-meja warung kopi, sepakbola Indonesia adalah menu obrolan utama,
terutama soal kekalahan yang tragis dan menyesakkan dari PSMS Medan pada 20 Mei
2012. Tentu bukan karena obrolan itu serupa obrolan Abraham Isnan dengan John
Halmahera pada ujung siaran pertandingan semifinal Perserikatan antara PSMS
Medan vs Perseman Manokwari atau narasi Max Sopacua untuk sebuah review dari partai
kompetisi Galatama antara Perkesa Mataram vs BPD Jateng di acara Arena dan Juara. Tapi karena obrolan
soal kekalahan Persela itu serupa sekali dengan saat kami dulu mengobrolkan
kekalahan kesebelasan desa kami sendiri.
Persela kalah
pada sebuah pertandingan yang seru tapi brutal. Sempat dua kali unggul dengan
selisih dua gol, Persela akhirnya kalah dari PSMS dengan angka 4-3. Merasa
diperlakukan tidak adil oleh wasit Suharto dan terintimidasi oleh penonton di
Stadion Teladan, juga pasti karena kecewa terhadap diri sendiri sebab tak
sanggup mempertahankan keunggulan, para pemain Persela mengamuk dengan
menyerang wasit Suharto.
Teman-teman di
warung kopi tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Uniknya, cara kegusaran soal
kekalahan Persela itulah yang mengingatkan saya pada cara kami merutuki
kekalahan kesebelasan desa kami sendiri. Ketika mereka bicara soal Dedi Indra yang
diseret keluar oleh Osas Marvelous saat cedera (atau mungkin pura-pura cedera),
terasa seakan-akan Dedi Indra adalah teman atau tetangga kami. Cara mereka
memaki pemain-pemain PSMS, mencela kepemimpinan wasit, dan mengutuk perlakuan
buruk suporter Ayam Kinantan, seakan tim, wasit, dan para suporter ini secara
geografis terjangkau oleh kami dan sewaktu-waktu kami bisa menggruduk mereka
jika berpapasan di jalanan—seperti yang banyak terjadi di desa-desa di kawasan
Pantura Lamongan.
Meski tak
memiliki reputasi sebagai biang onar, kami biasa menyebut pertandingan
sepakbola sebagai musuhan. Jadi, kami
terbiasa menyikapi sebuah pertandingan sepakbola sebagai ajang pertempuran dan sering
kali pembalasan dendam. Nada-nada serupa itulah yang mewarnai pembicaraan
tentang kekalahan itu. Mereka mengutuk cara pemain Persela diperlakukan oleh
suporter PSMS. Tapi, mereka mengutuk diri sendiri karena tak akan bisa
melampiaskan dendam pada PSMS dan suporternya secepatnya, karena PSMS sudah
lebih dulu tandang ke Persela pada putaran pertama. Oleh sebab itu, mereka tak
sabar menunggu musim berikutnya. Tapi, di samping itu, mereka telah mengancam akan
diam-diam membawa panah ke stadion jika sewaktu-waktu wasit Suharto bertugas di
Stadion Surajaya. (Tentu saja, ucapan itu agak sulit dipercaya kesungguhannya.
Kami bukan warga desa yang punya catatan sebagai biang rusuh; beberapa desa
tetangga malah mengcap warga desa kami sebagai penonton yang terlalu kalem,
meski memiliki kesebelasan yang cukup disegani di kawasan sekitar. Lagi pula, saya
tak tahu, bagaimana cara mereka menyembunyikan panah itu dari pihak keamanan.
Saya juga tak tahu, siapa di antara mereka yang masih memiliki kepandaian
memanah. Apalagi, setelah tahu, kalau jarak antara tribun dan lapangan di
Surajaya sangatlah jauh.)
Cara dan ekspresi
itu tidak mengejutkan di satu sisi, tapi mengejutkan di sisi lain. Tidak
mengejutkan, sebab saya sangat mengenal ekspresi semacam itu; itulah cara purba
kami menyikapi sebuah pertandingan sepakbola. Tapi, sekaligus mengejutkan,
karena pada dasarnya saya menduga telah banyak hal berubah berkait dengan
persepsi kami terhadap sepakbola. Dan, saya ternyata salah.
Desa saya selalu
tergila-gila dengan sepakbola, itu tak diragukan. Namun, sepanjang yang bisa
saya ingat, dulu, kegilaan itu tak banyak beranjak dari batas-batas desa. Jadi,
satu-satunya sepakbola yang benar-benar mampu menyita perhatian mereka adalah
kesebelasan desa kami sendiri. Kebanyakan orang tentu menonton
pertandingan-pertandingan tim nasional Indonesia yang disiarkan TVRI. Juga
siaran Piala Dunia empat tahunan di saluran yang sama. Tapi, hanya di situ
saja. Sepakbola level klub, entah itu di liga-liga Eropa yang apalagi klub di
Indonesia, tak pernah menjadi perhatian mereka—seperti yang belakangan ini
terjadi.
Saya masih ingat
dengan jelas, pada akhir ’80-an, orang-orang mengutip kalimat bapak saya,
“Hancur Kramayuda!”, dengan nada mengejek. Itu terjadi karena
bapak saya, mungkin dengan sedikit naif, bercerita kepada banyak orang tentang
kekalahan telak Kramayudha atas Niac Mitra pada sebuah pertandingan Galatama
yang biasa disimaknya lewat siaran RRI Surabaya, sementara hampir tak ada
orang selain dirinya di seantero desa yang mengenal apa itu Kramayudha dan tak
cukup peduli apakah klub itu hancur atau berjaya. Siaran laga-laga Liga
Indonesia musim-musim awal biasanya saya tonton sendirian, karena teman-teman seumuran
biasanya lebih memilih berangkat ke lapangan untuk main bola. Bahkan, pada
1995, bersama seorang teman, saya musti berjalan malam-malam sejarak
sepenanakan nasi melewati batas desa dan hutan bambu agar bisa menonton final
Liga Champions antara AC Milan vs Ajax di sebuah pesawat tv hitam-putih di desa
sebelah, karena saat itu tak satu pun pemilik pesawat tv di desa saya tertarik menyalakan
tv untuk final Liga Champions.
Listrik yang
masuk belakangan, dan teknologi elektronik yang semakin terjangkau harganya,
juga banjir siaran sepakbola di media siar kita, jelas mempengaruhi cara mereka
mencerna dan menikmati sepakbola. Misalnya, final Liga Champions, sekarang
selalu ditonton dengan pakai layar besar, bahkan dengan acara-acara setengah
pesta—paling tidak, sudah dua tahun berturut-turut ini saya mengalaminya.
Tapi, kemunculan
Persela ke pentas sepakbola nasional 10 tahun terakhir, tampaknya membawa
dampak sangat besar—terutama pada cara cerna mereka terhadap sepakbola
Indonesia. Jika 15 tahun lalu, orang-orang tak memedulikan klub besar macam Kramayudha,
kini mereka membicarakan perpindahan seorang striker tak dikenal dari PSAP
Sigli ke Persiram Raja Ampat seakan dia adalah Eden Hazard. Di sebuah dinding warung
kopi, jadwal laga Persela yang disiarkan ANTV ditempel rapi dan hati-hati
seakan itu adalah jadwal imsakiyah bulan Ramadan.
Tapi, untuk
banyak hal—seperti yang sebagian telah saya ceritakan—tak banyak yang berubah. Kecuali
scraft ala Inggris Raya yang melilit
di leher dan topi bertanduk ala penonton Skandinavia, tak cukup terlihat ada
gejala “kebarat-baratan” pada para penonton generasi baru. Tubuh dan kepala
mereka, gerak-gerik dan pola perilaku menonton sepakbola, tak terlalu berbeda
dengan bapak-bapak kami dulu. (Mulut-mulut kotor yang celometan mulai dari atas
truk dan kemudian berlanjut di pinggir lapangan tak pernah berubah dari dekade
ke dekade, demikian juga perasaan puas saat melihat pemain tim yang didukungnya
menggasak pemain tim lawan hingga terkapar, masih seperti yang dulu-dulu.) Mungkin
ada tanda-tanda pengglobalan sepakbola tengah terjadi di desa kami, tapi yang
jauh lebih kentara adalah pelokalan yang nasional maupun yang global.
Dalam kasus Persela, tampak jelas bahwa sesuatu yang nasional (Liga Indonesia) diringkus dalam cara pandang yang tetap lokal (ala tarkam dan galadesa). Artinya, seiring dengan semakin semaraknya persepakbolaan Indonesia pada level klub, bukan desa kami yang mulai masuk jadi bagian dari sepakbola Indonesia, tapi sepakbola Indonesialah yang justru jadi bagian dari cara pandang sepakbola di desa kami.
Surajaya: yang Desa, yang Indonesia, yang Italia
Memasuki kawasan
Surajaya menjelang pertandingan, memberi kita pemandangan yang umum ditemukan
pada stadion-stadion di Indonesia: pasar kaget bertebaran, calo tiket
berkeliaran, berkompi-kompi petugas keamanan, dan suporter-suporter berusia
tanggung yang berjubelan. Tapi, begitu masuk, saya menemukan hal yang relatif
sama dengan apa yang saya temukan terjadi di desa saya: sepakbola Indonesia dan
segala anomalinya.
Secara fisik,
Surajaya menjelaskan secara hampir sempurna apa yang terjadi dengan sepakbola
Indonesia. Lapangan pertandingan, ke arah mana kamera televisi ANTV hari itu akan
menyorotkan moncong lensanya, tampak dengan sekuat tenaga dibuat untuk terlihat
bagus di layar kaca. Dibanding yang kita lihat di televisi pada awal musim
kompetisi, permukaan lapangan jelas tampak jauh lebih baik, meski beberapa
cekungan masih bisa dilihat dari kejauhan, sementara garis lapangan,
sebaliknya, terlihat agak samar. Kita tahu, semakin dekat ke 2014,
lapangan-lapangan yang muncul di layar kaca, tak boleh kalah rapi dengan wajah
para calon presiden.
Tribun juga
menunjukkan wajah sesuangguhnya sepakbola kita. Jarak yang jauh dari lapangan
(mungkin mencapai 10 meter), dengan parit yang lebar dan pagar yang tinggi,
menjelaskan bagaimana suporter sepakbola kita dipersepsi—bahkan oleh para
stakeholder sepakbolanya sendiri. Jarak lapangan dan tribun yang begitu jauh,
juga parit dan pagar, sangat bisa diartikan bahwa dalam sepakbola kita,
suporter masih ada dalam posisi dipinggirkan sekaligus juga ditakuti. Kebersihan
tribun, yang kontras dengan terawatnya lapangan, juga menegaskan bagaimana
suporter diposisikan. Teras terlebar sekaligus terbawah dan terdekat dengan
parit di tribun timur, misal, yang tak akan mungkin kita temukan terpampang di
layar kaca, seperti jalan setapak kotor tempat comberan yang mulai kering
menyatu dengan sampah sobekan karcis yang dipindahkan oleh angin dari pintu
masuk, tampaknya tak dibersihkan selama semusim terakhir. Dan, penonton musti
membayar 20 ribu untuk tribun semacam itu.
Dalam tribun yang
semacam itu, tentu sedikit berlebihan jika diharapkan menjadi tempat yang
nyaman bagi keluarga, tempat para ibu muda dan anak-anak manis menikmati manisnya
hiburan yang disediakan suami dan ayah budiman mereka. Mungkin akan muncul
satu-dua gadis manis di layar kaca dari tempat itu (karena para juru kamera
ANTV memang sebisa mungkin mencarinya). Tapi, selebihnya adalah bocah-bocah
tanggung dan para lelaki dewasa—sebagaimana yang bisa kita temukan di
pinggir-pinggir lapangan desa saat sepakbola sekaligus adu kejantanan dipertontonkan.
Maka, adegan yang biasa dijumpai di pinggir lapangan atau jalan desa juga masih
bisa ditemukan di sebagian besar sektor di Surajaya. Setiap perempuan yang
lewat, apalagi wandu (transgender), akan
langsung disambut dengan sorakan dan siulan penuh gairah seakan Gustavo Lopez
baru saja mengirim umpan indah.
Mencoba mencari
suasana yang berbeda, saya dan beberapa teman memutuskan untuk mencari tempat
lain. Saya menuju tribun belakang gawang di sektor utara. Pertama, karena
alasan praktis bahwa tribun itu masih kosong-melompong saat kami datang. Kedua,
tahu sendirilah... Masih tetap kosong hingga mendekati waktu pertandingan,
suasana berbeda itu kemudian muncul. Secara bersamaan, datang ratusan orang
dengan kaos hitam—yang jelas tampak berbeda dengan lautan warna abu-abu di sore
itu. Terdiri atas lelaki dan perempuan, hampir keseluruhan dari mereka adalah
bocah-bocah tanggung—beberapa bahkan mungkin saja masih di tahun awal sekolah
menengah pertamanya. Tulisan di kaos yang mereka pakai dan bendera-bendera
raksasa yang mereka bawa memberi tahu siapa mereka. Paling tidak, dalam
rombongan itu, saya mencatat dua identitas: pertama, Ultras Persela; kedua,
Curva Boys. Semboyan-semboyan disablonkan di punggung, dan yel-yel yang mulai
mereka teriakkan begitu seluruh anggota rombongan itu telah lengkap menjelaskan
dari mana mereka meniru. “Forza Persela Vinci Per Noi” tertulis di punggung
kaos hitam dengan sablon warna abu-abu. “Forza Persela! Persela Campeone!”
diteriakkan oleh pemandu yang kemudian diikuti oleh semua anggota.
Suasana berbeda
itu jelas melebihi ekspektasi. Untuk beberapa saat, saya seperti tidak berada
di sektor utara Stadion Surajaya, tapi di curva
sud stadion-stadion kecil namun riuh di Italia; mungkin di Via del Mare milik
Lecce atau di Armando Picchi-nya Livorno. Atraktif bahkan sejak pertandingan
belum dimulai, mereka pastilah idaman produser acara olahraga tv mana pun juga.
Membuat lagu-lagu sendiri yang hampir semuanya baru, tak ikut-ikutan
menyanyikan “Iwak Peyek” atau
lagu-lagu umpatan untuk Bonek, mereka juga akan mudah disukai oleh para penyuka
sepakbola terdidik yang ingin melihat sepakbola kita tampak lebih “beradab”.
Bahkan, seorang teman yang menonton di tribun lain mengagumi kekompakan mereka
ketika serempak mencopot kaos saat hujan menderas. “Seperti semangkuk coklat,”
begitu kira-kira komentar teman itu seusai pertandingan. Dan, jika saya
menonton di rumah, saya pasti akan menyukai mereka.
Tapi, terus
terang, mereka bukan teman menonton di stadion yang menyenangkan—paling tidak
untuk saya pribadi. Mereka terus bernyanyi, menari, bertepuk tangan, menabuh drum,
berloncatan, meneriakkan yel-yel, membuat gerakan pozhnan ala suporter Man City secara berulang-ulang, tapi saya
hampir-hampir tak menemukan mereka menonton sepakbola. Saya bahkan tak melihat
ekpresi mereka berubah (apakah menjadi kendor atau malah menggila) saat gol
Qischil pada menit ke-40-an (saya tak tahu persisnya) membuat Persela
tertinggal dari Deltras. Itu jelas membingungkan.
Karena saya dan
beberapa teman berada di tengah-tengah mereka, dan karena itu dengan terpaksa
maupun sukarela musti ikut nyanyian, gerakan, dan yel-yel mereka, sepanjang
pertandingan babak pertama, saya sangat sulit memfokuskan pandang ke
pertandingan yang berlangsung di lapangan. (Jarak tribun yang jauh dan hujan
sangat deras menjadi masalah lain juga.) Mungkin ini prasangka, tapi,
rasa-rasanya, saya menduga mereka datang ke stadion bukannya untuk melihat
suguhan umpan-umpan Gustavo Lopez dan gol-gol Mario Costas (sebagaimana yang
mereka nyanyikan), tapi ingin menyuguhkan “permainan” mereka sendiri. Karena
itulah, begitu pergantian babak, kami memutuskan untuk menyingkir ke tribun
lain.
Masih di lokasi
yang sama, namun berbatas sekat, saya akhirnya menemukan tribun yang membuat
saya at home (proposisi yang aneh,
‘kan?). Sektor itu didominasi anak-anak dan perempuan. Tapi, justru, tepat di
sinilah atmosfir pertandingan paling bagus bisa ditemukan. Setiap kejadian
kecil di lapangan memperoleh reaksi yang sesuai. Peluang yang gagal mendapatkan
pujian sekaligus umpatan, serangan yang berbahaya mendapatkan sorakan dan tepuk
tangan, dan sebuah gol penyama membuat kami semua keranjingan. Seorang
perempuan berkerudung yang duduk di teras di belakang saya menegur saya yang
berdiri karena merasa terhalang. Sebentar kemudian ia terdengar memaki Rudi
Widodo yang salah umpan. Dan lain kali, bersama anaknya yang kira-kira 10
tahunan, juga bersama sebagian besar seluruh keduanya serempak memaki wasit Thoriq Alkatiri
yang tak mengesahkan gol Jimmy Suparno.
Menjelang
pertandingan berakhir, terjadi keributan di sektor di samping kami; sektor yang
kami tempati pada babak pertama, tempat para Ultras dan Curva Boys berada.
Polisi merangsek ke arah mereka setelah mereka menggangu pertandingan dengan
bom asap yang kelewat tebal. Beberapa orang jelas terluka.
Dari Truk Kembali ke Truk
Sepanjang
pertandingan, cuacanya buruk. Persela juga bermain buruk. Hasil pertandingan
mengecewakan. Saya kedinginan karena basah kuyup, sementara pakaian ganti di
dalam tas juga ikut basah akibat derasnya hujan. Kami kembali ke truk dan mulai
membuat catatan, dalam pikiran.
Lamongan, 1-3 Juni 2012
weh, aku wae sampek saiki durung pernah nonton langsung Persela tanding nang surajaya kang,
ReplyDeletelha kowe sopo? wong endi? ;D
Deletejadi rindu Surajaya
Deletejiah lali gak gawe identitas kang...konco IPA-1 Komeng
DeleteMas Bro,,, bisa minta no contact sampean ? fb ? twitter ? gamasalah. saya mau tanya2 tentang stadion surajaya. . . trims, salam kenal
ReplyDeletesilakan memberi nama lengkap,biar enak. trus bisa cari akun fb Mahfud Ikhwan atau kirim email ke belakanggawang@gmail.com. begitu, oke?
ReplyDeletenamun, jika untuk obrolan spesifik soal Surajaya (apalagi jika itu berkait dengan detil)saya rasa penulis-penulis di belakanggawang bukan orang yang sangat tepat. Saya (mahfud Ikhwan) bahkan menghasilkan tulisan ini dari kunjungan pertama ke stadion itu. Dan, sejauh ini, itulah kunjungan satu-satunya yang pernah saya lakukan.
sangarrr
ReplyDeleteMesen kaos pie cak
ReplyDeleteMesen kaos pie cak
ReplyDeleteHalo, Boy Moslem. Itu kaos dipakai oleh para Curva Boys Persela. Aku hanya ambil fotonya. Jadi, aku tak tahu kamu harus mesen di mana.
DeleteSangar Truk
ReplyDeleteSlot yang Lagi Gacor ni Boosku ... Pasti JP Boosku ...
ReplyDeleteBonus New Member Slot 100%
Tentunya di Agent Slot Online
KLIK >>> BVGAMING
JOIN NOW !!!
Dapatkan ragam permainan Slot terlengkap
Serta Bonus Menarik setiap harinya
Da Vinci’s Treasure adalah permainan slot 5 gulungan dan 3 line dengan banyak fitur menyenangkan dan 25 payline yang memberi Anda kemenangan 48,000 kali lipat dari taruhan Anda.
Silahkan kunjungi Review Game Slot Terbaru dan slalu update hanya di Demoslot
KLIK >>> REVIEW DEMO SLOT ONLINE
KLIK >>> FACEBOOK DEMO SLOT ONLINE
KLIK >>> TWITTER DEMO SLOT ONLINE
KLIK >>> INSTAGRAM DEMO SLOT ONLINE
KLIK >>> REGISTER BVGAMING
KLIK >>> PROMO BOLAVITA
Nikmati permainan menarik lainnya secara GRATISS.
BANTUAN & DUKUNGAN
Customer Service 24 Jam
WA +62-813-7705-5002
WA +62 812-1495-2061
Antalya
ReplyDeleteKonya
Adana
Ankara
Van
İQN67
kars
ReplyDeletesinop
sakarya
ankara
çorum
1D7
CCA15
ReplyDeleteMaraş Şehirler Arası Nakliyat
Karabük Şehir İçi Nakliyat
Bingöl Evden Eve Nakliyat
Malatya Şehirler Arası Nakliyat
İzmir Şehir İçi Nakliyat
Çerkezköy Yol Yardım
İzmir Şehirler Arası Nakliyat
Aksaray Parça Eşya Taşıma
Antalya Rent A Car
F13D0
ReplyDeleteorder turinabol
order pharmacy steroids
order dianabol methandienone
masteron for sale
anapolon oxymetholone for sale
primobolan for sale
buy testosterone propionat
buy halotestin
winstrol stanozolol for sale
CD5FD
ReplyDeletegörüntülü sohbet kadınlarla
sohbet uygulamaları
bolu rastgele sohbet uygulaması
sesli sohbet sesli chat
kırıkkale parasız sohbet siteleri
zonguldak kızlarla canlı sohbet
yabancı görüntülü sohbet siteleri
balıkesir canlı sohbet et
sohbet chat
4E6EE
ReplyDeletebayburt canlı görüntülü sohbet siteleri
sesli sohbet uygulamaları
zonguldak en iyi ücretsiz sohbet uygulamaları
kilis mobil sohbet et
mersin random görüntülü sohbet
Rize Canlı Sohbet Et
Şırnak Random Görüntülü Sohbet
görüntülü sohbet kadınlarla
isparta canli sohbet
E3BA6
ReplyDeleteBinance Referans Kodu
Aion Coin Hangi Borsada
Bitcoin Kazanma
Bitcoin Nasıl Üretilir
Binance Madenciliği Nedir
Likee App Takipçi Hilesi
Coin Çıkarma Siteleri
Onlyfans Beğeni Hilesi
Mefa Coin Hangi Borsada
F7C961D787
ReplyDeleteskype show sitesi
ISTANAIMPIAN1 - Temukan pengalaman bermain slot online terbaik di IstanaImpian1. Daftar sekarang dan nikmati berbagai fitur unggulan serta promo menarik.
ReplyDelete