Saturday, October 1, 2011
Seandainya Saya Fans City
Oleh Mahfud Ikhwan
Pendukung Banaran FC seperti keranjingan. Sore itu, medio Agustusan 1996, tim mereka akhirnya mengandaskan penguasa belantika sepakbola Babat, Sawo FC, di semifinal Liga Babat. Mereka tak perduli kalau hampir semua pemain yang memberikan kemenangan bagi mereka sore itu adalah pemain sewaan (bon-bonan). Mereka abai, kalau yang menang lawan Sawo sore itu bukanlah Banaran, tapi campuran pemain tua Persebaya dan pemain aktif Petrokimia Putra—ada Seger Sutrisno, Ibnu Graham, Khusairi dan Ery Irianto di situ. Satu-satunya yang mereka pikirkan (dan rayakan) adalah kekalahan Sawo, lambang kekuasan tak tergoyahkan dan keangkuhan tak terperikan dari sepakbola Babat.
Mereka tahu, Sawo punya lapangan bagus, bakat, tradisi, sejarah—singkatnya, mereka punya sepakbola. Tapi justru karena itulah mereka sesekali layak untuk kalah. Tak perduli, jika yang mengalahkan sepakbola milik Sawo adalah uang yang dikucurkan dari deretan toko dan perusahaan wingko milik orang Banaran.
***
Orang memuja sepakbola karena keindahan dan kemegahnnya, itu tak diragukan. Itulah kenapa Brazil ’70, Belanda ’74, Milan-nya Sacchi, dan Barca-nya Guardiola terus akan dibicarakan. Tapi, sepakbola jelas bukan hanya itu. Sebab, jika begitu, kenapa kita tak pernah mendengar kisah tentang boyongan suporter Espanyol ke Camp Nou? Meski kecil dan relatif sepi, Stadion Coliseum milik Getafe nyatanya masih saja berpenonton, meskipun Barnebeau yang megah dan Vicente Calderon yang meriah itu hanya sepelemparan batu di kanan-kiri mereka. Dan, Anda tahu, bahkan suporter di Moss Rose, lapangan berkapasitas 6000 milik tim divisi empat Macclesfield Town, sama antusiasnya dengan suporter United di Theater of Dream yang cuma berjarak 20 menit.
Saya tak tahu apa yang ada di kepala suporter Espanyol, Getafe, atau Macclesfield—itu sama membingungkannya dengan menjelaskan kenapa saya jatuh cinta dengan Milan justru saat mereka bermain sangat buruk dan dikecundangi oleh sekumpulan bocah ingusan dari Amsterdam pada final Piala Champions 1995. Saya hanya bisa menduga, itu muncul dari tali penghubung yang dipilin secara bawah sadar antara pendukung dan klub yang didukungnya. Penyebabnya macam-macam, bisa berbeda pada tiap orang. Tapi, umumnya, faktor kedekatan, kesamaan (nasib, identitas, cara pandang, dst.), atau sekadar rasa simpati mengambil peran utama. Tali maya itu kadang butuh jadi rapi-jali setelah bertahun-tahun, tapi bisa juga bisa selesai dalam semalam.
Pendukung Inter yang muncul akhir ‘90-an, misalnya, saya duga adalah mereka yang jatuh hati dengan klub yang tampil menarik, penuh bintang, tapi di klasemen akhir selalu bernasib malang. Lalu, kenapa kita lebih banyak menemukan pendukung Italia pasca filnal Piala Dunia 1994 dibanding Brazil? Itu adalah mereka yang seketika merasakan nelangsa saat tembakan penalti Baggio mengangkasa.
Dalam banyak kasus, tali maya antara pendukung dengan klub itu lebih kuat dibanding dengan sepakbolanya itu sendiri. Fanatisme muncul dari situ. Dan, tepat di situlah, kemegahan dan keindahan sepakbola yang dimiliki oleh Brazil, Belanda, Milan, Barca, bukan jadi determinan utama.
Sawo FC di Babat bahkan memberi contoh yang lebih ekstrem: kemegahan dan keindahan sepakbola yang terlalu lama bertahan adalah sejenis despotisme yang menimbulkan kesenjangan kesejahteraan—ketika sekelompok pendukung memperoleh kebahagiaan di atas penantian yang menyedihkan kelompok lain yang lebih besar. Maka, kemegahan dan keindahan macam itu bukan saja pantas untuk dibenci, tapi juga musti didijungkirkan. Dengan cara apa pun.
***
Banaran FC di Babat adalah City di Liga Inggris, itulah yang saya bayangkan. Dan anggap saja, United adalah Sawo FC-nya. Seperti para pendukung Banaran menginginkan kekalahan Sawo, begitulah para pendukung City ingin menumbangkan musuh sekotanya. Sebagaimana suporter sepakbola di belahan bumi manapun, mereka pasti mencintai sepakbola—mereka akan menjadi suporter yang paling bahagia di dunia jika City bermain seperti Barcelona.Tapi, haqqul yakin, keinginan terbesar mereka saat ini adalah mengakhiri dominasi United atas diri mereka.
Bagaimanapun caranya...
Tahun 1965, manajer Malcolm Allison mengusulkan agar City meniru seragam merah-hitam AC Milan sebagai seragam kedua tim. Harapannya, City akan tertular kejayaan Rossoneri di kancah Eropa. Harapan itu lumayan terkabul saat City merengkuh gelar Piala Winners 1970—yang merupakan gelar The Citizen paling prestisius hingga hari ini. Empat puluh lima tahun kemudian, di bawah guyuran dinar pangeran Qatar, City menempuh hal yang kurang lebih sama, namun dengan cara yang lebih gila: membeli pemain-pemain yang diinginkan Inter, Chelsea, Barca, Madrid, atau United—dengan harga menembus langit. Untuk mengalahkan keangkuhan Sawo, para juragan di Banaran memboyong pemain-pemain Liga Dunhill yang sebelumnya hanya didengar namanya di siaran pandangan mata RRI Surabaya. Begitu juga Sheikh Mansour, yang memboyong ke Eastland pemain-pemain yang sebelumnya hanya mungkin bermain di Camp Nou atau Bernabeau.
Karena sepakbola mengidealkan United 1999 dan Barca 2009 & 2011, yang merengkuh juara dengan sebagian besar pemain jebolan akademi sendiri, maka City yang menempuh cara yang sama sekali berbeda, tentu saja dicibir. “Klub yang coba menukar dengan dollar (dalam semalam) tempat terhormat yang dirintis berpuluh-puluh tahun oleh Barca, Milan, Inter, Madrid, dan United,” begitu kalimat sinis Rob Hughes di The New York Times.
Jika saya fans City, maka cibiran dan bahkan umpatan kebencian—yang mungkin datang dari Old Trafford yang mulai merasa terancam, atau dari Emirates dan Anfield yang makin hari justru makin kehilangan harapan—bukan hal yang harus dipikirkan. Sebab itu tak ada artinya dengan derita berkepanjangan saat melihat klub sebelah merajalela dari masa ke masa dengan 19 gelar liga dan 3 kali juara Eropa. Cibiran itu bahkan akan membuat gelar liga pertama di akhir musim ini—semoga terjadi—akan berubah dari sekadar pesta kemenangan menjadi upacara pembalasan. Lagi pula, bukankah di London, ada pula klub yang memulai sejarah dan tradisinya dari uang? Jadi, apa yang salah selama itu, mengutip Mourinho, “masih jadi bagian dari sepakbola”?
Jika saya fans City, jangankan pangeran Arab, jin Timur Tengah pun akan saya sambut dengan suka cita asalkan ia keluar dari botol dengan membawa piala—dan, tentunya, sanggup menjamin kalau Setan Merah pasti kalah. Saya tak akan keberatan jika tim arahan Mancio itu hanya menang 1-0 di setiap pertandingan asalkan itu cukup untuk menebus tropi liga yang pertama. Saya bahkan akan tetap berjingkrak membelakangi lapangan sembari menyanyikan “Blue Moon” jika penentu gelar juara itu bukan pecahnya rekor 100 gol musim kompetisi 1957-58, melainkan sebuah gol buruk milik Stoke (yang dicetak oleh Ricardo Fuller dengan bokong hasil lemparan Rory Delap dari jarak 60 yard) ke gawang United di Old Trafford.
***
Dan meskipun saya bukan fans City, dan bahkan tak terlalu menyukai Oasis, saya tetap akan jadi salah satu yang ikut berbahagia jika di akhir musim nanti yang mengangkat tropi liga bukannya Vidic melainkan Kompany. MU jelas punya sejarah dan tradisi, dan mereka memperoleh itu dengan cara terbaik yang bisa dilakukan klub sepakbola. Tapi, kebahagiaan dari yang dihasilkan dari permainan indah ini bukan hanya milik mereka. (Pendukung City—sebagaimana juga pendukung Malaga di Spanyol, pendukung Anzhi di Rusia dan pembenci United di seluruh dunia—juga berhak merasakannya.) Mereka harus dicegah dari mengangkanginya terlalu lama.
Dan jika yang bisa mencegahnya hanyalah City dan uangnya, apa boleh buat.
01-10-11
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Percuma, saya bukan fans city.
ReplyDeleteMaka, saya tidak membacanya.
halah
wah ini heru fansnya langsa itu ya?
ReplyDeletepercuma mengomentari heru...
ReplyDeletesaya fans Balotelli aja :)
ReplyDeleteSaya pendukung Banaran FC...
ReplyDelete