Mahfud Ikhwan
Bola itu bundar. Demikian
pemeo popular di kalangan penggemar sepakbola Indonesia. Itu benar jika
diberlakukan umum, untuk semua jenis bola. Bola golf bundar. Bola tennis juga
bundar. Dan masih banyak lagi. Tapi jika kita benar-benar merujuk kepada bola
sepakbola, bola yang dimainkan 22 orang dan disoraki jutaan mata yang menontonnya,
benda yang ditemukan oleh tiga orang Argentina (Tossolini, Valbonesi, dan Polo)
sebelum dipabrikasi oleh perusahaan Jerman setelah ditemukannya teknologi 32
panel oleh kiper Denmark yang juga tukang sepatu, Eigil Nilsen, percayalah
bahwa “si kulit bundar” itu sebenarnya belah jadi dua. Tak main-main, pembelahnya
adalah Samudera Atlantik.
Tak setua
terbelahnya benua purba Pangaea, yang membuat Eropa dan Afrika terpisah dengan Amerika.
Tapi belahnya si kulit bundar nyaris setua sejarah sepakbola modern kita.
***
Ketika pada
Oktober 1894, Charles Miller, pemuda Brazil peranakan Inggris, turun di
pelabuhan Sao Paolo setelah mudik dari sekolahnya di Southampton,
penyelenggaraan Piala FA sudah memasuki tahun ke-25-nya. Aston Villa
memenangkan gelar liga pertamanya dan menjadi klub Inggris terhebat hingga
mengujung abad, sementara Liverpool baru saja menjuarai divisi dua. Sepuluh
tahun lebih awal, di dua sisi Sungai La Plata, dua imigran Inggris lain,
kebetulan keduanya guru, yaitu William Leslie Poole dan Alexander Watson
Hutton, masing-masing mengajari Uruguay dan Argentina bermain bola. Saat itu,
FA (Football Association) setidaknya sudah berumur lebih dari 20 tahun.
Sebenarnya, para
imigran Ingris itu tak benar-benar ingin mengenalkan sepakbola kepada
negeri-negeri baru mereka di Amerika Latin. Mereka lebih tampak ingin pamer.
Klub-klub sepakbola pertama di Brazil, Argentina, dan Uruguay didirikan oleh
orang Inggris, tapi hanya untuk dan oleh mereka sendiri. Dan oleh karena itu,
seperti diceritakan Galeano, di waktu-waktu awal, orang Argentina menganggap
sepakbola sebagai “permainan gila dari orang Inggris gila”. Jika ada sedikit
niat baik, maka itu adalah niatan yang sama dengan yang dibawa para penjajah
Eropa 500 tahun sebelumnya: mengenalkan nilai-nilai hebat Barat dan menebar
moralitas Kristen.
Namun, tak menunggu lama, benda bulat dari kulit itu
menggelinding dan kemudian lengket dengan kaki kurus dan korengan anak-anak
setengah Indian dan keturunan bekas budak Afrika itu. Dari Rio hingga Rosario. Meminjam
kalimat David Goldblatt untuk konteks Brazil, sepakbola “menyebar dengan
kecepatan dan energi berkembang biak yang lebih mematikan dibanding hama atau
wabah sampar.” Sepakbola segera menjadi “ibu peri baik hati” bagi para bocah mulato
dan kulit hitam di Amerika Latin, demikian tulis Galeano.
Maka, belum tak
sampai sedeka kemudian, sepakbola telah menjebol batas-batas ras dan sosial
yang awalnya dibawa bersamanya. Ia melenting dari pagar-pagar sekolah kulit
putih, masuk ke gang-gang sempit di perkampungan miskin di Sao Paolo atau Buenos
Aires. Ia merangsek keluar dari klub-klub sport ekslusif para pendatang Eropa ke
kalangan buruh pelabuhan dan kuli kereta api di Montevideo. Di kondisi sosial
politik negara-negara Amerika Latin yang rasis dan segregatif, sepakbola
menjadi wahana demokratisasi yang paling ampuh.
Sebelum nyaris
seabad kemudian seorang mulato Argentina bertubuh boncel mengkadali mereka dengan
kaki (dan tangannya), orang-orang Inggris belum-belum sudah menyesali diri
karena telah membawa sepakbola di Benua Amerika. Seperti dikutip Galeano, pada
1915 Sports, koran berbahasa Inggris di Brazil, pernah menulis:
“Sebagian dari kita yang memiliki posisi yang jelas di masyarakat harus rela
bermain bersama para kuli, dengan sopir... Olahraga kini cuma jadi derita,
pengorbanan, dan bukan lagi penghiburan.”
Saat para
aristokrat Inggris dan Prancis masih ribut bagaimana sebaiknya menulis dan
mengeja nama asosiasi sepakbola dunia, seakan ingin mendahului, negara-negara
Amerika Latin sudah menyepakati sebuah kompetisi antarnegara pada 1916.
Turnamen yang akan kita saksikan perayaan ke-100 tahunnya sebentar lagi ini
adalah kompetisi sepakbola antarnegara tertua—jika tak menghitung Home Nation
di Inggris Raya. Ketika Amerika Latin telah menyelenggarakan lima kali
kejuaraan, Eropa, dengan mengatasnamakan dunia, baru mempertandingkan sepakbola
di Olimpiade Paris 1924.
Meskipun berlayar
ke Eropa dengan uang hasil gadaian, dan membiayai penginapan dari mengamen
pertandingan, juga sempat diremehkan, Uruguay tak terbendung menjuarai turnamen
sepakbola lintas benua pertama. Pada penyelenggaraan berikutnya, masih di
Eropa, dua tim Amerika Latin, Argentina dan Uruguay, bertemu di final Olimpiade
1928—final yang mereka ulangi lagi dua tahun kemudian di Piala Dunia 1930. (Dan
perlu diingat, dua gelar dunia pertama Italia (1934 dan 1938) tak akan terjadi
tanpa para oriundi dari Argentina.)
***
Pada 1904,
Asosiasi Sepakbola Internasional (FIFA) didirikan di Eropa dan sampai lebih
dari setengah abad kemudian mereka menganggap bahwa itu hanya milik mereka.
Negara-negara luar benua cuma nebeng saja. Mungkin karena itu, negara-negara
Eropa baru merasa butuh asosiasi sendiri setelah 1954, yakni dengan berdirinya
UEFA. Bandingkan dengan Conmebol di Amerika Latin yang berdiri sejak 1916.
Gelaran Piala
Dunia pun dianggap punya mereka. Memakai alasan kualitas, kuota tim-tim Eropa
di Piala Dunia sangat timpang dibanding kawasan lainnya. Seperti ditulis
McBall, Eropasentrisme bahkan semakin menggebu saat kepemimpian Stanley Rous (Presiden
FIFA 1961-1974). Tentu ada musabab selain perang kalau mereka baru
menyelenggarakan kejuaraan antarnegara Eropa tahun 1964, meskipun Henry
Delaunay, pria Prancis yang namanya diabadikan di nama tropi Piala Eropa, telah
mengusulkannya sejak 1927.
Kelicinan Joao
Havelange dari Brazil, yang menggandeng Pele keliling dunia untuk mengail
dukungan pencalonannya sebagai Presiden FIFA dari negara-negara non Eropa,
benar-benar menjadi ancaman nyata. Ketika Havelange berhasil menggulingkan Rous
di Frankfurt, sejarah dan peta sepakbola berubah untuk selama-lamanya. Punya
ikatan unik dengan negara-negara “kecil”, Havelange bertanggung jawab atas
maraknya kejuaraan-kejuaran kelompok umur dan mekarnya Afrika. Dengan bertambahnya
peserta Piala Dunia secara signifikan, Havelange juga memberi harapan—yang dulu
dikunci oleh birokrat konservatif macam Rous—kepada lebih banyak negara.
Tapi Havelange
juga punya dosa. Selain membawa Pele keliling dunia, ia juga membawa
serombongan bakul ke dalam sepakbola. Tanpa Adidas, Coca Cola, dan lainnya, ia
tak akan bisa jadi Presiden FIFA. Dan kepada merk-merk itu, juga terutama
kepada televisi, nyawa sepakbola diserahkan. Tak mengherankan, selain dua gol
sensasionalnya, Piala Dunia 1986 Mexico juga dikenang karena kemarahan Maradona
dan koleganya akibat dipaksa bermain pada jam 12 siang demi pemirsa televisi di
Eropa.
Dosa lainnya
adalah karena ia mengkader Sepp Blatter, orang Swiss yang tak pernah menendang
bola, yang oleh Galeano disebut “selirnya Havelange”. Meneruskan visi
Havelange, Blatter menjual sepakbola sampai di level tak terbayangkan. Ia sebisa
mungkin mengisi nyaris semua tanggalan di kalender dengan jadwal pertandingan,
baik di tingkat klub maupun timnas. Korupsi dan keserakahan yang menimbun FIFA
di pengujung kepengurusan Blatter tak bisa dilepaskan dari visi Havelange. Juga
eksploitasi habis-habisan para pemain bintang yang dibayar mahal di klub-klub
elit Eropa. Untuk yang disebut terakhir itu, tak ada yang lebih dirugikan
selain tim-tim nasional dari Latin Amerika sendiri, tempat para pemain terbaik
di dunia dilahirkan dan akan terus dilahirkan.
Kini tak ada lagi
tim nasional yang menggondol pemain dari tim nasional lain, seperti yang dulu
sering dilakukan Italia dan Spanyol terhadap pemain-pemain dari Amerika Latin.
Tapi, yang sekarang terjadi mungkin lebih buruk. Setelah kompetisi yang padat
dan panjang, pemain-pemain seperti Messi, Neymar, Suarez, Willian, Godin,
Sanchez, Vidal, pulang ke negaranya dengan punggung linu, kaki pincang, dan
mata bosan. Tak terhindarkan, pola lama bahwa Eropa mengeruk bahan mentahnya
dan menyisakan remah-remahnya untuk Amerika Latin kembali terjadi.
***
Terpisah
seperlima luas dunia, belahnya si kulit bundar beririsan dengan sejarah
penjajahan, prasangka ras, perlawanan (budak melawan tuan, murid melawan guru,
gelap melawan terang), dan kemudian perbudakan lagi. Tapi seperti terbelahnya
Laut Merah bagi kaum Israel, terbelahnya si kulit bundar ini adalah sebuah berkah.
Ya, berkah.
Terutama untuk kita, bangsa yang tergila-gila dengan sepakbola tapi tak
memiliki sedikit pun kemampuan untuk mengurusnya. Dan karena hanya dimuat mual oleh
sepakbola kita sendiri, menemukan siaran Piala Eropa dan Copa Amerika secara
hampir bersamaan seperti meneguk es degan di buka puasa pertama. Segar... dan
enak di perut. Dan untuk itu, mari berterimakasih kepada Havelange dan Blatter
atas dosa yang mereka lakukan terhadap sepakbola.
Kemegahan pasti
akan didapat pada gambar-gambar dari Paris atau Marseille. Tapi jika ingin
melihat pesta dan drama (ingat colekan Jara ke bokong Cavani tahun lalu?), maka
pelototi siaran dari Chicago atau Seatle. Dan karena ini Ramadan, jangan lupa
tarawih dan tadarusnya. Dan tentu saja puasanya.
No comments:
Post a Comment