Oleh Daniel Taylor (The
Guardian)
Roberto Mancini sedang kembali ke masa kanak-kanaknya dan mencoba
mengingat-ingat kapan saat ia tak terlalu terobsesi dengan kemenangan.
Akhirnya, disimpulkannya, ia tak menemukannya. Sepupunya harus melewati
pengalaman buruk saat Mancini, si bocah sembilan tahun, pada suatu hari, kalah
main pingpong. "Ia mengalahkanku," ingat manajer Manchester City itu.
“Maka aku lempar batku ke arahnya dan tepat kena kepalanya."
Il Bimbo, begitu mereka biasa memanggilnya di Casteldebole, akademi pemain muda Bologna. Para fotografer masa itu memperlihatkan Mancini dengan rambot coklat yang dibob dan deretan kumis tipis pertamanya. "Si Bocah" itu berumur 13, paling muda di akademi tersebut. “Itu 35 tahun lalu, tapi aku masih mengingatnya dengan baik," katanya. "Saat kau meninggalkan keluaganya di usia semuda itu, itu membuatmu jadi kuat dengan cepat. Aku punya masalah besar di tahun pertama. Aku rindu keluargaku. Aku tak bahagia. Itu sulit. Aku ingat pada hari pertamaku di sekolah baru. Aku lihat, kuputuskan tidak menyukainya, lalu aku ngeloyor pergi. Mereka membuatku kembali keesokan harinya dan aku mendapati diriku tak bisa lari lagi. Untuk satu tahun itu sangat sulit. Bayangkan, 13 tahun, meninggalkan rumah. Tapi aku tetap di situ."
Itu adalah jenis cerita yang mungkin menolong untuk menjelaskan betapa kerasnya ia terhadap para pemainnya saat ia menyangka mereka tak memperlakukan karirnya dengan cukup serius. Ia telah, bagaimanapun, mengorbankan dirinya. Ia juga, sebagaimana diakuinya, seorang yang sulit dihibur jika sudah kalah. "Aku selalu sama. Aku punya mentalitas yang sama bahkan sejak aku masih main bola dengan teman-temanku di SD. Aku ingin menang. Aku cuma mau menang. Aku tak suka ambil bagian pada apapun dan tidak jadi juara."
Kami ngobrol di gerai Etihad di Bandara Manchester, saat Mancini membayangkan City berangkat pada pertandingan hari Minggu melawan Chelsea dengan 15 poin di belakang Manchester United dan dengan cepat tak lagi kelihatan di kaca spion mereka. Ada frustrasi, bantahan, juga sedikit amarah. Mancini, yang segera tampak, jadi mudah tersinggung dengan perdebatan soal posisinya manajerialnya yang berkepanjangan. Dia bicara tentang pemain-pemain yang "berpikir cukup dengan bermain 50%". Juga kritikan paling segar terhadap Samir Nasri dan, yang kurang merebak, Joe Hart.
Belum lagi kalimatnya yang lebih tajam yang ditujukan secara tidak langsung kepada sasaran lamanya, Brian Marwood, yang hingga Oktober lalu bertanggungjawab atas urusan transfer City. "Penting kiranya untuk tahu kalau kami melakukan beberapa kesalahan. Aku melakukan beberapa kesalahan, demikian juga pemain. Namun, alasan utama adalah sebab kami tak melakukan apa yang harus dilakukan pada pasar transfer musim panas—kami bekerja sangat buruk di pasaran."
Musim panas depan, dengan Ferran Soriano dan Txiki Beguiristain sebagai pengontrol rekrutmen, Mancini berharap dan membayangkan akan berbeda—namun di situ juga terungkap cara pandang seorang Mancini sebagai politisi, orang yang di akhir wawancara berkata bahwa suatu hari dia berencana untuk jadi seorang direktur klub sepakbola. Sebuah kerjapan jengkel pada dua jam bersamanya muncul saat aku bertanya bagaimana cara dia bekerja sama dengan dua orang di atasnya itu. "Txiki dan Ferran? Mereka tidak di atasku," sergahnya. "Yang di atasku cuma Khaldoon (Al Mubarak) dan Sheikh Mansour."
Yang patut digarisbawahi adalah ucapan Mancini tentang chief executive dan direktur sepakbola City yang baru, yang sangat berbeda dibanding para pendahulunya. "Ferran datang dari Barcelona dan mengerti apa yang dibutuhkan untuk jadi klub top. Txiki main bola dan tahu sepakbola. Mereka orang baik. Untuk alasan ini, aku optimistis dengan masa depan kami. Kami sekarang punya orang-orang yang tahu sepakbola. Kami butuh beberapa pemain dan mereka sedang mengusahakannya. Pada saat ini, adalah lebih baik fokus kami pada tiga bulan terakhir, tapi klub tahu (soal) itu dan aku tahu itu."
Edinson Cavani adalah pilihan pertamanya. "Aku menyukainya, tapi seluruh dunia juga menginginkannya. Ada beberapa pemain bagus. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. (Luis) Suarez bermain untuk klub top macam Liverpool. Cavani bermain untuk Napoli. Ada (Radamel) Falcao, tapi, sekali lagi, seluruh manajer juga menyukainya. Neymar juga pemain bagus, masih muda, dan aku tak tahu apakah dia siap untuk bermain di Inggris, mengingat di sini sepakbolanya sama sekali berbeda. Aku kira dia akan ke Barcelona atau Madrid, yang sepakbolanya lebih taktis. Tapi Cavani dan Falcao akan bagus di Inggris. Mereka punya pengalaman. Keduanya berumur 26, 27. Mereka akan cukup bagus untuk bermain di Inggris."
Ia curiga bahwa beberapa pemain yang memenangkan gelar liga musim lalu sudah dimabuk rasa puas. Nasri adalah contoh untuk ini. "Aku pikir Samir punya kualitas fantastis. Dengan kualitas yang dimilikinya, dia seharusnya selalu bermain bagus. Setiap game dia harus menyajikan hal berbeda. Pemain dengan kualitas macam itu seharusnya jadi salah satu pemain terbaik di Eropa. Tapi itu tak terjadi.
"Kadang seorang pemain berpikir sudah merasa cukup dengan apa yang mereka lakukan pada musim sebelumnya dan tidak paham bahwa setiap hari dia harus berkembang. Jika kau pemain top kau tahu kau bisa berkembang sampai hari terakhir karirmu, tapi kadang kau dapat pemain yang berpikir kalau kerja itu tidak penting dan inilah kesalahan terburuk mereka. Samir bisa melakukan lebih baik dibanding tahun ini. Dia pemain top, tapi dia tak bermain di levelnya."
Dia menunjuk Pablo Zabaleta bisa jadi adalah pemain City dengan penampilan terbaik—"Dia bermain sangat sangat baik"—namun Pablo terlalu sedikit memiliki pesain. Menyangkut Hart, ia langsung mengacu pada rekam jejak. "Dengar, aku mempercayai Joe saat tak seorang pun mempercayainya. Aku taruh ia di gawang saat semua orang berpikir bahwa mustahil ia bisa bersaing dengan Shay Given, yang pada saat itu merupakan salah satu penjaga gawang terbaik di Eropa. Aku suka Joe. Jika tidak, aku tak akan memasukkanya ke tim dua tahun lalu.
"Tapi sederhana saja. Jika Joe terus-terusan melakukan kesalahan, dia akan terdampar di bangku cadangan. Aku melakukan itu terhadap Samir, (David) Silva, dan (Carlos) Tevez musim ini dan itu bisa saja terjadi pada Joe. Masalahnya, jika penjaga gawang melakukan kesalahan, kami akan kalah. Joe memiliki kualitas untuk jadi penjaga gawang terbaik. Dia penjaga gawang terbaik di Inggris. Namun, untuk situasi Manchester City, jika kau ingin tetap berada di puncak, kau butuh kerja keras dan hanya memikirkan sepakbola. Dia musti hanya memikirkan pekerjaannya dan jadi penjaga gawang."
Adalah tak lazim mendengar seorang manajer yang dengan sadar mempertanyakan kemampuan pemainnya ke khalayak. Itu berbeda, sebut saja, dengan manajer macam Arsene Wenger, yang akan selalu mencoba melindungi pemainnya pada saat-saat sulit. "Tapi aku bukan Arsene Wenger. Kami berbeda. Aku ingin menang. Aku rasa setiap pemain harus cukup kuat untuk ambil tanggung jawab dan, dengan cara ini, kau bisa berkembang. Kau tak bisa berkembang jika kau punya manajer yang bilang, ‘ah, tak usah kuatir, kau lakukan kesalahan dan itu tak masalah.’”
Pembicaraan kemudian beralih soal posisinya sebagai manajer City. Tidakkah dia terganggu karena berita (soal penggantiannya) itu terus saja muncul? "Aku tidak paham. Serius, alasannya apa? Sejak kami mulai, pada Mei 2011, Manchester City adalah tim terbaik di Inggris, ya nggak? Kami memenangi tiga tropi, MU dua, Chelsea dua, Liverpool satu. Tak ada tim yang pialanya melebihi kami.
"Sekarang kami ada di posisi dua dan masih melaju di Piala FA. Kami berharap kami bisa memenangkan liga dan tak pernah berkata tidak bisa. Tapi, jika kami finis kedua, oke, kami melakukan beberapa kesalahan tapi kami tetap saja telah melakukan kerja bagus jika dalam tiga tahun kami finis nomor dua, satu, lalu dua. Makanya, aku tetap tak mengerti. Aku baru mengerti jika kami tak memenangkan apapun dalam tiga tahun. Itu akan sulit bagiku untuk tetap tinggal, sebab aku tak bisa berada di dalam sebuah tim yang aku tak bisa bekerja dengan baik. Namun aku telah melakukan kerja bagus di sini."
Dalam jumpa persnya pada hari Jumat, Mancini ditanya tentang laporan yang menghubung-hubungkan City dengan manajer Malaga, Manuel Pellegrini. "Persetan," katanya. "Aku tak bisa jawab pertanyaan soal itu."
Chelsea, katanya, menunjukkan bahwa gonta-ganti manajer tak selalu ada
gunanya. "Bagiku, Carlo (Ancelotti) adalah kasus yang aneh. Carlo adalah
salah satu manajer terbaik di dunia, itu pendapatku. Ia memenangi liga dan
Piala FA dan kemudian mereka memecatnya. Sulit bagi klub yang berganti manajer
setiap tahun, setiap dua tahun. Keadaan (Sir Alex) Ferguson benar-benar
berbeda, sebab ia mulai bekerja untuk United di zaman yang berbeda. Kini ia
seperti kursi di stadion, seperti rumput di lapangan. Dia adalah bagian dari
United.
“Aku ingin meneruskan pekerjaanku. Aku selalu ingin bekerja di Inggris. Oke, Manchester memang bukan Roma, tempat di mana matahari terus bersinar. Keduanya kota yang berbeda. Hujan memang jadi masalah, tapi apakah aku menyukai Manchester? Ya. Aku kerasan di sini. Boleh jadi tak ada 100 restoran di sini, tapi itu bukan soal. Aku suka putar-putar dengan sepedaku. Saat itulah aku lakukan apa yang aku pikirkan. Dua atau tiga jam di jalanan. Itu saat kau memperoleh waktu luang dan kau bisa berpikir tanpa ada gangguan. Aku tahu Alderley Edge, Wilmslow, Hale. Asyik. Istriku juga suka. Sesekali kami pergi ke London untuk lihat-lihat. Aku suka dengan masyarakat di sini sebab mereka membiarkanmu lewat. Kadangkala mereka minta tandatangan, tapi mereka menghormatimu.
"Di Italia, persnya beda. Di sana, semua jurnalis berpikir seakan mereka semua adalah manajer. Bukan cuma jurnalis, sebenarnya. Kami punya 55 juta manajer sepakbola di Italia. Di Inggris beda. Bolehjadi pers Inggris suka ingin tahu lebih soal kehidupan pribadi pelaku sepakbola, tapi itu tak masalah buatku. Inggris adalah tempat yang diinginkan setiap manajer, di depan 40 atau 50 ribu orang di setiap pekan. Itu indah."
Ngomong soal pers membawa kami kepada soal Mario Balotelli. "Mario sudah tak di sini lagi, itu pasti jadi masalah besar buat paparazzi dan The Sun," kata Mancini, menyeringai. "Aku bahagia untuknya atas gol-gol yang dicetaknya buat Milan sekarang. Aku yakin dia akan mencetak lebih banyak gol, sebab di Italia kompetisinya tak sesulit di Inggris. Dalam 10 tahun terakhir, sepakbola Italia begitu-begitu saja. Untuknya, itu lebih mudah. Ia lahir di sana. Ia tahu sepakbola Italia.
"Aku cuma berpikir Mario tidak mengerti bahwa, untuknya, Manchester City adalah kesempatan yang sangat, sangat besar. Ia tak berpikir soal itu, ia tak berpikir soal masa depannya. Ia anak baik. Ia tidak lagi 16, tapi 22 tahun tetap saja masih muda. Dan kalau kau masih muda, kau melakukan kesalahan.
"Mario punya masa-masa susah saat dia kecil. Itu alasan penting kenapa dia seperti itu. Dia beruntung karena menemukan sebuah keluarga yang baik, tapi pada umur 22 kau tak akan punya pengalaman hidup layaknya seseorang yang berumur 35. Aku mencoba memberikannya segala yang aku bisa. Ia seperti anakku sendiri. Aku mohon maaf sebab kupikir Mario bisa memberikan lebih bagi Manchester City. Tapi kami telah memenangkan liga dan Piala FA bersamanya dan itu penting."
Mencari pengganti Balotelli akan menjadi prioritas di musim panas nanti. "Kami bertarung melawan tim macam United yang terbiasa juara setiap tahunnya. Kami tak memiliki pengalaman mereka. Kami butuh kerja keras, tiap hari, tiap minggu, sebab kami butuh berkembang. Tapi di pasar transfer kami sejajar. Kami bekerja dengan buruk (musim panas lalu) dan aku tak tahu kenapa, sebab saat kau memenangi liga itulah saat untuk membawa dua atau tiga pemain top untuk meningkatkan mentalitas tim.
"Pemain baru ingin menunjukkan bahwa mereka lebih baik dibanding pemain lama, dan itu artinya pemain lama harus bermain lebih baik dibanding tahun lalu. Tapi kami tak melakukan itu. Sepakbola penuh dengan sejarah macam begini. Kau memenangkan gelar, kemudian kau pikir sudah cukup bermain 50%. Dan, kau tak memperoleh apa-apa di musim berikutnya. Selalu lebih sulit mempertahankan gelar dibanding merebutnya. Kami mencapai puncak. Persoalannya adalah bagaimana tetap di situ dalam waktu lama. Kau bisa melakukannya hanya jika secara mental kau cukup kuat."
Kalah berebut Robin van Persie dengan MU ternyata menyisakan luka. "Inilah bedanya. Hanya ini. Kami kehilangan 10-15 gol. Dan gol segitu itu bernilai delapan atau sembilan poin. Dan Van Persie adalah pemain United."
Di Southampton, baru-baru ini, Mancini begitu jijik dengan penampilan timnya, sampai-sampai ia tidak masuk ke ruang ganti pemain seusai pertandingan. Bagaimana ia menghadapi kekalahan buruk macam itu? "Orang Inggris dan orang Italia benar-benar berbeda. Bagi beberapa manajer Inggris, menang atau kalah, begitu pertandingan selesai, ya selesai. Aku tidak begitu. Jika kami kalah, dalam 24 jam, maka di kepalaku hanya ada pikiran: 'Apa salahku? Apa yang kulakukan berbeda? Kenapa kami kalah?' Dalam 24 jam pikiran itu yang berputar-putar di kepalaku. Aku bisa tidur beberapa jam tapi tak bisa lebih lelap. Aku hidup untuk sepakbola. Mustahil untukku menerima kekalahan. Dalam 24 jam itu aku harus paham apa yang sebenarnya terjadi."
Usianya 48. Garis kekuatiran pertama itu muncul di wajahnya yang kecoklatan. Berapa lama ia akan bertahan di manajemen? "Tergantung pikiranku. Ada beberapa posisi yang berbeda di klub sepakbola dan aku bisa melakukan pekerjaan lain. Untuk saat ini, aku senang jadi seorang manajer. Aku senang marah-marah setiap hari. Aku senang melakukan pekerjaan ini mungkin sampai usia 60. Lalu, mungkin kerja dengan seorang ketua klub mana gitu."
Sebelum itu, dia tergelitik dengan kemungkinan untuk memanajeri Inggris pada suatu masa. "Itu bisa terjadi jika mereka ingin menang. Itu menarik. Dan jika aku memanajeri Inggris dan memenangkan Piala Dunia atau Piala Eropa, aku mau dianugerahi gelar ksatria. Tak usah patung, gelar ksatria saja sudah cukup."
*terj. Mahfud Ikhwan
No comments:
Post a Comment