Friday, May 30, 2014

Piala Dunia a la Galeano XI: Piala Dunia 1978*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Di Jerman, Volkwagen Beetle yang populer sedang sekarat; di Inggris, percobaan pertama bayi tabung telah lahir; di Italia, aborsi sudah dilegalkan. Korban pertama AIDS, yang saat itu belum memiliki nama, sudah tak kuat lagi. Brigade Merah membunuh Aldo Moro; Amerika Serikat menjanjikan untuk memberikan kembali kepada Panama terusan yang dicuri pada awal abad. Sumber informasi yang terpercaya di Miami mengumumkan kepastian jatuhnya Fidel Castro, tinggal tunggu jamnya saja.

Di Nikaragua, Dinasti Somoza sedang limbung. Di Iran, Dinasti Shah hoyong. Sementara, militer Guatemala memberondongkan senapan mesin ke kerumunan petani di kota kecil Panzos. Domitila Barrios dan empat perempuan lainnya melancarkan mogok makan melawan diktator militer Bolivia, dan sesaat kemudian seluruh Bolivia dilanda mogok makan: kediktatoran pun jatuh. Kediktatoran militer Argentina, sebaliknya, malah segar bugar, dan pamer kekuatannya dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia kesebelas.

Sepuluh negara Eropa, empat dari Benua Amerika, ditambah Iran dan Tunisia, ambil bagian. Sang Paus mengirimkan berkatnya dari Roma. Diiringi alunan mars militer, Jenderal Videla menyematkan medali kepada Havelange saat upacara pembukaan di Stadion Monumental Buenos Aires. Beberapa langkah dari situ, Auschwitz-nya Argentina, sebuah kamp penyiksaan dan pembasmian di Sekolah Mekanik Kelautan, dioperasikan dengan kecepatan penuh. Beberapa mil dari tempat itu, para tawanan dilempar hidup-hidup dari pesawat ke laut.

“Paling tidak, dunia bisa melihat wajah sesungguhnya Argentina,” sanjung Presiden FIFA di depan kamera televisi. Sang tamu istimewa, Henry Kissinger, meramalkan: “Negeri ini memiliki masa depan yang gilang-gemilang.” Dan kapten tim Jerman, Berti Vogts, yang melakukan kick-off pertama, menyatakan: “Argentina adalah sebuah negara dengan pemerintahan yang tertata. Aku tak pernah melihat ada tahanan politik.”

Tim tuan rumah menang beberapa kali, namun kalah dari Italia dan imbang melawan Brazil. Untuk mencapai final melawan Belanda, mereka harus menenggelamkan Peru dengan banjir gol. Argentina mendapatkan lebih dari yang mereka butuhkan, namun pembantaian itu, 6-0, menyemai kecurigaan di antara penonton yang nyinyir. Yang berbaik sangka juga. Tim Peru dilempari batu begitu kembali ke Lima.

Final antara Argentina dan Belanda ditentukan dalam perpanjangan waktu. Argentina menang 3-1 dan dalam perjalanannya menuju kejayaan itu mereka mesti berterimakasih atas patriotisme tiang gawang yang menyelamatkan mereka dari kebobolan saat menit terakhir waktu normal. Tiang itu, yang menghentikan tembakan Rensenbrink yang mendesing, tak pernah mendapatkan tanda jasa militer hanya karena watak dasar manusia yang tak tahu terimakasih. Bagaimanapun, lebih penting dari si tiang, pada akhirnya, adalah gol-gol Mario Kempes, si kuda liar tak terjinakkan yang mencongklang di atas rumput yang bertaburan konfeti, dengan rambut panjangnya yang berkibaran ditiup angin.

Saat pemain Argentina mengangkat piala, pemain-pemain Belanda menolak untuk memberi tabik kepada pimpinan kediktatoran Argentina. Tempat ketiga diraih Brazil, sementara keempat milik Italia.

Kempes terpilih sebagai pemain terbaik di turnamen sekaligus pencetak gol terbanyak dengan enam gol. Di belakangnya adalah pemain Peru Cubillas dan Rensenbrink dari Belanda dengan lima gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

No comments:

Post a Comment