Oleh Darmanto Simaepa
Begitu nama Ronaldinho muncul dalam daftar line-up yang berjalan di Sky TV—lebih tepatnya streamline Sky TV—saya berani mengambil resiko kehilangan dua jam lembur menulis outline disertasi, atau lebih buruk dari itu, berani membayangkan akan bertemu muka masam supervisor esok hari. Tentu saja, berita Scolari memanggil kembali Dinho telah datang beberapa waktu sebelumnya. Namun, melihat kepastian ia dimainkan dari menit pertama—apalagi di tengah genting tenggat waktu menulis sebagai sebuah kewajiban—adalah sensasi yang sangat menyenangkan.
Saya segera menutup semua halaman microsoft word dan mulai berharap akan tergelak-gelak sendiri—suatu pengalaman menonton sepakbola yang tidak didapatkan sejak si tonggos itu kehilangan kontrol atas selera makan, sering menenggak alkohol dan keluar malam, serta kemudian dipaksa keluar dari Nou Camp.
Menunggu seremoni sebelum pertandingan seakan lebih jemu dari mengantri tiket kereta api, dan menonton jabat tangan Boby Charlton kepada para pemain kedua kesebelasan serasa menyaksikan basa-basi elit partai atau birokrasi sebelum memberi bantuan seekor anak sapi. Bahkan, karena takut kehilangan sentuhan pertama si tonggos, saya rela menahan sakitnya kantung kemih dan menutup siaran Argentina lawan Swedia dan Belanda versus Italia.
Saya tak punya kesabaran terkait dengan Ronaldinho. Ia adalah pemain yang bakat sepakbolanya, jika diberi kesempatan memilih di kehidupan lainnya, ingin saya miliki. Ia membuat sepakbola tampak sebagai sebuah permainan jenaka, sekaligus teka-teki yang sangat cerdas dan teliti. Pemain yang ketika berlari bersama bola, berpindah antar lini, membuat sepakbola dimainkan dengan cara yang kata Galeano, mirip permainan misteri tanpa tujuan, selain menikmati dan menunaikan permainan itu sendiri. Hal itu mudah kita kenali dari caranya mengeluarkan gigi.
*****
Satu pernyataan yang mewakili permainan Ronaldinho adalah: Ia bisa mengelabui lawan, mencetak gol tanpa melihat ke arah bola atau sambil tersenyum, tetapi si lawan, alih-alih tersinggung atau marah, malahan akan ikut tertawa dan mengaguminya—juga seluruh dunia yang menyaksikannya.
Jika ada pemain yang disebut dari planet lain—saya akan menyebutnya kali pertama. Zidane dengan keanggunan balerinanya membuat lawan hormat, tapi jelas Materazzi tidak pernah secara terbuka mengatakan hal-hal baik terhadapnya, atau paling tidak Frank Lebouf. Maradona dengan kejeniusan dan gambeta-nya menjadikan lawan berhenti bernapas, tapi itu tidak menjadikan Vierchowood terus meludahinya. Messi dengan kerendahhatian dan insting predatornya dipilih para kapten seluruh dunia empat kali menjadi yang terbaik yang pernah dihadapi, namun Pepe, Ramos atau Diego Godin tanpa sungkan menginjak tangan atau berhenti menyikutnya. Pele? ah, orang Brazil bahkan menyebut dia sebagai versi tiruan Zico yang datang pada masa sebelum versi aslinya diciptakan.
Saya teringat ketawa Gattuso yang gagal menekelnya dalam sebuah pertandingan perempat final liga Championn 2006. Setelah terjengkang karena beradu kuda-kuda dan beberapa kali dilewati, Gattuso menghampiri Dinho saat jeda babak pertama. Lalu si badak dari Salernitana itu mengacak-acak rambut kriwilnya dan mengatakan, kalau dalam bahasa Jenderal Nagabonar: 'bajingan kecil kau', sambil terkekeh-kekeh.
Anda pernah mendengar kisah 'Maradona singgah di Barnebeu'? Saya menikmati keberuntungan menonton momen langka itu, ketika pendukung Madrid memberi tepuk tangan sambil berdiri dan lambaian sapu tangan putih kepada pemain Barcelona—selama 10 menit.
Maradona adalah orang pertama yang melakukannya di tahun 1982. Ia melewati 3 bek, kiper, dan meletakkan bola tepat di garis terakhir lapangan seperti meletakkan telur di tempat ayam mengeram.
Musim semi 2007, Ronaldinho mengulanginya dengan lebih ajaib: dua gol, dua solo run, dua senyuman, dan dua kali tepuk tangan. Senyuman yang membuat lubang kosong di jantung para pemain Madrid dalam catatan karirnya.
Salgado menulis di FourFourTwo 5 tahun kemudian dengan mengatakan: mendengar Madridista menyanyikan lagu dan nama untuk Ronaldinho dan tim Barca malam itu, ia merasa Brutus menikamkan belati ke ulu hatinya. Namun, lanjut Salgado, menyaksikan kelebat senyum Dinho saat melewatinya adalah sebuah berkah sejarah. Alih-alih sebal dengan si tonggos, ia lebih memilih menghukum dirinya jika tidak pernah dikelabui olehnya.
Yang hidup dalam ingatan saya dari cara bermainnya: semuanya adalah tentang kegembiraan. Apakah dengan mengolongkan si kulit bundar ke sela-sela kaki lawan, mengumpan dengan punggung, mencetak gol siluman ke gawang Chelsea, mengontrol bola dengan sisi dalam kedua paha, melesakkan bola ke jala dengan tendangan gunting, mengilik dengan ujung sepatu, atau umpan tanpa-tengoknya: sepakbola pantas dinikmati karena ia dimainkan dengan cara riang dan bahagia.
Dinho memainkan jenis sepakbola seperti ia berebut bola dengan anjing kecil yang keranjingan di pasir tropis Sao Paulo. Menyaksikannya bermain, saya seperti sedang menunggu anak kecil yang sedang belajar berlari dan berusaha menendang bola plastik di dekatnya. Meskipun si anak itu mungkin akan terjatuh dan menangis, kilatan mata dan senyuman memberi petunjuk bahwa: menyepak bola adalah gabungan antusiasme, rasa penasaran, dan luapan kegembiraan.
Garrincha adalah pemain yang dianggap mewariskan cara bermain—boleh saya sebut?—sepakbola jenaka itu.
Saya tidak pernah menyaksikan Garrincha, kecuali video pendek hitam putih di Youtube. Kakinya yang panjang sebelah itu berlari ke sana kemari mengitari sisi kanan lapangan dengan bola yang seolah seperti terikat tali sepatunya--seperti menonton Charlie Chaplin dengan topi dan kumisnya dalam Modern Time.
Seperti halnya semua orang Brazil meyakini esensi sepakbola samba ada pada Garrincha, hanya ada satu pemain yang tinggal dihati orang Brazil selain dirinya, yakni si tonggos. Seperti halnya nasib yang telah diramalkan kepada si kaki pincang, nubuat nasional ditetapkan bahwa kisah akhir Ronaldinho menempuh rute serupa: hancur sebelum masanya tiba akibat asupan nutrisi tidak sehat, atau karena perempuan dan minuman, lalu hidup dalam kemiskinan dan terlunta-lunta.
Selain Garrincha, gagasan dan praktik tentang jogo bonito konon diwujudkan oleh Tostao, Junior, Sokrates dan kawan-kawan. Ya benar, Brazil 82' adalah orgasme sepakbola. Tele Santana menciptakan sepakbola kreatif dan penuh gaya. Mereka membuat padang rumput bergaris tepi laksana kanvas bagi jiwa-jiwa liar dan bebas merdeka. Tapi, tim Brazil terbaik yang pernah ada itu masih kurang satu hal: hebat dalam ukuran seni namun selera humor kurang tinggi.
Mungkin karena siaran televisi memberi lebih banyak tayangan mingguan, Ronaldinholah yang menautkan imajinasi saya tentang sepakbola impian.
*****
Awal-awal siaran mengarahkan kamera secara dekat dan dengan waktu yang lama ke arahnya. Saya berbinar kerena dari layar 24 inci di jarak kurang dari 1 meter, nampak bahunya sedikit kerempeng dan perutnya lebih rata, dibandingkan saat di Milan. Secara umum ia lebih atletis dan kaus yang tidak ia masukkan ke celana, bukan satu cara untuk mengurangi lembek ototnya.
Sedikit aneh memang, karena sejak pergi dari Flamengo, ia tidak bermain secara reguler. Mungkin ia lebih sering berlari di pantai Copacabana dengan anjingnya atau latihan fisik di gym dari pada pulang dini hari dan menikmati olahraga dengan para perempuan ‘bayaran’.
Perlu empat menit bagi desir hati untuk menantikan sentuhan pertamanya. Satu umpan pendek dengan Neymar. Dan perlu beberapa waktu menunggu lagi ia menyisir sisi kiri dan berupaya juga mengubah arah permainan dengan sebuah umpan tak terduga. Beberapa kali ia berusaha terlibat dalam aliran serangan, tapi ia hanya bergerak terlalu sedikit, sehingga hanya menyentuh bola terlalu sedikit. Kakinya belum seyakin dan sepercaya diri sebelumnya.
Ia hanya sedikit berlari dan selama sepuluh menit, ia tidak pernah memilin bola ke udara. Ia bahkan dua-tiga kali salah operan. Tak ada umpan terobosan melintasi kepala para bek. Tidak ada bola menyusur diatas rumput, membelah anatomi pertahanan lawan, kecuali umpan tanggung ke kotak penalti yang menemui nasib sial tangan Wilshere. Saya mulai berharap: apakah pertunjukan baru akan dimulai?
Ahhhh, penalti yang buruk dan gerak reflek yang sudah sedemikan melemah. Kekalahan duel dengan Joe Hart tidak hanya menggambarkan apa yang hilang darinya. Justru sebaliknya, itu menunjukkan kualitas apa yang kini dipunyainya. Cara ia berdiri tegak, membusungkan dada dan mengetuk tanah dengan ujung sepatunya masih sama. Namun yang pasti, sentuhan magis atas bola telah pergi bersama dengan kamera paparazzi yang dulu menyertai kemana ia lari.
Meskipun sudah menyiapkan diri untuk tidak berharap banyak, melihat setengah babak Ronaldinho seperti melihat seorang pelukis ekspresionis yang mendadak buta warna. Ia ibarat seorang kutu buku tentang hutan yang mendapati hutan belantara, tempat tautan imajinasinya, berubah menjadi ilalang atau kawasan perkebunan. Ia hanya sedikit berlari, sebentar mengolah bola, dan umpan magisnya lenyap bersama munculnya rasa kecewa.
Luis Fabiano yang dimainkan sebagai tandemnya ikut memperburuk situasi. Para pria lewat 30an yang telah meredup sinarnya, ketika dimainkan bersama, membuat pelita yang diharapkan menyala terang dari Neymar dan Paulinho, menjadi padam. Kecuali Oscar yang lebih aktif bergerak dan bermain lebih matang dari usianya, Brazil adalah sekumpulan pemain sebuah grup orkestra yang dipaksa ber-akapela.
Sepanjang satu babak, saya tidak sekalipun melihat Ronaldinho tersenyum. Tidak ada gelengan kepala, atau seringai hidung, ketika bola tidak mematuhi perintahnya. Pun juga telunjuknya saat meminta tandemnya bergerak di belakang bek lawan. Tidak ada gestur tubuh yang membuat sepakbola memberi kegembiraan sejenak, suatu cara paling indah untuk melarikan diri delapan bab transisi agraria.
*****
Sepakbola jenaka itu tidak akan pernah kembali. Kembalinya Dinho, hanya upaya Brazil (atau tepatnya Scolari?) menenangkan diri dari kegugupan menjelang piala dunia. Ditanah tempat pemain sepakbola merdeka dan bahagia—juga jenaka—lahir dan diciptakan, tekanan sedang meninggi. Cara terbaik untuk menguranginya, sekaligus berusaha memberi hiburan bagi penggemar yang menuntut, adalah memberikan peran bagi aktor yang paling dicintai.
Si tonggos itu telah kehilangan senyumnya. Senyuman yang membuat gigi, sekaligus permainannya keluar. Senyuman yang membuat sepakbola mendekati definisi sebagai sebuah permainan—dan bukan pertandingan. Scolari mungkin sedang berusaha menghadirkan Dinho untuk memberi inspirasi bagi Neymar, Lucas atau Oscar. Hanya saja, senyum itu tidak akan pernah bisa dipanggil lagi.
Yang mengeluarkan gigi tonggos dari bibir Ronaldinho adalah senyuman dari otot, pikiran, nadi, pembuluh darahnya. Pendek kata: Ronaldinho telah melewati momentum dan kemampuan tubuhnya sendiri. Sangat jelas pesan malam di Wembley itu: seluruh badannya tidak lagi bisa menopang kegembiraan dan kejenakaannya saat bertemu dan menyihir bola.
Dan penonton yang berharap gigi tonggos Ronaldinho keluar kembali, harus rela menerima kenyataan bahwa, bukan senyumnya yang akan kita saksikan, tapi justru senyum kecut sendirilah yang akan didapatkan.
perspektif yg menarik untuk sebuah tulisan di blog... beginilah bola mengitari bumi
ReplyDeleteTulisan yang hebat...Konon orang brazil sendiri lebih memilih Garrincha, yang abu jenazahnya ditaburkan di stadion Maracana itu, ketimbang Pele sebagai pemain terbaik yang pernah mereka miliki.
ReplyDeletemembaca tulisan ini seperti membaca puisi.
ReplyDeleteTulisan ini mungkin sebanding dengan tulisan dibawahnya milik mas Dwicipta. :D
ReplyDeletewanita, wanita dan wanita ...
ReplyDeleteTulisan yang bisa buat saya tersenyum mengingat masa masa indah si tonggos. Gol dia ke gawang Chelsea di LC adalah gol terbaik yg pernah saya lihat. Dan tulisan ini berhasil membuat saya kembali tersenyum. Menarik membaca tulisan tulisan di blog ini. Respect buat semua penulis blog ini :)
ReplyDeletesalam Aqidah Jogja
ReplyDeleteSebagey penganut gigi tonggos Dinho, ini Keren :)
ReplyDelete