Cerpen Mahfud Ikhwan
I
Ia telah merasa mantap
dengan pilihan hidupnya, menjadi pemain sepakbola. Dari sepakbola, ia akan
menikah, menghidupi anak dan istrinya nanti, dan kalau bisa membiayai ibadah
haji ibunya. Tulisan beberapa koran yang menyatakan bahwa dirinya adalah kiper
masa depan Indonesia membuatnya semakin yakin dengan hidup dan masa depannya.
Sebab itulah, dengan hati setegar baja, Slamet Sudarmanto melamar Nurhasanah,
pacarnya.
“Nur, mau kawin sama aku?”
Nurhasanah, gadis yang
telah dipacarinya sejak ia di STM itu, memerah wajahnya. Siapa pun yang
melihatnya pasti akan tahu, ia dengan senang hati menerima lamaran Slamet.
Namun mulutnya berkata lain.
“Enak saja kawin. Memang
aku ayam?”
Slamet lalu meralat kalimat
lamarannya. Digantinya kata ‘kawin’ dengan ‘menikah’.
“Kamu ngajak menikah atau
ngajak main bola? Nggak romantis blas!”
Setengah putus asa, Slamet
melembutkan ucapannya, mendayukan suaranya, menunjukkan gerak-gerik seperti orang
melamar yang dilihatnya di televisi dan film-film.
“Melamar kok di tempat
begini. Minta sama bapak-ibu di rumah dong,” kata Nurhasanah lagi, untuk ketiga
kali. Wajahnya disengit-sengitkan. Dengan langkah angkuh dan acuh tak acuh, ia menyingkir
pergi.
“Alah..., sok jual mahal,
Nur. Tak cium kapok kamu!” Slamet mengejar dengan kesal. Nur pura-pura
menghindar. Mereka terlibat permainan tangkap dan hindar. Namun, Nur akhirnya
tertangkap juga oleh Slamet. Di balik pohon, keduanya berciuman. Ciuman yang
agak norak. Sedikit di bawah kualitas ciuman film India yang mengilhami mereka.
Tapi peduli amat. Yang penting, hari itu adalah hari yang sangat indah bagi
keduanya.
Beberapa hari kemudian,
Slamet membawa ibunya, satu-satunya orangtua yang masih tersisa, untuk meminta
Nur kepada kedua orangtuanya. Sebuah proses lamaran yang mudah. Siapa yang
menolak punya menantu kandidat kiper timnas Indonesia? Tanggal pernikahan pun
ditentukan.
***
Akhir pekan ini sangat
krusial bagi Slamet dan kawan-kawan. Perseka, tim Slamet, akan bertandang ke
Stadion 17 Agustus, kandang PSMG. Sebuah pertandingan yang pasti akan sangat
berat dan menentukan. Siapa yang memenangkan pertandingan akan melenggang ke
babak 8 besar di Senayan. Dan, punya kesempatan menjuarai Liga Indonesia musim
ini.
“Untuk
pertandingan ini, seluruh skuad Perseka digenjot dengan porsi latihan fisik,
strategi, maupun mental yang lebih dari biasanya. Kebugaran dan menerapan
taktik permainan yang tepat adalah dua hal yang tidak bisa ditawar. Barisan
pertahanan Perseka yang dikenal paling kokoh di antara semua kontestan liga
(karena angka kebobolan paling sedikit) semakin dimantapkan kekompakannya.
Flavio Moreno, bek sentral asal Uruguay yang selama tiga pertandingan absen
karena skorsing, akan kembali berlaga. Slamet Sudarmanto, kiper muda penuh
harapan, yang menjadi benteng terakhir tim di sepanjang liga musim ini, di-drill
dengan latihan bola-bola silang, guna mengantisipasi umpan-umpan dari para
pemain sayap PSMG kepada ujung tombak jangkung asal Brazil, Bento.
“Lini tengah Perseka yang
akan turun dengan formasi lengkap diharapkan mampu meredam kelugasan
pemain-pemain tengah PSMG. Gerakan eksplosif Saifulaye Sonko, bintang lapangan
tengah PSMG asal Togo, akan dimatikan pelatih Perseka dengan menugaskan Surath
Chaniwath, breaker kokoh asal Thailand. Porsi latihan yang lebih diperuntukkan
bagi para pemain depan. Kemandulan para striker Perseka, yang dalam lima
pertandingan terakhir hanya mencetak dua gol, diharapkan dapat segera memulihkan
ketajamannya. Baskoro Budi Nugroho, striker lokal Perseka yang lama
dicadangkan, akan ditarik sedikit ke belakang di belakang dua striker utama.
“’Saya siap diturunkan di
posisi mana pun. Terserah pelatih,’ demikian tekad Baskoro.
“Namun, yang tidak kalah
penting adalah persiapan mental. Itu sudah diwanti-wanti benar oleh tim pelatih
Perseka. Hal ini sangat diperlukan bagi semua tim yang akan menghadapi PSMG di
kandangnya, tak terkecuali Perseka. PSMG adalah sebuah tim yang mengandalkan
spirit dan permainan keras dan lugas. Tim yang tidak mengantisipasi kekuatan
PSMG ini akan dengan mudah dilibas. Di sisi lain, Stadion 17 Agustus, dikenal
karena keangkeran para suporternya, 17 Mania. Bukan saja dari segi jumlah, tapi
juga perilakunya. Mereka tak pernah menyisakan tempat untuk suporter tamu. Lagi
pula, mereka bisa melakukan apa saja untuk meruntuhkan mental pemain tim tamu.
Teror dan intimidasi, adalah trademark yang melekat kuat dengan Laskar
‘45.
“Disinggung soal perilaku
suporter tuan rumah, pelatih Perseka M. Ikhwan mengutarakan kesiapan timnnya
dan menganggap hal itu sesuatu yang biasa. ‘Itu bagian dari sepakbola. Selama
masih di batas-batas fair play, kami tak mempermasalahkannya. Kami harus siap.
Dan kami memang telah siap,’ tegasnya. Ia malah menambahkan, ‘Membuat mental
tim lawan down itu memang tugas suporter di manapun. Dan tugas kami
adalah mengatasi itu kemudian mencoba memenangkan pertandingan, termasuk di
kandang lawan.’”
Begitulah sebagian ulasan sebuah
koran lokal berkait pertandingan PSGM vs Perseka. Slamet mengklipingnya dan
memberikannya kepada Nur sebelum keberangkatan timnya. “Simpanlah. Ada namaku
di situ. Aku dibilang ‘kiper muda penuh harapan,’” kata Slamet sembari pamit
dan minta didoakan agar menang. Nur mencium tangan calon suaminya.
***
“Kekhawatiran yang sejak
sehari sebelumnya telah banyak dibahas oleh media itu akhirnya terjadi. Teror
telah dihadapi skuad Perseka sejak bus mereka masuk kota. Menurut pengakuan
seorang pemain Perseka yang enggan disebutkan namanya, sepanjang perjalanan,
beberapa orang yang berkaus PSMG dan berbendera hitam, warna kebesaran PSMG,
melontarkan yel-yel ejekan dan ancaman. Mendekati stadion, satu-dua botol
minuman mulai menghantam kaca bus. Menyusul kemudian, botol minuman energi.
Berikutnya tongkat bendera. Lalu batu-batu.
“Skuad Perseka yang
sebelumnya tenang, karena menganggap hal-hal semacam ini sudah sangat biasa
dalam sepakbola Indonesia, mulai panik. Aparat keamanan yang telah diminta
mengamankan bus tim Perseka tak bisa berbuat banyak. Menurut beberapa saksi
mata, jumlah mereka terlalu kecil dibanding jumlah massa suporter PSMG yang
telah memenuhi wilayah sekitar stadion. Bus kemudian terhenti ketika beberapa
puluh orang suporter tuan rumah menghadang laju bus. Dan botol-botol minuman
dan batu-batu terus beterbangan. Kali ini beberapa bagian kaca bus telah retak.
Dalam kejadian ini, seorang pemain Perseka yang hingga berita ini ditulis belum
terkonfirmasi namanya, disebut-sebut terluka dan langsung dilarikan ke rumah
sakit terdekat.
“Ketika dikonfirmasi soal
kejadian tersebut, Putut, koordinator 17 Mania, mengakui memang ada beberapa
oknumnya yang melakukan tindakan anarkis. ‘Untuk itu, saya, sebagai perwakilan
17 Mania, menyatakan mohon maaf,’ katanya. Ia juga akan mengusahakan
penyelidikan internal kepada anggota suporternya dan akan memberi tindakan
tegas jika hal itu memang terbukti.
“Meski demikian, Putut menambahkan
bahwa tak ada api tanpa ada asap. Menurutnya, sebagian anggotanya terprovokasi
oleh sesumbar yang beberapa hari sebelum pertandingan dilontarkan oleh pelatih
Perseka. ‘Saya kira itu kurang baik. Sebagai pelatih senior dan berpengalaman,
kami menghormati M. Ikhwan. Apalagi beliau pernah juga menangani PSMG. Tapi,
tak seharusnya ia memanas-manasi.’”
“Hal lain yang disesalkan oleh
banyak pihak adalah tetap dilangsungkannya pertandingan tersebut, meskipun suasana
pertandingan sudah jauh dari kondusif. ‘Kami terpaksa bertanding, meskipun kondisi
mental kami sudah down, terutama karena salah satu teman kami terluka,’ ujar
Bima Kurniawan, kapten Perseka, seusai pertandingan yang berkesudahan 3-0 untuk
PSMG itu.”
“Di pihak lain, sembari
tidak menepis bahwa pertandingan kurang kondusif, inspektur pertandingan
Bambang S mengatakan bahwa pihaknya telah membuat keputusan terbaik. ‘Bayangkan
apa jadinya kalau pertandingan sampai ditunda?’ tanya Bambang retoris.”
“Ditanya mengenai hal ini,
Ketua Komisi Disiplin Liga Indonesia Togar Manahan Nero masih enggan memberi
komentar. ‘Laporan baru masuk. Kami akan mempejari dulu seperti apa detil
kejadiannya. Yang jelas, siapa yang nanti terbukti melanggar disiplin akan kami
tindak tegas’ tegasnya.”
***
Sembari bersandar di bantal
yang ditumpuk, Slamet membaca tuntas berita koran lima hari lalu itu. Agak
sedikit kepayahan memang, terutama diakibatkan kondisinya saat ini.
“Yang hari ini ada, Nur?” tanya
Slamet sembari memberikan koran yang baru dibacanya kepada Nur yang ada di meja
di samping dipan rumah sakit tempat Slamet saat ini terbaring.
“Sudahlah, lebih baik
istirahat dulu.” Nur menasihati sembari mengambil koran dari tangan Slamet.
“Istirahat apa? Wong
badanku sehat walafiat begini,” sahut Slamet dengan senyum. “Lihat,”
sambungnya, lalu menekuk sikunya dan menunjukkan otot lengannya kepada
pacarnya.
“Mata kamu
masih sakit lho,” Nur menasihati dengan nada lirih.
“Aku masih bisa baca kok.”
Ia menunjuk mata kanannya dengan telunjuk, sebuah gerakan yang biasanya ia
lakukan saat berada di bawah mistar, untuk memberi kode bagi bek-beknya. “Aku
masih bisa baca sebagaimana aku masih bisa melihat wajah pacarku yang cantik
namun saat ini sedang murung.”
Nur sewot karena diejek.
“Terus aku harus ketawa-tawa, begitu?” sungutnya sembari bangkit dari kursi, hendak
keluar dari kamar perawatan itu. Tapi dengan kecepatan seorang kiper berbakat,
tangannya sudah menarik tangan Nur, mendudukkan di dipan tempat ia tengah
berbaring.
“Alah... gitu saja marah.” Slamet
berkata dengan senyum yang masih sama dengan sebelumnya. Dipegangnya kedua pipi
Nur, dihadapkan ke mukanya. Lalu dia melunakkan suaranya, berkata: “Ya, bolehlah sedih. Tapi jangan lama-lama.”
Tapi Nur malah menangis.
Mukanya dijatuhkan ke pangkuan Slamet.
“Lho, kok malah...”
“Aku kuatir, Met.” Nur
masih tersedu di pangkuan Slamet.
“Kuatir apa?”
“Karirmu.”
Slamet tertawa. Diangkatnya
kepala Nur, didekatkan ke wajahnya.
“Aku akan segera sembuh.
Dan segera bisa berlatih. Dan bermain lagi. Dan kita menikah.”
Nur mendekapkan wajahnya ke
bahu Slamet. Ia kembali tersedu, entah karena masih sedih atau karena terharu. Slamet
mengusap-usap kepalanya.
“Sudah nangisnya. Cup,
cup,” bujuk Slamet. “Ini aku kasih bunga.”
Tiba-tiba di tangan kanan
Slamet sudah ada setangkai bunga. Tangis Nur langsung susut. Masih dengan sisa
isaknya, diterimanya bunga itu dengan sedikit takjub.
“Dari mana kau dapat
bunga?” tanyanya dengan nada manja.
“Itu,” Slamet memencongkan
mulutnya ke arah meja di sampingnya, di mana terdapat beberapa botol air
setengah kosong, sirup dan beberapa jenis obat, sekeranjang parcel berisi buah,
dan seikat bunga dengan fas berwarna kuning, warna khas klubnya.
“Bunga dari suporter
perempuan Perseka yang kemarin itu?!” Nur memekik.
“Mungkin.” Slamet meringis
dengan cuek.
Nur merenggutkan tubuhnya
dari dekapan Slamet, mematahkan tangkai bunga yang dipegangnya, mencampkannya
keras-keras ke lantai rumah sakit, dan ngeloyor keluar kamar dengan jengkel.
II
Pecahan kaca jendela bus telah
merobek retina mata kanan Slamet, demikian penjelasan dokter. Oleh karena itu, Slamet
harus beristirahat total hingga musim kompetisi berakhir. Ia mesti menjalani
perawatan intensif pada matanya. Namun malang, setelah melewati beberapa kali
operasi, pada akhirnya mata kanan Slamet tidak tertolong. Cacat permanen. Meski
demikian, dokter meyakinkan Slamet bahwa ia akan tetap bisa melanjutkan
karirnya sebagai pemain sepakbola. Pernyataan dokter ini memelihara asa Slamet.
Ia tambah yakin ketika pihak manajemen Perseka, seperti dilansir media,
menyatakan akan mempertahankan seluruh anggota skuad musim lalu untuk
menghadapi musim kompetisi depan.
Merasa tetap jadi bagian
dari proyek masa depan Perseka, selama libur kompetisi Slamet berlatih sendiri
dengan keras. Tidak seperti pemain yang cedera engkel atau lutut yang mesti
menjalani pemulihan yang bertahap, Slamet hanya butuh menurunkan berat badannya
yang naik selama dirawat dan memulihkan reflek dan kecepatan reaksinya.
Pada saat kondisi fisik
telah dirasakan pulih dan semangatnya untuk comeback sedang menggebu,
sebuah berita kecil yang dilansir sebuah tabloid membuat Slamet berdebar.
Menurut berita yang tidak lebih dari satu paragraf itu, Persil sedang menjajaki
untuk merekrut seorang penjaga gawang asal Vietnam yang sebelumnya bermain di Liga
Malaysia. Untuk beberapa waktu, berita itu cukup menghantui Slamet. Nur, dengan
cinta dan perhatiannya, terus membesarkan hati Slamet. Sebagai seorang
pesepakbola profesional, seorang pesaing jangan pernah dianggap sebagai
halangan tetapi justru sebagai tantangan, begitu kata Nur. Entah ditirunya dari
siapa. Slamet menjadi lebih tenang saat mendapat konfirmasi dari perwakilan klub
bahwa berita itu hanya rumor belaka.
Namun ketika musim baru telah
diambang pintu, dan tim Perseka telah me-launching tim untuk musim
kompetisi ini, nama Slamet Sudarmanto ternyata tidak turut disebut di antara 23
anggota skuad. Nomor punggung 12 yang biasa dipakainya telah diberikan kepada
Mugiono, kiper yang musim lalu jadi cadangannya. Ketika Slamet mempertanyakan komitmen
pihak manajemen klub, manajer tim yang baru, yang berbeda orangnya dengan musim
sebelumnya, menyebut bahwa bukan ia yang memberi komitmen. Lagi pula, tak ada
kontrak yang dilanggar klub. Sebagaimana seluruh anggota tim Perseka musim
lalu, kontrak Slamet selesai bersamaan dengan selesainya kompetisi. Sudah
begitu, ditambahkan bahwa, untuk mengarungi musim ini, Perseka telah memiliki
stok kiper yang lebih dari cukup. Selain sebuah amplop berisi sejumlah uang yang
di sampulnya bertuliskan “dana santunan”, tak ada penjelasan lain lagi yang
diterima Slamet.
Slamet masih mencoba. Ia
membujuk pelatih Perseka, M. Ikhwan, yang dulu memberinya debut di kompetisi,
agar menggunakan wewenangnya agar tetap memasukkan namanya ke tim. M. Ikhwan
berjanji untuk mengusahakan. Namun, belum lagi janji itu terwujud, M. Ikhwan
justru dipecat oleh manajemen seusai sebuah ujicoba pra-musim yang berakhir
dengan kekalahan.
Slamet kelimpungan. Namun
ia terus berusaha. Dengan segumpal keraguan, ia menawarkan dirinya ke beberapa klub
yang dulu pernah menghubunginya. Tapi jawaban yang didapatnya sama: klub-klub
itu telah memiliki kiper yang lebih baik. Terakhir, di tengah gelayut rasa
putus asa, ia menawarkan diri ke beberapa klub di divisi yang lebih rendah.
Tapi klub-klub itu menolak dengan mengatakan bahwa kompetisi mereka masih jauh
dan belum ditentukan kapan waktunya, dan karena itu manajemen belum
menganggarkan belanja pemain.
“Sabar. Paling hanya
satu-dua bulan saja,” hibur Nur. Itu membuat Slamet tenang. Ia menunggu liga divisi
utama dan divisi di bawahnya lagi dimulai, juga menunggu kesempatan di jendela
transfer tengah musim. Di sela-sela menunggu, ia menyabet semua tawaran tarkam.
Dalam pada itu, ia dan Nur bersepakat untuk mengundurkan tanggal pernikahan
barang setahun, menunggu keadaan membaik.
Tapi penantian itu rupanya hanya
memberinya rasa kecewa. Beberapa trial yang diikutinya berakhir bencana.
Secara fisik ia merosot, sementara kemampuan refleknya jauh berkurang. Bukan
saja karena frekuensi bertandingnya yang menurun drastis, tapi penglihatan yang
tidak lengkap sangat mempengaruhi visi dan kecepatan reaksi yang selama ini
dimiliki Slamet. Demikian rata-rata simpulan tim-tim yang menolaknya.
Kegagalan tes di tim-tim
yang lebih kecil itu menghancurkan Slamet. Awalnya ia berencana menjadikan
tes-tes itu hanya sasaran antara saja. Tujuannya tetap kembali ke level
kompetisi tertinggi, di kompetisi yang semestinya untuk kiper muda berbakat dengan
cap timnas Indonesia kelompok umur sepertinya. Tapi bagaimana ia bisa
menghadapi tes-tes di klub yang lebih besar jika di klub-klub kelas kambing
saja dia gagal? Bagaimana dia menanggung penolakan-penolakan yang lebih keras
lagi?
***
Tiba-tiba Slamet sadar, apa
yang dulu dikuatirkan oleh Nur telah benar-benar penimpanya. Saat itu juga. Ya,
karirnya sudah berakhir, begitu ia menyimpulkan. Sebuah ujung karir yang sangat
tidak dikehendakinya. Bukan saja karena ia masih sangat muda untuk pensiun,
namun juga karena penyebab kepensiunannya. Ia pasti akan sedikit lebih lega
jika ia harus berhenti bermain sepakbola karena patah kaki atau cedera bahu
yang tak tertangani, bukan karena buta sebelah seperti ini. Seperti orang
hidup, Slamet telah melihat malaikat maut ada di hadapannya. Dan inilah
saatnya. Dan seperti orang mati, ia tak bisa memilih dengan cara apa ia mati.
Pokoknya ia mati. Selesai. Dut, kata orang Jawa Timur. Sungguh nahas
nasibnya. Beberapa kiper hebat di Indonesia, jika tidak disebut sebagai kiper
legendaris setidak-tidaknya akan dikenang sebagai mantan kiper timnas
Indonesia. Lalu dirinya? “Slamet Sudarmanto, calon kiper berbakat yang bernasib
tragis...”! Alangkah indahnya kalau koran-koran masih akan menyebutnya seperti
itu. Bagaimana kalau namanya sama sekali terlupakan, sebagaimana yang telah
dialami oleh ratusan atau ribuan pemain sepakbola Indonesia yang gagal sebelum
dirinya?
Ia harus menerima ini.
Tentu saja, memang apa yang bisa dilakukannya selain menerima? Ia harus
menerima tidak hanya akan kehilangan dunia yang dicintainya, sepakbola, tapi
juga terancam kehilangan dunia yang dicita-citakannya, menyongsong masa tua
dengan nyaman bersama Nur.
Nur.
Oh, Nur. Saat
wajah Nur melintasi di matanya, Slamet hanya bisa memegangi kepalanya. Pusing
dia. “Aduh, Yung...” Ia telah telanjur membayangkan bahwa musim ini,
dengan gaji 10 juta sebulan, atau mungkin lebih, ia bisa menikah dengan Nur dalam
sebuah resepsi yang sederhana tapi hikmat dan meriah, yang didatangi oleh
pemain-pemain yang dikaguminya, kiper-kiper yang diidolakannya, juga
pelatih-pelatih hebat Indonesia yang jika tiba waktunya melatih timnas akan
tanpa ragu memanggilnya. Telah sangat jelas di pelupuknya, ia akan mulai membangun
sebuah rumah mungil, menyicil asuransi pendidikan untuk anak-anaknya kelak, dan
memberangkatkan ibunya ke Mekah setidak-tidaknya pada musim haji lima tahun kedepan.
Namun kini semua sontak menjadi kabur. Semua menghilang. Menghilang, pergi,
bersama sebiji matanya.
Tanpa sepakbola, mana mampu
dia membayangkan itu semua? Tanpa sarung tangan kiper, tak diragukan, kedua
tangannya hanya akan terdampar di bengkel motor tanpa palang nama. Apa yang
bisa dituntut dari seorang lulusan STM jurusan mesin yang lulus dengan NEM yang
jauh dari istimewa?
Lalu Slamet mulai tidak
yakin dengan cintanya kepada Nur. Ia cinta Nur, tak ada yang ragukan itu. Tapi
karena itu pula, ia tidak ingin Nur menderita. Ia tidak ingin Nur menghabiskan
hidupnya bersama seorang pengangguran bermata satu. Ia tidak sampai hati
membayangkannya.
***
Nur datang ke rumah Slamet.
Ini kedatangan pertamanya sejak mereka bertengkar hebat satu setengah bulan
sebelumnya. Awalnya, berhubung musim kompetisi baru telah menjelang, Nur
menyarankan Slamet untuk mencoba kembali mengikuti tes-tes. Siapa tahu ada klub
yang masih berkenan menerimanya. Mungkin tak akan langsung memberinya tempat
utama, tapi itu setidaknya akan memberi Slamet kesempatan berlatih lebih
teratur, taraf fisik yang lebih baik, juga mengembalikan feel
sepakbolanya. Namun Slamet menolak saran itu tanpa menjelaskan alasannya. Ia
hanya bilang bahwa ia sudah selesai dengan sepakbola. Nur marah besar oleh
keputusasaan calon suaminya. Mereka tak bertemu beberapa minggu setelah itu.
Ketika kemarahan Nur mereda, Slamet ternyata jadi sulit dihubungi. Teleponnya
tidak aktif. Padahal, banyak teman Slamet sesama pemain yang mencoba
menghubunginya, mau mengabarkan bahwa awal kompetisi yang tertunda membuka
kesempatan kepada pemain-pemain yang belum memiliki klub untuk mengikuti tes
kembali. Karena Slamet menghilang, mereka menghubungi Nur untuk menyampaikan
kabar itu pada Slamet.
“Slamet di
belakang,” kata ibu Slamet, begitu membuka pintu dan mendapati bahwa Nur-lah
yang datang. “Met, ada Nur!”
Nur menyeberangi
lorong sempit dan pendek yang menghubungkan pintu depan rumah yang menghadap
pekarangan dengan pintu dapur yang menghadap halaman belakangnya. Tampak Slamet
duduk membelakangi pintu, menghadap ke pagar halaman belakang. Di depannya,
sebuah perapian masih menyisakan api terakhirnya. Asapnya menyebarkan aroma
yang khas: bau kulit sintetis terbakar. Belakangan ini, Slamet rajin membakari
apapun yang mengingatkannya pada sepakbola. Foto-foto (termasuk fotonya bersama
Hendro Kartiko, kiper idolanya), poster-poster, beberapa potong kaus tim
favorit (khususnya kostum kiper), beberapa tropi di awal karirnya, bola
kesayangannya, dan terakhir sarung tangan kiper yang pertama dibelinya.
Sebelumnya, ia telah menjual medali perak Piala AFF U-20 yang didapatkannya di
Myanmar bersama timnas U-20 dua tahun lalu. Juga dua pasang sepatu yang musim
lalu masih dipakainya.
Tanpa suara,
Nur duduk di samping Slamet. Agak jauh, tapi cukup untuk memberi isyarat kepada
Slamet bahwa di sisinya kini relah ada Nur.
“Kita bubaran saja
ya, Nur?” kata Slamet, lirih dan agak gemetar, tanpa menoleh. Matanya nanar
menatap sarung tangannya yang masih mendesis-desis, walau mulai menjadi arang.
“Aku sudah
habis, Nur,” lanjut Slamet, tetap tanpa menoleh. “Aku hancur. Tidak punya
apa-apa lagi. Aku tidak mungkin membahagiakanmu.”
Nur menjawab ratapan
Slamet dengan diam.
Untuk beberapa
saat, suasana senyap. Aroma sarung tangan kiper terbakar mulai menipis. Namun
masih cukup untuk memenuhi udara seantero halaman belakang yang tidak luas itu.
“Ya, Nur?”
Slamet kembali bicara. Kali ini dengan sedikit menoleh dan menggeser duduknya
lebih dekat dengan Nur. “Kita bubar ya?”
Nur tetap tidak memberi
jawaban. Tapi ia memutar sedikit dagunya ke arah Slamet. Lalu, mata keduanya
bertemu. Sepasang mata Nur bertatapan dengan satu mata Slamet. Sepasang mata
Nur mendapati seorang lelaki bermata satu dengan muka kosong dan harapan nol,
seorang atlet yang tengah jatuh ke titik terendahnya. Bagaimana bisa seorang
perempuan meninggalkan lelaki yang mencintainya dalam kondisi seburuk itu?
Suasana sunyi
kembali menggelayut. Namun jika kita melihat bagaimana Nur menatap Slamet,
kata-kata memang tak diperlukan lagi. Mata yang hampir basah itu bicara jauh
lebih banyak dan menjelaskan jauh lebih gamblang. Dan Slamet tahu itu. Nur
tidak akan menerima keputusan Slamet yang sepihak.
Dengan perlahan sekali
tangan kiri Nur memegang tangan kanan Slamet. Tidak ada remasan. Hanya sentuhan
kecil saja. Namun bagi Slamet, itu seperti hujan pertama bagi seorang petani:
sejuk, segar, sekaligus memberi setitik harapan.
III
Setelah tertunda untuk
beberapa lama akibat kecelakaan yang menimpa Slamet, juga setelah melalui
masa-masa buruk itu, Slamet Sudarmanto dan Nurhasanah akhirnya menikah. Jauh
lebih sederhana dari rencana semula tentu saja. Hampir tiga perempat biaya
pernikahan ditanggung oleh orangtua Nur. Selebihnya ditambahi dari sedikit uang
tabungan Slamet yang masih tersisa. Karena itu, undangan dibuat terbatas. Meski
demikian, beberapa teman dari bekas klub Slamet hadir dalam pernikahan itu. Hal
itu menimbulkan suasana haru sekaligus perih bagi Slamet. Haru karena Slamet
merasa masih dianggap, perih karena itu mengingatkan kembali Slamet dengan
dunia sepakbola yang harus ditinggalkannya dan sedang ingin dilupakannya. Namun
secara umum, Slamet dan Nur bahagia dengan pernikahan itu.
Keduanya memulai kehidupan baru
dengan sebuah kompresor angin. Dibeli dari sisa sumbangan perkawinan yang bisa
disimpan, alat itu dipakai Slamet untuk mengawali sebuah bengkel motor
kecil-kecilan di pinggir jalan kecamatan, di sebuah pekarangan yang disewanya.
Sebagai pelengkap, di sampingnya didirikan kios kaki lima yang menjual rokok
dan permen-permenan. Juga sebuah rak bensin eceran yang muat 10 botol
seliteran. Seiring berjalannya waktu, bengkel yang direncanakan Slamet tak
pernah lebih dari tambal ban dan tempat orang mampir menukar recehan dengan
pura-pura mengisi angin. Itu pun tambalan garapan Slamet sering dikeluhkan
pelanggannya. Yang lumayan justru kios rokoknya. Belum setahun, kios itu sudah
dua kali lebih besar dari ukurannya semula.
Sekali lagi, boleh
dikatakan mereka cukup tenteram dengan kehidupan yang mereka jalani, meski
keadaan mereka jauh dari yang dibayangkan Slamet saat masih bermain bola. Bayangan
itu telah pecah bersamaan dengan pecahnya retina mata kanannya. Rumah yang mereka
tinggali bukan rumah mungil nan asri seperti yang dijanjikan Slamet kepada Nur
saat pacaran, namun rumah peninggalan orangtua Slamet. Ibu Slamet, sementara itu, telah meninggal tanpa
pernah berangkat haji. Itu disesali Slamet, tapi tentu saja itu hanya satu hal
saja dari sekian banyak yang disesalinya.
Pada tahun kedua perkawinan,
seorang bocah laki-laki lahir dalam keluarga kecil itu. Meski tidak ada
asuransi pendidikan yang dipersiapkan untuknya, bocah laki-laki itu disambut
dengan sukacita oleh kedua orangtuanya. Anak itu, oleh Slamet, diberi nama
Hendro Sandi Hermansyah. Kelahiran Hendro membuat keluarga kecil itu nyaris
komplit. Nyaris. Karena ada hal yang seharusnya ditemukan dalam keluarga itu namun
dengan sengaja dihilangkan: sepakbola.
Slamet tak ingin satu hal
pun di rumah itu yang bisa mengingatkannya dengan sepakbola. Ia tak memberi
penjelasan kenapa mesti melakukan itu. Jika ditanya, ia hanya diam atau malah
ngeloyor pergi. Tak ada sebutir bola pun di rumah itu, dalam ukuran berapa pun,
dengan jenis bahan apa pun. Ada televisi di ruang, yang dulu dibeli Slamet saat
masih aktif bermain, dan biasanya dipakai untuk menonton siaran sepakbola Eropa
di akhir pekan. Tapi sejak mereka menikah, antenanya dirubuhkan. Jika butuh
hiburan di rumah, VCD film-film bajakan, kepingan MP3 lagu India dan lagu-lagu dangdut
dianggap sudah mencukupi. Dan dengan pengertian yang sulit dicari tandinganya,
tanpa diminta Nur menahan diri untuk tak mengajak suaminya bicara soal bola,
dalam bentuk apapun, dengan cara bagaimanapun.
***
Memasuki tahun ketujuh pernikahan,
keadaan tidak banyak berubah. Cuma kios rokok Slamet kini sedikit lebih besar
dengan dagangan yang lebih banyak. Ada lapak gorengan dan makanan kecil jika
sore, yang dibuat oleh tangan Nur sendiri. Setelah bisa mengajak seorang
tetangga membantunya, gorengan dan makanan kecil buatan Nur juga dititipkan di
warung-warung di sekitar situ. Selain itu, tidak ada yang terlalu berubah.
Mereka tetap tinggal di rumah peninggalan ibu Slamet.
Satu-satunya yang berubah
dengan mencolok adalah Hendro. Ia kini semakin besar dan telah masuk sekolah.
Sebuah taman kanak-kanak yang terletak kira-kira 400 meter di sebelah utara
rumah keluarga itu, setelah menyeberangi sebuah rel kereta api yang tak lagi
terpakai dan lapangan sebuah Sekolah Menengah Pertama. Yang memudahkan, sekolah
Hendro satu arah dengan kios rokok dan tambal ban Slamet berada. Jadi, Slamet
bisa mengantar Hendro ke sekolah sekaligus berangkat ke kiosnya.
Pada awalnya, Slamet
mengantar Hendro ke sekolah dan pergi ke kios dengan sebuah sepeda motor
tua—yang ia dapat dengan harga sangat murah dari seorang teman, setelah motor
yang dulu dibelinya saat masih aktif bermain tergadai ketika Hendro kena demam
berdarah. Namun karena suatu sebab yang membuat sepeda motor itu tak lagi layak
pakai, dan sepertinya tak ada harapan lagi untuk diperbaiki, Slamet akhirnya terbiasa
mengajak anaknya jalan kaki.
“Kita olahraga ya, Ndro?”
demikian kata Slamet kepada anaknya saat hari pertama mereka jalan kaki ke
sekolah. Di luar dugaan, Hendro menyukai ajakan bapaknya. Ia tampak periang dan
bersemangat mengayun kakinya. Dia tidak berjalan, namun berlari. Sejak saat
itu, setiap pagi Slamet terlihat mengiringi Hendro berlari menuju sekolahnya.
“Ayo olahraga,
Yah!” Hendro yang gantian meneriaki ayahnya setelah sudah sangat terbiasa.
“Begitu saja capek,” ledeknya, ketika melihat ayahnya hanya berjalan
melenggang.
Slamet
tertinggal langkah anaknya tentu saja bukan karena ia kalah cepat. Bukan pula
sudah mudah capek. Ia masih sangat prima—meski, tentu saja, tak bisa
dibandingkan dengan saat ia masih bermain. Sisa-sisa fisik seorang kiper
berbakat belum benar-benar hilang dari dirinya. Ia memang sengaja melambatkan
langkah, sebab ia, entah kenapa, sangat menyukai melihat dari belakang anaknya yang
tengah berlari. Ia melihat, untuk bocah seumurannya, lari Hendro begitu mantap.
Kaki-kakinya kukuh menjaga keseimbangan tubuhnya. Jika mau ia mengakui, itu pasti
karena diam-diam, dari lubuk hatinya terdalam, ia mengharapkan Hendro meneruskan
cita-citanya yang terkubur: jadi pemain sepakbola; atau, paling tidak menjadi
seorang atlet.
“Ayo, Yah!”
kembali Hendro meneriaki ayahnya. Ia menoleh ke arah belakang di mana ayahnya
mengikuti larinya. Tangannya menggapai-gapai seperti menyemangati sang ayah
agar menjajari langkahnya. Mukanya yang berkeringat tampak cemerlang ditimpa
sinar matahari pagi. Slamet memandang anaknya dengan kebanggaan yang coba
dipendam.
Namun, sepersekian detik
kemudian, kebanggaan itu berubah menjadi kekhawatiran hebat. Sebuah benda, tak
sempat diketahui dari mana, juga entah apa, meluncur deras ke arah muka Hendro
yang masih berlari. Dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka, Slamet melompat,
merentangkan badan dan bahunya, menepis benda tersebut.
Tubuh Slamet
jatuh berdebum di dekat kaki anaknya. Sebutir bola terpental menjauh, lalu
masuk selokan. Hendro, yang melihat ayahnya jatuh, terkejut lalu menangis.
Slamet segera bangun dengan menyeka siku dan lututnya yang lecet dan berdebu.
Seorang remaja, dengan kaos olahraga, melangkah tergopoh hendak memungut bola
yang kini berada di selokan. Namun, langkahnya terhenti dan tampak ragu-ragu.
“Nggak
apa-apa, Mas?” dengan nada bersalah, si remaja bertanya kepada Slamet yang kini
telah berdiri dan memeluk Hendro yang menangis.
“Nggak
apa-apa,” jawab Slamet dengan lirih, setelah tampak tercekat sesaat. Ia
mengangkat tubuh Hendro, menggendongnya, dan berjalan menuju sekolah Hendro.
***
Setelah
peristiwa itu, berhari-hari Slamet berjalan dengan kaki pincang. Dan ia jadi
lebih pendiam dari biasanya. Kepada Hendro, Slamet berpesan agar tak
menceritakan soal jatuh itu kepada ibunya. Dan dengan alasan agar kejadian
seperti sebelumnya itu tak terjadi lagi, ia menggendong Hendro sampai
sekolahnya.
“Kaki Ayah kan
sakit,” tolak Hendro, yang lebih suka berlari.
“Sudah sembuh
kok,” Slamet berbohong. “Nih, lihat. Sembuh.” Ia tunjukkan dengkulnya yang
berplester. Jelas masih bengkak.
Meski enggan,
Hendro naik ke punggung ayahnya. Dan ia terang-terangan menunjukkan rasa
enggannya ketika ia merasa bahwa ayahnya kecapekan menggendongnya.
“Kalau Ayah capek, aku
turun saja,” kata Hendro pada suatu pagi, pagi ketiga setelah kejadian. Ia memaksa
melorotkan badannya dari punggung ayahnya.
“Tak usah. Ayah tidak
capek, kok.” Slamet menarik kembali tubuh anaknya. “Ayo, nanti telat.”
“Nggak mau. Ayah capek. Aku
jalan saja.” Hendro memaksa. Ia sudah berdiri dengan kakinya sendiri.
“Tidak, Ayah tidak capek.” Slamet
jengkel, karena memang ia tidak merasa capek.
“Kalau tidak capek, kenapa
Ayah berhenti?”
Slamet terkejut dengan kata-kata
Hendro yang terakhir. Dan ia baru sadar ketika mendapati dirinya sendiri tengah
berdiri termangu dengan leher menengok ke arah lapangan, tempat beberapa anak
SMP tengah berlatih sepakbola. Berhenti berbantah dengan anaknya, diam-diam ia
menggandeng tangan Hendro dan menurutinya untuk berjalan.
“Itu apa, Ayah?” tanya Hendro
sambil jalan.
“Yang mana?”
“Yang Ayah lihat saat capek
tadi.”
“O...” berhenti sebentar, berpikir,
dengan sedikit tergagap Slamet kemudian bilang: “sepakbola.”
“Kenapa sepakbola?”
“Karena... bolanya disepak.
Kalau bolanya dipegang, mungkin namanya pegangbola”
“Disepak itu apa?”
“Ditendang dengan kaki.”
“Berarti yang di pinggir
itu tidak ikut sepakbola?”
“Di belakang, maksudnya?”
“He-em.”
“Itu namanya...” berhenti
sejenak, “kiper.”
“Kiper. Kiper main
pegangbola, ya Yah?”
“Kiper juga main sepakbola.
Tapi ia bisa memegang bola.”
“Aku bingung.”
***
Nur tahu apa yang terjadi setelah lima hari
kemudian. Pada sebuah siang menjelang sore, Hendro yang sedang bermain di
halaman berteriak-teriak memanggil ibunya yang ada di dapur.
“Ibu, sini!”
teriaknya dengan wajah begitu gembira. Tangannya erat mendekap sebuah bola
plastik. Sebuah benda, yang sepertinya mengasikkan jika dibuat bermain, sebagaimana
yang beberapa hari ini dilihatnya bersama ayahnya di lapangan di pinggir jalan
yang mereka lewati.
Nur keluar
dari dalam rumah. Tangan dan wajahnya tampak berlepotan tepung.
“Lihat, Bu.”
Hendro menunjukkan bola plastik yang didekapnya dengan bersemangat. “Dibelikan Ayah!”
Nur menatap
bola plastik itu dengan takjub. Sebuah benda yang selama tujuh tahun
pernikahannya dengan Slamet tak pernah dilihatnya, bahkan tak berani
disebutnya. Sebuah benda yang tak dapat dipisahkan dari romantika cinta
keduanya. Mata Nur kemudian beralih kepada wajah suaminya. Slamet tersenyum
melihat istrinya yang memandangnya dengan tatapan aneh. Tapi ia segera
berpaling kepada anaknya.
“Tendang ke Ayah!”
Slamet memberi aba-aba kepada Hendro. “Ayah kiper!”
Hendro
menendang bola plastik ke arah ayahnya dengan sepakan yang lugu. Bola meluncur
pelan ke arah Slamet yang telah menunggu dengan sikap waspada seorang penjaga
gawang. Ketika bola itu telah ditangkapnya, Slamet berguling di tanah seperti
sedang habis melakukan sebuah penyelamatan gemilang. Hendro tertawa
tergelak-gelak melihat tingkah ayahnya. Sementara itu, Nur yang menonton adegan
itu, telah mengerti apa yang sedang terjadi. Slamet Sudarmanto, yang pernah
disebut-sebut sebagai kiper masa depan timnas Indonesia itu, kini telah
kembali. Tidak kembali utuh tentu saja. Karirnya telah bergi bersama sebiji
matanya. Tapi, setidakya, inilah Slamet yang dikenal Nur dulu.
Kecapekan akibat sesorean
bermain bola dengan ayahnya, Hendro sudah tidur sejak sore. Dan ini memberi
waktu yang luang bagi kedua orangtuanya mempercakapkan apa yang perlu
dipercakapkan. Slamet bercerita kepada Nur kejadian sebenarnya kenapa dengkulnya
lecet—hal yang hampir seminggu disembunyikannya. Yang terpenting, Slamet juga
mengungkapkan hal yang selama tujuh tahun dipendamnya: kerinduannya kepada
sepakbola. Gerak refleknya begitu melihat sebuah bola meluncur ke arah Hendro,
menurutnya, menyadarkannya bahwa ia, atau setidaknya tubuhnya, tidak pernah
benar-benar bisa melupakan sepakbola. Atau, lebih tepat jika dibilang, sepakbola
mungkin bisa dihapuskan dari pikirannya, tapi tubuhnya tak pernah
mengizinkannya. Mata elangnya memang tinggal satu, tapi sepasang tangan kipernya
masih ada padanya, meskipun telah bertahun-tahun cuma dipakainya untuk menambal
ban.
“Tapi ngapain kamu beli
bola plastik itu?” tanya Nur dengan datar, seakan sama sekali tidak tertarik
dengan cerita Slamet.
“Ya, karena
lebih murah,” jawab Slamet dengan agak jengkel, merasa tak memperoleh tanggapan
yang semestinya.
“Di rumah kan
masih ada bola,” kata Nur dengan ekspresi dingin.
“Maksudnya?”
Tanpa
mempedulikan Slamet yang bingung, Nur turun dari tempat tidur. Tangannya
diulurkan ke kolong tempat tidur. Sesaat kemudian sebutir bola bermerek Mitre
telah berada di tangannya. Bola itu kemudian dilemparkan ke arah wajah Slamet
yang terbengong-bengong. Dengan gerak reflek, kedua tangan Slamet menangkap
bola itu. Meskipun kulitnya sudah berwarna aus karena lawas, sesaat kemudian ia
telah mengenali kalau bola itu adalah bola yang pernah diberikannya kepada Nur
saat awal-awal keduanya pacaran.
“Nggak mungkin!
Kamu simpan di mana bola ini, he?” tanya Slamet dengan perasaan campur aduk
antara kesal, heran, dan terharu. “Nggak mungkin di kolong. Aku pasti tahu!”
“Rahasia!”
jawab Nur dengan cuek.
“Kamu menipu
aku ya? Aku cium, kapok nanti!” kata Slamet dengan gemas. Tangannya bergerak
hendak merengkuh pinggang Nur. Namun Nur menghindar dan lari keluar kamar.
Kedua suami istri itu kemudian berkejaran di dalam rumah yang tidak besar itu.
Nur akhirnya tertangkap di dapur. Di sana keduanya berciuman. Sebuah ciuman
yang lebih indah dari ciuman di taman dulu.
***
Seperti pagi-pagi
sebelumnya, Slamet mengiringi Hendro berlari menuju sekolah TK-nya. Yang agak
berbeda, Hendro kini tidak mau berlari kalau tidak membawa bola, entah
digiringnya atau dipental-pentalkannya. Setelah sampai TK dan melepas Hendro
masuk, Slamet kembali berlari menuju lapangan. Di sana, siswa SMP yang ikut mata
pelajaran olahraga telah menunggunya.
Sudah satu setengah bulan
ini, dua hari dalam seminggu, Slamet diminta membantu guru olahraga di SMP
tersebut mengajarkan teknik-teknik dasar sepakbola, terkhusus bagi penjaga
gawang. Pada Jumat sore, ia bahkan memegang penuh ekstra kulikuler sepakbola. Oleh
para anak asuhnya, tentu dengan diam-diam, ia biasa dipanggil Suhu Mata Satu.
Klaten,
2005
*Telah diterbitkan dalam Belajar Mencintai Kambing (Buku Mojok, 2016)
No comments:
Post a Comment