Friday, July 15, 2016

Mari Memaafkan Portugal

Oleh Mahfud Ikhwan

Mumpung masih dalam suasana lebaran, mari sama-sama memaafkan Portugal. Tentu atas hal-hal tidak menyenangkan yang mereka lakukan bagi para penonton netral seperti kita di sepanjang Piala Eropa 2016.

Mari memaafkan mereka karena Ronaldo, kapten mereka, berkata sengak soal cara bermain Islandia, tim kecil dari negari vulkanik berpenduduk 300 ribuan, yang mereka hadapi di pertandingan pembuka; tim yang oleh Ronaldo disebut bermain untuk hasil imbang dan merayakan hasil itu seakan sebuah kemenangan di final. Tim yang tak akan mencapai apa-apa, kecamnya. Bukan, bukan karena itu sikap arogan dari seorang pemain terbaik dunia, sebagaimana tuduhan banyak ulasan sepakbola pasca pertandingan itu. Kita memaafkan Portugal terutama karena cara bermain Islandia yang dikecam Ronaldo itulah yang di banyak kesempatan justru ditunjukkan Portugal.

Mari memaafkan Portugal karena mereka adalah tim satu-satunya yang lolos ke babak enambelas besar tanpa memetik satu pun kemenangan. Itu menyebalkan, tahu? Mereka terlihat sebagai tim paling aneh di antara 15 tim lain yang lolos. Tak akan terhindarkan, kisah kelolosan itu pasti akan menjadi anekdot lucu atau trivia unik dalam sejarah Piala Eropa di waktu-waktu mendatang, sebagaimana sejarah sepakbola mencatat kekacauan dan skandal soal bonus yang mereka timbulkan di Piala Dunia ‘86. Dan sejujurnya, dalam banyak aspek, mereka sebenarnya memang tak terlalu layak ada di babak tos-tosan.

Tapi maaf itu sebenarnya tak cukup hanya untuk itu. Jadi urutan tiga di grupnya tidak saja membuat mereka melaju dan menyingkirkan tim yang lebih menarik seperti Turki dan Albania, tetapi juga menempatkan mereka di pol yang menghindarkan mereka bertemu tim-tim tradisional macam Italia, Spanyol, Inggris, Jerman, dan tuan rumah Prancis di waktu yang lebih awal. Dan, kita tahu, sampai di mana langkah mereka saat ini. Yang lebih tak menyenangkan lagi, dalam perjalanan ke final, mereka menumbangkan tim-tim paling cemerlang di babak penyisihan. Bagi saya pribadi, melihat mereka mengalahkan Kroasi di 16 besar, dengan cara yang begitu buruk, adalah pengalaman paling tak menyenangkan di sepanjang Euro 2016.

Mari memaafkan Portugal sambil mengenang rasa sakit mereka 12 tahun lalu. Tim hebat, kombinasi dari generasi emas era Figo-Rui Costa dan generasi baru Ronaldo-Quaresma yang menjanjikan, mereka jelas tuan rumah yang pantas sampai final dan pantas juara. Apalagi tim yang mereka hadapi di final adalah Yunani. Tapi Yunani, yang saat itu punya probabilitas juara yang tak lebih baik dibanding Islandia saat ini, mengalahkan mereka dua kali. Salah satunya di final.

Untuk publik Portugal, mungkin dosa tim ini adalah gagal juara saat mereka merupakan salah satu tim terbaik di dunia. (Coba tanya Joao Pinto, yang kini sering terlihat di bangku cadangan Portugal, bagaimana bisa tim yang terdiri dari Baia di depan gawang, Jorge Costa dan Couto di belakang, Rui Costa dan Figo di tengah, dan Nuno Gomes dan dirinya sendiri di depan, sama sekali tak memperoleh satu pun gelar?) Tapi biarlah itu jadi urusan mereka. Untuk saya, yang saya takutkan bukanlah dekatnya fakta bahwa mereka mungkin akan jadi juara ketika tak benar-benar layak mendapatkannya, tetapi kemungkinan mereka akan meraih gelar itu dengan cara Yunani.

Bukan karena Yunani adalah tim yang tak pantas atau tak menyenangkan—Yunani jelas pantas, meskipun mereka memang kurang menyenangkan. Masalahnya adalah: Portugal jelas bukan Yunani. Portugal punya sejarah yang tidak dimiliki Yunani—mereka punya Eusobio, Sporting Lisbon, Benfica, Porto, Jose Mourinho, dst. Ronaldo jelas terlalu mencolok keunggulanya jika dibandingkan Chaeristeas, sementara mudah untuk menyimpulkan bahwa Renato Sancez jelas lebih berbakat dibanding Karagounis. Menonton Portugal bermain dengan cara Yunani sama seperti disuguhi mie instan di warung Padang. Bukan hanya aneh, itu tak elok!

(Oh ya, apakah hanya saya satu-satunya orang yang selalu teringat dengan Otto Rehhagel setiap melihat Fernando Santos?)

Mari memaafkan Portugal karena sampainya mereka di final Euro 2016 akan memberikan kesempatan besar bagi Ronaldo mencapai level yang mungkin tidak akan pernah dicapai Messi: mengantar negaranya merengkuh gelar internasional. Pasti, ini momen yang bikin nervous bagi Messi, pendukungnya, dan para pembenci Ronaldo. Memungkasi Copa Centenario 2016 dalam tragedi, Messi akan menghadapi musim barunya di Barca dengan skandal, setelah dicas hukuman 21 bulan untuk kasus penggelapan pajak. Banyangkan, apa rasanya jika pada saat yang sama, Ronaldo kembali ke Bernabeu sebagai juara Eropa dan calon kuat pemain terbaik dunia?

Pasti berat. Tapi siapa bilang memaafkan itu mudah? Ya, pasti itu sama sulitnya dengan menyaksikan tim-tim kesukaan atau tim-tim terbaik di turnamen gagal dari waktu ke waktu. Itu juga sama sulitnya dengan menerima kenyataan bahwa, dalam banyak turnamen, seringkali, tim terbaik kandas jauh sebelum final.

Ya, mungkin akan lebih mudah memaafkan Portugal jika mereka gagal juara. Kalau itu jalan satu-satunya, silakan saja merapalkan doa atau meletakkan uang taruhan untuk Prancis. Semoga Anda beruntung.

*Dimuat di Jawa Pos, 10 Juli 2016

No comments:

Post a Comment