Oleh Darmanto
Simaepa
Setiap kota besar di dunia menghasilkan
klub-klub bersejarah. Buenos Aires punya River Plate dan Boca Juniors. Madrid
melahirkan Real dan Atletico. Di Glasgow, ada Celtic dan Rangers. Kairo
menciptakan Zamalek dan Al-Ahli. Dan di negeri kolam susu, kota-kota bersejarah
memberi kita Persebaya, PSMS, Persija, Persib, dan belasan lainnya.
Selama detak jantung kota-kota itu
berdetak, klub-klub sepakbola legenda itu tak pernah mati. Tentu tak semua dan
tak selamanya, klub-klub itu hidup dalam gelimang kejayaan. Sekali-dua mereka akan
terdegradasi. Pailit. Langka talenta. Salah urus. Di antaranya ada yang harus
menderita karena berlaga di kompetisi tingkat tiga atau lima dan
berangsur-angsur kehilangan dukungan dari superternya yang setia dan sumber
daya.
Yang malang nasibnya tertimpa bencana alam,
bencana politik, atau tersulut huru-hara. Red Star hancur lebur ketika
semenanjung Balkan mengalami perang saudara. Dynamo Kiev pernah bubar di bawah
kekuasaan Stalin di era perang dingin. Yang lebih malang lagi terlanda bencana
manusia: kecelakaan pesawat di Munich, bom bunuh diri di Kabul, perang saudara
di Kairo, kebakaran di Athena.....
Saat klub-klub
legenda dilanda bencana atau hidup menderita berlaga di kompetisi level tiga,
penduduk kota juga tenggelam dalam duka. Saat River Plate terdegradasi dan terlilit
hutang, setengah kota Buenos Aries tenggelam dalam duka dan hilang akalnya.
Ketika pesawat yang membawa tim Chapecoense kehabisan minyak dan menabrak
gunung Kolombia, bayi-bayi di Chapeco ikut menitikkan air matanya.
Namun, seperti burung Phoenix, klub-klub
besar yang jadi abu itu akan hidup kembali. Mereka tak pernah benar-benar mati.
Pendukung yang ngambek akan segera memulihkan rasa sayangnya. Bakat-bakat baru bermunculan di penjuru kota. Gema
nyanyian pujian di stadion akan terdengar lagi.
Dan akan selalu
ada ada orang kaya dan/atau berpengaruh yang kerasukan hantu sepakbola. Mereka akan
merelakan sebagian hartanya untuk menebus cinta remajanya. Sebagian dengan
mengkombinasikan bakat pencoleng yang sudah ada, maniak sepakbola yang duduk di
parlemen atau kursi walikota dengan mudah mereka mengkorupsi anggaran negara
demi gengsi klubnya (dan kekuasaannya).
Pendeknya, dengan
cara apapun, sebuah kota tak akan rela klub sepakbola yang ia lahirkan mati
membusuk. Sebab, klub sepakbola bukan sekadar organisasi yang mencetak karcis
masuk stadion atau mengatur kontrak kerja tim pelatih dan 25 pemain. Klub
sepakbola—entah di Barcelona atau Salatiga—tak pernah hanya sekedar klub.
Klub besar adalah
institusi kultural yang mewakili sejarah sebuah kota. Ia adalah anak kandung
kota yang melahirkannya. Barcelona mewakili sejarah sosial kota pelabuhan dan
pedagang cerdik Mediterania. Glasgow Celtic mewakili sejarah penderitaan
orang-orang Katolik di sebuah kota pekerja pelabuhan di Britania Raya.
Itulah kenapa
setiap klub besar selalu unik. Ia tumbuh berimpit dengan riwayat kota tempat ia
lahir. Di Italia, Juventus atau Milan dikelola oleh para direktur yang
menjalankan klub seperti direktur perusahaan mobil memonopoli suku cadang atau baron
televisi memanipulasi opini; sementara klub di Selatan (Palermo, Cagliari)
presiden menjalankannya seperti ketua kelompok mafia beroperasi atau bangsawan
feudal abad pertengahan menarik upeti.
Tiap klub besar
juga dibentuk oleh peristiwa sejarah yang membentuk karakter kota. Di
Indonesia, karakter keras dan egaliter kota Medan menghasilkan PSMS yang
bermain lugas dan keras; permainan tak terduga dengan pemain-pemain luar negeri
yang betah tinggal di dalamnya, tim-tim seperti Persiwa Wamena atau Persidafon
Dafonsoro mencerminkan kekayaan dan karakter kota-kota pedalaman yang
kosmopolit dan penuh kejutan tetapi sering dianggap remeh oleh kota-kota yang
telah mapan.
Tengok juga,
bagaimana kota kecil, agak sedikit di pinggiran tetapi punya sejarah modernitas
yang intensif dan terhubung dengan metropol seperti Padang atau Manado selalu menghasilkan
tim-tim yang ‘sangat modern’ dalam pengertian selalu bermain dengan akal sehat
baik dalam neraca anggaran maupun permainan di lapangan.
Pendek kata,
setiap klub besar tak bisa dipisahkan dari sejarah kota dan penduduk kotanya. Klub-klub
besar lahir, tumbuh, dan berkembang dalam arus sejarah yang melintasi kota-kota
penting. Tanpa cinta dari penduduk kota, klub-klub itu hanya akan menjadi
gelembung instan tanpa akar sosial yang kuat. Sebaliknya, klub-klub besar yang
kuat juga dituntut untuk memberi sesuati lebih yang menjadi udara segar bagi
penduduk kota.
Itulah kenapa, klub-klub
yang hanya digenjot oleh kucuran uang instan dari luar dan mengabaikan sejarah kota
tempat ia lahir selalu mendapat cemoohan. RB Leipzig sering mendapat makian di
Jerman. Di Inggris, Chelsea, paling tidak pada tahun-tahun awal Abramovich,
selalu menjadi bahan gunjingan.
Bahkan klub-klub besar
yang secara tradisional menjadi bagian sejarah kota namun kemudian menjual
jiwanya dan sejarahnya kepada pengusaha-pengusaha dari Arab, Amerika atau China
demi harapan palsu, segera menyulut cemoohan dari pendukung setianya dan
kehilangan elan vitalnya.
Misalnya saja
Valencia. Klub bersejarah ini kini terpuruk tanpa daya setelah dibeli dan
dijalankan oleh pengusaha Singapura lewat perantara broker besar dari Portugal
dan dikelola oleh pengusaha China. Setiap bertanding, siulan dan sorakan
kemarahan pendukung setianya diarahkan, tidak hanya ke tempat-tempat direktur
dan presiden duduk di Mestalla tetapi juga, ke lokasi latihan pemain-pemainnya.
Di Indonesia, kita
punya contoh klub hebat tapi tanpa jiwa sebuah kota. Klub konglomerat seperti
Mastrans Bandung atau Pelita Jaya memang pernah berjaya. Namun mereka selalu
pindah-pindah stadion, ganti nama, sewa stadion dan tak pernah mendapatkan rasa
sayang yang cukup dari kota-kota yang disinggahinya. Mereka mati dan dikubur entah di mana tanpa ada isak tangis dari penduduk kota.
Sebaliknya, klub-klub yang lahir dari darah
dan doa kota yang melahirkannya tetap dikibarkan benderanya, meskipun klub-klub
itu sekarat, mati suri atau tak punya kantor lagi. Pujian dan nyanyian untuk
PSIM, Persis Solo, Persib, Persebaya, PSMS—klub-klub yang lahir dari masa
perjuangan kemerdekaan—diwariskan dan dikekalkan dari generasi ke generasi. Mereka datang pasang surut namun
bertahan di gelombang perubahan zaman.
*****
Kebangkitan Persebaya harus dilihat dari jiwa
kota Persebaya yang berkehendak menyambung sejarah panjang sepakbola. Orang
boleh berpendapat dan mengklaim bahwa pencabutan sangsi PSSI adalah hasil
lobi-lobi tingkat tinggi para juragan sepakbola. Itu boleh jadi benar. Namun saya
yakin Persebaya sekarang sedang siuman itu juga karena perjuangan tak kenal
lelah dari pelaku dan sekaligus produk dari sejarah kota Surabaya: Bonek.
Bonek adalah wujud
dari jiwa kota Surabaya. Ia adalah bentuk kolektif dari lakon Syarip Tambak Oso
atau metamorfosis dari jutaan pemuda revolusioner yang di tahun 45’,
berbekalkan bambu runcing dan tekat merdeka, merobek warna biru bendera
kolonial Belanda. Hanya orang yang tuli dan buta hatinya, yang menganggap
mereka adalah anak-tak-sah dari industri sepakbola. Sebaliknya, ia anak kandung
dari sepakbola Surabaya.
Entah dulu, entah
sekarang, Bonek adalah wujud sosial kota Surabaya: kota pelabuhan yang terbuka,
dinamik, penuh energi. Kota dengan solidaritas sosial, jiwa
kewirausahaan, namun juga dengan suara-suara gelisah yang keluar dari kost-kost
sempit dan dinding-dinding pabrik di kawasan industri. Bonek adalah suara kota
Surabaya yang paling terbuka, berani dan mentah: Mereka adalah suara kota yang
diisi oleh keluarga-keluarga muda yang bekerja keras, pemuda rantau yang
berjuang mengubah nasib, sekaligus remaja-remaja yang cemas akan masa depan.
Vitalitas dan energi Bonek-lah yang memelihara dan menghidupkan harapan bahwa Persebaya akan kembali berlaga di kompetisi sepakbola Indonesia. Ini menunjukkan betapa menyesatkannya pandangan dominan nan hegemonik bahwa Bonek adalah suporter yang bikin rusuh, mengganggu ketertiban dan memancing kekerasan.
Vitalitas dan energi Bonek-lah yang memelihara dan menghidupkan harapan bahwa Persebaya akan kembali berlaga di kompetisi sepakbola Indonesia. Ini menunjukkan betapa menyesatkannya pandangan dominan nan hegemonik bahwa Bonek adalah suporter yang bikin rusuh, mengganggu ketertiban dan memancing kekerasan.
Surabaya adalah kota dengan jiwa sepakbola yang
dahsyat, yang bahkan suara dari sepersepuluh dari jumlah keseluruhan Bonek akan
membuat para administratur dan birokrat sepakbola akan gentar dan berkeringat
dingin. Bung! Ini adalah kota yang melahirkan bakat-bakat besar sepakbola. Liem
Tiong Hoo, Mudayat, Rusdy Bahalwan, Abdul Kadir Ruddy Keltjes, Syamsul Arifin,
Bejo Sugiantoro, dan sekarang Evan Dimas lahir dari kota ini.
Sejarah Persebaya mengalir dalam pembuluh darah kota Surabaya. Klub ini menghasilkan pertandingan-pertandingan legenda yang, dulunya diriwayatkan dari mulut ke mulut, disiarkan dari corong radio, diabadikan dalam memori tayangan televisi, yang lantas semuanya selalu diceritakan kembali dan kembali tanpa henti, setiap hari. Ini adalah kota yang stadionnya bergelora yang tiap anak bermimpi mengenakan seragam hijau-hijau dan menendang bola layaknya Mustaqim atau Andik Vermansyah menggulirkan si kulit bundar di Gelora Sepuluh Nopember.
Selamat bangkit kembali Bonek dan Persebaya!
Klub besar tak pernah mati. Bonek tak pernah mati. Persebaya tak akan pernah
mati.
No comments:
Post a Comment