Oleh Darmanto Simaepa
Satu yang hilang dari generasi kami adalah sejarah remontada
—Xavi Hernandes—
Untuk mengerti apa arti dan makna remontada bagi orang catalan, anda hanya perlu menyaksikan dua menit terakhir video pertandingan semifinal piala Champion edisi 1986 antara Barca dengan IFK Gothenburg di Youtube. Jika cukup jeli, anda bisa menyaksikan Guardiola—saat itu menjadi ballboy—dan kawan-kawannya berlari mengerubungi Urrutia si kiper, setelah menyelamatkan tendangan penalti ke empat, dan kemudian secara histeris berhamburan menelanjangi Victor Munoz yang sukses sebagai penendang terakhir.
Saya berusaha mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Melalui rute kamus Inggris-Spanyol, sulit mengartikan kata kerja transitif seperti to ‘recover’, to ‘get over’ atau to ‘comeback’ atau kata benda yang bercorak feminine ‘recovery’ ke dalam konteks tulisan ini. Akhirnya, remontada saya terjemahkan sebagai ‘pembalasan’, meski kata ini lebih punya konotasi dengan sikap agresif dan berasosiasi dengan perasaan marah atau kurang puas (seperti tercantum dalam frase ‘balas dendam’).
Istilah remontada populer di Spanyol setelah kompetisi Eropa memainkan pertandingan dua kali, tandang-kandang. Tim yang dipertandingan pertama kalah, biasanya dengan selisih gol mencolok atau melalui pertandingan dramatis, dan kemudian menang di pertandingan kedua, dikatakan melakukan remontada. Namun, istilah ini tidak selalu harus dikaitkan dengan pertandingan tandang-kandang. Istilah ini lebih cocok untuk menggambarkan situasi dimana sebuah tim memutar atau membalikkan keadaan yang tidak mungkin pasca-kekalahan dalam satu pertandingan atau dalam sejumlah pertandingan, menjadi sebuah kemenangan dramatis.
MU, Juventus, dan yang paling kerap disebut-sebut, Real Madrid adalah tim yang lekat dengan tradisi ini remontada. Tim-tim yang dianggap memiliki semangat remontada memiliki kualitas anti-menyerah dan tradisi heroik. Madrid menang 5-1 setelah kalah 1-4 dari Derby County dan Steua Bucharest pada tahun 1976 dan 1983 digunakan sebagai contoh tentang Remontada. Juga, apa yang dilakukan MU di Nou Camp 1999 atau Liverpool di Istanbul 2005 adalah manifestasi terbaik dari istilah ini.
Barca hanya sedikit memiliki sejarah remontada--salah satunya ya, itu tadi, membalas kekalahan 0-3 di Gotheburg dan kemudian menang adu pinalti. Tim ini, seperti yang Franklin Foer tulis dengan bagus, meskipun di suatu masa memiliki pemain yang brilian dan etos perjuangan, tetapi mereka lebih mewakili tradisi romantik daripada heroik. Sepanjang sejarahnya, Barca lebih lekat dengan melankolia kekalahan dari pada histeria kemenangan.
Jikapun mereka menciptakan dua generasi tim yang menciptakan sepakbola ‘terbaik’ dalam seperempat abad terakhir—melalui Cruijf dan Guardiola—kemenangan mereka diciptakan lebih banyak melalui kerja-kerja artis tingkat tinggi yang mengandalkan umpan presisi dan akurasi dan bukan didasarkan etos perjuangan dan petarungan, yang dalam bahasanya Bill Shankly, ‘melampui urusan hidup dan mati’.
Tentu saja kesuksesan Pep, Rijkaard dan lainnya sangat ditentukan kerja keras melebihi tim lain. Tetapi kerja keras dalam definisi ini berbeda dengan kerja keras yang diciptakan oleh Lobanovsky di Kiev, Fergie di MU atau Capello di Milan. Hal ini tercermin dari jenis taktik yang dianut dan gaya main diatas lapangan. Barca terobsesi mengalirkan bola selembut mungkin, bahkan kalau perlu tanpa harus berkeringat.
Konon, obsesi menerjemahkan sejenis lukisan Picasso di atas lapangan rumput inilah yang menyebabkan Barca bukanlah tim dengan tradisi yang optimis setelah kekalahan yang menyakitkan. Sangat gampang menemukan wajah murung Iniesta atau Xavi di lapangan setelah rentetan kekalahan dalam pekan-pekan belakangan ini. Kekalahan dari Chelsea tahun lalu adalah gejala yang masih mudah kita ingat. Keruntuhan the Dream Team saat dipecundangi Milan dalam ‘musim semi Athena’ 1994 adalah salah satu contoh terbaiknya.
Pernyataan Xavi diatas, dari wawancaranya di ruangan pers pasca kekalahan dari Milan, menunjukkan bahwa timnya sedang mengubah arus sejarah. Di wawancara lain Roura dan Rossel berusaha optimis untuk menciptakanversi terbaru dari remontada. Namun, berkali-kali saya menyaksikan videonya, ungkapan-ungkapan mereka untuk bangkit terasa tidak meyakinkan. Diatas lapangan, lebih terasa lagi. Barca, tidak hanya kehilangan 9 poin dalam satu pekan, tetapi juga mulai kehilangan keyakinan dengan gaya permainan.
Setelah kalah dari Madrid di Nou Camp tahun lalu, saya berspekulasi, siklus Barca akan berakhir. Sebuah tim besar sulit mempertahankan permainan terbaik dalam jangka waktu lebih 4-5 tahun. Botafogo di tahun 1960an, Ajax dan Muenchen 1970an, Flamengo, Milan dan Barca satu dekade kemudian hanya bertahan dalam siklus 3-5 tahun.
Kalaupun Villanova mampu membawa rekor demi rekor untuk Barca musim ini, itu lebih karena Mou dan orang-orang Madrid tidak becus memanfaatkan momentum kemerosotan Barca untuk membentangkan layarnya, menyambut nasib baik di ufuk cakrawala yang menunggu mereka. Mereka sibuk cekcok di lembaran koran Marca atau As, dan mengorbankan seorang Aidan untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa di kamar ganti.
Sementara Alegri sudah menemukan vaksin anti tiki-taka, inovasi taktik Barca telah mencapai titik jenuhnya. Seiring dengan menurunnya fisik Puyol, merosotnya daya imajinasi Xavi, dan ketimpangan kualitas penyerang di sekeliling Messi, semua pemain asal Spanyol dalam generasi ini kehilangan rasa lapar akan gelar—mereka tidak perlu menambah apapun dalam daftar medali dilemari.
*****
Meskipun saya tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan Xavi, saya melihat ada celah bagi barca untuk mengubah cuaca muram di Catalan. Ya, benar sekali: satu hal yang akan menyempurnakan satu siklus tim terbaik dalam sejarah sepakbola, itu tidak lain adalah remontada. Barca, saya rasa tidak membutuhkan trofi Champion lagi untuk membuktikan kebesarannya. Apa yang telah dicapainya, telah melewati ekspektasi dan imajinasi mereka sendiri.
Sebagai penggemar, siklus Barca akan jauh lebih berarti jika mereka mampu menunjukkan dalam satu waktu, sikap untuk mengambil resiko untuk memutar haluan kapal yang memang akan karam. Suatu sikap pertempuran penghabisan dan sejenis gairah untuk melakukan bunuh diri yang terhormat. Pendek kata, sejenis sikap untuk mengambil resiko puputan. Jika mereka berpikir tentang Remontada, saya bayangkan mereka juga berani mengambil resiko untuk kekalahan yang mengerikan. Yang hilang dari permainan sepakbola gaya Catalan adalah sentuhan mengambil resiko menghadapi kekalahan besar.
Kisah Cinderella lima tahun terakhir Barca adalah kisah tentang kalkulasi yang jitu, presisi yang nyaris sempurna, dan kemenangan yang telah bisa diprediksi. Drama tentang sepakbola Catalan terlalu klinis untuk dinikmati. Saya kira saatnya ucapan Xavi menemukan wujudnya di lapangan. Milan hanyalah pemanasan. Pembalasan atas Milan akan menjadi rute yang manis untuk mencari penebusan dari kekalahan beruntun dalam el-clasico. Milan hanyalah target sasaran. Kisah ini akan menjadi lebih lengkap jika mereka punya obsesi untuk melakukan remontada terhadap wajah Janusnya: Real Madrid, di perempat final atau di semifinal.
Yang ada di benak saya begini: Jika Barca berhasil menaklukan Milan, mereka tidak akan lagi gemetar menghadapi psywar Mourinho dan beringasnya Pepe. Mereka akan menang melawan Madrid tanpa ada yang kena kartu merah. Setelahnya, meskipun mereka akan kalah dari Dortmund atau Muencen, atau Juventus di final, Barca telah melengkapi puzzle yang hilang dari sebuah generasi emas pesepakbola yang pernah ada.
Selain itu, semangat remontada ini juga akan membuka kemungkinan ada anak-anak yang, seperti Guardiola kecil 30 tahun yang lalu, untuk terlibat dalam arus sejarah sepakbola yang indah
No comments:
Post a Comment