Oleh Darmanto
Simaepa
Landasan
gagasan revolusioner sepakbola Cruijff adalah tentang organisasi dan
reorganisasi terus menerus ruang dan waktu. Elemen dasar dan alat dalam
mereorganisasi ruang dan waktu dalam lapangan pertandingan adalah umpan
satu-dua sentuhan dan perpindahan posisi pemain secara konstan. Pergerakan dan
pertukaran posisi secara kontinyu membuka dan menciptakan (sekaligus membuka
dan menciptakan ulang) ruang terus menerus, sementara umpan adalah gelombang
tak teraba yang menyusutkan, membentangkan, memampatkan ruang.
Permainan
sepakbola model Cruijff adalah ilmu geometri. Intinya adalah pergerakan untuk menemukan
ruang. Seperti geometri yang berakar dari cara pandang modernitas versi Eropa
Barat daratan, yang punya kontribusi penting dalam globalisasi dan ekspansi
kapitalisme, permainan geometris sepakbola Cruijff mengeksploitasi ruang baru,
menciptakannya ulang, tanpa akhir. Sekali bola bergulir dari kiper, bek sayap
bergerak maju, bek tengah menyamping, pemain tengah mengkoloni pusat ruang, dan
penyerang menjelajah mencari ruang-ruang baru yang bisa dieksploitasi. Setiap
pergerakan yang terkoordinasi penuh perhitungan, keruntutan, dan kalkulasi
membutuhkan umpan di waktu yang tepat dengan kecepatan yang tepat.
Salah
satu penanda penting sepakbola geometris modern yang diciptakan ulang
Cruijff—melalui perjumpaannya dengan Rinus Michels di Ajax sebagai pemain dan
kesempatan melatih Barca—adalah posisi umpan sebagai kebajikan utama dalam
sepakbola. Umpan, terutama sentuhan satu-dua, mengatur arah bola, menentukan
kecepatan lari pemain, merubah arus dan irama pertandingan. Bakat penting,
fisik perlu, skill akan membantu, kecepatan adalah bonus; tapi, di atas
semuanya, umpan yang akan menentukan hasil permainan dan pertandingan.
Ketepatan waktu mengambil keputusan dalam mengumpan dan berlari akan mengontrol
permainan, dan konsekuensi logisnya, memenangkan pertandingan
Pemikiran
Cruijff terhadap umpan sebagai prinsip dasar sepakbola merupakan warisan
terbesarnya. Sepakbola ’Hollandse
School ’ yang
diciptakannya memusatkan teka-teki ruang dan pergantian taktik dan posisi, dan
membedakannya dengan tradisi sepakbola yang telah ada sebelumnnya. Jika tradisi
Britania menempatkan kerasnya tendangan, tekel, umpan panjang atau silang dan
kecepatan lari menuju kotak penalti—pendek kata antusiasme, hasrat, keberanian
dan kecepatan—sebagai esensi sepakbola; kultur sepakbola Brazil menempatkan
skil dan keindahan menggiring bola dan melewati lawan lewat duel satu lawan
satu sebagai jantung permainan; filsafat bola Jerman memuja daya tahan badan
dan mental sebagai elemen dasarnya; Cruijff, nyaris sendirian, berpikir,
menemukan, dan kemudian mengembangkan umpan sebagai rahasia terbesar sepakbola.
Dengan
umpan sebagai inti permainan, sepakbola menghasilkan tipe pemain dan cara
bermain yang berbeda dengan tradisi lainnya. Sepakbola ‘tendang-lari’ Inggris
menciptakan Stuart Pearce atau Kevin Keegan; sementara publik menempatkan
pemain bersimbah darah a ala Terry Butcher dan John Terry sebagai pahlawan. Brazil diwakili
oleh Garrincha atau Ronaldinho; keindahan sepakbola terletak dalam keberhasilan
mengolongkan bola ke kaki lawan dan membuat publik tersenyum riang. Sementara
sepakbola Jerman, digambarkan oleh penghargaan terhadap Rummenige atau Thomas
Muller, adalah tentang permainan konsisten dan disiplin dari detik pertama
hingga peluit berakhir. Bagi sepakbola
Cruijff, prototype sepakbola ideal adalah Guardiola atau Xavi: semuanya tentang
kontrol ruang dan waktu lewat keputusan mengumpan.
Filosofi
Cruijff tentang sepakbola sebagai penjelajahan atas ruang menjadi dasar dari,
dan mendominasi, sepakbola modern. Mirip sejarah perkembangan VOC, gagasan
sepakbola Cruijff tercipta dan dikembangkan dari perusahaan amatir di Amsterdam bagian timur.
Kini visi itu menjadi visi global yang berkembang dan menjalar ke seluruh
penjuru dunia nyaris tanpa tandingan. Dari sudut lapangan Imam Bonjol hingga camp
pelatihan Arsenal, dari lapangan tak berumput di pinggiran Lagos hingga
hamparan rumput sintetis di Claire Fountain, setiap pelatih dan pemain
mempraktikkan prinsip umpan dan posisi segitiga, kucing-kucingan satu sentuhan
(rondo), dan pergerakan konstan tanpa bola yang diciptakan Cruijff.
Semuanya menciptakan pemain dengan kecakapan mengumpan dan menentukan
permaianan posisi dalam lapangan.
Bisa
dikatakan, filosofi Hollandse
School telah menjadi
prinsip universal. Tidak ada tim sepakbola terbaik di dunia paska 1970an, yang
tidak mengambil ide tentang kesatuan ruang-waktu dan umpan-posisi dan berhasil
memecahkan teka-tekinya atau, dengan satu-dua tambahan ide, berhasil
memodifikasi dan mengembangkannya. Arrigo Sacchi secara teratur pergi dengan kereta
api ke Amstedam untuk menonton latihan Ajax di
awal 70an, dan lantas mengembangkan metodenya sendiri di Milan dengan filosofi pemuaian-perampatan
ruang (Corto Stretto). Arsene Wenger adalah pemuja fanatik sepakbola
satu-dua sentuhan a ala Cruijff dan mencangkokkannya ke dalam tradisi sepakbola
Inggris. Tim-tim kontemporer Amerika Latin, terutama Sampaioli dengan timnas Chile , berhasil
menggabungkan varian 4-3-3 dengan permainan intens warisan Marcelo Bielsa.
Hampir
mustahil kita menemukan klub atau tim nasional yang tidak punya aspirasi
permainan seperti Barca modern dan timnas Spanyol, dua anak kandung filosofi
Cruijff. Tim nasional Jerman memenangkan piala dunia terakhir tidak bermain a
la Jerman dan bisa diidentifikasi sebagai bagian dari tiki-taka. Di
Inggris, gagasan dan praktik Kick and Rush sepertinya hanya tinggal kenangan.
Tengok saja, bahkan Stoke
City yang terkenal dengan
’asis Ryan Shawcross ke Peter Crouch’ malih rupa menjadi sangat Barca. Brazil ? Setelah
kegagalan 1982, tim samba mengalami krisis identitas panjang. Mereka memang
juara dunia dua kali setelahnya, tapi sangat sulit kita berpendapat bahwa
dua-duanya dimenangkan dengan cara Jogo Bonito.
Warisan
Cruijff belum ada tandingannya sampai sekarang ini. Taktik pertahanan grendel a
la Italia sekali-dua kali masih dipakai, terutama ketika menghadapi Barca atau
Spanyol. Alegri dan Carletto berhasil mengembangkan taktik ini di Milan atau Juve untuk mempersulit Barca atau Munich versi Guardiola.
Tapi taktik ini tidak banyak berkembang. Tim-tim Alegri dan Carletto kembali
memakai gaya
dasar pengaturan umpan dan ruang ketika melawan tim lain yang setara di liga
domestik. Dekade 2000-an memang menemukan posisi 4-2-3-1 sebagai penawar taktik
4-3-3 ala Cruijff yang cair. Tapi bahkan skema itu, dengan tambahan penting
dalam hal elaborasi pressing, tetap mengunakan permutasi posisi,
pergerakan tanpa bola, dan umpan dalam permainan geomteri modern.
Seperti
halnya dunia yang monoton, kering, dan tidak menarik akibat dominasi sistem
politik-ekonomi kapitalisme, gagasan demokrasi elektoral, dan slogan kosong
tentang perubahan iklim, sepakbola masa depan akan sangat membosankan jika
semua tim dan klub ingin memiliki sistem bermain, akademi, dan tipe bermain
seperti Barca atau Spanyol. Bukan hanya karena Messi atau Neymar tidak lahir
setiap tahun untuk membuat keajaiban dan perbedaan dalam setiap pertandingan
dan kita hanya akan melihat satu tim berputar-putar mencari ruang dan mencari
prosentase tertinggi akurasi umpan dan penguasaan. Lebih mendasar dari itu,
kultur sepakbola akan menjadi homogen, semua pemain seperti robot hasil cetakan
akademi Ajax ,
dan hanya ada satu cara untuk memainkan sepakbola: menguasai bola dan memberi
umpan.
Meskipun
teknologi video, sistem kepelatihan, statistik pertandingan telah memungkinkan
kajian terhadap lawan secara rinci dan teliti, sebagian besar eksplorasi taktik
dan sistem permainan sepakbola modern sepertinya belum ada yang bisa memberi
tawaran dan tandingan bagi ‘Hollandse
School ’’. Hampir semua pelatih-pemikir utama sepakbola
kontemporer adalah anak-cucu Cruijff-isme dan belum terdengar yang berusaha
menyempal dari tradisi itu. Bacalah wawancara pelatih, semua ingin timnya
memainkan sepakbola a la Barca atau
Bayern Munich.
Kecuali
hanya ada satu orang, menurut saya, yang berpikir keras, bahkan sangat keras,
untuk keluar dari bayang-bayang sepakbola Cruijff! Orang ini, lewat rute yang
berliku, juga dibentuk oleh Cruijff-isme, namun berusaha untuk berjarak dan
dengan sengaja, mendeklarasikan perang atasnya.
Semua
bermula di Amsterdam Est.
******
Ketika
tim Ajax berlatih di bawah kiriman kabut Laut
Utara paruh 1960an, Rinus Michels
mengembangkan metode latihan baru yang menarik perhatian remaja-remaja tanggung
di sekitar Amsterdam .
Sekumpulan anak muda berbakat, yang kebetulan bertetangga dan teman
sepermainan, yang menjadi tulang punggung tim terbaik sepakbola yang pernah
dihasilkan oleh Belanda (dan Eropa): Cruijff, Piet Kaizer, Sjakie Swart, Ruud
Kroll, Arie Haan, juga menjadi daya tarik kuat. Salah satu remaja tanggung
dengan mata yang terus bergerak mengawasi gerakan bola di antara pemain-pemain Ajax itu adalah Luis van
Gaal.
Luis
kecil, terpikat oleh gerakan Cruijff, punya aspirasi untuk menjadi bagian dari
Ajax yang sedang membangun imperium sepakbola global di akhir 1960-an. Namun,
ia tak dikaruniai bakat sepakbola dan tubuh lentur-atletis seperti Cruijff.
Gerakannya lambat dan hanya kaki kanannya yang bisa menendang bola dengan baik.
Karirnya di Ajax tak lebih dari penghuni tim cadangan. Lantas, ia mengambil
peruntungan di klub-klub papan bawah dan akhirnya menjadi kapten di Sparta
Rotterdam.
Meskipun
memiliki perbedaan langit-dan-bumi dalam hal bakat teknis, Luis dan Cruijff
sebagai pemain memiliki kesamaan dalam satu hal: kemampuan mulutnya. Publik
Belanda mengidentifikasi kemampuan bicara Cruijff dan Louis sedari awal. Mereka
tak henti mengatur teman-temannya, berargumen dengan pelatih, memprotes wasit,
dan bahkan bersilang pendapat dengan pengurus klub. Pendek kata, mereka
berusaha meraih kekuasaan untuk mengontrol pertandingan dan permainan—bahkan
mengontrol klub. Keduanya membentuk dan mengawali tradisi sepakbola Belanda,
yang kata teman bermain bola saya di Leiden ,
selalu dipenuhi dengan opini, sengketa, dan pertengkaran mulut.
Bakat
mulut besar dan keinginan untuk mengontrol permainan membawa keduanya memiliki
kepribadian yang kuat sekaligus aneh. Mereka selalu percaya dengan ide-ide
mereka sendiri, dan berusaha mati-matian untuk mempertahankan dan
menerapkannya. Keduanya selalu bicara sepakbola lengkap dengan tambahan
‘filosofi’ atau ‘ideologi’.
Cruijff
dan Louis, bisa dikatakan, hasil dari satu aliran atau padepokan yang sama:
Hollandse School yang berkembang di awal dekade 70-an. Mereka berdua fanatik
dengan skema 4-3-3, meskipun belakangan, terutama setelah gagal membawa Belanda
ke piala Dunia Korea-Jepang, Louis lebih bersikap pragmatis dan mengembangkan
varian 3-5-2 di edisi Brazil dan 4-2-3-1 dengan Alkmaar dan United. Keduanya
berangkat dari gagasan tentang umpan dan penguasaan bola, kontrol atas ruang
dan waktu permainan.
Mereka
tidak percaya individu. Tim bergerak sebagai unit yang dikoordinasikan oleh
pengaturan tempo. Bila Cruijff berhasil menerapkannya secara sempurna sebagai
pemain, dan periode pendeknya sebagai pelatih di paruh 80-an, Louis berhasil
meracik dan mengembangkannya ketika menjadi pelatih Ajax di awal 1990an.
Keduanya berhasil membawa Ajax merajai kompetisi domestik dan meraih hadiah
paling bergengsi, Piala Champions, di era yang berbeda.
Tidak
ada argumen bahwa sepakbola Louis berbeda dengan prinsip sepakbola Cruijff, dan
begitupun sebaliknya. Prinsip penguasaan bola dan pengaturan umpan adalah detak
jantung permainan. Ajax dan Barcelona di tangan mereka bekerja dengan pressing
tinggi, bek yang pintar mengolah bola dan mengirim umpan, dan umpan satu dua
yang konstan. Tim-tim mereka aktif menyerang dan memaksa tim lawan menyesuaikan
diri, bukan sebaliknya. Keduanya juga mengandalkan akademi dan mempromosikan
anak-anak muda. Jika Cruijff memberi debut pada van Basten dan Guardiola, Louis
berjasa memberikan kesempatan yang sama pada Seedorf, de Boer, Xavi, Valdez dan Rashford.....
Seperti
halnya kisah klasik perseteruan dua murid satu perguruan, atau kompetisi antara
sesama saudara, Cruijff dan Louis yang menimba ilmu dari mata air yang sama,
menjadi musuh bebuyutan. Cruijff mengeluhkan sistem Louis yang berujung pada
mekanisasi skema Hollandse
School pada tingkat
ekstrem. Di mata Cruijff, sepakbola Louis terlalu kaku, terpaku, dan kehilangan
improvisasi. Ia bahkan menyebut tim Louis sebagai sepasukan tentara.
Sebaliknya, Louis mengkritik sikap anti-metode Cruijff. Bagi Louis, sistem
Cruijff hanya berpusat dan ada di kepala Cruijff belaka. Seharusnya, sebagai
sebuah sistem, taktik sepakbola mengikuti game-plan kolektif. Sikap tidak
disiplin terhadap rencana pertandingan membuat Belanda kalah dari Jerman dan Barcelona hancur lebur
oleh Milan di Athena. Perseteruan di dalam taktik dan perebutan kekuasaan atas Ajax menjadikan mereka
nemesis satu sama lain.
Keduanya
punya kesempatan bekerja di laboratorium Barca, tempat segala eksperimentasi
skema 4-3-3 dielaborasi, dipikirkan, dipraktikan, dievaluasi dan disebarluaskan
lewat akademi dan prestasi. Louis tidak beruntung karena ia datang lebih
belakangan. Ia direkrut untuk mengisi kaki yang dulu pernah menjadi milik
nemesisnya, paska etorno yang membuat Nunez memecat Cruijff. Sekali lagi, Louis tidak pernah bisa mengisi
ruang kosong yang ditinggalkan Cruijff. Tak bisa dibantah, Cruijff punya klaim
sebagai perintis, orang yang pertama, yang meletakkan pondasi sepakbola Barca
modern. Meskipun tidak terlalu gagal di periode pertamanya dengan Barcelona , Louis tidak berhasil bahkan tidak dikenal
sebagai ayah kedua yang berhasil mengubah tradisi sepakbola Catalonia .
Walau
tidak pernah bisa keluar dari tradisi Hollandse School dan selalu gagal
mengusir bayang-bayang Cruijff di Barca, Louis berperan untuk memberi ‘debut’
pada murid yang mengembangkan sepakbola yang, dalam satu aspek, bisa dikatakan
berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh Cruijff dan para pemeluk teguhnya. Bila
tradisi Cruijff diperbaharui dan dielaborasi lebih lanjut oleh Pep Guardiola
dan belakangan ditambahkan dengan serangan balik oleh Enrique, maka kita
menemukan semangat anti-thesis tentang pemuaian ruang-waktu sepakbola dalam
diri Jose Mourinho. Kehadiran Louis di Barcelona tidak lagi memberi warisan
baru dalam hal pemahaman taktik bagi Jose, tetapi menguatkan semangat anti-
otoritas dan kepercayaan diri, yang sudah ada dalam kepribadiannya.
Perlu
ditekankan bahwa, pada awal pembentukannya sebagai pelatih, semangat
anti-Cruijff-isme bukanlah definisi yang tepat untuk Jose. Kebetulan saja dia
harus menangani tim-tim ‘kecil’ yang sulit mengembangkan filosofi yang dia
timba dari Barca. Akhir musim 2007, dia berusaha kembali ke Nou Camp dan
mengidentifikasi diri sebagai pewaris tradisi Cruijff-isme. Cruijff, yang
memberi nasihat terakhir atas permintaan Laporta, menolak. Jose yang dilihat
oleh Cruijff adalah seorang pelatih yang menangani klub Inggris modern dengan
rekor kebobolan paling sedikit dan pertahanan yang paling rapat dalam sejarah
sepakbola Inggris. Alih-alih mengagumi pengembaraan, pengalaman dan prestasi
Jose paska sekolah kepelatihan terbaik di Nou Camp akhir
1990-an, Barca dengan pertimbangan Cruijff, memilih Guardiola.
Penolakan
Jose dan tampilnya Guardiola membentuk narasi sepakbola kontemporer, bukan
kebetulan karena persaingan Barca-Madrid, atau sekadar preferensi sepakbola
menyerang vs bertahan. Lebih dalam dari itu, momentum di mana Jose ditolak
ditempat ia ingin pulang, menggambarkan pilihan Cruijff atas pewaris ideologi dan filosofi sepakbola
modern yang ditemukannya. Penolakan atas Jose bersifat metafisikal, dan
merupakan peristiwa yang menandai terbelahnya arus gagasan mutakhir sepakbola
Eropa, yang kini mendominasi dunia. Untuk sementara, Cruijff-isme menang.
Bayern mengimpornya dan Liga Jerman terjangkiti demam gegenpressing, dan
kini sedang dalam jalan menuju Inggris. Kemenangan Inter di Liga Champions
adalah jeda kecil untuk sepakbola anti-Cruijff.
Warisan
Cruijff mendominasi dunia, namun
seseorang terus menggali cara untuk menguburkannya.
*******
Bukan
kebetulan bahwa Jose selalu punya sesuatu untuk dikatakan kepada Guardiola.
Bahkan ketika di akhir musim, ketika wawancara biasanya santai dan pertanyaan
wartawan fokus untuk memberi ucapan selamat dan bernada retoris untuk menggali
bagaimana Chelsea
menjadi Juara, Jose dengan humor gelap yang pintar dan pasti disiapkan
sebelumnya, bicara tentang tim yang bisa juara di Jerman dengan pelatih seorang
pembersih sepatu. Ketika Guardiola meminta tinggi rumput lapangan di Liga
Champions diatur, Jose dengan jitu berkomentar tentang masa depan sepakbola di
lapangan sintetis tanpa gawang, tempat dua kesebelasan saling membagi umpan,
dan tiap kemenangan ditentukan oleh tim yang paling banyak menguasai bola. Jose
tidak berhenti bicara tentang Gardiola, karena dia tahu, simbol dan
representasi warisan Cruijff-isme dan Barca-isme adalah Guardiola.
Jose
tidak bisa menutup mulutnya karena tahu bahwa Cruijff juga selalu membuka
mulutnya untuk mendakwahkan gagasan sepakbolanya. Dominasi Cruijff-isme
berangkat dari sikapnya yang terus memberi wejangan, mengatur-atur, berdebat,
dan bertengkar tentang umpan atau pengambilan posisi. Cruijff siap berdebat
dengan siapa saja dan punya kepribadian untuk menyukai perang pendapat. Jose
memahami sejarah ini. Ketika gagasan yang Cruijff bangun menjadi filosofi
dominan, ia menjadi otoritas dan menghegemoni pandangan tentang sepakbola.
Saya
kira, seluruh proyek Jose adalah usaha untuk melawan otoritas dan dominasi ini.
Ia tidak sedang melawan Barca sebagai klub; ia melawan sistem Barca sebagai
satu-satunya cara untuk memahami dan memainkan seoakbola. Meskipun dinyatakan
dengan sarkasme atau dalam nada-nada polemik, pernyataan Jose tentang sepakbola
di depan televisi dan wartawan selalu berusaha memberi tawaran lain bagi
sepakbola yang mendewakan umpan, penguasaan bola, dan dominasi total dalam
pertandingan.
Jika
ada yang menganalisis ribuan pernyataan Jose, seseorang pasti akan menemukan
benang merahnya sebagai usaha untuk menolak dominasi Cruijff-isme dan
Barca-isme. Sehabis membawa Inter mengalahkan Barca, dia dengan enteng
menyatakan bahwa timnya tidak butuh menguasai bola, tetapi hasil. ‘Biar Barca
mendapat bola, kami mendapat gol’. Dia juga yang mempopulerkan ‘steril
possession’. Diego Torres mendaftar tujuh prinsip Jose dalam pertandingan
besar, yang bila diringkas, semuanya bermuara pada satu hal: penguasaan bola
dan umpan tidak penting. Tim yang menguasai bola akan lebih banyak melakukan
kesalahan, tim yang memenangkan pertandingan adalah yang melakukan sedikit
kesalahan.
Publik
sering mengidentikkan sistem yang dibangun Jose untuk melawan tim yang bermain
dengan prinsip Cruijff-isme dan Barca-isme sebagai ‘membosankan’, ‘negatif’,
‘parkir bus’, ‘anti sepakbola’. Pada awalnya, Saya juga termasuk yang mengamini
label-label negatif tersebut. Namun, anggapan tersebut mengecilkan arti apa
yang dipikirkan Jose dan aspirasinya tentang sepakbola. Jika sepakbolanya
begitu negatif dan bertahan, bagaimana ia bisa menciptakan rekor poin tertinggi
kompetisi di Liga Inggris dan Spanyol? Jika hanya memarkir bus, kenapa jenius
seperti Messi tidak pernah membobol gawang tim Jose lewat permainan terbuka?
Apa
yang dilakukan Jose adalah usaha untuk memecahkan teka-teki geometri ruang dan
waktu dalam permainan sepakbola. Identik dengan prinsip Cruijff, tapi ia meletakkan pemahaman ruang di ujung
yang bertolak belakang. Jika Cruijff-isme terobsesi dengan pembukaan ruang dan
perpindahan posisi, Jose punya obsesi untuk menutup ruang. Orang sering
menyalahartikannya dengan sepakbola anti-proaktif, menunggu lawan menyerang dan
menikamnya dengan serangan balik. Bagi saya, tidak sesederhana itu. Justru ia
mengontrol permainan dan membentuk tempo bermain dengan cara mengunci ruang. Ia
memaksa lawan menguasai bola, saling mengumpan di daerah yang tidak berbahaya,
dan menciptakan akurasi umpan tinggi, tetapi tidak membiarkan mereka
mengeksploitasi ruang. Liverpool vs Chelsea
ketika Gerard terpeleset adalah contoh klasik, sementara yang lazim adalah
ketika Chelsea
melawan Arsenal.
Ia
mengontrol lawan dengan cara memaksa lawan menguasi bola dan mengumpan sebanyak
mungkin, tanpa harus menciptakan ruang. Tim-tim yang ia tangani tidak pernah
mengawal pemain lawan sebagai individu. Timnya menyusutkan ruang yang bisa
diciptakan oleh individu lawan. Dengan tertutupnya ruang, tim lawan tidak bisa
mengatur tempo; aliran bola menjadi lebih lambat; irama pertandingan
dikendorkan; pemain lawan tidak banyak berlari, dan sedikit sekali umpan
terobosan dilepaskan. Bola berputar-putar dengan kecepatan tak berubah tanpa
pernah diarahkan ke gawang.
Jose
adalah sedikit, dan mungkin satu-satunya, yang berpikir keras tentang
anti-geometri. Ratusan kali ia mengulang-ulang, umpan dan penguasaan bola tidak
selalu berhasil menciptakan ruang dan bukan satu-satunya kebajikan utama
sepakbola. Dalam wawancara panjang dengan ESPN, keinginan terbesarnya adalah
melawan dominasi pandangan bahwa umpan dan penguasaan bola adalah satu-satunya
jalan untuk memenangkan permainan. Lantas apa tawarannya terhadap sepakbola?
Sejauh ini, kita belum bisa mengidentifikasinya. Taktik yang ia pakai banyak
ditiru dan menginspirasi tim-tim kecil yang tidak punya bakat mengumpan sehalus
dan seakurat Iniesta atau secerdas Busquet dalam menata geometri permainan.
Namun penerapannya bersifat sporadis dan tidak metodis. Ini menyulitkan
penarikan kesimpulan secara umum apa yang telah disumbangkan Jose dalam sejarah
permainan sepakbola.
Di luar
soal taktik dan sistem bermain, Jose juga mengambil sikap oposan dengan para
romantik sepakbola dalam hal apa yang bisa diwariskan oleh pelaku sepakbola.
Cruijff, Socrates, dan orang-orang yang mendewakan keindahan permainan daripada
hasil berusaha menempatkan ‘pengaruh’, ‘ingatan’, ‘gaya bermain’ sebagai
warisan terbesar sepakbola. Jose menyebut piala dan juara sebagai satu-satunya
yang bisa diingat dan diwariskan kepada publik. Bagi dia, esensi industri
sepakbola adalah kompetisi. Bukan sesuatu yang salah jika ia sering hanya
dianggap dari sisi ini: menghalalkan kemenangan dengan segala cara.
Ia
sering dikecam tidak peduli dengan sepakbola, dan hanya peduli dengan diri
sendiri. Kesan ini melekat kuat sehingga menutupi pandangannya bahwa sepakbola
pada dasarnya adalah olahraga kelas pekerja. Hal yang paling penting bagi
pemain dan pelatih adalah memberi kemenangan dan kebahagiaan kepada pendukung
yang datang ke stadion, menyisihkan uang belanja harian demi melihat timnya
bertanding. Ia tidak ingin sepakbola menjadi olahraga yang didiskusikan di
ruang nyaman para pundit dengan bahasa kelas tinggi. Kalah-menang sangat
berarti bagi penggemar sepakbola dari pada buat pemain itu sendiri. Pemain yang
kalah tetap bisa hidup nyaman, berlibur, dan pensiun dengan uang tabungan
menggunung di rekening bank. Sementara penggemar yang kalah akan dibuli
ramai-ramai dan mengalami hari buruk, justru setelah mengeluarkan uang hasil
kerja upahan.
Sepakbola
yang ia inginkan harus mewakili gambaran kompetisi hidup sehari hari yang
keras. Pembelaannya terhadap Costa harus diletakkan dalam konteks bahwa
sepakbola bukanlah sebuah pertarungan moral, tapi permainan yang berada
diambang batas antara kecerdikan untuk berselancar dengan aturan. Tanpa
imajinasi bermain yang melampaui kesantunan yang diciptakan oleh birokrat
sepakbola, olahraga ini tidak pernah bisa menghasilkan Maradona atau
Suarez.
Spirit
oposannya terhadap pandangan dominan menginspirasi klub-klub kecil untuk
menjadi Daud bagi Raja Jalud. Pandanganya terhadap kemenangan adalah sebuah
penghargaan atas kerja keras, sportivitas, dan keberanian melawan dominasi. Ia
selalu mendatangi ruang ganti tim lawan yang mengalahkan timnya dan orang
pertama yang menyelamati Apoel Nicosia saat menembus perempat final Liga
Champions edisi 2011/2012.
Lebih
dalam dari itu, mungkin saja anti-geometri yang berusaha dikembangkan Jose
masih dalam kerangka berpikir Cruijjf-isme dan tidak bisa keluar dari bingkai
epistemologi permainan ruang dan waktu dalam sepakbola. Sekeras apapun berpikir
tentang taktik dan sistem, ia barangkali masih terperangkap dalam alam pikiran
tentang umpan dan pertukaran posisi pemain. Usaha Jose, dan para pelatih lain,
untuk keluar dari bayang-bayang Cruijjf-isme mungkin masih jauh, membutuhkan
waktu, dan barangkali hanya akan terjadi jika muncul tipe-tipe pemain baru yang
bergerak diluar kerangka ruang dan waktu dalam geometri aliran Hollandse.
Boleh
jadi, warisan Cruijff adalah akhir sejarah dari evolusi taktik permainan
sepakbola. Usaha apa pun untuk melawannya, akan terbentur pada aksioma bahwa
ketepatan pengaturan umpan dan pergerakan posisi akan lebih menang melawan
semangat dan umpan panjang, mudah melumpuhkan individu-individu yang terampil
menggiring bola, atau pertahanan berlapis a la Italia. Namun paling tidak,
dendam personal Jose bisa menjadi pembuka bagi pencarian metode yang melawan
dominasi sepakbola berdasar umpan yang kita saksikan dan anggap sebagai
kebenaran dalam selama empat dekade terakhir ini.
*****
Cruijff
meninggalkan warisan terpenting bagi wajah sepakbola kontemporer. Ia sudah
mati, namun gagasannya mengubah, merevolusi dan menghegemoni bagaimana
sepakbola modern dimaknai, dipahami dan dihayati. Bahkan, Cruijjf-isme kini
menjadi satu-satunya filosofi yang dominan. Sejauh horison di muka, belum ada
tanda-tanda gagasan tandingan untuknya. Ini bisa berakhir menyedihkan karena
sepakbola akan kehilangan elan vitalnya ketika berhenti pada hanya satu gagasan
dan filosofi bermain.
Namun
sepakbola, seperti hidup itu sendiri, akan menolak hegemoni dan dominasi
tunggal. Buku sepakbola modern tidak akan berakhir di bab tentang Hollandse School dan variannya, dari tiki-taka
hingga geggenpressing. Ia justru akan dimulai di musim depan, ketika
pewaris Cruijjf-isme dan ahli anti-geometri sepakbola mengawali rivalitasnya
secara langsung di dataran Manchester .
Bang Darmanto emang selalu keren.
ReplyDeleteamin
Deletebagus artikelnya,
ReplyDeleteHaha.. Mourinho-isme ini.. Lnjutan tulisan yg mourinho pulang to ceritanya
ReplyDelete