Oleh Mahfud
Ikhwan
Pada mulanya
adalah sebuah perdebatan yang menjurus pertengkaran. Atau, sebut saja itu
sebagai pertengkaran.
Pagi setelah
semifinal Liga Champions 2010 yang hanya akan diingat oleh pengemar Inter Milan
dan Jose Mourinho (dan karena itu anggap saja kita semua lupa kapan waktu persisnya),
saya menulis status di Facebook tentang kemuakan saya atas cara bermain yang
dipilih Inter saat mengalahkan Barcelona. Tak cukup segitu, saya bahkan menantang:
“… untuk seminggu ke depan, aku akan siap
bertengkar dengan siapa pun yang memaklumi apa yang dilakukan Mourinho dan
Inter-nya.”
Mudah
ditebak kalau para komentator bukanlah para penggemar Inter; mereka pasti
sedang sibuk menghadapi komentar-komentar miring atas status perayaan mereka.
Kebanyakan penanggap adalah penggemar Barca yang kecewa atau pembenci Mou yang
ingin timnya dihancurkan Munchen-nya van Gaal pada final di Bernabeu. Di antara
mereka adalah Darmanto Simaepa, penggemar Barca yang emosional sekaligus antropolog
amatiran yang saat itu tampaknya sedang jeda dari monyet-monyet dan keladinya
di Mentawai dan tidak sedang mabuk laut.
Namun,
tak seperti tipikal penggemar yang timnya dikalahkan dengan cara yang sangat
buruk, ia menulis komentar dengan kata-kata bijak dan sok dingin, seakan dia adalah
Wesley Hutagalung. Ia bicara tentang ambisi, hasrat, semangat, sampai dengan
statistik soal tim mana yang paling banyak berlari, dan semuanya menjurus pada
kesimpulan bahwa Inter memang layak menang. Saya tak menyukai kata-kata ala
komentatornya, menolak tetek-bengek statistiknya, dan kami bertengkar. Saling
berbalas komentar, dalam paragraf-paragraf panjang yang penuh pameran ingatan,
pengalaman, dan bacaan, pertengkaran itu bertahan berhari-hari (karena kami
saat itu sepertinya sama-sama memakai jasa warnet). Pertengkaran itu bahkan berlanjut
ke kotak pesan.
Mungkin
karena sama-sama mendukung Milan, kami berdamai dengan cara elegan: kami
sepakat mulai memikirkan agar pertengkaran-pertengkaran yang acak ala Facebook
itu diawetkan dan ditata menjadi lebih rapi dalam media yang kami miliki
sendiri. Kebetulan saat itu saya belum lama mengeluarkan dua buku tentang
sepakbola (dengan memakai nama pena), sementara secara bersamaan Darmanto juga rajin
menulis sepakbola baik di blog pribadinya maupun dalam catatan-catatan
Facebook-nya.
Usai
Piala Dunia 2010 saya membuat sebuah blog sepakbola, namun sampai setahun
kemudian blog itu terlantar. Hanya ada satu tulisan saja di sana. Ketika Darmanto
di Jogja sekitar awal 2011, kami berdua dan seorang teman menindaklanjuti
“pertengkaran” lebih dari setahun sebelumnya itu dalam obrolan yang serius,
penuh keringat, bahkan darah—saya tak bisa menemukan frasa lain yang bisa lebih
mewakili sebuah rapat media yang melibatkan adegan penarikan Vespa bermesin
Bajaj oleh motor bebek tua bikinan Cina memakai tali rafia, dari sebuah warung
kopi di Sorowajan sampai ke rumah kontrakan di Maguwo pada jam 10 malam. Kami
putuskan namanya, kebijakan redaksionalnya, sasaran pembacanya, siapa yang bisa
diajak menulis, juga memikirkan kemungkinan seberapa lama media amatir macam
itu bisa bertahan. Menjelang pengujung tahun, terutama dipicu oleh perpecahan
di PSSI dan kekalahan yang kesekian timnas Indonesia, tulisan-tulisan baru dari
kami berdua kemudian bermunculan.
Demikianlah
Belakang Gawang dilahirkan.
***
Dimulai
dari pertengkaran, Belakang Gawang jelas dihidupi oleh kejengahan. Kami
merasa ada yang macet dengan cara media kita menulis sepakbola. Dari sejak
munculnya tabloid-tabloid olahraga generasi pertama seperti Bola
(Kelompok Kompas-Gramedia) dan Kompetisi (Group Jawapos) pada akhir
’80-an, saat kami memulai membaca laporan dan ulasan sepakbola, hingga era
2010-an ketika situs-situs berita khusus sepakbola bertebaran, kami merasa semua
ulasan sepakbola berbunyi dengan nada yang sama. Ulasan sepakbola, di semua
tempat, di segala jenis, hanya terdiri tak lebih dari tiga hal: tebak-tebakan
skor di Jumat sore, transkrip nyaris mentah dan alakadarnya dari jalannya pertandingan
di Selasa pagi, dan profil pemain yang tak pernah lebih dari biodata yang ditambahi
kata penghubung antarkalimat.
Gaya
yang sepertinya dirintis oleh para penulis Bola didikan Sumohadi Marsis (atau
anggapa saja begitu), dengan sengaja atau tidak, menyelusup ke segala penjuru,
di mana ulasan sepakbola ditulis—atau, dalam kasus komentator sepakbola di
televisi, diomongkan. Persis, atau setidaknya nyaris. Bukan saja dari segi
gaya, tapi hingga ke bentuk judul, bahkan pilihan kata. Idiom-idiom perang yang
bertebaran dalam ulasan sepakbola kita, yang tampaknya dicomot mentah-mentah
dari ulasan-ulasan sepakbola dari Eropa (dari mana kita mendapatkan nyaris
semua berita sepakbola dunia), bertahan dan masih terus dipakai dengan membabi
buta oleh semua orang yang menulis sepakbola. Misalnya, menyebut sebuah tim
sebagai “pasukan”, “armada”, atau “skuat”, mengistilahkan kiper dan pemain
belakang sebagai benteng, mengganti kata pemain dengan “penggawa”, “senjata”,
atau bahkan “amunisi”, menulis pemain penting dengan istilah “jenderal”, dan
nyaris selalu menyebut pemain depan sebagai “bomber” selain “ujung tombak”. Okelah
jika istilah perang itu dipakai dalam ulasan-ulasan sepakbola Eropa, tempat negara-negara
dibentuk oleh hasil peperangan yang terjadi belum lama, dan obsesi-obsesi sejarah
atasnya masih tetap menghantui--sebagaimana simpulan Liz Crolley dkk (dalam
Adam Brown, 1998). Lha, untuk sepakbola di negara yang setiap peralihan
kekuasaannya diwarnai aksi penculikan macam Indonesia, istilah armada,
jenderal, apalagi bomber bukan saja tidak cocok, tapi terlalu gagah. Ingat,
dalam khazanah militer kita, selain bambu runcing dan ilmu kebal, kita hanya
punya pleton, kolonel, dan senapan—terutama popornya.
Di
luar kosakata-kosakata peperangan, frasa-frasa dalam tulisan sepakbola kita nyaris
seragam seperti tentara. Coba, berapa tulisan sepakbola yang kita baca bebas
dari frasa macam “mengoyak jala”, “memungut bola”, “mempecundangi
lawan”, “tersungkur di kandang”, “tak dinaungi dewi fortuna”, “pulang dengan
tangan hampa”, “memetik poin penuh”, “palang pintu”, “jenderal lapangan”,
“kartu as”, “juru gedor”, “kuda hitam”, “mental juara”, “dibekap cedera”, “di
atas angin”, “terpuruk di dasar klasemen”, hingga “terancam jurang degradasi”?
Pada awal ’90-an, tulisan-tulisan macam ini
tentu saja jadi aose bagi gembala kehausan—dalam bahasa sepakbola ala Bola-lah
penggemar sepakbola generasi saya dan Darmanto tumbuh. Namun setelah lebih 20
tahun dan sepakbola masih ditulis dengan cara yang sama, tidak saja di satu
media, tapi nyaris di semua media, yang bisa dirasakan justru adalah ulasan-ulasan
yang dingin dan rata, persis tegel mushala. Dari pekan ke pekan, sepakbola
ditulis berulang-ulang dan dengan cara yang sama, seakan upacara bendera pada Senin
pagi di kantor-kantor Pemda. Sorak-sorai penonton, teriakan kiper kepada para
beknya, keluhan penyerang atas keputusan offside hakim garis, ledakan petasan
dan semburat kembang api dari tribun, ketegangan di bangku cadangan, tak pernah
sampai kepada kita, pembaca. Portal-portal dotkom, dengan karakter tulisan yang
cekak-aos, yang rampung dibaca dalam sekali lirik, semakin mendamparkan
kita pada laporan-laporan sepakbola yang mengingatkan kita pada iklan pendek
obat batuk yang diputar tiga kali dalam sekali tayang: bukan saja bikin bosan,
tapi malah membuat jengkel.
Dan
yang sulit diterima, kok bisa para wartawan itu, juga kebanyakan penulis kolom
di koran, menulis sepakbola dengan sejenis keberjarakan atau rasa enggan—atau
setidaknya terbaca seperti itu? Ini sepakbola, Bung! Bukan berita perceraian
Saipul Jamil. Ini hal yang membuat Musollini mengancam para oriundi dari
Argentina memilih apakah mereka mati atau memenangkan Piala Dunia untuk Italia.
Ini benda yang membobol gawang Moacir Barbosa dan menenggelamkan seluruh Brazil
dalam duka. Ini yang menyebabkan El Salvador berperang lawan Honduras. Ini yang
membikin Bangladesh rusuh karena listrik mati tepat saat final Piala Dunia. Ini
yang jadi gara-gara 6 suporter PSIS Semarang tewas menjelang final Liga
Indonesia 1999. Ini yang boleh jadi merupakan alasan kedua terpenting bagi para
pemuda di Malang untuk giat bekerja selain memberangkatkan kedua orangtuanya naik
haji.
Sekali
lagi, ini sepakbola, Bung! Dari apakah kau diciptakan, sehingga hatimu tak berdebar
dan tanganmu tak gemetar saat menuliskan permainan terindah di dunia ini? Kami
berasumsi, mungkin, jauh di balik meja redaksi, ada tempelan-tempelan yang
mesti dipatuhi bahwa seorang profesional tak boleh menjalin hubungan emosional
dengan objek profesinya, sebagaimana hubungan dokter dengan pasiennya, atau
tukang sapu jalan dengan sampahnya.
Dugaan
itu bisa saja salah. Tapi kami sudah ambil kesimpulan: Belakang Gawang
tak akan menghasilkan tulisan ala wartawan, apalagi dalam bentuk tiruannya yang
amatiran, dalam kalimat-kalimat penuh idiom-idiom perang, dan frasa-frasa yang terbaca
seragam. Kami juga tak ingin mengkopi ucapan para komentator sepakbola di
televisi yang prediksinya terdengar seperti hafalan dari siaran pers sebuah
rumah judi.
Seperti
yang ditulis sebagai kredo Belakang Gawang, sepakbola bagi kami adalah
kekasih bagi seorang perindu dendam, suntikan penenang bagi orang keranjingan, atau
ampunan Tuhan bagi pendosa. Kami bukan wartawan yang menulis laporan
pertandingan dari pinggir lapangan atau tribun samping yang nyaman. Kami adalah
penonton di belakang gawang, yang bersorak saat menang, mengumbar caci-maki
ketika kecewa, dan meratap-ratap jika tim kami kalah. Kami tak pernah berhasil
menjaga jarak dengan sepakbola, sekeras apapun kami mencoba. Kami terlalu
mencintainya. Dan dengan cara itulah kami menuliskannya.
Dan
dengan cara itulah Darmanto melahirkan tulisan-tulisan sepakbola di buku ini.
***
Kami
bertengkar karena sepakbola, kami juga bersahabat untuk alasan yang sama.
Sekelas
selama dua tahun saat SMA, kami agak sulit nyambung soal selera musik, tapi
selalu kompak dalam sepakbola. Tiap ada gerombolan siswa yang bermain
sepakbola, baik saat sebelum kelas dimulai atau di sela dua istrihat
berikutnya, kami berdua selalu ada di sana. Kami selalu bisa ditemukan ikut
berdesak-desakan membaca koran dinding, terutama pada halaman sepakbola,
sebagaimana kami juga akan mudah didapati berkerumun di meja yang menggelar
tabloid sepakbola yang dibawa seorang teman ke dalam kelas. Ia ikut ekskul
sepakbola, demikian juga saya; ia mungkin pemain yang lebih baik dari saya,
tapi kenapa ia lebih diistimewakan dalam latihan atau pertandingan oleh pelatih
pasti karena alasan-alasan yang lebih primordial—dia anak setempat, tidak
seperti saya yang dari luar daerah. Merasa sudah tak cukup tertantang dengan
TTS di tabloid Bola, di antara kelas akuntansi yang membosankan, kami
biasa membuat TTS sepakbola kami sendiri, saling menukarnya, dan siapa yang TTS
bikinannya banyak yang kosong dialah yang menang.
Darmanto,
sebagaimana saya, memiliki hubungan yang sangat emosional dengan sepakbola.
Sebagaimana yang pernah ditulisnya, ia selalu mual menjelang tim kesayangannya
bertanding di laga-laga penting dan tak bisa tidur jika timnya kalah, apalagi
dengan cara buruk. Pada tulisan yang sama, salah satu tulisan paling emosional
yang pernah dihasilkan Belakang Gawang, ia menceritakan betapa ia
tersedu-sedu sepanjang 90 menit saat Barcelona-nya Cruyff disikat Milan-nya
Capello pada final Liga Champions 1994. Beberapa tahun kemudian, menjelang
sebuah pertandingan semifinal Liga Champions 1997 (saya lupa pertandingan yang
mana, tapi tampaknya melibatkan MU, klub kesayangannya), Darmanto menawari saya
yang anak pondok untuk ikut menonton di rumahnya. Saya tentu saja senang
meskipun saya tahu itu merepotkan. Pada sore yang ditentukan, saya butuh
bersiasat untuk bisa meninggalkan pondok, sementara Darmanto butuh menggenjot
sepedanya belasan kilo, bolak-balik, naik-turun bukit, dari rumahnya di Puncak
Wangi, desa paling tinggi di kecamatan Babat, untuk menjemput saya. Dan ia
melakukan itu tidak sekali-dua.
Hubungannya
yang emosional dengan sepakbola juga bisa dilihat dari caranya menonton
pertandingan. Paling hanya sekali-dua menonton pertandingan langsung di stadion
bersamanya, saya lebih banyak melewatkan menonton bersamanya di depan layar
televisi. Sejak remaja hingga sekitar dua tahun lalu, saat kami sempat tinggal
serumah, menonton sepakbola bersama Darmanto selalu meninggalkan kesan yang
sama: seru, ramai, tapi sekaligus mengerikan. Gairahnya yang meluap-luap,
mulut, tangan, dan kakinya yang tak mau diam, membuat teman menontonnya bisa
merasakan suasana pertandingan yang mendekati nyata. Tapi, karena tabiat
menontonnya itu, gairahnya yang meluap itu pada saat-saat tertentu bisa berubah
jadi amuk yang tak terkendali.
Seperti
yang pernah saya gambarkan dalam sebuah tulisan di Belakang Gawang, saat
timnas Indonesia dikalahkan Malaysia pada final Sea Games 2011 lewat adu
penalti, Darmanto berkali-kali membanting antena duduk tv tunner di rumah kami,
membuat isi sebungkus ketela goreng bertebaran di seluruh ruangan, dan seusai
pertandingan mencela siapa pun yang ia dengar merelatifkan kekalahan itu sebagai
“kurang beruntung” atau “belum waktunya”. Pada kesempatan lain, saat
menyaksikan Valdes membuat blunder konyol sehingga Benzema mampu mencetak gol
mudah di menit-menit awal dan membawa Madrid-nya Mou untuk sementara unggul
atas Barca-nya Pep, dalam el clasico edisi 2011-12, Darmanto secara
spontan melempar botol Aqua yang masih ada isinya ke arah layar televisi. Lemparan
itu meleset dan televisi selamat, tapi botol yang masih ada isinya itu menghantam
tembok dan menciptakan banjir kecil di seantero ruangan.
Meski
menjadi jauh lebih terkendali saat menulis, rasa serupa perut mual, badan
menggigil, mata tak bisa memicing, juga ekspresi-ekspresi yang lebih brutal dari
itu bisa dengan mudah kita temukan dalam ulasan-ulasan sepakbola Darmanto. Coba
saja cermati ratapan-ratapannya usai kekalahan MU, Barca, dan timnas Indonesia.
(Dalam tulisan bernada rutukan atas kekalahan timnas Indonesia dari Qatar dalam
pertandingan Pra-Piala Dunia 2014, seluruh makian yang bisa dihafalnya bahkan
dikeluarkan dalam tulisan.)
Jangan
lupakan juga obsesinya yang menggebu atas Jose Mourinho, nama yang membuat kami
bertengkar, yang koleksi pialanya memaksanya kagum tapi sepakbola buruk yang
dihasilkannya begitu dibencinya. Selain menghasilkan beberapa tulisan khusus tentangnya,
yang biasanya panjang, ndakik, dan kurang bersahabat, “si pemalas dari
Setubal”, demikian ia sering menyebut, adalah nama yang paling sering muncul
dalam tulisan-tulisannya, disebut entah sebagai rujukan tentang sesuatu yang
buruk atau sekadar sebagai sebentuk ejekan, bersaing dengan nama-nama yang
dicintainya macam Messi, Ronaldinho, hingga Mattew Le Tissier. Uniknya, entah yang
ditulis dengan nada dengki atau yang ditulis dengan bibir yang menyeringaikan
ejekan, pada tulisan-tulisan yang banyak menyebut nama Mourinho inilah hal-hal
terbaik dari Belakang Gawang (dan—kalau boleh jujur—seni menulis ulasan sepakbola
di Indonesia) kita dapatkan.
Lebih
kalem dan benar-benar terkendali, bahkan kadang manis, namun secara bersamaan
juga menunjukkan betapa istimewanya sepakbola bagi sarjana Biologi yang murtad
ini, adalah tulisan-tulisannya yang etnografis. Kata “etnografis” mungkin akan
memberi kesan berat atau sok intelek, tapi saya justru mendapati bahwa pada
tulisan-tulisan jenis ini kita menemukan sisi personal Darmanto yang kental, baik
dalam kapasitasnya sebagai pemain bola tarkam yang mendapati puncak-puncak
karirnya di tiap pertandingan agustusan atau sebagai peneliti kesepian yang
menghabiskan delapan tahun usia 20-annya di salah satu pulau terluar
Indonesia—entah untuk menuntaskan kegelisahan intelektualnya atau untuk
mengubur luka cinta remajanya. Saya sama sekali tak heran jika tulisan-tulisan
jenis inilah yang kemudian paling banyak mendapatkan pembaca di Belakang
Gawang.
***
Saya
mungkin akan terus terlibat pertengkaran soal sepakbola dengan Darmanto, apalagi
jika itu menyangkut Mourinho atau United. Tapi, untuk tulisan-tulisan di buku
ini, saya akan siap bertengkar dengan siapa pun yang mengabaikannya sementara
ia mengaku menyukai sepakbola. Sepakbola adalah permainan terindah di dunia,
dan karena itu ia harus diulas dengan indah. Sepakbola, mengutip kalimat yang
pernah diucapkan Darmanto sendiri, harus ditulis dengan badan demam, hati
berdebar, dan tangan gemetar.
Terkutuklah
mereka yang hanya menyukai tebak-tebakan skor!
Noyokerten,
20 Oktober 2015
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteblogspot sumohadi marsis
ReplyDelete