Untuk pekerja yang diPHK
Darmanto Simaepa
‘Bola’ Mati Suri?
Harian ‘Bola’ tutup, begitu rame obrolan
media awal November. Banyak ucapan duka-cita di portal-portal olahraga dan juga
dari penulis sepakbola. Aku sangka ‘Bola’ memang benar-benar kukut. Terseret
gelombang arus ‘perasaan sosial’ yang bergentayangan di era digital dan dengan
sedikit kejernihan informasi, perasaan sedih serta merta melindap. Berita itu
memantik kesedihan yang lebih luas atas kenyataan bahwa semakin banyak media cetak
hanya akan menjadi kenangan.
Rupanya, ‘Bola’ tidak benar-benar mati. Ia
hanya berganti kulit menjadi mingguan (lagi) seperti awal kelahirannya. Dan
konon akan bangkit kembali menjadi media non-cetak. Aku berkali-kali bilang jancuk! dalam hati dan mengutuk diri
sendiri sebagai korban dari sebuah zaman yang memberi terlalu banyak (dan deras) informasi yang bisa membuat
seseorang bersedih hati, bahkan sebelum tahu apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Masalahnya, sekali kita terinfeksi virus digital yang keliru ini (dari
mana kata viral berasal), kita tidak bisa benar-benar sembuh total. Apalagi ini
tentang ‘Bola’, situs kultural yang turut membentuk sejarah sepakbola Indonesia.
Tidak ada vaksin untuk ini. Kematian ‘Bola’
terus bersemayam di kepala, meskipun keriuhan berita itu telah digantikan,
misalnya, oleh hasil seri Moto GP Valencia. Tidak ada cara lain untuk meredakan
demamnya kecuali mencari kejelasan informasi.
Jangan salah sangka, aku bukan penggemar
fanatik tabloid ini, peneliti olahraga, atau kolektor-arsiparis media-massa.
Aku tidak pernah berlangganan ‘Bola’, dan bahkan punya pengalaman buruk dengan
redaksinya—cerita khusus untuk ini lain kali saja! Sudah lama sekali terasa
bahwa tabloid ini tidak memberi pengalaman memuaskan dalam membaca dan
menghayati sepakbola. Terakhir membacanya tuntas lebih dari enam tahun tahun
lalu ketika bacaan apapun yang teman-temanku kirim ke Mentawai seminggu-dua
minggu sekali dari Padang dan Jakarta terasa seperti satu-satunya cara untuk
berhubungan dengan dunia.
Lantas, darimana belasungkawa spontan itu
berasal? Kenapa hati langsung gundah-gulana kendati sudah lama memutuskan untuk
tidak membacanya dan tidak percaya dengan kualitas jurnalistiknya? Pertanyaan itu
hilang-timbul selama dua bulan mengurus revisi tesis. Sampai aku menemukan www.bolaperjuangan.com,
situs yang dibuat oleh sekumpulan mantan karyawan ‘Bola’ yang diberhentikan
paksa.
Di situs
itu, Anda akan merasakan kegetiran hebat orang-orang yang hendak
mengartikulasikan campuran rasa kecewa, rasa cinta, harapan dan perlakuan tidak
adil, dan kehilangan. Aku sendiri tidak tahu-menahu soal pergolakan internal ‘Bola’. Perkara media,
bukan hanya soal ideal-ideal jurnalistik belaka tetapi soal modal, upah dan
hubungan kerja. Yang pasti, tidak rumit untuk dipahami kekecewaan mereka yang
telah bekerja lebih dari dua dekade membesarkan dan merawatnya. Bagi mereka, ‘Bola’ bukan
lagi sekadar komoditi.
Ya,
tentu saja mereka adalah buruh yang diupah berdasar atas nilai kerja yang
dikuantifikasikan oleh pemilik modal. Tetapi ingat, kapitalisme cetak bekerja
dengan cara yang rumit. Ia bisa membentuk solidaritas horizontal dan
memobilisasi cinta sesama agar negara-bangsa berdiri misalnya, dan dalam kasus
ini, mengubah tenaga kerja yang tercurah menjadi cinta dan rasa memiliki—cinta wartawan,
tukang cetak, loper koran, terhadap produk yang tidak dimilikinya.
Rasa getir di situs itu menggemakan
pertanyaan tentang rasa kehilanganku sendiri, meskipun kehilangan itu sudah
bisa diramalkan dan datang duluan. Kata cinta mungkin terlalu dalam untuk
menyebut hubunganku dengan ‘Bola’. Namun, ‘Bola’ juga bukan sekadar tabloid sepakbola.
Seperti cerita silat Kho Ping Hoo, serial Lupus, dan lagu-lagu Nike Ardilla di
akhir 80-an, dan terutama awal 1990an, ‘Bola’ adalah sebuah situs budaya tempat
banyak remaja (dan anak-anak) Indonesia melewati masa akil balig (rite du passage).
Pengalaman dengan ‘Bola’ mirip pengalaman
disunat. Seperti halnya mengingat ‘ujungnya daging harus dipenggal’, membaca ‘Bola’
menyisakan pengalaman ‘spiritual’ yang dibawa kemanapun pergi. Anda tidak
mungkin sunat lagi, tetapi rasa jarum suntik pertama kali menyentuh peler dan pengalaman
pertama melihat kulit kemaluanmu hilang, akan terbawa sampai mati.
Anda mungkin tidak menjadi pembaca rutin ‘Bola’
(atau tidak sudi lagi menyentuhnya), tetapi ia tetap menjadi bagian dari
kehidupan sepakbola Anda. Pengaruhnya mungkin tidak definitif seperti halnya
sunat, tetapi ia sama larutnya dalam peredaran darah. Dari mengisi TTS
sampai melingkari jadwal pertandingan dengan pena berwarna, dari menempel
poster sampai membaca ulasan kemenangan tim jagoan, ‘Bola’ membentuk riwayat jatuh cinta dengan sepakbola.
Ketika mulai menulis esai ini, muncul juga
pertanyaan reflektif lain: apa yang disedihkan dari tabloid yang hanya diisi
ramalan dan laporan hasil pertandingan, yang penuh dengan angka-angka statistik dan tebak
skor? Lama mencari jawabannya dan tidak kunjung bisa memastikan jawaban yang memuaskan, terasa bahwa dugaan lama tentang warisan terbesar ‘Bola’ bukanlah karya jurnalistiknya adalah benar belaka.
Perasaan sedih kehilangan ‘Bola’ lebih
sebagai ungkapan kecemasan pembaca sepakbola yang takut kehilangan sebagian pengalaman
masa lalunya. Ini bukan romansa pembaca buku atau media cetak yang meratapi kematian surat kabar atau dominannya buku-buku digital. Jurnalistik sepakbola tak akan pernah mati (meskipun juga tidak
pernah sehat). Buku dalam bentuknya yang klasik tidak akan musnah dari peradaban. Masa depan jurnalistik sepakbola tidak hilang dari ada-tidaknya harian ‘Bola’.
Pertemuan dengan bolaperjuangan membawa
pada pengalaman baru, membicarakan ‘Bola’ adalah membicarakan diri sendiri.
Kalau bagi mereka, tuntutan itu konkrit urusan dapur dan urusan hak atas tenaga
kerja yang telah menjadi cinta, bagi bekas pembaca ‘Bola’ sepertiku, kegelisahan
dan pertanyaan yang muncul adalah urusan untuk menemukan riwayatku dengan sepakbola.
♯1
‘Bola’ dan Bungkus Taoge De Rip
Tidak seperti pengakuan generasi pembaca ‘Bola’
1990an (dan para literati Indonesia) yang menemukan sumber bacaan di persewaaan bacaan, poster-poster di kamar teman, koleksi perpustakaan
sekolah, atau rak-rak buku seorang paman, aku menemukan tabloid itu di
pasar sayuran. Sebagai kota dagang kecil yang tidak punya orientasi literasi,
Babat dan desa-desa di sekitarnya dekade 1990an tidak punya taman bacaan,
perpustakaan kota, atau persewaan komik. Perpustakaan sekolah pastinya ada, tetapi
kebanyakan isinya adalah buku-buku dengan cap 'tidak diperdagangkan' dari dinas P
& K. ‘Bola’, koran, dan majalah? Jangan harap.
Hari itu di bulan Juli 1995, masa liburan
panjang setelah ujian nasional sekolah menengah pertama. Jika tidak bangun
kesiangan, aku membantu ibu membawakan ayam kampung, jagung, terong atau hasil
bumi lain yang dibeli dari tetangga sekitar ke Pasar Babat. Alasan-alasannya jauh dari urusan berbakti kepada orang tua atau belajar menjadi anak budiman. Pergi ke pasar berarti bisa selalu sarapan pecel yang enak atau bisa melihat album-album pop Indonesia di toko-toko milik keturunan Tionghoa.
Ibu menugasiku belanja barang dan barang yang tidak perlu ditawar di toko langganan. Sebelum berangkat, Ia hanya mendikte daftar belanja dan harga sementara aku menuliskannya di balik bungkus rokok atau anti-nyamuk untuk kemudian diserahkan kepada pemilik toko. Ia percaya penuh dan menyerahkan uang dalam jumlah yang sangat besar untuk anak usia 15 tahun.
Awalnya, pemilik toko langganan tinggal mengambil daftar belanja. Tapi aku sudah terlalu cerdik untuk tahu bagaimana cara mengambil sedikit uang belanja itu. Entah untuk membeli kaset KLa Project atau menikmati semangkuk bakso segar di terminal pasar. Daftar itu hanya aku bacakan—tidak aku serahkan. Beberapa barang aku kurangi jumlahnya. Ketika pulang dari pasar, tetangga sekitar rumah langsung menyemut di lapak dan ibuku tidak punya waktu untuk mengeceknya.
Ibu menugasiku belanja barang dan barang yang tidak perlu ditawar di toko langganan. Sebelum berangkat, Ia hanya mendikte daftar belanja dan harga sementara aku menuliskannya di balik bungkus rokok atau anti-nyamuk untuk kemudian diserahkan kepada pemilik toko. Ia percaya penuh dan menyerahkan uang dalam jumlah yang sangat besar untuk anak usia 15 tahun.
Awalnya, pemilik toko langganan tinggal mengambil daftar belanja. Tapi aku sudah terlalu cerdik untuk tahu bagaimana cara mengambil sedikit uang belanja itu. Entah untuk membeli kaset KLa Project atau menikmati semangkuk bakso segar di terminal pasar. Daftar itu hanya aku bacakan—tidak aku serahkan. Beberapa barang aku kurangi jumlahnya. Ketika pulang dari pasar, tetangga sekitar rumah langsung menyemut di lapak dan ibuku tidak punya waktu untuk mengeceknya.
Pergi ke pasar sangat menyenangkan. Hampir
selama sebulan penuh di bulan itu, aku ikut membantu ibu. Ia sangat senang,
selain karena merasa anaknya berbakti dan bisa diandalkan sejak masih sangat
muda, ongkos porter barang tidak perlu dibayar—meski tidak tahu kehilangan
lebih banyak uang dari sekadar membayar tukang angkut di tangan anaknya. Belanja
jadi lebih cepat sehingga sayur, ikan, tahu, jajanan pasar yang dibeli
dari pasar untuk dijual lagi di lapak masih segar.
Aku juga bisa mendapat uang tambahan. Beberapa juragan ibu terkadang meminta bantuan untuk memindahkan ini itu, mengantar ini itu. Kadang mereka cuma-cuma memberi uang persenan. Mungkin karena kasihan.
Suatu hari, juragan taoge langganan ibuku
membongkar kios. De Rip panggilan pendeknya (aku tidak pernah tahu nama
lengkapnya) akan pindah usaha di kota lain dan menyewakan kiosnya pada orang
baru. Ia memintaku untuk membuang tumpukan koran bekas di sudut kios, yang ia
gunakan untuk membungkus taoge partai kecil untuk para pelanggan, dan
menaruhnya di dekat pintu agar tukang sampah keliling mudah memungutnya.
Dari situlah, aku pertama kali melihat ‘Bola’.
Aku tidak tahu dari mana De Rip membeli
koran bekas. (Pertanyaan itu tidak akan muncul, lagi pula tidak menarik, saat
itu). Yang menyita mata, di tumpukan paling atas, ada halaman lusuh tapi
berwarna. Gambar besar Ryan Giggs yang dagunya belum berbulu menggiring si
kulit bundar dengan baju merah bertuliskan merek televisi. Gambar itu membetot
pikiranku.
Aku sudah menonton secara rutin dan menjadi
penggemar MU sejak Liga Inggris disiarkan oleh SCTV beberapa tahun sebelumnya.
Namun berita tentang liga-liga di Eropa bukanlah primadona Jawa Pos,
satu-satunya sumber bacaan tentang sepakbola. Di tumpukan kertas bekas itu,
lebih banyak ditemukan gambar-gambar pemain dan berita-berita sepakbola luar
negeri.
Yang kontras dengan Jawa Pos adalah ukurannya yang lebih kecil. Mudah bagi rentangan anak remaja membolak-balik
halaman sambil duduk. Sebagai perbandingan, cara terbaik membaca membaca Jawa
Pos (masih dengan ukuran koran lama) adalah telungkup di atasnya. Cukup lama
aku memeriksa koran bekas itu satu persatu. Untunglah hari itu, ibuku belanja
cukup banyak sehingga ada banyak waktu.
Sambil menunggu, aku mengacak-acak tabloid
bekas dengan antusiasme seorang remaja yang sedang membaca surat cinta pertama dari gadis
tetangga. Beberapa lembar aku sisihkan karena memuat berita kemenangan MU dan final
liga Champions edisi 1994 yang membuatku menangis tersedu-sedu. De Rip
mengijinkanku untuk membawanya pulang, meski ibuku hanya membolehkan untuk membawa sebagian.
Dekat di Mata, Jauh dari Stadion
‘Bola’ tidak pernah populer di Jawa Timur.
Jawa Pos telah berhasil mengidentikkan dirinya dengan sepakbola Jawa Timur
lewat dukunganya terhadap Persebaya sejak paruh 1980an. Koran Jawa Pos
menyediakan 16 lembar halaman olahraga, dengan tiga perempatnya khusus untuk
berita bola, terutama Persebaya. Tidak hanya itu, Jawa Pos memobilisasi suporter
dan punya andil dalam menciptakan Bonek
sebagai istilah dan sekaligus sub-kultur remaja dan pemuda Jawa Timur.
Keberhasilan Dahlan Iskan mendekatkan Jawa
Pos dengan Persebaya menciptakan hubungan yang kuat dan identik antara suporter
sepakbola dan pembaca setia Jawa Pos. Prinsip kedekatan alias proksimiti dalam
teori jurnalistik bekerja dengan sempurna: penggemar sepakbola adalah pembaca Jawa Pos, dan pembaca Jawa Pos hampir pasti akan mendukung Persebaya.
Sebelum berjumpa dengan ‘Bola’, aku sudah
menjadi pembaca rutin Jawa Pos sejak kelas tiga SD. Kedatangan perawat baru di
desa pada tahun 1990 memperkenalkanku dengan koran-nya Dahlan Iskan itu. Keluarga perawat itu
membuka pintunya bagi kehadiranku sehingga sebelum adzan maghrib dan setelah
mengaji di masjid At-taqwa, aku selalu singgah ke rumah mereka di belakang masjid untuk memamah berita-berita yang belum bisa benar-benar kumengerti
sepenuhnya.
Usai sekolah dasar, pengalaman membaca
koran telah melampaui pengalaman membaca Qur’an. Jawa Pos telah menjadi bagian
keseharian yang paling akrab. Waktu-waktu menuju masjid lebih diisi oleh
keinginan segera membuka halaman pertama sepakbola di rumah perawat itu dibanding mendaras kitab suci.
Kendati telah menjadi bagian dari
Jawa Pos dan ikut merasakan demam ketika Persebaya akan bertanding di babak
utama Perserikatan, pengalaman sepakbola paling riil bagiku adalah sepakbola di televisi dan radio.
Bagi keluarga sederhana, pergi ke stadion di
Surabaya adalah impian yang sulit terjangkau. Aspirasi dominan keluarga tuna-kisma adalah mendekatkan anaknya ke masjid dan berharap kelak
mengharumkan nama keluarga dengan menjadi da’i atau ulama kampung. Atau bagi
yang beruntung punya anak pintar, mereka berharap anaknya terus mendapat rangking
pertama di sekolah dan suatu saat ada kenalan baik hati yang menawarkan posisi juru ketik di kantor kecamatan.
Meskipun punya bakat sepakbola lumayan dan
tanda-tanda terjangkit gila sepakbola, tidak ada rute menuju masa depan
untuk menjadi pemain atau pendukung loyal klub sepakbola. Investasi dengan
sekolah sepakbola belum dianggap menjanjikan, dan tidak ada orang tua dengan ekonomi pas-pasan dengan senang hati memberi uang saku bagi anaknya yang ingin menonton sepakbola di stadion.
Bagi orang tuaku—dan sebagian besar orang tua miskin di desa—sepakbola di stadion identik dengan tawuran dan sangat membahayakan anak-anak. Menjadi suporter sepakbola dikesankan sebagai resiko untuk menghasilkan pemuda berandalan tanpa masa depan. Tentu saja mereka benar. Kalau harus pergi ke stadion Tambak Sari atau Petrogres untuk menonton Eri Irianto atau Widodo C. Putra, pasti aku harus berangkat sebelum ashar dan pulang setelah isya. Tidak ada ruang negosiasi untuk kehilangan shalat lima waktu, terlebih-lebih jika bapakmu adalah orang yang mudah emosi.
Bagi orang tuaku—dan sebagian besar orang tua miskin di desa—sepakbola di stadion identik dengan tawuran dan sangat membahayakan anak-anak. Menjadi suporter sepakbola dikesankan sebagai resiko untuk menghasilkan pemuda berandalan tanpa masa depan. Tentu saja mereka benar. Kalau harus pergi ke stadion Tambak Sari atau Petrogres untuk menonton Eri Irianto atau Widodo C. Putra, pasti aku harus berangkat sebelum ashar dan pulang setelah isya. Tidak ada ruang negosiasi untuk kehilangan shalat lima waktu, terlebih-lebih jika bapakmu adalah orang yang mudah emosi.
Di stadion, anda pasti lapar setelah berteriak,
berjingkrak, dan adu-duel dengan petugas masuk stadion. Tidak ada cara lain
kecuali berkomplot untuk menipu pedagang asongan, merampas makanan dari warung
pinggir jalan, atau main petak umpet dengan pencek tiket kereta api. Itu adalah masa-masa transisi yang
mungkin saja membuka jalan seorang anak desa menjadi pemain profesional atau pengurus sepakbola. Sebaliknya, masa transisi itu juga bisa menghasilkan pemuda
putus asa yang berakhir dengan mabuk di bawah pohon waru atau mengoplos miras di bawah jembatan.
Tiga dekade yang lalu, isyarat bahwa sepakbola
bisa menyediakan peluang mobilitas sosial bagi anak desa miskin dan memberi gaji yang tinggi belum
bisa dibaca dan diramalkan. Paling banter, pemain hebat yang lahir jauh dari
Surabaya atau kota-kota besar lain, hanya akan beredar dan diperbincangkan dari
desa ke desa di sela-sela masa tanam, dan berakhir pensiun dini menjadi buruh
tani ketika kaki-kaki mereka patah atau harus mulai mengurus anak-istri.
Menjadi suporter yang loyal atau bermimpi
jadi pemain profesional berarti siap mengorbankan dan berani mempertaruhkan banyak hal. Pengalaman dengan stadion
adalah barang mewah, mahal, dan menghalangi mobilitas sosial. Sehingga,
melambai-lambaikan syal, ikut tret, tet
tet Persebaya ke Jakarta atau Semarang tidak pernah menjadi bagian
imajinasi sepakbola remajaku.
Lagi pula, Lamongan adalah kota rawa yang
tidak punya tradisi sepakbola. Nama Persela nyaris tidak terdengar dalam
pembicaraan sepakbola sehari-hari waktu itu. Turnamen agustusan sepakbola di Babat lebih hidup dan menarik minat para pemain top dari Surabaya dan sekitarnya.
Masalahnya: desaku tidak punya tradisi sepakbola
yang membanggakan. Kami tidak punya lapangan yang layak. Mengirim tim ke sebuah
turnamen hanyalah menyiapkan rasa malu. Kami terbiasa bermain 20 vs 20 dalam
lapangan 800 meter persegi, dan kadang harus berbagi dengan kuda dan biri-biri.
Tim-tim dari desa lain lebih kuat. Kalaupun mereka masih bisa dikalahkan,
tim-tim dari daerah kecamatan yang dibiayai secara patungan oleh para pedagang pasar jelas bukan lawan sepadan. Lebih baik untuk menjadi pendukung tim-tim
yang ngebon pemain bagus dari luar kota saja, dari pada melihat gawang tim
sendiri menjadi bancakan penyerang
lawan.
Konjungtur itu membuat pengalaman sepakbola
paling dekat adalah siaran langsung televisi atau laporan pandangan mata dari
radio, dan kemudian lewat halaman olahraga Jawa Pos. Aku tidak punya tautan
dengan stadion dan tim lokal. Emosi justru tercurah kepada para pemain dari
tempat yang jauh di benua lain yang hilir mudik dalam tayangan televisi dan
diberitakan keesokan harinya di halaman olahraga. Kalaupun aku
menggemari Niac Mitra dan segala sejarahnya, itu adalah Niac Mitra yang hadir
lewat siaran radio sepakbola dan cuplikan dari gelanggang ke gelanggang TVRI di minggu siang.
Koran, televisi, dan radio menghadirkan sepakbola
yang dekat, sekaligus berjarak. Ia sangat dekat karena berita, siaran langsung
datang ke ruang keluarga dan bisa dinikmati sambil menghapal Juz Amma. Tapi ia juga berjarak, karena emosi yang terlibat dibatasi
oleh medium. Pengalaman sepakbola lewat media ini, di satu sisi, menjauhkanku
dengan pengalaman-pengalaman konkret untuk menjadi penggemar loyal sebuah klub
lokal; namun di sisi lain membuka cakrawala sepakbola global yang dimainkan di stadion-stadion megah
di Eropa.
Membayangkan sebagai Bonek terasa sangat jauh. Semakin berjarak dengan
imajinasi menjadi bonek dan hingar bingar Persebaya yang menyertainya,
semakin dekat aku dengan sepakbola di media massa. Ketika koran bekas bungkus taoge
itu ada di depan mata dan melimpahiku dengan gambar pemain-pemain yang lalu
lalang di layar televisi tiap akhir pekan, tidak sulit untuk memahami bahwa ‘Bola’
telah mencuri hatiku, menempati ceruk kecil dalam pengalaman cinta remaja
dengan sepakbola, yang sebagian besarnya telah diisi oleh Jawa Pos.
‘Bola’ memberi jalan lain untuk menautkan pertandingan-pertandingan
di lapangan jauh dengan ruang keluarga, seperti halnya jalan yang diberikan
Jawa Pos dengan para pendukung Persebaya.
♯2
Mengingat Kios Baidhowi
Pertemuan dengan ‘Bola’ bekas di kios taoge
membuat dahaga sepakbola seorang remaja tak cukup di pasok oleh arus berita
Jawa Pos. Dahaga itu harus ditahan cukup lama karena aku tidak punya ide ke
mana mencari tabloid ‘Bola’. Selama liburan panjang itu, aku tiap hari
menyempatkan ke deretan kios koran untuk mencari-cari tabloid ‘Bola’. Keponakan
penjual taoge yang menggantikan De Rip tidak lagi punya koleksi Bola dan tidak tahu dari mana bibinya membelinya.
Segera setelah bersekolah dengan celana
panjang abu-abu, aku sering berkelana dari satu keramaian penjual buku musiman ke
keramaian penjual buku keliling yang lain, di terminal, masjid agung atau di depan kantor pos kota. ‘Bola’, tentu saja tidak ada di
antara deretan buku-buku panduan sholat, selebaran khotbah jumat dan iklan penumbuh rambut,
dan toples berisi serangga dan ular berbisa yang diawetkan. Ia juga tidak ada
di deretan buku stensilan Freddy S dan cerita silat Kho Ping Ho, kaset bekas dan gambar-gambar perempuan dengan vagina menganga yang disembunyikan di antara
buku teka-teki silang—meskipun itu memberiku jalan untuk menemukan serial
Pendekar Kapak 212.
Aku juga sering pergi ke loper-loper koran
dan mendapati gelengan kepala. Beberapa di antaranya memaki karena aku bertanya
lebih dari sekali. Sampai seorang kakak teman yang berlangganan majalah ‘Gadis’
memberiku nama toko alat tulis dan agen koran.
Baidhowi Agency.
Namanya diambil dari nama marga pemiliknya,
pria keturunan Arab berewokan yang ramah. Itu adalah satu-satunya kios yang
menjual tabloid ‘Bola’. Selama tiga tahun sekolah menengah pertama, aku sering
lewat depan kios itu. Beberapa teman membeli pena dan buku, serta memesan
seragam di situ. Ada koran-koran dan majalah yang digantung di dinding kios,
namun aku belum tahu ‘Bola’ ada di antaranya. Menemukan ‘Bola’ di Baidhowi
adalah pengalaman besar—setara dengan halnya melihat film porno untuk pertama
kali.
Kios itu barangkali sama pentingnya dengan
lapangan sepakbola Sawunggaling tempat aku berlatih sepakbola. Setiap hari
Kamis petang, selepas mengisi bak mandi atau menjaga kedai, aku mengayuh sepeda
RRT warisan bapakku tujuh kilo menuju jalan Raya Bojonegoro-Surabaya nomor 143.
Ruap hangat kertas ‘Bola’ yang keluar dari percetakan dan hasil pertandingan
tengah pekan adalah hal yang paling menarik selera bagi remaja yang mulai lebih
menikmati kisah pemain ‘Bola’ dari pada kisah para nabi.
Baidhowi pemilik kios itu sudah hapal
dengan rutinitas Kamis petang itu. Menjelang aku datang, satu eksemplar tabloid
‘Bola’ yang masih segar diletakkan di atas meja. Jika
di mejanya tidak ada tabloid ‘Bola’, aku pun tahu bahwa Kamis itu akan jadi
hari yang sangat panjang dan sedikit mengecewakan. Untuk menghibur diri,
terkadang aku memaksa Baidhowi untuk memeriksa koleksi tabloid ‘Bola’ yang
masih dipajang di dinding kios.
Kami tahu tidak ada tabloid ‘Bola’ hari itu
dan tidak mungkin dia tidak mencek barang baru, tapi begitulah, kekecewaan selalu
membutuhkan penghiburan. Paling sering, dia menyarankan untuk datang lagi besok
hari sebelum Jumatan. “Siapa tahu ekspedisi datang lebih pagi,” katanya. Itu
adalah saran yang menghibur namun sama sekali tidak membantu.
Aku tidak tahu persis berapa kali Baidhowi
terlambat mendapat kiriman ‘Bola’ di Kamis petang. Dalam rentang empat tahun
(1995-1998) selama aku menjadi pengunjung Baidhowi—pertama kali saat kelas satu
SMA hingga menjelang pergi ke Yogya, seingatku, hanya dua-tiga kali aku mendapat ‘Bola’ di Jumat sore.
Ketika ‘Bola’ tidak datang tepat waktu, suasana
hati akan naik turun, seperti permukaan aspal jalan raya. Satu-satunya hal yang
membuat permukaan hati menjadi sedikit rata adalah poster-poster film Sally
Marcelina, Warkop DKI atau Cindy Rothrock di Gedung Garuda, satu-satunya gedung
bioskop di kota Babat. Berjarak hanya tiga bangunan dari Baidhowi, Gedung
Bioskop itu adalah suaka bagi kekecewaan, palung tidak selama satu-dua jam.
Gundah-gulana hilang sebentar jika gambar
artis-artis China dengan payudara-payudara montok yang ‘diplester’ putingnya
atau kuntilanak dan sundal bolong cantik yang sedang mendesah dan mengancam, terpampang
di kotak kaca promosi. Namun, bibir Sally Marcelina dan paha ramping Inneke
Koesherawati hanya bisa menegangkan kemaluan dan mempercepat aliran darah
paling lama satu jam. Gambar film “Permainan Binal” di atas ranjang tetap tidak
bisa mengalihkan gairah terhadap permainan indah di atas lapangan.
Sepakbola bagiku pada masa itu jauh lebih
penting (dan mengasyikkan) dari pada menyelesaikan soal-soal mata pelajaran
fisika atau ujian matematika. Menyukai lawan jenis, kalaupun pernah terbersit,
gampang dialihkan oleh rencana-rencana pertandingan antar kampung atau SMA.
Bahkan semua saran dokter untuk mencintai tubuh sendiri dibanding menonton
siaran ‘Bola’ dini hari hanya akan diingat hanya ketika berbaring di ranjang
rumah sakit. Setelah derita tipus dan masuk angin yang rutin menyerang setiap
beberapa bulan sekali hilang, jadwal siaran sepakbola di balik halaman terakhir
‘Bola’ harus simpan dan diperiksa berulang kali.
Sepakbola Bola Global Menggurita ketika Republik Hamil Tua
Aku masih rutin membaca Jawa Pos di rumah
Pak Katno (perawat itu) ketika berkenalan dengan ‘Bola’. Namun, Jawa Pos
semakin dalam untuk terlibat dengan Persebaya, terutama setelah Petrokimia
dengan Widodo, Jacksen dan Carlos de Mello berhasil mencuri perhatian nasional. Semakin
banyak porsi untuk persebaya, dan semakin kecil porsi untuk sepakbola Eropa.
‘Bola’ dan Baidhowi menyempurnakan celah kosong itu. Ia bisa memuat berita pertandingan tengah pekan. Meskipun di pojok atas-kanan halaman mukanya dinyatakan sebagai edisi Jumat, namun Kamis sore, ia sudah beredar di kios-kios koran di kota besar dan area yang terjangkau oleh jalur pengiriman. Jawa Pos terbit pagi dan tidak bisa menunggu hasil-hasil pertandingan Kamis dini hari.
‘Bola’ dan Baidhowi menyempurnakan celah kosong itu. Ia bisa memuat berita pertandingan tengah pekan. Meskipun di pojok atas-kanan halaman mukanya dinyatakan sebagai edisi Jumat, namun Kamis sore, ia sudah beredar di kios-kios koran di kota besar dan area yang terjangkau oleh jalur pengiriman. Jawa Pos terbit pagi dan tidak bisa menunggu hasil-hasil pertandingan Kamis dini hari.
Bagi remaja yang keranjingan berita sepakbola,
kehangatan berita adalah segalanya. Benar kata orang., nafsu para remaja tidak kenal
kata tunda. Menunggu berita hasil liga Champions, Piala UEFA atau Winners di
hari Jumat mungkin rasanya seperti menunggu surat balasan kekasih hati, atau
lebih buruk lagi, dipaksa makan nasi basi.
Ini bukan perkara soal kekuatan
jurnalistik. Secara kualitas, karya-karya jurnalistik Jawa Pos justru lebih
bagus. Untuk sepakbola, mereka secara berkala memberi asupan ekstra. Mereka
menyediakan laporan-laporan langsung dari koresponden luar negeri yang
mumpuni—untuk ukuran masa itu. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa Doktoral di London, Hamburg atau Washington yang diberi kartu wartawan dan menulis secara
rutin. Dari sanalah cita-citaku untuk menjadi wartawan tumbuh. Djoko Susilo
atau Ramadhan Poham muda yang menulis tentang invasi Israel atau final liga Champions adalah figur-figur yang mengisi halaman-halaman terbaik Jawa Pos
90-an.
Jawa Pos juga membayari mahasiswa di luar
negeri untuk melakukan liputan langsung. Hasilnya, tulisan-tulisan mereka lebih
analitik, berkisah, dan panjang, bahkan sebagian di antaranya berseri. Sementara
‘Bola’ lebih memilih orang-orang dari Kedutaan Besar di luar negeri untuk
membantu mendapatkan kabar mutakhir dari luar negeri.
Waktu itu, perseteruan dan persaingan Grup
Kompas dan Grup Jawa Pos bukan menjadi pembicaraan orang awam, dan tidak keluar
di lingkaran kecil para melek media. Kisah tentang sabotase seluruh terbitan
Kompas di Bandara Juanda oleh centeng Dahlan Iskan tak pernah terdengar sampai
ke desa-desa, lagi pula barangkali bukan isu yang penting bagi pembaca. Bagi anak kecil, 'Bola' terlambat datang hanya karena pesawat ditunda karena cuaca, ban mobil ekspedisi bocor.
Jawa Pos menguasai sepakbola Jawa Timur,
tapi tidak untuk Kamis sore.
Informasi terbaru Liga Champions adalah pembuka percakapan pagi hari sebelum masuk kelas. Ia juga penting bagi usaha pamer pengetahuan. Anda bisa terlihat pintar dan berbeda di kelas atau di desa. Apalagi jika persaingan di sekolah untuk mendapat ranking tertinggi begitu ketat dan di lingkungan sekitar, paternalisme memaksa anak-anak untuk menerima orang tua sebagai yang paling tahu dan benar. ‘Bola’ memberi pengetahuan (dan otoritas serta kekuasaan) bagiku untuk bicara sepakbola di lingkungan teman dekat dan desa—khususnya tentang berita sepakbola luar negeri.
Tumbuhnya Bola dimungkinkan oleh globalisasi siaran sepakbola yang memuncak di paruh 1990an. Setelah berakhirnya monopoli siaran TVRI, televisi swasta berlomba-lomba membeli hak siar televisi. Sky Sport, Rai, atau Canal turut menciptakan Cantona, Ronaldo, Zidane, Del Piero, Beckham, Manchester United sebagai ikon global yang bersanding dengan pujaan lokal. Jika generasi 80an di desaku hanya memperbincangkan Maradona dan Ruud Gullit bersama dengan Syamsul Arifin, Alhadad, Mustaqim, Djoko Malis atau Subangkit, generasi 90an pasti tahu seluruh pemain klub-klub yang berlaga di liga utama Eropa.
Di leven nasional, sepakbola mulai menggeliat
menjadi industri. Setelah era patronase bisnis dalam Galatama dan patronase
politik dalam Perserikatan dileburkan di tahun 1994, perusahaan rokok berani membayar
mahal liga yang tak benar-benar bisa membalikkan investasi. Liga didesain sedemikian rupa untuk disiarkan di televisi dan stadion-stadion dibenahi. Pemain asing berdatangan dan pemain lokal mulai mendapatkan bayaran yang lumayan.
Meskipun liga Indonesia diniatkan untuk menjadi
industri, Jawa Timur tidak pernah bisa menghilangkan ciri primordialisme-nya. Dahlan
Iskan dan Jawa Pos masih mengelola ikatan emosional dengan bonek, untuk menjaga oplah sekaligus bersiap-siap lepas landas menjadi koran nasional. Strategi itu berhasil secara gemilang. Mereka berhasil
mengantar Persebaya menjadi juara Liga Kansas di musim 1996/1997 dan meningkatkan daya jangkaunya ke Jawa bagian tengah dan Sunda kecil.
Mobilisasi suporter dengan ekspresi kedaerahan menciptakan
kekhawatiran besar bagi kekuasaan di Jakarta. Republik sedang hamil tua.
Ketidakpuasan para petani dan masyarakat terpencil yang tergusur oleh bendungan
atau perusahaan kayu membesar menjadi protes politik. 'Kelas menengah' mulai gerah dan berusaha berkampanye tentang suksesi. Militer dan elit politik terfragmentasi.
Di tingkat global, booming dan boosting bisnis properti di kota-kota
besar Asia menciptakan krisis nilai tukar, dan merembet menjadi krisis ekonomi. Soeharto mengubah taktik politik sapu lidi menjadi belah bambu. Rumor dukun santet, konflik etnik dan kekerasan menyebar dan menjalar dari kota ke kota.
Kerusuhan di dalam dan di luar stadion juga meluber, memanaskan suhu politik di kota-kota utama. Militer dan Polisi diminta Cendana untuk mengongkan stadion dari rapat-rapat akbar dan kampanye PDI-Megawati. Imbasnya, stadion juga disterilkan dari penonton sepakbola, demi alasan keamanan nasional Pemilu 1997.
Bagi remaja yang belum benar-benar paham
tentang politik, sepakbola di televisi dan ‘Bola’ menawarkan suaka. Hawa panas
politik yang menggantung di udara serta dari kekalutan sepakbola nasional tidak
menghentikan gambar-gambar Ronaldo Barca yang melewati delapan pemain dan atau berita mengenai Cantona. Sementara liga Indonesia
dibubarkan, transisi besar-besaran yang sedang berjalan di Eropa bisa dinikmati
dengan tenang di ruang keluarga. Manchester United memulai kejayaan
imperiumnya; Wenger mulai menerapkan misi revolusionernya di Highbbury; the Dream Team
Barcelona dan Milan telah melewati masa keemasannya; Juventus, Ajax, Bayern
siap-siap menggantikannya. Liga Italia mulai kehilangan daya tarik; Liga
Inggris semakin kuat memompa uang siaran tayang.
‘Bola’ menjadi saksi seluruh peristiwa sepakbola
global itu. Jawa Pos memang punya koresponden di luar negeri, namun ia tidak
punya daya saing dengan grup Gramedia untuk mengirim belasan wartawan ke
Olimpiade, Asian Games atau Piala Asia. Ketika Jawa Pos masih berasyik masuk
dengan Persebaya, ‘Bola’ mengirim gambar tendangan salto Widodo Cahyono melawan
Kuwait di Piala Asia ke seluruh penjuru Indonesia.
Cita rasa kosmopolitanisme penulisan sepakbola
juga bisa didapat dari terjemahan kolom-kolom Rob Hughes di Daily Telegraph atau
Sunday Time. Teknik menulisnya menjadikannya istimewa, dan membuat ulasan-ulasan sepakbola yang ditulis
oleh wartawan Indonesia koran manapun terasa membosankan. Perspektif dan cara
pandangnya terhadap bagaimana sepakbola harus dimainkan dan nilai-nilai olahraga
harus diutamakan menarik hati.
Gurita sepakbola global yang
dibentuk oleh siaran televisi dan diberitakan ‘Bola’ membentuk pengalaman berjarak
dengan sepakbola nasional (dan terutama lokal), dan semakin menguatkan aspirasi
sebagai penggemar sepakbola global. Ini menghasilkan seorang anak desa lebih
mencintai Barcelona dan MU dibanding Persela, dan lebih tahu tentang hubungan oligarki dan sepakbola di Italia dibanding politik para Bupati dan anggaran belanja klub sepakbola.
*****
Kehidupan sebagai mahasiswa sedikit
mengendorkan antusiasme sepakbola yang meluap-luap di masa remaja. Kota, makanan,
dan teman-teman dari seluruh Indonesia menghadirkan pengalaman baru. Pergaulan
dengan buku-buku dan bacaan baru menghisap anak muda ini bertualang dengan
ide-ide yang dianggap mampu mengubah dunia. Dengan begitu, rujukan dan selera
bacaan berkembang. Jawa Pos tinggal kenangan, dengan Kompas dan Tempo menggantikannya. Meskipun begitu, ‘Bola’ tidak pernah benar-benar hilang. Teman
kost rajin membeli dan aku orang pertama yang menghabiskannya. Kami
sering membagi-bagi halaman ‘Bola’ di parkiran Fakultas Biologi di saat
jeda-jeda praktikum. Di kantor Pers Kampus tempat menghabiskan waktu diluar
praktikum, satu dua orang secara berkala membawa ‘Bola’ untuk dibaca
ramai-ramai. Namun, kebutuhan untuk membaca ‘Bola’ tidak lagi seperti dulu.
*****
♯3
Menunggu ‘Bola’ Dari Kapal Sumber Rejeki
Kehidupan sepakbola bergairah setelah
tinggal untuk meneliti dan kemudian bekerja di Siberut, Kepulauan Mentawai.
Setiap akhir pekan adalah sebuah pesta permainan. Sepakbola dimainkan dari
terik siang sampai matahari benar-benar tenggelam. Bagi pendatang yang hendak
menyelami kehidupan Mentawai, lapangan sepakbola adalah tempat perkenalan dan
adaptasi terbaik. Skill yang lumayan mempercepat
usahaku merebut hati mereka. Sekali dua kali mencetak gol yang bagus, Anda akan
diperbincangkan dari lembah-ke-lembah. Apalagi setelah aku berhasil mencetak gol
sebuah solo-run dari lapangan tengah dalam turnamen Agustusan, hampir orang setengah
pulau membicarakanku.
Yang menjadi masalah justru adalah menonton
sepakbola. Liga-liga Eropa, turnamen piala dunia dan Eropa dan Champions yang
bisa diakses gratis di kota-kota besar, tidak bisa ditangkap oleh siaran parabola.
Beberapa trik bisa digunakan untuk mencuri siaran televisi, tapi itu hanyalah
taktik para mekanik dan pedagang untuk
meningkatkan orderan pemasangan antena. Kalau beruntung, siaran televisi
Timor Leste atau China yang kebetulan berseliweran di radar parabola menyiarkan
liga Portugal, Piala Asia atau Olimpiade.
Masalah lain adalah pasokan listrik. Di
tiga desa di dekat Kecamatan, listrik hanya tersedia dari jam 6 siang sampai 11
malam. Di luar kawasan itu, listrik hanya tersedia lewat generator sederhana. Yang
punya generator, kalau tidak pedagang Minang atau Nias hanya orang Mentawai
yang beruntung menjadi tangan kanan proyek pemerintah. Di dusun tempat aku
tinggal, televisi dan generator hanya ada dua, milik pedagang Nias dan kepala
desa. Si kepala desa punya TV tapi tidak punya parabola. Di rumahnya, televisi menyala dengan film-film Bary Prima, Arnold, atau kalau sudah bosan dengan adegan baku hantam, diputarlah lagu-lagu pop Minang yang mendayu-dayu.
Televisi berparabola milik pedagang Nias
diputar di jam tayang utama di kedai sebagai strategi berjualan dan dimatikan
ketika pembeli sudah mulai sepi. Antara jam 8-10 malam, seisi kampung berjubel
di teras pemilik kedai untuk menonton Jaka Tingkir berkelahi, Mak Lampir
menyeringai, atau air mata Nabila Syakieb jatuh berderai-derai.
Di kota Kecamatan, beberapa orang kaya
berlangganan TV berbayar. Namun tidak seperti di kampung, orang tidak menonton
ramai-ramai. Lagipula, karena aku tinggal di kampung nun jauh di pedalaman dan
jarang turun ke kota, jaringan pertemanan dengan para pendatang sangat terbatas
terbatas.
Pengalaman dengan final Piala Eropa 2004
ini akan terkenang selalu.
Jadwal ambil ransum 3 bulanan jatuh pada
bulan Juli, di minggu ketika Portugal menantang Yunani. Atas saran teman, aku
diminta menghubungi pak PR, pensiunan polisi yang menampung kopra dan menjual
barang kelontong. Dia adalah satu di antara tiga orang di Muara Siberut (ibu
kota kecamatan) yang berlangganan Indovision. Siang hari, sambil pura-pura
belanja beras dan tembakau, aku bertanya tentang kemungkinan menonton final
piala Eropa di rumahnya. Dia sedang mengurus kakao di ladang. Anaknya bilang
OK, dan memintaku untuk datang sebelum lampu listrik PLN mati jam 11. Ia juga
menyuruhku membawa paling tidak 2 liter bensin untuk menyalakan generator.
Malam itu aku mengajak dua teman. Kami
berjalan tujuh kilometer dari tempatku menginap sementara di desa tetangga. Kami
menyusuri jalanan becek rawa di tengah rawa sagu, hanya berbekal senter kecil
dan parang. Hujan dan badai deras menerjang. Kilat menyambar-nyambar di balik bukit. Kami
tidak sadar bahwa PLN mematikan lampunya lebih awal karena takut stasiunnya
disambar petir.
Dengan basah kuyup, Kami sampai di depan
gerbang rumah Pak PR. Rumah gelap, dan pagar terkunci. Kami berteriak-teriak
memanggil. Tidak ada jawaban. Kami menunggu sampai setengah jam. Hujan sedikit
reda dan angin mulai tenang. Kami memanggil-manggil lagi. Kali ini yang keluar
dua anjing galak. Gonggongan itu memanggil anjing-anjing setengah liar di
seluruh Muara Siberut untuk menggonggong dan mengejar kami. Kami lari lintang
pukang dengan bensin tercecer di sana sini…
Masa-masa ketika aku tinggal selama kurang
lebih 1 tahun di Ugai untuk penelitian skripsi dan setahun berikutnya kerja
untuk sebuah proyek konservasi dari satu dusun ke dusun lainnya memutus sama
sekali hubunganku dengan sepakbola luar negeri. Aku kehilangan pengalaman
dengan final Piala Eropa 2004, final liga Champions 2003 dan 2004, dan liga
Eropa dan liga Indonesia dari 2003-2005.
Sampai kemudian aku bekerja dan menetap di
kota Kecamatan sejak akhir 2005. Sekretaris kantor mengatur langganan koran
dari Padang yang dikirim lewat kapal Sumber Rejeki yang berlayar seminggu sekali.
Aku meminta ‘Bola’ sekalian dimasukkan ke dalam pengiriman. Sesekali, seorang
teman Belgia mengirim National Geographic dan Four-Four-Two edisi bahasa
Inggris dari Jakarta.
Pada saat yang sama, aku mulai pelan-pelan
membangun jaringan sosial dengan para pendatang di kota kecamatan. Aku bertemu
dengan pak Eko, karyawan sekolah Katolik yang, kegilaannya terhadap sepakbola,
belum aku temukan di tempat lain—cerita untuknya lain kali saja. Dia masih
tinggal bersama mertuanya di kompleks perumahan guru-guru. Meskipun mertua
perempuannya mukanya berubah menjadi masam ketika sinetron kesayangannya
diganti siaran sepakbola, Pak Eko terus saja mengundangku untuk berteriak-teriak
di rumah sempit itu, terutama ketika Chelsea sedang bertanding. Setelah dia pindah dan punya rumah sendiri di
awal tahun 2006, ia membeli parabola dan tempatnya jadi markas anak muda yang
ingin menonton sepakbola ramai-ramai.
Masalahnya, parabola tidak selalu bisa
menangkap siaran sepakbola liga-liga di Eropa. Apalagi pemegang hak siar di
Indonesia pada tahun-tahun itu berkomplot dengan produsen parabola merek
tertentu. Sepakbola masih bisa disaksikan dari televisi biasa di kota-kota
besar. Tapi di kota-kota kabupaten, apalagi yang terpencil, siaran itu tidak
bisa ditangkap. Karena parabola baru saja dibeli, parabola
khusus itu diluar jangkauan kemampuan finansial pak Eko.
‘Bola’ kembali menjadi penghubung dengan dunia sepakbola di luar Mentawai, selain siaran Metrosport dan cuplikan pertandingan lainnya. Anak-anak yang menonton, dan kadang tidur, di rumah pak Eko juga menanti-nanti ‘Bola’ langganan.
Secara teratur, kapal sumber rejeki
mengirim ‘Bola’ setiap hari Selasa pagi ke Siberut. Sambil menunggu kunci
kantor dibuka atau menjelang istirahat siang, ‘Bola’ menemani hari-hari sepakbola
tanpa siaran televisi di Siberut. Meskipun tidak begitu tertarik lagi dengan
karya jurnalistiknya, informasi mengenai hasil-hasil pertandingan dan transfer
pemain sedikit mengobati rasa rindu terhadap sepakbola di luar Mentawai.
Tidak jarang, kiriman itu sudah lecek.
Tidak sekali dua kali beberapa halaman, dan terutama poster, hilang. Kru kapal
terkadang ingin membaca, dan penumpang yang lain sering membaca dan tidak
mengembalikannya. Badai kadang memaksa kapal Sumber Rejeki balik arah dan
menunda kedatangan ‘Bola’ di hari Selasa. Terutama menjelang dan usai liga
champions, rasa kangen terhadap ulasan Rob Hughes sangat tinggi.
Kematian Yang Dipilih Sendiri?
Meskipun antusiasme sepakbola remaja
bangkit kembali selama di Mentawai, kegairahan terhadap ‘Bola’ tidak pernah
bisa kembali. Pengalaman membaca berbagai karya jurnalistik dan buku-buku sepakbola
selama masa kuliah, membuat membaca ‘Bola’ yang isinya semakin di dominasi oleh
statistik, prediksi pertandingan, dan data-data ensiklopedik, menjadi
membosankan. Apalagi tebak-tebakan skor juga mulai menggeser laporan-laporan
panjang. Tidak ada cerita sepakbola, kecuali dua paragraf gosip tentang pemain
yang selingkuh, atau profil pemain tertentu yang kata teman saya ‘biodata yang
diberi kata penghubung’.
Rob Hughes juga semakin jarang diterjemahkan
setiap pekan. Kolom-kolom yang diisi oleh wartawannya sendiri nyaris seragam, dari
segi teknik menulis dan pengambilan posisi penulis terhadap apa yang
ditulisnya. Semua ditulis dengan nada yang netral, dingin dan berjarak dengan sepakbola.
Analisa hasil pertandingan yang muncul pada edisi Selasa nyaris tidak memberi
nilai tambah apapun bagi para pembaca yang telah menonton sendiri
pertandingan-pertandingan akhir pekan.
Laporan hasil pertandingan yang panjang
adalah satu halaman kolase dari berita-berita yang ditampilkan oleh media luar
negeri. Berita itu sering muncul dalam bentuk terjemahan yang keliru atau dalam
komposisi yang diramu dan dipenggal ditengah jalan, meninggalkan banyak
pertanyaan bagi pembaca yang kritis.
Dari satu edisi ke edisi lainnya, nada dan
struktur tulisan ‘Bola’ itu sama persis, seperti barisan kebun sawit atau
cetakan batu bata. Emosi pemain, teriakan pelatih, gemuruh pendukung, tangisan
suporter yang kalah, warna-warni bendera di stadion, makanan yang dijual di
luar stadion tidak pernah muncul dalam ribuan lembar ‘Bola’.
Yang lebih mengejutkan, ‘Bola’ terlihat ingin
membuat tangannya bersih ketika kecamuk politik, isu korupsi, dan
ketidakpercayaan publik sepakbola merongrong kepengurusan PSSI era Nurdin Halid
Ada satu-dua kolom resmi yang menulis tentang kisruh itu, tapi kolom-kolom itu
berjarak, berusaha netral, dan tidak memberi kesegaran perspektif atas politik sepakbola
Indonesia. Terlintas sebuah pertanyaan di kepala: ‘Bola’ adalah salah satu
media yang paling tua, paling punya daya jangkau, dan juga barangkali punya
pembaca loyal, kenapa mereka tidak mengambil kepeloporan untuk mengambil sikap
politik?
Barangkali ‘Bola’ tidak berubah, dan tidak
harus berubah. Kapitalisme cetak butuh stabilitas, meskipun itu harus menjilat
pantat penguasa. Media harus tahu cara membaca ke mana angin kekuasaan akan
beralih. ‘Bola’, dan grup besarnya, sangat tahu dan ahli dalam hal ini. Barangkali
Aku yang mulai cerewet dan menuntut. ‘Bola’ tidak lagi cukup memadai lagi untuk
menampung kecerewetanku terhadap bagaimana seharusnya sepakbola ditulis dan
dihayati.
Salah satu titik balik untuk membakar
jembatan dengan ‘Bola’ adalah perkenalan dengan Four-Four-Two edisi Inggris,
yang dikirim oleh teman Belgia. Kalau aku ceritakan seluruh kekagumanku
terhadapnya, mungkin aku cocok jadi tenaga pemasaran majalah Inggris itu. Momen
membaca Four-Four-Two ada dalam satu level dengan membaca Janji-janji Islam-nya
Roger Geraudy di masa SMP dan menghabiskan Saksi Mata-nya Seno di waktu SMA. Dari
cara mengomentari foto, teknik wawancara, hingga kualitas artikel-artikel
panjangnya, sepakbola bisa menjadi apa saja ditangan penulis majalah itu: hidup,
jenaka, serius, optimis, politis..
Hebatnya, di setiap edisi selalu ada ruang
bagi sepakbola lokal yang ditulis dengan emosional, dekat, dan berpihak. Stadion-stadion
dan pemain-pemain yang mati dihidupkan kembali. Tim-tim divisi lima ditulis
sama megahnya dan sama terhormatnya dengan ‘culture club’ macam
Liverpool dan United. Mereka mengikuti suporter-suporter gila dan memberi
tempat tempat bagi pembuat teh, pembersih toilet, dan penjaga-penjaga malam
stadion.
Dan terutama, mereka selalu mengajak dan
memaksa pembaca untuk membaca sepakbola sebagai bagian sejarah kehidupan.
Misalnya, mereka menceritakan (berulang-ulang) tentang klub-klub kecil yang
menjungkalkan unggulan, utamanya di piala FA. Di setiap edisi hampir selalu ada
artikel-artikel historis yang mengajak pembaca berpikir tentang perang,
kediktatoran, demokrasi, dan tema-tema universal lain lewat kisah sepakbola.
Menunggu Four-Four-Two kapal Sumber Rejeki
di dermaga Maileppet hampir-hampir seperti berkunjung ke kios Baidhowi. Ada
rasa cemas kalau majalah itu diambil orang dalam perjalanan, atau sobek setelah
ditiduri oleh penumpang yang kelelahan, atau basah oleh muntah penumpang yang
oleng karena badai Selat Mentawai.
Aku menemukan antusiasme yang dulu pernah
aku alami bersama ‘Bola’ dengan Four-Four-Two. Sejak membaca edisi bahasa
Inggrisnya pertama kali dengan cover Zidane menanduk Materazzi, aku jatuh cinta
dengan media ini. Meskipun sulit membayangkan bagaimana bisa membaca dan
memahami tulisan bagus dalam Bahasa Inggris waktu itu, paling tidak penempatan
gambar-gambar dengan komentar jenaka dan kisah-kisah tentang sejarah off-side
dan umpan panjang telah membuka cara melihat sepakbola dengan bermacam sudut
pandang.
Ketika tahu Four-Four-Two diterbitkan dalam bahasa Indonesia, aku pun berlangganan. Setiap bulan selama 2007-2010, majalah itu menjadi satu-satunya sumber bacaan mengenai sepakbola. ‘Bola’ masih dikirim secara teratur, namun hanya di baca ketika aku ketinggalan informasi hasil pertandingan setiap pekan karena tugas kerja atau pertandingan tidak ditangkap oleh antena para’Bola’.
Lantas apa gunanya masih berlangganan ‘Bola’? Bagi orang yang sedikit terisolasi, hasil-hasil pertandingan (siapa mencetak gol, menit ke berapa) masih menjadi daya tarik, terutama pertandingan-pertandingan tim kecil yan tidak disiarkan televisi. Bagi anak-anak Mentawai, ‘Bola’ disukai karena bisa untuk menambah pengetahuan baru. Dan alasan yang lebih sederhana: kantor membiayai.
Lantas apa gunanya masih berlangganan ‘Bola’? Bagi orang yang sedikit terisolasi, hasil-hasil pertandingan (siapa mencetak gol, menit ke berapa) masih menjadi daya tarik, terutama pertandingan-pertandingan tim kecil yan tidak disiarkan televisi. Bagi anak-anak Mentawai, ‘Bola’ disukai karena bisa untuk menambah pengetahuan baru. Dan alasan yang lebih sederhana: kantor membiayai.
Ketika kantor UNESCO Jakarta menyewa
‘kantor’ di Padang untuk aku tempati di awal 2010, aku bisa mengakses internet
secara teratur. Lewat panduan Four-Four-Two, aku berselancar di situs atau
blog-blog yang menulis sepakbola dengan berbagai gaya dan teknik. Ini juga
adalah pengalaman baru: sepakbola (terutama di Eropa) bisa ditulis sama
bagusnya dengan sastra dan sama emosionalnya dengan karya jurnalistik tentang
perang atau kemiskinan. Pengembaraan dengan situs-situs macam the Blizzard, kolom-kolom
di Financial Times, dan sport-blognya the Guardian mempertemukanku dengan para
maestro macam Simon Kuper, Sid Lowe, Jonathan Wilson, Beleguer dll., dan koleksi
lengkap tulisan-tulisan Rob Hughes.
Membaca artikel-artikel mereka serasa tamasya sepakbola di dalam kata-kata seperti menonton atau memainkan sepakbola secara langsung. Mereka bukan sekadar wartawan yang
menulis sepakbola. Sepakbola bukan soal hasil pertandingan akhir pekan. Menulis
sepakbola adalah menulis manusia-manusia yang menonton, memainkan, mengeluh,
menangis, bergembira, bersedih, frustrasi dan seluruh perasaan yang
mendefinisikan kita sebagai manusia, lewat permainan indah ini.
Sementara itu di Indonesia, perkembangan
dunia digital menghasilkan panditfootball dan puluhan blog-blog sepakbola yang melahirkan
sebuah tradisi baru tulisan sepakbola yang tidak ditemukan di media cetak.
Tulisan-tulisan tersebut, meski tidak dihasilkan dari wartawan yang dididik di
sekolah jurnalistik, jauh lebih kaya perspektif dan mendalam. Meskipun belum
bisa keluar dari frasa, ungkapan, atau kosa-kata dominan di media cetak untuk
mengekspresikan resepsi atas sepakbola, tulisan-tulisan itu memberi kedalaman
dan terutama perspektif dari pendukung sepakbola lokal militan, yang selama diabaikan
oleh jurnalistik konvensional.
Sebagian karena didesain untuk partisan,
tulisan di blog-blog itu justru memperlihatkan wajah sepakbola sesungguhnya. Sepakbola
bukan perkara hasil pertandingan liga (Eropa), dan tentang kompetisi antara Ronaldo
dan Messi belaka. Sepakbola adalah tentang orang-orang yang ramai-ramai pergi
ke stadion Siliwangi atau Gelora Bung Karno adalah tentang anak-anak Malang yang menghabiskan setengah gaji bulanan untuk ikut menonton partai tandang di Kalimantan.
Lewat blog-blog tersebut, sejarah Persib,
Arema, Persebaya dan klub-klub lokal lainnya ditengok ulang, ditulis dengan
kritis (dan juga sebagian penuh puja-puja), didekatkan dengan pendukung, dan
ditampilkan dengan cara yang menarik. Meskipun kualitas tulisan-tulisan tersebut
banyak yang timpang, dan terutama gaya tulisannya relatif seragam, paling tidak
bagaimana sepakbola lokal dihadirkan dan dituliskan melalui perspektif dari
dalam yang berpihak, emosional, politis membuat sepakbola hadir sebagai
ekspresi manusia itu sendiri—bukan statistik pertandingan dan pres rilis bandar
judi.
Di saat yang sama, teknologi menghubungkan penggemar
sepakbola di Indonesia dengan tulisan-tulisan bagus yang ditulis dengan standar
jurnalistik yang tinggi di dunia maya dengan biaya lebih murah dan lebih bebas
waktu. Pengalaman dengan bacaan-bacaan berkualitas pastilah menghabiskan
pembaca yang lebih punya selera. Lebih dari itu, pengalaman itu bisa merangsang
minat menulis yang tinggi. Menjamurnya blog-blog sepakbola bagus dalam lima
tahun terakhir serta munculnya penulis-penulis baru adalah buah dari kosmopolitanisme
pergaulan ini.
Sementara publik sepakbola Indonesia jauh
lebih berkembang, kosmopolit, punya jaringan kuat, menggali informasi lebih
mendalam, punya sumber data yang lebih akurat, dan lebih nyata dalam menghadapi
sepakbola, tabloid ‘Bola’ (yang kemudian menjadi harian), masih hidup seperti
20an tahun lalu, dengan fitur-fitur ramalan pertandingan, hasil pertandingan,
dan tebak-tebakan skor. Kolom-kolom Wesley Hutagalung dkk pun isinya hanya
menggurui publik sepakbola yang, pada kenyataanya, jauh lebih tahu taktik,
sejarah, maupun perkembangan sepakbola itu sendiri.
Tidak ada yang mengejutkan dari kematian
harian ‘Bola’. Bahkan ketika ‘Bola’ malih rupa jadi mingguan lagi, tidak ada
harapan lagi untuk bertahan hidup, jika gaya jurnalistik dan model
pemberitaannya masih bertumpu pada laporan hasil-hasil pertandingan. Ini bukan
perkara media digital lebih cepat atau lebih murah, seperti anggapan dominan
mengapa semakin banyak media cetak menemui ajal. Yang lebih mendalam adalah
bagaimana karya jurnalistik model ‘Bola’ tahun 1990an itu hanya membuat pembaca
dan publik sepakbola seperti sekumpulan orang dungu yang akan melonjak kegirangan
membaca laporan Messi mencetak tiga gol di hari Minggu.
Sepakbola di dalam ‘Bola’ dikisahkan
seperti khotbah Jumatan. Membacanya hanya akan membikin kita ngantuk. Tidak ada
emosi, tidak ada terasa hawa pertandingan, dan tidak ada keinginan untuk
menghadirkan sepakbola sebagai sebuah peristiwa sosial. Semua datar seperti
mistar. Orang lupa bahwa pembaca koran/majalah dan publik bola secara umum jauh
lebih punya kesempatan untuk menonton pertandingan dari pada wartawan ‘Bola’ itu sendiri. Karena
wartawan-wartawan itu menulis dengan cara pengkhutbah Jumat (padahal aslinya
pengepul berita-berita rongsokan dari media luar negeri), dan tidak pernah
mengasah kepekaannya membaca pertandingan dan memperbaharui cara berkisahnya, tidak
heran tulisan-tulisannya tampak membodoh-bodohi pembaca—seakan-akan mereka
tidak menonton langsung pertandingan.
Kendati jurnalistik a la ‘Bola’ mungkin cocok dengan generasi era 80-an dan 90-an, mempertahannya gaya berita tabloid adalah ilusi untuk hari ini. Tulisan pendek-pendek di blog atau komentar-komentar kecil di media daring jauh lebih segar dan mengigit dibanding laporan ‘Bola’. Para wartawan media cetak masih saja menulis sepakbola seperti di zaman monopoli TVRI. Mereka tidak menyadari bahwa pembaca yang tumbuh dan lahir bersamanya telah jauh mengerti tentang sepakbola dan dunia yang membentuk sepakbola dari pada mereka sendiri.
Haloo Guys , Bingung Mau cari game Online Poker Yang Aman dan Terpercaya .
ReplyDeletedari pada bingung yuk langsung aja Gabung di situs poker terlengkap
dan terpercaya.
Segera bergabung untuk menangkan hadiah utama 10juta di ANAPOKER
WA : 0852-2255-5128
BBM : D8B84EE1 atau AGENS128
MODAL KECIL UNTUNG BESAR CUMA MODAL 50.000 MENANG JUTAAN RUPIAH ?GAMPANG CARANYA CUKUP KUNJUNGI LINK WWW.BOLACAMAR77.NET ,MENANG JUTAAN RUPIAH LANGSUNG CAIR GK PAKE LAMA DAN GK PAKE RIBET .
ReplyDeleteBBM : DDEDA174
LINE : BOLACAMAR
WA : +855969617332
Saya sangat bersyukur kepada Ibu Fraanca Smith karena telah memberi saya
ReplyDeletepinjaman sebesar Rp900.000.000,00 saya telah berhutang selama
bertahun-tahun sehingga saya mencari pinjaman dengan sejarah kredit nol dan
saya telah ke banyak rumah keuangan untuk meminta bantuan namun semua
menolak saya karena rasio hutang saya yang tinggi dan sejarah kredit rendah
yang saya cari di internet dan tidak pernah menyerah saya membaca dan
belajar tentang Franca Smith di salah satu blog saya menghubungi franca
smith konsultan kredit via email:(francasmithloancompany@gmail.com) dengan
keyakinan bahwa pinjaman saya diberikan pada awal tahun ini tahun dan
harapan datang lagi, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan
pinjaman di blog benar-benar palsu karena semua hautang finansial saya
telah diselesaikan, sekarang saya ) memiliki nilai yang sangat besar dan
usaha bisnis yang patut ditiru, saya tidak dapat mempertahankan ini untuk
diri saya jadi saya harus memulai dengan membagikan kesaksian perubahan
hidup ini yang dapat Anda hubungi Ibu franca Smith via email:(
francasmithloancompany@gmail.com)
Belum Pernah Dapat Jackpot Slot? Cobalah Bermain Slot Kami...
ReplyDeleteWinning303.org
Rasakan Jackpot Setiap Hari...Dapatkan Juga Bonus Rollingan Setiap Hari....
Seru Bukan??? Yang Pastinya Anda Tidak Akan Berpaling Lagi...
Mainkan Permainan Lainnya Dengan 1 User ID Saja...
1. Live Casino
2. Poker
3. Sportsbook
4. Lottery/Togel
5. Sabung Ayam
Hubungi Segera:
WA: 087785425244
Cs 24 Jam Online
I enjoyed readding your post
ReplyDelete