Oleh Darmanto Simaepa
Sepuluh tahun adalah waktu yang dibutuhkan Roman Abramovic untuk bisa mengangkat piala Champion. Itu adalah waktu yang sangat lama bagi seseorang yang bisa membeli apa saja di dunia semudah memilih buah mangga. Ia telah melakukan segala yang bisa dilakukan oleh seseorang dengan obsesinya: menggelontorkan uang, memberhentikan para direktur, membajak pemain, atau mempekerjakan pelatih terbaik. Selama satu dekade, uang yang dihabiskan Abramovic untuk mewujudkan ambisinya cukup memberi makan seperempat penduduk miskin Afrika. Ketaksabarannya meminta korban delapan pelatih hebat yang telah memberinya gelar ganda. Sementara, satu pemegang piala dunia dan lima lainnya yang menjadi pemenang di klub asalnya, yang tak sempat memberi trofi, dipecat dengan cara yang brutal. Dengan segala apa yang telah dilakukannya, kita bisa menaksir berapa harga senyum malu-malunya saat menerima si kuping lebar itu dari Drogba.
Abramovic bukanlah taipan besar modern pertama yang terobsesi dengan piala itu. Dua puluh lima tahun lalu, Berlusconi mendatangkan trio Belanda, memberi wasit banyak hadiah mewah, dan merekayasa acara televisi hingga konstitusi Italia agar bisa menciuminya. Era sebelumnya, Keluarga Agnelli di Italia ‘menciptakan’ Juve modern, membeli Platini dan menyogok pejabat asosiasi agar bisa menaruh piala itu sebagai benda keramat di museum keluarga. Di Marseille, Bernard Tapie membayari pemain lawan agar pura-pura bermain, mengemplang pajak, memberi Beckenbauer cek kosong dan mengumpulkan seluruh bintang Ligue agar Marseille memberinya koleksi piala Champion.
Obsesi orang-orang kaya terhadap piala ini bukanlah fenomena kemarin pagi. Sepakbola, terutama seusai perang dunia kedua, telah menjadi institusi modern yang peranannya kurang lebih menyerupai agama dan negara di suatu masa. Lapangan sepakbola adalah katedral modern yang sama pentingnya dengan piramida, candi, masjid, kuil atau gereja. Dengan kemampuan mentransformasikan kehidupan global dan menjangkau geografi dari Afrika hingga Antartika, jelaslah, sepakbola memiliki daya undang bagi orang yang punya kekayaan dan kekuasaan besar untuk menunjukkan gairah bersaingnya. Dan ya, tidak perlu jauh-jauh ke Eropa, Indonesia punya dualisme liga dengan dua kelompok kuat yang saling berebut pengaruh sepakbola.
Kompetisi dan piala adalah simbol dari persaingan meraih kejayaan dan keunggulan—yang dulunya disediakan oleh agama, politik atau peperangan. Sepakbola, secara unik menempati ceruk sosial tersendiri dalam kehidupan kontemporer kita. Daya tarik terbesarnya adalah, ketika di zaman modern ini, ilmu pengetahuan telah menghancurkan misteri dan dengan uang semua hampir semua hal bisa terbeli, sepakbola menyediakan suatu ruang dimana rasionalitas bisa kalah dan kekayaan tidak bisa menjamin trofi.
Konon para pemujanya berpendapat, sepakbola memiliki pesona yang jarang dimiliki olahraga modern lain. Ini adalah olahraga yang paling sukar diprediksi, penuh dengan drama, dan keajaiban. Mereka tidak salah kalau kita menengok final Champion di Athena, Istanbul atau Allianz Arena. Pertandingan-pertandingan itu menunjukkan, setiap momen dalam sepakbola modern seolah-olah menciptakan dan diciptakan oleh misteri dan ketakterdugaan. Sepakbola mentransformasikan ketidakmungkinan menjadi kenyataan.
Sepakbola—beserta segenap misterinya—seperti halnya keris, kuda, dan kursi emas raja bagi orang Jawa lama, adalah sebuah kombinasi antara kekuasaan, kekayaan serta intervensi takdir, dan yang sering dilupakan, nasib baik. Piala menggambarkan antara misteri, obsesi dan sekaligus relativitas sebuah usaha dan rencana. Semakin sukar ia diraih, ia semakin menjadi obsesi. Semakin menjadi obsesi, semakin sulit dicapai.
Bagi orang kaya yang telah memiliki segalanya, trofi adalah tantangan menggerakkan nyali. ‘Menyentuhnya,’ ujar Berlusconi ketika Milan mendapat piala Champion pertama kali, ‘memberi perasaan lebih hebat dari upacara pelantikan Perdana Menteri’. Jika mobil mewah, jet dan kursi kekuasaan tidak memberi kepuasan, sepakbola dan piala bisa memberi nilai tambah.
Namun, perlu diingat, sepakbola adalah wakil dari zaman tertentu saja. Ia memang istimewa hari ini, tetapi juga tidak terlalu istimewa bila dibandingkan dengan peristiwa yang dilalui oleh sejarah manusia. Obsesi terhadap ‘piala’ adalah tema yang hampir kita temukan dalam sejarah peradaban. Jika orang kaya jaman Roma terobsesi dengan pedang para Gladiator, bankir abad pertengahan dengan lukisan da Vinci, bangsawan Inggris dengan pacuan kuda, pengusaha Jawa masa akhir kolonial—yang seperti di tulis oleh Mrazek—dengan mobil dan kereta kencana. Sementara jaman sekarang, para miliarder terobsesi dengan klub dan piala sepakbola.
Biasanya, sebuah obsesi bisa menciptakan tragedi. Ia bisa menyebabkan akal sehat lenyap dan naluri pegang kendali. Tuan-tuan tanah Jawa rela membunuh tetangganya sendiri agar mendapat baju dan peci kompeni, Kaisar Maya dan Inca mengubur ribuan jantung manusia yang masih berdetak di Piramidanya, doktor Faust rela menukar jiwanya dengan iblis untuk kehidupan abadi.
*****
Para penganjur demokratisasi dan pejuang sayap kiri akan mengatakan bahwa klub-klub sepakbola harus berada ditangan societe—seperti di Spanyol. Atau paling tidak, seperti aturan di liga Jerman, anggota klub harus menguasai 51% saham. Dengan cara itu, para societe yang sebagian besar adalah buruh-buruh pabrik dan kelas pekerja masih bisa mempengaruhi pemilihan presiden, transfer pemain, harga tiket, dan neraca keuangan klub. Namun, seringkali, gambaran diatas kertas tidak sesuai dalam praktiknya. Seperti yang dibilang FourFourTwo edisi Juli tahun lalu, meskipun kisah Spanyol dan Jerman menggambarkan kemenangan ‘sosialisme demokrat’ sepakbola, pada faktanya tetap saja Perez atau del Nido yang paling berkuasa di bandingkan societe.
Kekhawatiran hilangnya kekuasaan anggota klub dan merajalela para taipan telah lama timbul tenggelam—namun pada akhirnya banyak diabaikan. Saat Berlusconi membeli Milan tahun 1980an banyak orang menuding sepakbola akan menjadi alat investasi belaka. Tentu saja, para penuduh mudah membeberkan buktinya. Berlusconi merebut kursi perdana menteri, meluaskan jaringan televisi dan menggembungkan mesin keuanganya. Saat Glazer membeli MU dengan utang bank dan menghisap penghasilan klub untuk kerajaan asuransinya, kekhawatiran suporter menemukan kenyataan. Klub ini menumpuk hutang dan semakin irit belanja pemain, semetara para fans setia harus menerima kenyataan tiket terusan dinaikkan.
Terkadang, sesekali saya mengimajinasikan bahwa orang-orang kaya menjadikan sepakbola hanya sebagai barang mainan. Seperti anak kecil yang terobsesi dengan kereta api mainan hadiah ulang tahunnya yang ketiga. Terkadang, saya membayangkan mereka adalah orang yang hanya butuh pelarian karena tidak ada cara lain untuk memuaskan nalurinya. Sesekali saya berfantasi syekh Mansur yang bertepuk-tepuk tangan kecil ketika City dekat menuju gelar juara seperti kaisar-kaisar Roma di tempat terbaik di Colloseum yang senang hatinya melihat para gladiatornya mengalahkan singa atau lawan-lawannya. Atau terkadang, saya memikirkan bahwa Torres, Ronaldo dan Messi adalah kuda-kuda pacuan yang mahal harganya, yang dibeli tuan-tuan tanah dan Baron Eropa agar bisa menaikkan dasinya.
Tetapi, sudahlah, tidak ada sejarah sepakbola yang tidak sarat kepentingan ekonomi-politik. Mimpi sepakbola jauh dari politik dan bersih dari bisnis, sepertinya, hanya ada di surga. Orang yang hanya melihat munculnya keserakahan dan akumulasi keuntungan dari keterlibatan para konglomerat ini seperti melihat uang logam hanya dari satu sisi. Dunia sudah berlari begitu jauh, idealisme dan utopianisme hampir ketinggalan jauh di belakang. Sepakbola bukan permainan hiburan warga Cina jelata sebelum masehi. Kompetisi sepakbola tidak lagi sebatas pelarian buruh pabrik setelah sepekan hidup ditengah cerobong asap dan mesin uap. Jaman ini, sepakbola terbaik tidak dimainkan secara paruh waktu di lapangan becek dekat pemintalan kapas.
Realitasnya hari ini, hampir semua klub top dimiliki oligarki dan para tuan kerajaan bisnis. Cepat atau lambat, orang-orang kaya baru akan segera mengikutinya. Seperti halnya tanah, kopi, kelapa sawit atau komputer, sepakbola adalah komoditi yang memberi peluang sistem akumulasi. Jadi, tidak heran jika para oligarki media, pedagang minyak bumi, pengembang perumahan, pemilik pabrik mobil hingga peternak sapi berlomba-lomba untuk meraihnya. Motif ekonomi dan keuntungan simbolik para pemilik jelas menjadi bagian dari aspek pembelian sepakbola.
Inilah paradoks sepakbola yang kita cintai. Ia merupakan cermin paradoks kehidupan ‘modern’ itu sendiri. Sepakbola terus hidup, semakin menarik dan menjadi obsesi milyaran penduduk dunia karena ia menjadi bagian dari siklus produksi dan akumulasi. Ia luas tersebar, dan seperti udara segar, membuat banyak orang tidak bisa hidup tanpanya.
Jadi apakah dengan fakta dan realitas macam ini, semua orang lari dari sepakbola? Rasa-rasanya tidak.
*****
Lantas, apa yang kita dapat dari obsesi para miliarder ini dalam sepakbola? Diluar bahwa kita terseret ke dalam pusaran arus konsumsi barang dan jasa, tenang, kita punya banyak berkah darinya. Abramovic jelas tidak mengharap semua investasinya balik. Para Syekh Qatar di Manchester, Malaga dan Paris sepertinya tidak peduli dengan ketidakseimbangan neraca keuangan. Dari Berlusconi, sepakbola mendapat Corto Stretto. De Laurentis memberi warga Napoli perasaan bahagia yang hilang sejak berakhirnya era Maradona, Syekh Khalefa memberi sedikit harapan bagi pembenci Ferguson dan kegairahan kompetisi. Dari Perez, orang mengenal Galacticos dan sebuah tendangan brilian dari Zidane, yang kalau dilihat dalam tayangan lambat, merupakan sebuah mahakarya.
Saya tidak bisa membayangkan betapa merananya kehidupan jutaan penduduk Indonesia jika orang kaya seperti pemilik Djarum dan konglomerat televisi tidak membeli siaran liga Eropa atau liga Indonesia. Seperti jutaan orang yang tiap akhir pekan kehilangan hiburan, mungkin seseorang akan lebih memukul anak-anak atau membentak istri setiap hari. Juga, tanpa sebuah liga yang berangkat dari patronase orang kaya dari Jakarta, orang-orang Papua dan penduduk kabupaten kecil di luar Jawa yang mengalami banyak marjinalisasi dan eksklusi, akan kehilangan kebanggaan atas identitas dirinya melalui sepakbola. Tanpa sebuah liga yang bersumber dari ‘duit konglomerat’, jelas kita tidak mengenal permainan menggairahkan ala Boaz Solossa dan tim brilian macam Persipura. Dan tanpa mengenal mereka, kepicikan pandangan terhadap orang Papua akan bertahan lama sangat lama.
Memanglah orang-orang kaya dibalik sepakbola jelas serakah, maunya tetap mengakumulasi, atau menghisap kekayaan dari sepakbola. Namun, inilah paradoks sepakbola modern: tanpa obsesi orang-orang kaya seperti Abramovic yang gila akan piala, dunia barangkali hanya punya sepakbola menjemukan ala LPI...
No comments:
Post a Comment