Oleh Darmanto Simaepa
Lapangan Menyedihkan
Namanya
gagah: Lapangan Perjuangan. Tidak seperti aura yang bisa dibayangkan dari kata
itu, penampilannya tak begitu mengesankan. Ia lebih pas digambarkan sebagai
bekas ladang kecil yang ditinggal merantau oleh pemilik yang kecewa. Seperti
kebanyakan lapangan desa di pinggir kebun sawit dan karet sepanjang pantai
timur Sumatra, Lapangan Perjuangan adalah satu-satunya tempat cahaya matahari
bisa leluasa menembus tanah.
Dari jauh, lapangan
itu adalah sebuah jeda kecil dari panorama yang membosankan, tempat mata bisa
mengalihkan diri dari tangkai-tangkai palem dan pohon-pohon bergetah. Meskipun
bisa memberi suaka sementara, lapangan itu tak memberi kesan sejuk dan
menentramkan. Rumput-rumput kering tumbuh saling tindih di atas tanah podzolik
kuning kemerahan yang bergelombang. Garis-garisnya sudah kabur, tertimbun ilalang,
semak dan bakung liar yang berebut hara. Cekungan kecil di sudut utara mirip rawa
kecil, tempat semak liar berduri menyimpan air hujan Januari dan menancapkan
akar-akarnya.
Dari dekat, permukaannya
seperti wajah bulan di saat purnama. Di musim kering, panas matahari dan angin
lengas menciptakan gurun tiruan, tempat telur-telur kadal kecil ditetaskan. Di
musim hujan, rintik gerimis akan menciptakan kolam-kolam kecil dan kebun keladi
liar musiman, mengundang katak untuk benyanyi sepanjang malam. Dari sudut
pandang geometri, lapangan ini dibuat tanpa memperhatikan presisi. Bentuknya
tak persegi, menyerupai ketupat setengah matang yang diangkat dari perapian
sebelum waktunya.
Lapangan itu
berwarna sepia, lengang dan sendirian. Meskipun tak jauh dari pemukiman, ia
berada di pinggiran, jauh dari jalan utama tempat penduduk desa bersosialiasi.
Jika deru suara kereta dan mobil menjauh, suara yang terdengar dari situ
hanyalah lenguhan lembu di kejauhan. Satu-satunya wibawa yang ditunjukkannya adalah
pipa besi putih tanpa jaring di tiap sisinya. Gawang-gawang itu berdiri gagah,
kontras dengan warna kusam di sekelilingnya. Jamur dan karat belum mampu
memudarkan campuran kapur putih dan cat yang melapisnya.
Anak-anak
jarang main ke sana. Mereka lebih memilih untuk menyusuri jalanan dengan kereta atau asik dengan permainan atau
video di telepon pintar. Desa ini tak punya cukup pemuda untuk membentuk dua
kesebelasan. Hampir semua warga usia produktif pergi mengadu nasib ke luar desa.
Selain orang-orang tua yang tak lagi menaruh minat, yang tersisa di kampung
adalah adalah pria-pria mendekati paruh baya yang yang terkuras tenaga mendaras
karet atau memetik tandan sawit.
Pertandingan
bola terakhir adalah final turnamen antar kampung, yang pertama kali sekaligus
terakhir pernah digelar di lapangan itu, dua atau tiga tahun lalu. Satu-satunya
pengunjung setia lapangan itu adalah kambing-kambing setengah liar, dan
sesekali lembu yang berhasil menerobos pagar.
Sejarah dan Napas Sungai Lebur
Sepakbola
bukanlah napas dan sejarah Sungai Lebur. Selama lima hari empat malam tinggal
di desa itu, aku tak menemukan kehidupan sepakbola. Bila di lain tempat seragam
murahan Real Madrid atau Manchester United menjadi kebanggaan dan di pakai
sampai warnanya memudar atau titik-titik jamur mengalahkan corak aslinya,
anak-anak di sini lebih memilih bertelanjang dada atau lebih suka dengan
seragam olahraga sekolah. Di teras-teras tak pula nampak bekas sepatu-sepatu
dengan pul yang berserakan.
Terletak
sekitar dua jam dari jalan raya Aceh-Medan, penampilan Sungai Lebur sangat khas
desa perkebunan. Rumah-rumah di kiri-kanan jalan mengikuti arah jalan yang
mengangkut hasil panenan. Di belakang areal pemukiman itu, tak ada apapun
kecuali karet dan sawit. Masjid, balai desa dan kedai-kedai sederhana adalah
tempat berkumpul dan bersosialisasi. Di tengah hamparan perkebunan, bisa
dipastikan lapangan desa yang luas dan memadai adalah kemubaziran.
Di akhir
pekan, aku berjalan sekitar 400 meter untuk mengamati siaran televisi.
Rumah-rumah berada dekat jalan sehingga kita bisa melihat layar kaca dari
jendela atau pintu yang terbuka. Ibu-ibu dan anak-anak menghadap televisi. Beberapa
orang tua duduk santai di teras. Di jam sebelas malam sesekali aku berhenti di
depan 30-an rumah yang hampir semuanya menyalakan TV. Malam itu, SCTV
menyiarkan laga Manchester United di piala FA sementara RCTI menayangkan laga
Barcelona. Hampir semua televisi memilih Nassar yang sedang memberi komentar
ceriwis kepada salah satu kontestan menyanyi dangdut yang suaranya jauh lebih
baik dari suaranya sendiri.
Sungai Lebur
tidak punya memori bahwa mereka pernah punya tim bola yang disegani di daerah
sekitar atau pemain hebat yang dibicarakan selama beberapa generasi. Bagi orang
tua dan mereka yang tidak bisa meninggalkan kebun, kehidupan berpusat di sekitar
menggores pohon karet dan mengunduh tandan sawit. Di malam hari, setelah
beribadah di mushala, ruang keluarga adalah pusat sosialisasi. Bagi mereka yang
berhasil, kehidupan berada di luar desa—di rimba raya Riau, pedalaman Kalimantan
atau pabrik-pabrik kaleng di Malaysia.
Sejarah
Sungai Libur adalah sejarah perkebunan dan ketakberdayaan yang dibawanya.
Hampir 89% dari 5019 penduduknya adalah Pujakesuma, putra Jawa kelahiran
Sumatra. Bisa dispekulasikan, mereka adalah keturunan buruh-buruh Jawa yang
dulunya diperkerjakan-paksa oleh perusahan-perusahan perkebunan multinasional di
sepanjang pantai Sumatra Timur, yang di era kolonial dikenal dengan Sumatra Plantation Belt. Meskipun mereka
berbahasa Jawa, berdoa dengan bahasa Jawa, menikah dengan cara Jawa, barangkali
hanya satu-dua orang yang pernah benar-benar menghirup udara Pulau Jawa.
Kisah
asal-muasal desa ini pergi dengan diam bersama generasi awal yang mendiami area
itu sekitar seabad yang lalu. Orang-orang tua yang masih hidup, entah karena
keengganan, kesengajaan atau memang ketidakpedulian, kesulitan memberikan
riwayat terperinci asal muasal desanya. Ingatan tertua tentang Sungai Lebur paling
jauh bisa di lacak sampai sedikit di masa pendudukan Jepang atau sedikit
sebelumnya.
“Sebelum
Jepang datang, perusahaan yang dipunyai Tuan Besar Chris Wehh, menyerobot tanah
kami,” kenang Pak Dua, ketua serikat tani Sungai Lebur. Dari asal usul nama dan
penyebutannya, besar kemungkinan Tuan Wehh adalah pemegang konsesi tanah-tanah
perkebunan kolonial Belanda yang didirikan di atas tanah-tanah yang sudah
didiami dan diklaim oleh pendahulu orang-orang Sungai Libur. Selama Tuan Wehh
menguasai lahan, mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam areal perkebunan.
Lalu Jepang
datang. Atas bantuan Jepang, tanah-tanah milik Tuan Wehh diambil oleh
rakyat. “Meskipun begitu, orang
tua kami bercerita mereka menderita karena dipaksa bekerja oleh Nippon.” Kata
Hurli, seorang pengurus serikat tani yang lain. Jepang memaksa penduduk Sungai
Lebur untuk menanam tanaman perang—jewawut, umbi-umbian, jarak—dan
mengirimkannya ke lumbung di kota kecamatan. Masa Jepang adalah masa di mana
mereka harus makan ganyong dan tanpa uang. Semua hasil bahan makanan dan tenaga
diambil untuk kepentingan Jepang.
Setelah
Jepang lari, warga leluasa mengerjakan lahan. Periode kemerdekaan sampai
Demokrasi terpimpin di kenang sebagai periode paling tenang. Orang-orang muga
yang penuh tenaga bisa memperluas lahan-lahan mereka ke arah hulu sungai yang
masih rimba. Meskipun kehidupan sangat sulit, orang Sungai Libur mengenang era
di mana mereka tidak hidup memburuh. Jarang orang pergi ke luar desa untuk
mencari pekerjaan. Sungai-sungai masih penuh ikan. Hutan memberi hewan buruak.
Sementara balok-balok kayu dari rimba sekitar memberi sumber penghasilan
tambahan.
Di tahun
1960an, beberapa orang punya ide membuat irigasi. Namun, mereka tidak punya
keuntungan geografi dan demografi. Tangan telanjang dan perkakas sederhana
bukan tandingan bagi tanah-tanah keras berbatu. Meskipun irigiasi teratur tak
bisa diharapkan dan tanah-tanah liat merah membuat padi berbuah tapi tidak
berisi, orang-orang masih membuka dan mengelola sawah. Lahan-lahan kurang subur
di sekelilingnya ditanami apa saja yang bisa dijual.
Derita besar
masuk Sungai Lebur di tahun 1970 ketika Direktorat Agraria Wilayah I Sumatra
Utara mengeluarkan surat pernyataan bahwa sebagaian besar wilayah desa Sungai
Lebur berdiri di atas lahan Perkebunan milik Negara. Entah bagaimana asalnya,
Perusahaan Perkebunan—dengan dukungan hukum dan kekuasaan—menyebut warga
menduduki lahan negara. Setelah melalui proses litigasi, 309 tanah persil milik
warga Sungai Lebur seluas kurang lebih 500 hektar yang masuk areal Perkebunan dikeluarkan
dan diberikan sertifikat hak milik kepada warga. Untuk menebusnya, tiap warga
pemilik tanah harus membayar Rp22,260 kepada pemerintah untuk tiap 1 hektar
tanah yang sertifikatkan.
Bagi sebagian
warga yang lain yang tanahnya tidak diakui oleh pemerintah, mereka harus keluar
dari areal yang diklaim Perkebunan. Tak lama setelah perampasan tanah tuntas,
kehidupan warga merosot. Laporan Dewan Perwakilan Daerah Langkat tertanggal 8
September 1975 menyebut bahwa warga yang dipindahkan kehilangan mata
pencaharian utamanya. Rumah-rumah yang dibongkar tidak mendapat ganti rugi
sehingga banyak warga yang tidak punya tempat tinggal yang layak di tempat yang
baru. Sementara itu, tanah-tanah penampungan tidak cukup, jauh dari
ladang-ladang, dan terancam banjir dan erosi.
Situasi kian
memburuk ketika Kasbun, Kepala Desa Sungai Lebur periode 1975-1979, meminta
surat-surat tanah warga dengan alasan untuk diperbaharui. Takut oleh ancaman
dituduh sebagai PKI, warga terpaksa menyerahkannya. Sejak tahun 1976, tak ada
satupun warga yang melihat surat tanahnya kembali. Dua tahun berselang,
Perusahaan Perkebunan bergerak lebih jauh lagi. Areal persawahan yang tersisa mereka
rampas paksa dengan bantuan tentara. Pak Sadar, satu-satunya warga yang berani
melawan secara terbuka ditangkap, disiksa dan dikirim ke Penjara di Tanjung Pura
selama empat tahun. Tanpa surat-surat tanah dan terus menerus berada dibawah
ancaman bedil dan kekerasan, ladang-ladang warga dengan gampang berganti
kepemilikan menjadi milik Perusahaan.
Di masa-masa
puncak Rejim Orde Baru, warga memilih tiarap. Konfrontasi terbuka nyaris
mustahil dilakukan. Satu-satunya jalan keluar dari kesulitan politik dan hidup,
terutama bagi kaum pria, adalah pergi meninggalkan desa. Mereka merantau ke
penjuru Nusantara, bekerja seadanya dan mengirim uang untuk keluarga di desa.
Yang tidak merantau terpaksa berkarya menjadi buruh petik, atau yang
berpendidikan, menjadi kerani di kantor perusahaan perkebunan. Bagi perempuan,
kehidupan berpusat di desa, mengasuh anak dan merawat tanaman yang tersisa.
Kemiskinan
adalah keniscayaan yang tidak bisa ditampik Sungai Lebur. Daya politik
dilumpuhkan. Yang tersisa, adalah manusia-manusia kalah yang diperas
keringatnya agar mesin ekonomi perkebunan terus berjalan. Kehidupan jauh dari
gejolak, meskipun di balik permukaan, api penderitaan dan perlawanan tak pernah
benar-benar padam.
Serangan Balik
Tumbangnya
Soeharto membuka ruang perlawanan. Keberanian yang lama dipendam dalam lumpur
kemiskinan bangkit bersama kesadaran baru. Suara-suara perlawanan di seluruh
penjuru negeri menggemakan kembali kepercayaan diri warga Sungai Lebur.
Perlawanan diam-diam malih rupa menjadi protes terbuka. Merebut kembali tanah
yang dirampas, sebuah gagasan tabu selama dua dekadi, menjadi topik pembicaraan
utama, dan barangkali satu-satunya di desa Sungai Lebur pasca-1998.
Pergeseran
kekuasaan menciptakan revolusi kecil. Rakyat bergerak menduduki lahan-lahan
perkebunan, menciptakan sengketa lahan kronis dalam skala yang luas. Gubernur,
Bupati, dan Kapolda di pantai timur Sumatra Utara menyerukan maklumat bagi
warga untuk tidak menyerobot lahan. Namun maklumat ini adalah gema dalam cawan.
Lebih dari satu dekade, gelombang pasang perjuangan tanah warga yang hidup
dalam bayang-bayang sawit tak kunjung berhenti dan memberi masalah serius bagi
administratur pertanahan.
Di Sungai
Lebur, perjuangan atas tanah naik ke tingkat yang lebih canggih. Dua ratus tiga
petani membentuk serikat petani dan bergabung dengan gerakan petani yang lebih
luas di skala nasional dan internasional. Mereka menyiapkan serangan balik yang
mematikan. Lewat organisasi yang solid, peta-peta yang jelas, pengacara yang
berpihak, jaringan di tingkat nasional dan internasional dan juga mantra-mantra
tua Jawa untuk menangkal serangan balik dari segala penjuru yang dikirim oleh Perkebunan,
mereka masuk kotak penalti perkebunan.
Sepanjang
tahun 2009-2011, mereka beradu fisik dan mental secara langsung dengan polisi,
preman, dan centeng bayaran Perusahaan di lahan-lahan yang disengketakan. Lahan
Perkebunan yang disengketakan menyerupai kotak penalti yang tak lagi bisa
dipertahankan. Pertahanan mereka ambrol di tahun 2011 dan warga menyiapkan
serangan akhir yang memetikan
Lewat
kombinasi perjuangan lapangan yang gigih, pendudukan lahan tak kenal letih, dan
kampanye legal yang konsisten, mereka berhasil merebut lahan perjuangan. Dua
ratus tiga petani Sungai Lebur yang berserikat berhasil merebut tak kurang dari
203 ha tanah sengketa. Dari total tanah yang berhasil diperjuangkan, 25 hektar
di berikan kepada tim 25, tim inti serikat petani yang ikut mendirikan dan
terlibat langsung dalam perjuangan mengambil lahan dari awal 2000an. Dua ratus
tujuh puluh anggota lain masing-masing mendapat 16,5 rante (7.200 persegi). Pembagiannya:
1,5 rante (600 persegi) untuk perumahan dan 15 rante untuk perladangan.
Enam hektar
sisa tanah perjuangan yang dibagi-bagi dijadikan tanah kolektif. Setengahnya diwakafkan
ke desa dan setengahnya milik koperasi petani. Tiga hektar milik koperasi di
tanami ubi. Uang penjualan panen digunakan sebagai kas dan dana operasional.
Tiap anggota wajib memberi sumbangan sukarela berupa tenaga—tenaga untuk
membersihkan ladang, menanam, dan memanen. Tiga hektar lain dicadangkan bagi kebutuhan
publik di masa depan seperti sekolah, masjid, atau balai akan dibangun.
Dari tiga
hektar itu, enam belas rante (6.400 persegi) dari wakaf itu untuk lapangan
sepakbola.
Menanam Tiang Gawang
Dari
hitungan ekonomi, barangkali tidak terlalu masuk akal menanami 15 rante tanah
yang diperjuangkan dengan keringat, darah dan airmata hanya dengan empat tiang.
Sekurang-kurangnya, tanah seluas itu bisa ditanami 400 bibit karet bagus, yang
dalam waktu waktu tak lebih dari lima tahun, bisa memberi kehidupan yang layak
buat satu keluarga atau koperasi petani.
Terlebih
lagi, tidak ada tanda-tanda bahwa Lapangan Perjuangan itu memberi manfaat bagi
kesehatan maupun identitas kolektuf warga Sungai Libur. Lapangan itu jelas
gagal mengalihkan remaja-remaja tanggung dari setang sepeda motor atau
gawai-gawai pintar mereka. Tidak juga akan membangkitkan demam bola bagi
orang-orang tua yang, ketika sore tiba, tak lagi punya tenaga.
Dari cerita
yang mereka tuturkan, nyaris tidak ada perbedaan berarti, dalam aspek sepakbolanya,
kehidupan Sungai Lebur setelah mereka punya stadion. Setiap perbincangan soal
sepakbola berkhir di kalimat ketiga. Orang-orang yang aku temui tidak tertarik
membicarakan PSMS atau Chelsea. Sama tidak tertariknya membicarakan siapa yang
juara turnamen yang mereka selenggarakan sendiri. Dari sekitar sepuluh rumah
yang punya anak muda yang teramati, aku tidak menemukan satupun poster
sepakbola atau tanda-tanda bahwa sepakbola menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari mereka.
— Jadi,
mengapa perlu lapangan sepakbola, tanya saya.
— Coba lebih
penting mana, menanam gawang atau karet, Pak Dua balik bertanya alih-alih
menjawabnya.
“Paling
tidak gawang-gawang itu mengingatkan masa-masa perjuangan,” sambil tersenyum, Kang
Gemek pria gondrong usia 50-an itu seakan memberi jawaban Pak Dua. Di belakang gawang
sebelah sana, tangan Gemek menunjuk ke arah utara, tempat ia berjuang melawan
perkebunan sawit. Di sanalah dia, bersama serikat petani, mempertahankan
klaim-klaim tanah. Melihat Perkebunan juga tidak punya data-data tentang lahan
yang memadai, serikat tani merebut kembali tanah-tanah itu, salah satunya
dengan cara menanami areal sekitar lapangan dengan tanaman-tanaman
non-Perkebunan. Dengan lahan-lahan tanpa tanaman perkebunan, pihak perusahaan
kesulitan mempertahankan kepastian klaim Hak Guna Usaha (HGU).
Bagi yang
lain, lapangan ini memberi kenangan yang mampu menitikkan air mata. “Di tepi
lapangan itu,” tunjuk pak Anta, “saya hampir membacok seorang polisi muda”.
Saat itu malam pertempuran. Tentara dikerahkan Perusahaan untuk menjaga lahan
sengketa. Polisi hilir mudik dengan gestur mengintimidasi warga. Preman-preman
ditebarkan untuk mencegah warga tetap bersatu dalam barisan. Hari itu, suasana
mengeras dan mengancam. Kabar menyebut, pihak perkebunan akan menghabisi tanaman
warga. Tiap anggota serikat dihimbau untuk memperhatikan keselamatan keluarga,
namun juga dipersiapkan untuk menyerang balik ketika ada setetes darah
tertumpah.
Sehabis
Shalat Isya, Pak Anta menghunus aritnya. Agar tidak mencolok, ia sembunyikan
arit dibalik sarung yang ia selempangkan dipundak. Tahu bahwa arit tidak ada di
tempatnya, istrinya mulai meratap-ratap. Di lapangan itu, teman-teman anggota serikat
tani sudah berkumpul dan shalawatan. Di ujungnya, polisi dan tentara siap siaga
dengan pistol, senapan dan pentungan. Saat lewat tikungan terakhir meninggalkan
pemukiman dan masuk lapangan, dua orang polisi menghampirinya. Udara dingin dan
langit gelap-pekat. Darah Pak Anta berdesir. Polisi berbaris rapi dan
mengangkat senjatanya. Tiba-tiba saja tangannya panas. Untungnya, bentrokan
berdarah bisa dihindari. “Mungkin mereka takut juga,” selorohnya.
Lapangan itu
juga menjadi situs yang diingat oleh petani-petani perempuan. Di dekat
lingkaran tengah yang telah hilang, perempuan-perempuan petani ikut turut
berdiri menghalangi orang-orang suruhan Perkebunan untuk menggusur pagar-pagar
lahan yang telah mereka siapkan. “Kalau ingat kejadian itu, saya masih
merinding. Kita waktu itu tidak yakin bisa pulang ke rumah dengan selamat,” Ibu
Sus, salah satu pejuang dari Serikat petani mengenang. Bagi puluhan anggota
serikat petani, Lapangan Perjuangan memiliki memori tersendiri yang dikenang.
Meskipun
terkesan remeh, memelihara dan membangkitkan kenangan adalah salah satu cara
menjaga semangat perjuangan. Dan lapangan itu adalah sebuah situs tempat
kenangan atas perjuangan lahan tidak hanya disimpan, tetapi juga secara aktif
terus diproduksi dan dibagi. Perjuangan atas sumberdaya adalah perjuangan atas
makna, begitu para ahli bilang—struggle over
resources is struggle over meaning. Dengan menciptakan ingatan di atas
lapangan Perjuangan, serikat petani di Sungai Lebur berjuang memberi makna bagi
lapangan sepakbola.
Enam tahun
setelah warga berhasil merebut tanah perkebunan, kepastian kepemilikan dan
pengakuan formal dari negara masih jauh dari genggaman. Secara de facto, tanah-tanah itu sudah kembali
di tangan petani. Mereka sudah leluasa menanam karet, ubi, sereh dan beragam
tanaman palawija lainnya. Satu dua gubuk-gubuk sementara juga sudah berdiri. Namun,
secara de yure, tanah itu masih dalam
status sengketa. Perkebunan kapan saja bisa menyerang balik. Dengan instrumen
legal dan ekstra-legal, mereka bisa membakar gubuk-gubuk, mencabuti
tanaman-tanaman penduduk, dan memaksa warga masuk ke rumah sakit atau penjara.
“Tiang
gawang itu tidak sendirian. Lapangan itu ikut berjuang,” Pak Dua memberi
penekanan. Tiang gawang itu menandai bahwa tanah itu adalah areal
non-Perkebunan. Tanpa Lapangan Perjuangan, areal itu tidak berbeda dengan
kawasan-kawasan bera yang diklaim masuk Perkebunan. Lapangan Perjuangan itu,
jelas-jelas, bukanlah sekadar tempat merayakan perjuangan. Bukan tempat di mana
sepakbola dipertandingkan untuk memperingati d perjuangan. Lapangan Perjuangan
itu sendiri adalah medium dan makhluk perjuangan.
Dua tahun
setelah lahan perjuangan berhasil, turnamen sepakbola antar desa dihelat di lapangan
itu sekaligus sebagai perayaan hari Tani sedunia. “Ramai sekali dan barangkali
turnamen yang pertama di daerah sekitar sini yang bisa diingat generasi saya,”
begitu Pak Dua memberi penekanan. Ketika saya bertanya berapa tim yang ikut dan
siapa saja yang juara, Ia tidak ingat lagi. Pengurus Serikat petani yang lain
juga tak mengingatnya.
Namun,
ingatan tentang sepakbola bukanlah yang paling penting buat serikat tani Sungai
Lebur.
Taktik menciptakan
lapangan terasa lebih maju dari apa yang banyak diceritakan oleh dokumen
perjuangan LSM-LSM dan teks-teks antropologi tahun 1990an tentang perlawanan
penduduk pedalaman di Indonesia atas penghancuran kehidupan. Saat itu, di
banyak tempat di mana ekstraksi kayu dan ekspansi perkebunan berjalan seiringan
merampas sumber daya lokal, penduduk desa cepat-cepat menanami lahan-lahan yang
dicadangkan untuk skema-skema konsesi (HPH, HTI, dan Perkebunan) dengan tanaman
tahunan—pohon, semak dan komoditi seperti kopi, kakao.
Tanaman-tanaman
tahunan itu menjadi alat yang efektif untuk menciptakan klaim-klaim kepemilikan.
Jika perusahaan dari luar atau pejabat pemerintah datang, warga bisa menyatakan
bahwa itu bukanlah tanah kosong. Tanaman-tanaman tahunan itu adalah bukti bahwa
tanah itu sudah dibudidayakan selama beberapa generasi. Jikapun mereka kalah
dan skema konsesi bersikeras menggusur, mereka punya daya tawar untuk meminta
ganti rugi atau kompensasi yang tinggi.
Sungai Lebur
bergerak lebih jauh. Mereka tidak lagi menanam karet atau phon di atas tanah
yang mereka klaim, melainkan dua pipa besi berkaki dan bercat putih. Lalu membuat
garis tepi persegi di antara dua pipa besi itu. Pipa besi berkaki itu memang
benda mati. Ia tidak bisa hidup. Namun kekuatannya jauh lebih hidup dari
tanaman tahunan.
Secara
simbolik, tiang gawang dan lapangan Perjuangan mewakili suatu bentuk kehidupan.
Kehidupan ini tidak bersifat ekonomi dan tenurial—seperti yang dimiliki oleh
tanaman kopi dan cengkeh. Tiang gawang itu tidak tumbuh dan tidak menutupi
seluruh tanah, justru ia meminta tanah itu untuk diberakan. Kendati begitu,
kehidupan tiang gawang adalah kehidupan yang melampaui kehidupan bercocok tanam.
Jika pohon kopi atau karet kopi menggambarkan dunia budidaya, maka gawang di
lapangan sepakbola di tanam secara kolektif menunjukkan kehidupan berwarga
negara.
Kehidupan
yang diwakili oleh lapangan adalah kehidupan kolektif dan bersifat publik.
Lapangan adalah bagian dari kehidupan warga desa sebagai warga negara. Dengan
memberi lapangan, serikat petani ikut berkontribusi terhadap warga di luar
serikat petani—warga desa, warga sepakbola dari luar desa. Siapapun bisa main
di sana. Dengan memberi lapangan, serikat petani juga memberi pengabsahan atas
cita-cita dan hasil perjuangan yang selama ini mereka lakukan.
“Kan payah
mereka kalau menggusur lapangan,” Kang Gemek melanjutkan.
Dan itu yang
membuat mereka memilih turnamen sepakbola desa sebagai cara untuk menguatkan
legitimasi perjuangan atas lahan. Perusahan, institusi pemerintah dan warga
dari desa-desa tetangga tahu dan berpartisipasi. Absennya keberatan dari pihak
perkebunan dan lembaga pemerintah atas penyelenggaraan turnamen desa itu untuk memberi dorongan moral dan politik bagi
warga Sungai Lebur bahwa, hak-hak mereka atas tanah perjuangan telah diakui. Meskipun
negara dan perusahaan belum mengakui tanah-tanah perjuangan mereka, penggunaan
lapangan sebagai turnamen resmi desa memberi pengakuan publik bahwa tanah itu
tanah bukan-Perkebunan.
Menanam
tiang gawang dan menciptakan Lapangan Perjuangan adalah imajinasi dan tindakan
politik yang sangat menawan dari epos perjangan serikat petani Sungai Lebur. Mereka
mengangkat derajat lapangan, bukan lagi sekadar sebagai tempat event kemenangan
dirayakan, tetapi menciptakannya sebagai bagian dari perjuangan tanah yang
belum selesai.
Memanglah,
lapangan itu belum memenangkan hati remaja-remaja tanggung desa dan tidak lagi
membangkitkan jiwa olahraga generasi tua. Sebulan setelah aku meninggalkan desa
itu, aku mencari tahu apakah lapangan itu pernah digunakan. Jawaban yang aku
terima masih sama seperti yang aku tanyakan pertama kali. Aku membayangkan
lapangan itu tetap murung dan kesepian. Hanya kambing yang lapar dan kadal yang
sedang birahi saja yang bersenang-senang di sana.
Namun,
lapangan itu telah memberi makna baru bagi perjuangan warga Sungai Lebur untuk
penghidupannya. Lapangan Perjuangan bukanlah tempat orang desa bersosialisasi
setelah tugas-tugas wajib kehidupan. Lapangan itu bukan tempat bersenang-senang
bagi anak anak yang mabuk seoakbola. Lapangan itu juga tidak diniatkan untuk
membangun identitas desa.
Lebih dari
itu semua: Lapangan Perjuangan adalah tempat makna berjuang mendapatkan lahan
dan mengatasi sejarah kemiskinan, makna melawan kesewenang-wenangan, dan
bayangan masa depan disematkan. Di balik penampilannya yang mengeringkan air
mata, lapangan itu adalah bagian integral dari perjuangan tanah dan makna
kehidupan sebagai warga negara, yang masih berlangsung hingga kalimat terakhir
ini dituliskan.
Agen Togel Online Terbaik & Terlengkap!
ReplyDeleteTersedia Pasaran Hongkong - Sydney - Singapore
Potongan Diskon 2D = 30% | 3D = 59% | 4D = 66%
Dapatkan Keuntungan Dalam Menebak Angka Hingga Ratusan Juta Setiap Hari..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995