Oleh Mahfud Ikhwan
Barca dibantai
PSG di Parc des Princes 4-0 tengah pekan lalu. Dilengkapi dengan dilucutinya Arsenal
5-1oleh Munchen di Alianz Arena, orang-orang mulai mengeluarkan keluhan lama:
"Sepakbola indah telah kalah." Sebagian dilengkapi dengan ekspresi
cengang, tak percaya.
Keluhan dan
kecengangan itu pastinya keluar dari para pendukung Barca. Tentu saja itu lazim.
Mungkin ditambah dengan beberapa orang lain yang biasanya punya kecenderungan
memakai standar moral dalam menonton sepakbola.
Meski saya
kadang juga terjebak jadi moralis bola, ada godaan besar untuk mendebat keluhan
itu. Misalnya dengan mengatakan: bukankah mereka kalah karena kalah indah?
Atau: tidakkah colengan Rabiot atas bola Messi yang kemudian dilanjutkan
sodoran bola Verrati kepada Draxler adalah seni, dan dua gol De Maria adalah
puisi?
Tapi, dalam
kesempatan ini, saya tidak mau berdebat. Dengan segala simpati kepada para pemuja
Barca maupun pendukung Arsenal, saya hendak lebih berterus-terang: kalah atau
bahkan sudah lama kalah, sepakbola indah yang selama ini dilekatkan kepada Barcelona
memang mesti tumbang. Ini untuk kebaikan Barcelona. Dan, tentu saja, demi
sepakbola indah itu sendiri.
***
Jangankan
dilihat, didengar saja Barcelona sudah indah. Coba ucapkan, nama klub itu
bahkan terdengar merdu. (Mungkin yang sebanding dengannya cuma Fiorentina dan
Salernitana.) Tak mengherankan jika Indonesia bahkan setidaknya punya dua lagu
cinta tentangnya. Namun, sampai kedatangan Johan Cruyff untuk kedua kalinya
pada 1988, lalu membangun apa yang kerap kali disebut Tim Impian, keindahan itu
tak banyak terhubung dengan sepakbola yang mereka mainkan.
Romantisme
sebuah kota kosmopolitan di tepian Laut Mediteran, tragedi (pendirinya, Joan
Gamper, mati bunuh diri; presidennya, Yosep Sunyol, ditembak tentara fasis;
kebangkitannya kembali yang dipimpin seorang pengungsi perang yang nyaris mati
dari Hungaria bernama Laszlo Kubala), korban represi, dan bahkan lambang dari
semangat perlawanan kaum kiri, adalah hal-hal yang lebih melekat kepada tim ini
selama nyaris seabad umurnya. “Kami jagoan, sampai Franco membungkam kami,”
mungkin begitu alasan para pendukung Barcelona.
Faktanya,
sampai Wembley ’92, ketika mereka memenangi Piala Champion pertamanya, secara
statistik Barcelona tidak lebih istimewa bahkan dibanding tim gurem macam Steau
Bucarest, tim yang mengalahkan mereka di final 1986. Jangan lagi bandingkan
dengan legenda tragis seperti Nottingham Forest, misalnya.
Didirikan para
imigran, berasosiasi dengan politik sayap kiri kelas menengah, Barcelona selalu
membanggakan karakter kosmopolitnya—sebagaimana Inter di Italia. “Tak
disangsikan, Barca adalah tim asing,” tulis Simon Kuper di Soccer Against
the Enemy. Mereka selalu tergantung dengan pemain asing. Tak heran,
pahlawan-pahlawan dan ikon mereka adalah orang-orang asing: Kubala (Hungaria),
Cruyff (Belanda), Stoichkov (Bulgaria), hingga Ronaldinho (Brazil). Sampai
kemudian Pep Guardiola membentuk tim terbaik Barca sepanjang zaman—boleh jadi
tim sepakbola terbaik di abad ke-21.
Guardiola
memulai kerjanya dengan menyingkirkan bintang-bintang internasional yang
memberi mereka gelar Liga Champion kedua untuk Barca: Deco dan Ronaldinho,
menyusul kemudian Eto’o. Saat memenangi final Liga Champion 2009, Pep memainkan
7 pemain yang besar di asrama yang dulu juga dihuninya, La Masia. (Lima di
antaranya bahkan kelahiran Katalunya.) Pep mengenal sebagian besar pemainnya
sejak usia sangat muda. Xavi sejak belia disebutnya sebagai suksesornya,
Busquet diberinya debut dan bermain nyaris mirip dengannya, Iniesta remaja
bahkan punya poster Guardiola di kamarnya, sementara Messi sudah dilihatnya
bahkan sejak pertama masuk asrama.
La Masia adalah
berwujudan ide Cruyff pada 1979, dengan sistem yang diimpor dari Ajax. Tigapuluh
tahun kemudian, bukan hanya menjadi akademi sepakbola terbaik di dunia, La
Masia juga menciptakan tim terbaik di dunia. (Bahkan, menurut klaim orang
Catalan, La Masia juga yang membuat Spanyol juara dunia.) Tapi lebih penting
dari itu, La Masia memberi identitas terbaik bagi apa yang disebut sebagai barcelonismo.
Kurang berhasil
dengan Tito dan gagal total dengan Tata Martino, dengan materi yang tak terlalu
jauh berbeda Barcelona berjaya kembali di bawah Luis Enrique. Enrique lulusan
akademi Gijon, pernah main di Madrid, dan tak pernah mengecap langsung
kepelatihan Cruyff, sang ideolog tiki-taka. Dalam tiga musim ia memberi delapan
gelar domestik dan internasional untuk Barca. Tapi penonton di Camp Nou
mencari-cari di mana letak barcelonismo mereka.
Termehek-mehek
saat menahan imbang Real Betis pada 29 Januari menguatkan pertanyaan dan
pencarian itu. Kekalahan telak dari PSG di 16 besar Liga Champion 2017 pekan
lalu memperjelasnya. Para penggemar Barca harus bersyukur menyaksikannya.
***
Barca biasa
mencetak lima hingga delapan gol dalam sebuah pertandingan. Jadi, mereka bisa
saja membalik keadaan dan menyingkirkan PSG di putaran kedua. Tapi, tidak lolos
16 besar Liga Champion musim ini jelas bukan persoalan terpenting Barcelona.
Memecat
Enrique—atau menunggunya pergi dengan kemauan sendiri seperti dilakukannya di
Roma dan Celta—adalah opsi mudah. Mencari penggantinya juga gampang. Pelatih
muda bertalenta sedang bejibun. Ronald Koeman yang sangat mengenal Barca dan
bersentuhan langsung dengan tradisi tiki-taka bisa jadi pilihan utama. Sebagai
mantan pemain Espanyol, Pochettino juga mengenal Barcelona, meskipun dari sisi berbeda.
Dan semua sepakat bahwa ia berlimpah bakat. Pilihan lain lagi ada pada Eusebio,
rekan setim Koeman dan Pep dan murid Cruyff, yang kini melatih Sociedad. Ada
pula Sanpaoli yang sedang sangat mengkilap dengan Sevilla. Atau mau bikin
kejutan? Ada Simeone atau Alegri. Atau... Mou?
Selanjutnya
bagaimana, itu yang jauh lebih memusingkan kepala para direktur Barca.
Dalam beberapa kesempatan,
Barcelona biasanya kesulitan melakukan transisi. Yang paling pahit adalah
ketika mereka hendak mengubah tim usai kalah 4-0 di final Piala Champion 1994
oleh AC Milan. Sebagian besar pemain lama dibuang, dan hasilnya nol besar.
Cruyff dipecat dalam sebuah pertengkaran, dan sosok dewa bagi orang Katalunya
itu memejahijaukan klub yang memujanya. Ujungnya, Presiden klub kala itu, Josep
Nunez, terguling.
Van Gaal
memberi dua gelar liga dalam dua kali pengabdiannya, tapi tim-tim di bawah
Robson, Serra Ferrer, Rexach dan Antic, adalah tim-tim semenjana, jika bukan
malah jadi rangkaian kenangan yang mesti dilupakan. Mereka baru merasa pulih
ketika Rijkaard, bersama tumbuhnya sebuah generasi baru dari akademi La Masia
seperti Xavi dan Puyol, memberi mereka gelar Eropa ke-2. Lalu, bersama Pep, mereka
panen raya.
Apa yang
diberikan oleh Pep dan tim ala La Masia-nya adalah proses transisi panjang dan
menyakitkan, yang makan waktu lebih dari dua dekade. Dan bagaimana Barcelona
dibangun pasca-Pep menunjukkan betapa tim macam inilah yang sangat diidealkan
para pendukung Barca. Dan memang, setidaknya sampai hari ini, inilah tim yang
paling ideal bagi dunia sepakbola. Menengok bagaimana mereka lahir, tentu saja
tak mustahil ia diulangi, mungkin dengan sedikit utak-atik dan revisi. Tentu
saja butuh waktu. Dan bisa jadi lebih panjang.
Tapi itu bukan
satu-satunya opsi. Dan, menilik sejarah Barcelona, itu bukan satu-satunya jalan
prestasi yang pernah mereka tempuhi.
Asal tahu saja,
Barca tak sesuci yang dikira para penggemar barunya. Ketika mendatangkan Cruyff
dan Neesken dari Ajax, sekaligus memboyong Rinus Michels pada musim 1973-74,
dengan harga dan gaji yang memecahkan rekor dunia, mereka tentu saja sedang
berusaha “membeli gelar” yang didapat Ajax (tiga Piala Champions
berturut-turut). Hal yang sama mereka ulang lagi ketika menunjuk Van Gaal sebagai
pelatih, dengan memboyong nyaris separoh pemain Ajax yang mengantar mereka
menjuara Liga Champion 1995. Dan karena Maradona, Stoichkov, Romario, Ronaldo
Luis, Rivaldo, Ronaldinho, hingga Ibrahimovic, bukan produk La Masia, tentu
mereka juga membelinya dengan mahal. Belakangan, toh mereka juga melakukannya
dangan Neymar, Suarez, dan Andre Gomes.
Jadi, sembari
menunggu pengganti Puyol, Xavi, dan Iniesta lahir (tentu secara bersama-sama),
tak ada salahnya mereka menempuh cara lama, cara yang kini dijalani Chelsea,
PSG, City, dan rival mereka, Real Madrid. Toh mereka bukan tim miskin.
Juan Laporta
pernah bilang: “Kami memahat Ballon d’Ors, tim lain membelinya.” Presiden Barca
saat ini, Josep Bartomeu, bisa saja mengubahnya sedikit: “Tim lain membeli
Ballon d’Ors, kami bisa membelinya lebih banyak.”
Dan sepakbola
indah pun akan tetap ada. Mungkin dengan harga yang sedikit beda.
Agen Togel Online Terbaik & Terlengkap!
ReplyDeleteTersedia Pasaran Hongkong - Sydney - Singapore
Potongan Diskon 2D = 30% | 3D = 59% | 4D = 66%
Dapatkan Keuntungan Dalam Menebak Angka Hingga Ratusan Juta Setiap Hari..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995